Minggu, 05 Juni 2011

Bertakwa dan Berkata Benar


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا. يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barang siapa menaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar (TQS al-Ahzab [33]:70-71).


Lidah tak bertulang. Ungkapan ini biasa digunakan untuk menggambarkan betapa mudahnya orang untuk berbicara. Padahal, meskipun terasa ringan, setiap kata yang keluar darinya, mendatangkan konsekuensi. Bahkan konsekuensinya kadang tidak ringan. Maka lidah bagaikan pisau bermata dua. Bisa menjadi senjata yang menyelamatkan pemiliknya atau berbalik menikam pemiliknya. Inilah yang banyak tidak disadari orang. Agar tidak salah mengeluarkan perkataan, ayat ini penting untuk dijadikan sebagai panduan.

Perintah Bertakwa dan Berkata Benar

Allah SWT berfirman: Yaa ayyuhaa al-ladzina aamanuu [i]ttaquul-Laah (hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah). Seruan ayat ini ditujukan kepada orang-orang Mukmin. Mereka diperintahkan [i]ttaquu-Laah (bertakwa kepada Allah). Secara bahasa, al-taqwaa berarti menjadikan diri dalam perlindungan dari segala yang menakutkan. Oleh karena itu, al-taqwaa terkadang bermakna al khawf, seperti dalam firman-Nya: Wa [i]ttaquu al-naar al-lati u’iddat li al-kaafirin (dan peliharalah dirimu dari api neraka yang disediakan untuk orang-orang yang kafir (TQS Ali Imran [3]:131).

Secara syar'i, al-taqwaa didefinisikan sebagai penjagaan diri dari perbuatan dosa. Hal itu dilakukan dengan melaksanakan kewajiban dan meninggalkan larangan. Di samping itu, menurut al-Raghib al-Asfahani, juga disempurnakan dengan meninggalkan sebagian perkara mubah.

Dalam Alquran, perintah untuk bertakwa amat banyak. Selain ayat ini, juga dalam QS al Baqarah [2]: 98, 196, 278, Ali Irnran [2]: 130, al-Nisa [4]: 9, dan lain-lain. Bahkan dalam awal Surat ini, perintah untuk bertakwa juga ditujukan kepada Rasulullah SAW dengan firman-Nya: Hai Nabi, bertakwalah kepada Allah dan janganlah kamu menuruti (keinginan) orang-orang kafir dan orang-orang munaflk (TQS al-Ahzab [33]:1).

Kemudian diiringi dengan diperintahkan: wa quu1uu qawl[an] sadid[an] (dan katakanlah perkataan yang benar). Kata al-sadid merupakan bentuk shifah musyabbahah dari kata al-sadaad. Dalam Mukhtaar al-Shihhah dijelaskan bahwa af'sadaad berarti al shawaab wa al-qashaa min al-qawl wa al-'amal (ucapan dan perbuatan yang benar dan lurus). Al-Raghib mengatakan, pengertian al-sadaad adalah istiqaamah. Sedangkan menurut al-Syaukani, kata al-sadid diambil dari kata tasdid al-sahm (membetulkan anak panah) agar tepat sasarannya.

Dalam konteks ayat ini, sadid[an] bisa berarti showaab[an] (benar) sebagaimana dijelaskan Ibnu 'Abbas. Menurut Qatadah bermakna 'ad-l[an] (adil). Tak jauh berbeda, al-Hasan menafsirkannya sebagai shidq[an] (jujur). Ada pula yang memaknainya mustaqim[an] (lurus). Sedangkan menurut 'Ikrimah, sadid[an] dalam ayat ini bermakna ucapan 1aa ilaaha illaal-Laah. Dengan demikian, perkataan yang diperintahkan keluar dari orang Mukmin adalah qawf[an] sadid[an]. Yani, perkataan yang benar, adil, jujur, dan lurus. Tentu saja, kriteria, batasan, dan koridornya didasarkan pada Islam. Perintah bertakwa yang disebutkan sebelumnya jelas menunjukkan kesimpulan tersebut.

Sebagaimana dijelaskan al Syaukani, takwa yang diperintahkan itu meliputi seluruh urusan. Itu artinya, ketaatan kepada perintah dan larangan-Nya mencakup semua hal, dalam perbuatan maupun ucapan. Oleh karena itu, frase quuluu qawl[an] sadiid[an] di sini berkedudukan sebagai 'athf al-khaash 'alaa al-'aamm (menambahkan yang khusus kepada yang umum). Penyebutan secara khusus tersebut menunjukkan pentingnya berkata benar bagi kaum Mukmin.

Menurut zhohir-nya ayat ini, perintah berkata benar tersebut berlaku umum untuk semua perkara. Tidak hanya dikhususkan untuk satu jenis perkara. Oleh karena itu, sebagaimana dijelaskan al-Sa'di, membaca (Quran), dzikir, amar ma'ruf, nahi munkar, belajar dan mengajar-kan ilmu, dll termasuk dalam cakupan qawl[an] sadid[an]. Demikian juga berdakwah, mendamaikan perselisihan antar Mukmin, dan lain-lain.

Dengan demikian, berkata benar, jujur, adil, dan lurus merupakan karakter setiap Mukmin. Sikap tersebut diambil bukan didasarkan pada nilai manfaat yang akan diperoleh, namun didasarkan kepada ketakwaan. Sehingga, apa pun hasilnya, sikap itu harus dilakukan secara konsisten. Rasulullah SAW bersabda: Katakanlah kebenaran walaupun pahit (HR al-Baihaqi dari Anas).

Selain sebagai perintah berkata benar, ayat ini juga bisa dipahami sebagai larangan berlaku sebaliknya. Sebagaimana perkataan benar dapat mengantarkan pelakunya ke surga, perkataan batil juga bisa menjerumuskan pelakunya ke dalam neraka. Sebut saja misalnya syahaadat al-szuujr (kesaksian palsu) yang terkategori sebagai dosa besar. Demikian juga dosa besar lainnya, seperti kemusyrikan, menghalangi manusia dari jalan Allah, durhaka kepada orang tua dll, bisa dilakukan oleh lisan. Dari Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW ditanya tentang penyebab terbesar yang membawa masuk surga. Beliau menjawab, "Taqwa kepada Allah dan akhlak yang baik" Dan ditanya penyebab terbesar yang membawa manusia masuk neraka maka beliau menjawab, "Dua rongga badan yaitu mulut dan kemaluan."(HR al-Tirmidzi).

Diperbaiki Amalnya dan Diampuni Dosa-dosanya

Terhadap orang yang menjalankan perkara yang diperintahkan tersebut dijanjikan mendapatkan dua perkara. Pertama: yushlih lakum a'maalakum (niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu). Ishlaah al a'maal bisa berarti taufik dan kemudahan yang diberikan Allah SWT terhadap mereka dalam mengerjakan amal shalih. Ibnu Jarir al-Thabari adalah di antara mufassir menafsirkan demikian. Pengertian ini juga sejalan dengan QS al-Lail [92]:5-6. Bisa pula berarti memperbaikinya dengan menerima dan memberikan pahala kepada mereka. Demikian al-Nasafi clan al-Baidhawi dalam tafsir mereka.

Kedua: wa yaghfir lakum dzunuubakum (dan mengampuni bagimu dosa-dosamu). Artinya, dosa-dosa dimaafkan, kesalahan-kesalahan mereka ditutup, mereka tidak ditimpakan azab. Hal ini juga ditegaskan dalam TQS al-Thalaq [65]:5. Dua balasan kebaikan itu tentu merupakan sesuatu yang menjadi kebutuhan setiap manusia.

Kemudian ditegaskan lagi wa man yuthiil-Laah wa rasuulahu (dan barang siapa menaati Allah dan Rasul-Nya). Jika dilihat pengertiannya, frase ini memberikan penegasan terhadap perkara yang telah disebutkan sebelumnya. Sebab, ketaatan terhadap Allah SWTdan rasul-Nya merupakan aplikasi riil bertakwa kepadaNya.

Mereka diberitakan: faqad faaza fawz[an] azhim[an] (maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar). Menurut lbhu Manzhur, kata al fawz berarti al-najaa' wa al-zhafar bi al-umniyah wa al-khayr (selamat dan berhasil meraih sesuatu yang diharapkan dan kebaikan). Dijelaskan al-Jazairi, kemenangan besar yang dimaksud adalah teraihnya tujuan yang diharapkan. Yakni, selamat dari neraka dan berhasil masuk surga. Tak jauh berbeda, al-Baidhawi mengatakan, di dunia terpuji dan di akhirat berbahagia.

Dalam Alquran, banyak ayat yang menyebut balasan surga dengan berbagai kenikmatan di dalamnya sebagai al-fawz al-'azhim. Di antaranya adalah QS al-Nisa' [4]: 13, al-Maidah [5]: 119, al-Taubah [9]:72, 89, 100, dll. Juga disebut sebagai al-fawz al-kabiir (lihat al-Buruj [85]:11).

Inilah kunci sukses bagi setiap manusia yang selamat dan bahagia di dunia dan akhirat: taat terhadap seluruh ketentuan syariah-Nya. Terutama menjaga lisannya agar senantiasa berkata benar! Wal-Laah a'lam bi al shawaab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar