Selasa, 07 Juni 2011

DA’AIMUL AHKAM (Asas-asas Hukum)

A. Pendahuluan
Syari'at Islam adalah syari'at penutup untuk syari'at-syariat agama sebelumnya. Karena itu syari'at Islam adalah syari'at yang paling lengkap, yamg mengatu kehidupan keagamaan dan kemasyarakatan melalui ajaran agama Islam tentang akidah, ibadah, muamalah, dan akhlak.
Kemudian, terkait dengan pola pikir yang dipergunakan dalam menetapkan da'aimul ahkam antara sebagai kerangkah filosofis dalam hukum islam adalah agar antara Musyarri' (pembuat hukum syariah), Mukallaf (Penerima Taklif) dan syara' (Onjek yang dilakukan ) terjadi relevansi yang integral dimana mukallaf tidak merasa keberatan dalam menjalankan syara' dan membawa kemaslahatan dalam kehidupannya.
Sedangkan bagi syara' sendiri dapat dapat berlaku untuk totalitas masyarakat yang bernaung dibawanya tanpa melihat perbedaan tertentu sehingga ia menjadi pemersatu bagi konflik dan problem masyarakat. Sedangkan bagi musyarri' merupakan sebuah referensi utama dalam kaitannya ini, bila suatu saat terjadi ketegangan-ketegangan maka ketegangan itu cukup dikembalikan pada yang membuat syariah dan kebijaksanaan Musyarri selalu menguntungkan bagi Mukallaf, walaupun memeuat standad Mukallaf kebijakan itu kelihatannya tidak manusiawi.

B. Subtansi Kajian
Da’aimul Ahkam (Asasut Tasyri’)
Sebagai awalan bahwa filsafat hukum Islam merupakan tiga suku kata (filsafat, hukum, Islam) yang kemudian terjadi asimilasi pengertian, diantaranya adalah Filsafat Hukum, Filsafat Islam, dan Hukum Islam serta Filsafat Hukum Islam.
Sedangkan hukum Islam (Islamic law) bagi Schacht adalah keseluruhan kitab Allah yang mengatur kehidupan setiap muslim dalam segala aspeknya. Definisi ini terlihat bahwa hukum Islam itu mendekat kepada syari'at islam. Sedangkan Dr. Muhammad Muslehuddin dalam bukunya Philoshopy of Islamic Law memberi arti hukum Islam (syari'ah) sebagai perintah Tuhan yang diwahyukan kepada nabi Muhammad SAW.
Dari beberapa istilah dan pengertian diatas maka yang dimaksud dengan filsafat hukum Islam adalah setiap kaidah asas, mabda' atau aturan-aturan yang digunakan untuk mengendalikan masyarakat Islam yang diambil dari sumber hukum Islam. Atau dapat dikatakan "pengetahuan tentang hakikat, rahasia atau tujuan hukum Islam, baik yang menyangkut materinya maupun proses penetapannya
kemudian sebelum masuk pada pembahasan yang utama perlu penulis sampaikan terkait dengan pengertian Asas dalam sudut bahasa Arab adalah menurut Poerwadarminta asas berarti dasar, alas atau Fundamen. Asas filsafat hukum Islam dapat dikatakan dengan dasar operasional Hukum Islam atau dasar Filosofis hukum Islam biasanya dengan istilah "Da'aimul Ahkam" (Tiang-Tiang pokok hukum). Atau"Da'aimul Tasyri'" (Tiang-tiang pokok pembinaan hukum).
Pola pikir yang dipergunakan dalam menetapkan da'aimul ahkam antara sebagai kerangkah filosofis dalam hukum Islam adalah agar antara Musyarri' (pembuat hukum syariah), Mukallaf (Penerima Taklif) dan syara' (Onjek yang dilakukan) terjadi relevansi yang integral dimana mukallaf tidak merasa keberatan dalam menjalankan syara' dan membawa kemaslahatan dalam kehidupannya .
Sedangkan bagi syara' sendiri dapat dapat berlaku untuk totalitas masyarakat yang bernaung dibawanya tanpa melihat perbedaan tertentu sehingga ia menjadi pemersatu bagi konflik dan problem masyarakat. Sedangkan bagi musyarri' merupakan sebuah referensi utama dalam kaitannya ini, bila suatu saat terjadi ketegangan-ketegangan maka ketegangan itu cukup dikembalikan pada yang membuat syariah dan kebijaksanaan Musyarri selalu menguntungkan bagi Mukallaf, walaupun memeuat standad Mukallaf kebijakan itu kelihatannya tidak manusiawi
Asas-asas filsafat hukum Islam banyak sekali tetapi yang paling penting adalah sebagai berikut:

1. A'damul Haraj atau Nafyul Haraj
Yakni meniadakan segala yang menyulitkan atau meniadakan kepicikan. Secara garis besar dapat diambil kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan a'damul Haraj adalah membuang jauh-jauh hal-hal yang menyababkan kesulitan dalam kehidupan, karena ketika hal-hal yang dimaksud diatas tidak dihilangkan maka akan mendatangkan sesuatu yang mengundang permasalahan, khususnya dalam perbincangan islam.
Adapun indikasi asas A'damul Haraj adalah sebagi berikut:
a. Taklif tidak dibebankan kecuali sebagai sebatas kemampuan manusia dengan begitu memungkinkan semua taklif dapat melaksanakan. Firman Allah SWT.
Surat Al-Baqarah:289
                                            •           
Artinya: "Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (mereka berdoa): "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. beri ma'aflah Kami; ampunilah Kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah penolong kami, Maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir."(Al-Baqarah:289)
b. Taklif yang dibebankan sering dengan perwatakan manusia sehingga meringankan beban. Misalnya manusia diciptakan dalam kondisi lemah, maka taklif dibebankan jika mukallaf itu telah sempurna (berakal, dewasa, tak dipaksa).
Surat An-Nasi’:28
         
Artinya: "Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah”. (Q.S. An-Nasi’:28)
c. Adanya beberapa alternatif dalam taklif, sehingga dalam kondisi tertentu seorang mukallaf dapat memilih alternatif yang diberikan.
   •                               •  •         
Artinya: "(yaitu) orang-orang yang mengikut rasul, nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma'ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya. memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Quran), mereka Itulah orang-orang yang beruntung."
d. Memberiakn semacam motivasi dan pemberian penghargaan bagi pelaksana taklif, sehingga orang mukallaf merasa keberatan atau dipaksa dalam menjalankan taklif.
•             
Artinya: "Barangsiapa yang mengerjakan amal yang saleh Maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri dan barangsiapa mengerjakan perbuatan jahat, Maka (dosanya) untuk dirinya sendiri; dan sekali-kali tidaklah Rabb-mu menganiaya hamba-hambaNya”. (Q.S. Fushshilat:46)
Setiap taklif yang diberikan selalu selaras dengan kemampuan manusia. Allah SWT membuat hukum adalah untuk kepentingan manusia karena itu semua yang ditaklifkan dapat disanggupinya.
Dengan atas dasar tersebut diterapkan, sehingga terkesan semua taklif Allah yang mmebebankan pada manusia tidak memberatkan,
Surat Al-Maidah :6
                                                                
Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub Maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur".(Q.S. Al-Maidah :6)
Untuk merealisir atas tersebut, Jalaluddin Abdurrahman Asy-syuthi dalam bukunya" AL-Asyba Wan Nadhoir Fil Furu'" Menerangkan 7 masalah yang merupakan keringanan bagi mukallaf yaitu:
a) As-Safar (Bepergian)
Dalam kondisi bepergian seorang diperbolehkan Menjama', (mengumpulkan) dan mengqosor (meringkas) shalat, boleh menggugurkan puasa, memakai muza boleh 3 hari, diperbolehkan meninggallkan shalat jum'at dan dapat diganti dengan sholat Dhuhur da sebagainya.
b) Al-Mardl (Sakit)
Dalam kondisi sakit seorang diperbolehkan bertayamum bila takut menyentuh air, diperbolehkan shalat dalam keadaan duduk, berbaring dan sebagainya, meninggalkan shalat jum'at, menjama' dua shalat, meninggalkan puasa wajib, berobat dengan benda najis.
c) Al-Ikrah
Dalam kondisi ini seseorang diperbolehkan memakan bangkai, berobat pada sesuatu yang najis tidak apa-apa.
d) An-Nisyan
Lupa makan dalam puasa tidak batal
e) Al-Usru (Kesulitan)
Dalam kondisi ini seseorang diperbolehkan shalat dalam pakaian yang najis ma'fu, seperti mengenai darah nyamuk yang sulit dihindari, boleh melakukan transaksi pesanan (Aqad salam). Kebolehan melihat wanita dalam proses belajar-mengajar, kebolehan memilih kafarot dalam denda hajji, dhinar, sangsi bersenggama dalam bulan ramadhan.
f) Al-Jahlu (Bodoh)
Dalam keadaan ini seseorang boleh tidak membaca Ftihah dalam sholat dan boleh diganti dengan bacaan lain, da sebagainya
g) An-Naqsu (Kurang Sempurna)
Tidak hanya sebatas yang telah dipaparkan diatas bahwa dalam melaksanakan syari'at islam, ketika mendaptkan kondisi yang kurang memungkinkan melaksanakan dengan sempurna, maka hamba Allah akan mendapatkan keringanan untuk melaksanakan syari'at tersebut, oleh karena itu Asy-Syuyuthi menerangkan bentuk-bentuk keringanan dalam hukum islam, yaitu:
h) Tahfiful Isqoth
Meringankan dengan cara menggugurkan kewajiban. Seperti menggugurkan kewajiban sholat Jum'at, Hajji, Umrah, Jihad, karena ada halangan.
i) Tahfiful Tanqish
Meringankan dengan cara mengurangi kadar yang ditetapkan. Misalnya shalat Qoshor yang semula 4 Rakaat menjadi 2 rakaat, Jama' yang semula 5 waktu menjadi 3 waktu.
a) Tahfiful Ibdal
Meringankan dengan cara menggantikan pada alternatif lain. Misalnya wudhu dapat diganti dengan tayamum, berdiri dalam sholat dapat diganti dengan duduk atau berbaring bagi orang-orang yang sakit
b) Tahfifu Taqdim
Meringankan dengan cara mendahulukan zakat sebelum masa haulnya (setahun), mendahulukan zakat Fitra Sebelum Idul Fitri
c) Tahfifu Ta'khir
Meringankan dengan cara mengakhirkan shalat Jama' dhuhur pada waktu shalat ashar (jama' Ta'khir) mengakhirkan puasa Rmadhan pada waktu yang lain ketika berhalangan.
d) Tahfifu Tarkhis
Meringankan dengan cara memberikan kemurahan. Misalnya diperbolehkan menggunkan obat bius ketika operasi pembedahan, diperbolehkan memakan bangakai ketika keadaan terpaksa.
e) Tahfifu Taghyir
Meringankan dengan cara merubah ketentuan umum. Misalnya boleh berubah Format jamaah shalat ketika waktu perang (shalat khauf)


2. Taqlilut Takalif
Menyedikitkan beban merupakan hasil yang mesti (akibat logis) bagi tidak adanya menyulitkan, karena didalam banyaknya bebanan yang berakibat menyulitkan.
Dari penjelasan itu bisa diperjelas bahwa yang dimaksud adalah meringankan atau menyedikitkan beban suatu hal agar kesulitan tidak lagi bertambah banyak, karena kalau dipaksakan untuk tetap melakukan hal itu maka kesulitan akan bertambah banyak dan tentunya akan malah menganggu kegiatan yang akan dilakasanakan.
Asas ini dimaksudkan agar kewajiban agama kepada umat mmanusia untuk tidak menyulitkan dan menyusahkan dirinya sendiri dalam megerjakan syari'at agama islam. Dalam hal ini mengingatkan kepada manusia agar dapat menahan diri, dalam arti tidak menanyakan sesuatu tentang masalah yang belum dan tidaka ada ketetapan hukumnya, misalnya perundang-undangan yang belum diketahui, dan agar permasalahannya untuk sementara dibiarkan saja. Dan kemudian permasalahan itu dapat dipermasalahkan itu dapat dipecahkan melalui kaidah-kaidah umum, demi memberi kelonggaran kepada manusia .
Dari pernyataan tersebut, dapat dimunculkan sebuah cerita yang dialami pada masa sahabat dulu, yang mana para sahabat pada waktu dulu tidak suka bertanya mengenai hal-hal yang belum dan atau tidak terjadi. Dan kalau kita meneliti perintah-perintah dan larangan-larangan yang ada didalam al-Qur'an, maka terlihatlah bahwa perintah-perintah dan larangan-larangan agama islam itu bisa dilaksanakan tanpa banyak kesulitan, juga tidak banyak menyita tenaga dan waktu, baik dalam masalah ibadah maupun dalam masalah muamalah. Ibadah dalam islam dapat dilakukan dengan tanpa susah payah, sedangkan muamalahnya selain yang sudah jelas dilarang, diserahkan diserahkan sepenuhnya soal pengaturan dan pelaksanaannya kepada manusia, asalkan sudah dipenuhikesepakatan, persetujuan, dan kerelaan kedua belah pihak yang melakukan muamalah tersebut.
Orang yang menyibukan diri terhadap al-Qur'an untuk melihat perintah-perintah dan larangan-larangan yang ada didalamnya niscaya dapat menerima terhadap kebenaran pokok ini, karena dengan melihatnya sedikit memungkingkan untuk mengetahuinya dalam waktu sekilas dan mudah mengamalkannya, tidaklah benyak perincian-perincian terhadap orang-orang yang mau berpegang dengan kitab Allah yang kuat.
Walaupun Musyarri' dzat yang sempurna dalam membuat hukum syara', tetapi kesempurnaan itu bukan menurut ukuran kemampuan manusia. Bukan menurut kreteria Musyarri' sendiri. Indikasi asas ini adalah sebagai berikut:
a) Larangan bertanya tentang sesuatu yang bila diterangkan maka keterangan itu merupakan hukum baru yang dapat memberatkan manusia. Misalnya kisah penyembelihan sapi pada masa Nabi Musa, karena kaumnya banyak tanya sehingga sapi tersebut diberi Kreteria betina, tidak tua dan tidak muda tetapi pertengahan antara keduanya, berwarna kuning tua, bila dilihat menyenangkan hati, belum pernah dibuat untuk membajak, tidak tercatat dan berbelang, walaupun mereka menemukan tetapi hampir saja ia tidak mendapatkannya.





Surat Al-Maidah 101
               •           
Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan di waktu Al Quran itu diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu, Allah memaafkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun”. (Q.S. Al-Maidah 101)
b) Penyederhanaan kuantitas taklif bukan berarti mengurangi kwalitasnya. Misalnya beramal satu kebajikan, maka kebijakan itu digandakan samapai 700 pahala (Qs. 2:261), usia umat Muhammad tidak sepanjang usia umat Nabi-nabi lain tetapi kwalitas ibadanya tidak ada perbedaan karena memiliki " Lailatul Qodar" setahun sekali yang melipatkan pahala manusia sampai 1000 bulan (QS. 97:1-3). Dan konon Nabi Muhammad semula menerima perintah shalat 55 kali sehari semalam, karena kebijaksanaan Allah atas usulan Nabi-Nya maka shalat itu cukup 5 kali saja dalam sehari semalam tanpa mengurangi pahala shalat 55 kali tersebut.
c) Kewajiban mukallaf menerima taklif ada yang tidak sama ratakan, penerimaan itu dikaitkan dengan kemampuan, kondisi dan keadaan yang melatar belakangi. Misalnya taklif shalat merupakan kewajiban Mutlak yang tidak boleh ditinggalkan, tetapitekniknya dapat berubah sesuai dengan kemampuan manusia, boleh berdiri sendiri bagi yang kuasa, boleh duduk atau berbaring bagi yang sakit. Demikian juga ibadah zakat dan hajji hanya berlaku bagi yang mampu.

3. At-Tadrij fit Tasyri'
Yaitu berharap berangsur-angsur dalam penetapan hukum. Asas ini dapat dilihat dalam hal ditetapkannya hukum-hukum dalam ibadah. Misalanya kewajiban sholat semula hanya dua kali dalam sehari, yakni sholat pada pagi hari dua rakaat dan sholat pada waktu sore hariyang juag dua rakaat. Kemudian, setelah sholat itu memasyarakat, barulah perintah melakukan sholat lima kali dalam semalam. Selain contoh itu, kewajiban puasa semula hanya tiga hari dalam setiap bulan, baru kemudian setelah puasa itu sudah mulai memasyarakat maka perintah untuk melaksanakan puasa sebulan dalam bulan ramadhan yang sesuai dengan firman Allah:
Surat Al-Baqarah 185:
       ••                                        
Artinya: "(beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur."(Q.S.Al-Baqarah 185)
Demikian pula dengan ditetapkannya hukum-hukumdalam muamalah, juaga bertahap, terutama mengenai prilaku atau perbuatan manusia yang sudah membudidaya, seperti minum minuman keras dan berjudi. Minuman keras dilarang meleui tiga tahapan. Mula-mula minuman keras itu hanya dicela saja, bahwa dosa dn bahayanya lebih besar daripada manfaatnya, sesuai dengan firman Allah:
Surat Al-Baqarah 219
           ••                   
Artinya: "Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya". dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: " yang lebih dari keperluan." Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir”.(Q.S Al-Baqarah 219)
Ayat ini tidak secara gamblang menerangkan keharamannya khamar dan tidak pula mengharuskan uman manusia meninggalkannya, sekalipun secara tersembunyi mengandung pengertia tersebut, karena sesuatu mengakibatkan dosa dan bahaya itu seyogyanya ditinggalkan dan lagi halal dan haramnya sesuatu itu tergantung pada sedikit banyaknya maslahat dan mafsadahnya.
Dalam hal ini semua yang ada dimuka bumi ini tidak lantas selesai dalam satu waktu, Tuhanpun menciptakan alam beserta isinya bertahap atau berangsur-angsur, hal ini menandakan bahwa dalam kehidupan manusia perlu adanya sebuah proses yang man proses tersebut membutuhkan waktu yang relatif lama serta harus dilakukan secara berangsur-angsur. Oleh karena itu untuk merealisir asas At-Tadrij, Prof. Dr. Ahmad Syalabi dalam bukunya "Tarikh At-Tasyri' Al- Islam" Mengemukakan 3 pokok pentahapan, yaitu:
a) Berdiam diri, yakni jtidak memberi hukum kepada suatu kasus karena kasus tersebut untuk sementara waktu diperbolehkan, namun selanjutnya diharamkan. Misalnya warisan sistem bangsa Arab diperbolehkan tetapi selanjutnya dibatalkan.
b) Menerangkan sesuatu secara mujmal (global ) kemudian baru diberi tafshil (perincian), misalnya diperbolehkan jihad (perang) karena dianiayah (QS Al-Haaj, 39). Kemudian baru di beri keterangan tentang hukum/ perintah siap siaga (Qs Al-Anfal).
c) Mengharamkan sesuatu secara bertahap. Muhammad Khudhori baik dalam "Tarikh Tasyri" Islami" menerangkan hukum pentahapan. Misalnya hukum keharaman Khomer. Pertama, Khomer itu boleh digunakan walaupun bahaya nya lebih besar dari manfaatnya, tahapan ini berlaku untuk" Peringatan" (Qs. Al-Baqarah 219). Kedua, tahap pembatasan dengan mengurangi minum Khomer ketika akan shalat (Qs. An-Nisa, 43) ketiga, tahap penvonisan, bahwasannya minum khomer itu diharamkan secara Mutlak (Qs. Al-Maidah, 90) (Lihat, Khudlori bik, 1981:20). Selanjutnya Muhammad Ali Al-Shabani dalam "Tafsir Ayat Ahkam" menerangkan keharaman riba dengan 4 tahapan, yaitu: Pertama, allah menampakan kebencian terhadap riba walaupun belum diharamkan (Qs. Ar-Ruum 39). Kedua, allah mengharamkan Riba secara tersirat (Al-Talwih) belum secara terang-terangan (Qs. An-Nisa' 130). Ketiga, allah mengaharamkan riba secara tegas (al-Sharikh). Namun hanya sebagai model Riba yang diharamakan, secara juz'I bukan kulli(Qs. Ali Imran, 30)keempat, Riba diharamkan oleh Allah AWT secara mutlak, tanpa adanya pengecualiaan.
Lebuh lanjut Muhammad Khudhori memberikan alasan At-Tadrij sebagai asas filsafat hukum islam bahwasanya hukum ditetapkan melalui dua tahap. Tahap Makki yang hanya menyentuk aspek-aspek aqidah, dan belum menyangkut masalah hukum falsafih, karena itu ia bersifat revolusi. Tahap kedua berupa tahap madani yang banyak menerangkan hukum falsafi seperti tata cara ibadah, muamalah, munakahah, sehingga ciri khas hukum islam tahap ini berupa evolusi.(At-Tadrij).
Atas dasar berangsur-angsur dalam membina hukum maka didapati pokok lain yaitu global kemudian detail. Ini akan terlihat jelas mana kala membandingkan antara pembinan hukum menurut Makki Madani. Pembinaan hukum menurut Makki adalah global (garis besarnya) hanya sedikit saja al-Qur'an mengemukakan hukum-hukum secara detail atau terperinci. Adapun pembinaan hukum menurut Madani, maka al-Qur'an telah mengemukakan didalamnya banyak perincian-perincian hukum dibandingkan dengan Makki lebih-lebih yang berhubungan dengan kebendaan.
Oleh karena itu kita melihat bahwa sebagian besar ayat-ayat yang dari padanya diistimbatkan hukum-hukum adalah Madaniyah sedangkan ayat-ayat-Makkiyah hanya (menerangkan) hukum-hukum yang memelihara akidah seperti haramnya sembelihan-sembelihan yang tidak disebutkan nama Allah atasnya.



4. Muthobiqon Lil Masholihil A'mah
Yakni sejalan dengan kemaslahatan hukum. Pembentukan dan pembinaan hukum Islam itu sejalan dengan kemaslahatan umat manusia. Karena itu, sebagian hukum Islam ada yang dinasakh, sebagaimana tersebut dalamAl-Qur'an:
Surat S Al-Baqarah:106
              •      
Artinya: "Ayat mana saja yang kami nasakhkan, atau kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?"(Q.S Al-Baqarah:106)
Memperhatikan kebaikan-kebaikan untuk manusia dalam urusan ibadah dan muamalah adalah sesuatu yang mendasar dan harus mendapat prioritas pertama dalam syari'at Islam. Halini terbukti dengan adanya penjelasan syar'I tentang illat hukumnya (motif atau alasan yang melatarbelakangi ketetapan hukum), sekalipun tidak semua hukum syara' itu disertai dengan penjelasan illat hukumnya.
Karena memperhatikan kebaikan-kebaikan bagi manusia itu merupakan salah satu asas hukum islam, maka sudah tentu hukum Islam itu dapat dipengaryhi (berubah) oleh perubahan situasi dan kondisi serta perubahan zaman. Itulah sebabnya Imam Syafi'i mengubah sebagian fatwa hukumnya di Iraq, ketika beliau pindah ke Mesir, sehingga dalam mazhab Syafi'i terkenal dengan adanya istilah mazhab qadim (lama) di Iraq dan mazhab jadid di Mesir, hal itu disebabkan karena memang situasi dan kondisi antar Iraq dan Mesir memiliki perbedaan.
Mencermati segala problem fiqhiyah. Filsafat hukum islam harus diorientasikan atau diasumsikan dari ciri-ciri khas syari'ah sebagai titah samawi yang mempunyai dimensi keuniversalan, dan kemuthlakan sebab ia tercipta dari dzat maha muthlak, dimana syari'at islam harus bisa menjadi sebuah jembatan yang mengantarkan pada kemaslahatan umat manusia, dima manusia adalah penghuni alam semesta.
Oleh sebab itu, Izzuddin Ibnu Abdis Salam menyatakan bahwa seluruh masalah Fiqhiyah harus diorentasikan pada kaidah
"Menolak kerusakan dan menarik kemaslahatan." (Jalaluddin Abdurrahman Asy-Syuyuthi:,TT 66)
Adapun tersebut menunjukan bahwa inti dari tujuan diadakan syariat islam adalah untuk kemaslahatan manusia. Karena itu setiap syariat yang tidak relevan dengan tuntutan masyarakat maka syariah itu dinasakh dengan syariah yang lain. Misalnya Qiblat umat islam semual ke Baitul Maqdis, setelah enam belas bulan lamanya pindah Ke Baitullah Makkah (Al-Baqarah, 144). Lebih lanjut para ulama Fiqih merumuskan adagium" Al-Hukmu Yaduru ma'aillati Wujudan Wa'adaman."(Hukum Itu berkisar sekitar motifnya, baik adanya maupun tidak adanya). Sebagai upaya mewujudkan kemaslahatan uamat.
Ibnu Qoyyim menyatakan" Sesungguhnya syariah itu fondasi dan asasnya ialah Hikamh dan kemaslahatan hambah, baik dalam kehiduapan akhirat." Selanjutnya Asy-Syuyuthi dalam Al-Muwaqofoh berkata"dibuat hukum hanyalah untuk kemaslahatan umat didunia dam diakhirat. Golongan Mu'tazila sepakat bahwa hukum-hukum Allah Allah diilatkan dengan keharusan memelhara denagn kemaslahatan hamba dan itu menurut golongan yang terban7yak dari ahli hukum selanjutnya." Dus, ia menghendaki adanay Ash-Sholeh dan Al-Ashlah.


5. Tahqiqul 'Adalah
Yaitu mewujudkan keadilan merata. Dr. Wahbah Az-Zuhailli dalam bukunya" Nadhiriyatud Dloruriyah Asy-Syariyah" menyatakan bahwa islam dibangun atas asas menghilangkan kesukaran dan kesulitan, memelihara kemaslahatan manusia secara keseluruhan, dan yang terpenting adalah mewujudkan keadilan dan mencegah penganiayaan antar person. Operasionalitas keadilan harus diterapkan dalam semua aspek kehidupan tanpa menyampingkan tradisi yang berlaku bahwa syariah itu berupsa hukum Taklif yang diterapkan atas dasar keadilan (Al- Wasth, Al-I'dal).
  •     ••                                       ••   
Artinya: "Dan demikian (pula) kami Telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. dan kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang Telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia."
Muhammad Abu Zahrah dalam bukunya " Al- Mujtama' Al-Insany Fi Dlillil Islam" Menyebutkan 3 kreteria keadilan, yaitu:
a) Keadilan hukum, sistem hukum yang berlau harus uivikasi (seragam) untuk seluruh warga negara tanpa adanya dliskriminasi.
b) Keadilan sosial, memberi kesempatan yang sama untuk bekerja menurut kemampuan dan keahlian yang dimiliki. Jika ia masih lemah maka perlu di perbantu.
c) Keadilan pemerintahan, semua warga mempunyai kedudukan sama dalam pemerintahantanpa memperdulikansuku, bangsa, bahasa dan budaya.
d) Dalam leksiologi AL-qur'an term keadilan dapat diucpkan dengan "Al-Adalah danAl-Wasth. Term tersebut merupakan rangkaian makna bahwa untuk menciptakan" Al-Adalah harus ditopang oleh Al-Wasath yakni tengah-tengah atau perpaduan antara semua bentuk keadilan. Bagi plato keadilan berarti kebaikan yang tidak dapat dijelaskan dengan argumentasi rasional, dan menjaga diri dalam batas-batas yang ditentukan, sedangkan bagi Ariestoteles memandang keadilan dapat berarati distribusi yang mendudukan manusia pada tempatnya, dan berarti pula korektif yangdapat memberikan ganti rugi pada kesalahan atau kejahatan hukum, anatar keadilan distributif dan korektif menuntut adanya perlakuan yang sama dalam pengadilan.
e) Keadilan bagi plato menekankan aspek moralitas sedangkan bagi Aristoteles menekankan pada aspek kepentingan hukum. Namun keadilan bagi islam adalah keadilan yang Wasath yang mampu memadukan keadialn hukum dan keadialn moralitas. Jadi keadilanislam merupakan keadialn yang mutlak dan Universal karena ditopang oleh wahyu dan prinsip-prinsip hukum yang Fudamental.

C. Kesimpulan

Dalam kehidupan manusia tidak bisa terlepas dari tuntunan dan tuntutan hukum, karena setiap sistem hukum merupakan kebutuhan enterprise yang bertujuan bagi manusia. Menurut aliran teologis hukum merupakan hasil dari pemikiran manusia dan amat behubungan dengan konsep tujuan tertinggi, dan kebanyakan filusuf mengaggap keadilan sebagai keadilan tertinggi.
Setiap sistem hukum mempunyai asas dan prinsip yang menjadi dasar dan tumpun hukum itu. Dan dengan asas dan prinsip tersebut dapatlah dikaji tentang kuat dan lemahnya dasarnya, berat dan ringan pelaksanaannya, bisa dipertahankan atau tidaknya, dan tentang hukum itu sesuai atau tidak dengan kebutuhan dan keinginan masyarakan yang selaku menikmat hukum dalam islam, sehingga diterima atau ditolak oleh masyakat yang terkena pemberlakuan hukum tersebut.
Dari itu apa yang sudah dipaparkan diatas, maka sedikt sekali yang mungkin dapat disimpulkan, diantaranya adalah bahwa dari beberapa istilah dan pengertian diatas maka yang dimaksud dengan filsafat hukum islam adalah setiap kaidah asas, mabda' atau aturan-aturan yang digunakan untuk mengendalikan masyarakat islam yang diambil dari sumber hukum islam. Atau dapat dikatakan "pengetahuan tentang hakikat, rahasia atau tujuan hukum islam, baik yang menyangkut materinya maupun proses penetapannya.
Selanjutnya mengenai 'adamul haraj, secara garis besar dapat diambil kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan a'damul Haraj adalah membuang jauh-jauh hal-hal yang menyababkan kesulitan dalam kehidupan, karena ketika hal-hal yang dimaksud diatas tidak dihilangkan maka akan mendatangkan sesuatu yang mengundang permasalahan, khususnya dalam perbincangan islam. Adapun indikasi asas A'damul Haraj adalah sebagi berikut: Taklif tidak dibebankan kecuali sebagai sebatas kemampuan manusia dengan begitu memungkinkan semua taklif dapat melaksanakan, Taklif yang dibebankan sering dengan perwatakan manusia sehingga meringankan beban, Adanya beberapa alternatif dalam taklif, sehingga dalam kondisi tertentu seorang mukallaf dapat memilih alternatif yang diberikan, Memberiakn semacam motivasi dan pemberian penghargaan bagi pelaksana taklif, sehingga orang mukallaf merasa keberatan atau dipaksa dalam menjalankan taklif.
Kemudian terkait dengan pembahasan Taqlilut Takalif dapat dijelaskan bahwa yang dimaksud adalah meringankan atau menyedikitkan beban suatu hal agar kesulitan tidak lagi bertambah banyak, karena kalau dipaksakan untuk tetap melakukan hal itu maka kesulitan akan bertambah banyak dan tentunya akan malah menganggu kegiatan yang akan dilakasanakan.
Setelah itu penjelasan mengenai At-Tadrij fit Tasyri', dalam hal ini semua yang ada dimuka bumi ini tidak lantas selesai dalam satu waktu, Tuhanpun menciptakan alam beserta isinya bertahap atau berangsur-angsur, hal ini menandakan bahwa dalam kehidupan manusia perlu adanya sebuah proses yang man proses tersebut membutuhkan waktu yang relatif lama serta harus dilakukan secara berangsur-angsur.
Selanjutnya, Muthobiqon Lil Masholihil A'mah bahwa pengertiannya adalah hukum islam yang harus sejalan dengan kemaslahatan hukum. Mencermati segala problem fiqhiyah. Filsafat hukum islam harus diorientasikan atau diasumsikan dari ciri-ciri khas syari'ah sebagai titah samawi yang mempunyai dimensi keuniversalan, dan kemuthlakan sebab ia tercipta dari dzat maha muthlak, dimana syari'at islam harus bisa menjadi sebuah jembatan yang mengantarkan pada kemaslahatan umat manusia, dima manusia adalah penghuni alam semesta.

Daftar Pustaka

Al-Hikam, Al-Qur'an dan Terjemahnya, Diponegoro
Ahmad, Ali al-Jurjawi, Hikmatut Tasyri' Wa Falsafatuhu, Bairut: Darul Fikr.
As-Shiddiqi, Hashbi. 1976. Filsafat Hukum Islam. Jakarta: Bulan bintang.
Hanafi, Ahmad. 1982. Pengantar Filsafat Islam. Jakarta: Bulan Bintang
Hudhari, BIK. 1980. Tarjamah Tarikh al-Tasyri' al-Islam (Sejarah Pembinaan Hukum Islam). Semarang: Darul Ikhya Indonesia
Ismail, Mahmud Syah. 1992. Filsafat Hukum Islam. Jakarta: Bina Aksara
Muslehuddin, Muhammad. 1991. Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis. Jakarta: Tiara Wacana.
Rosyid, Lili. 1989. Filsafat Hukum Madzhab dan Refleksinya. Bandung: Remaja Karya.
Usman, Muchlis. 1993. Hikmatut Tasyri' (Sabuah Pengantar Dasar Filsafat Pembentukan Hukum Islam). Malang: LBB Yan's
Zuhdi, Masjfuk. 1926. Pengantar Hukum Syari'ah. Jakarta: CV Haji Masagung.
Zuhdi, Masjfuk. 1990. Pengantar Hukum Syari'ah. Jakarta: Haji Masagung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar