Senin, 06 Juni 2011

Metodologi Memahami Islam

BAB I
PENDAHULUAN
Sejak kedatangan Islam pada abad ke-13 M hingga saat ini fenomena pemahaman ke-Islaman umat Islam Indonesia masih ditandai oleh keadaan umat variatif, ada sejumlah orang yang pengetahuannya tentang keislaman cukup luas dan mendalam, namun tidak terkoordinasi dan tidak tersusun secara sistematik. Hal ini disebabkan karena orang tersebut ketika menerima ajaran Islam tidak sistematik dan tidak terorganisasikan secara baik. Selanjutnya kita melihat pula ada orang yang penguasaannya terhadap salah satu bidang keilmuan cukup mendalam, tetapi kurang memahami disiplin ilmu keislaman lainnya, hingga saat ini pemahaman Islam yang terjadi di masyarakat masih bercorak parsial belum utuh dan belum pula komprehensif.[1] Dan sekalipun kita menjumpai kita menjumpai adanya pemahaman Islam yang sudah utuh dan komprehensif,[2] Namun semuanya itu belum tersosialisasikan secara merata keseluruh masyarakat Islam.

Untuk kepentingan akademis dan untuk membuat islam lebih Responsif dan Fungsional dalam memandu perjalanan umat serta menjawab berbagai masalah yang dihadapi saat ini diperlukan metode yang dapat menghasilkan pemahaman Islam yang utuh dan komprehensif. Oleh karena itu metode memiliki peranan sangat penting dalam kemajuan dan kemunduran pemahaman Islam. Demikian pentingnya metodologi ini, Mukti Ali mengatakan bahwa yang menentukan dan membawa stagnasi dan masa kebodohan atau kemajuan bukanlah karena metode penelitian dan cara melihat sesuatu.[3] Penguasaan metode yang tepat dapat menyebabkan seseorang mengembangkan ilmu yang dimilikinya. Jika kita meninjau Islam dan satu pandangan saja, maka yang akan terlihat hanya satu dimensi saja dan gejalanya yang bersegi banyak.
Dan untuk memahami Islam secara garis besar ada 2 macam pertama Metode Komparasi, yaitu suatu cara memahami agama dengan membandingkan seluruh aspek yang ada dalam agama lainnya, dengan cara demikian akan dihasilkan pemahaman Islam yang obyektif dan utuh. Kedua Metode Sintesis, yaitu suatu cara memahami Islam yang memadukan antara Metode Ilmiah dengan segala cirinya yang rasional, obyektif, kritis, dan seterusnya dengan metode teologis Normatif. Metode Ilmiah digunakan untuk memahami Islam yang nampak dalam kenyataan historis, Empiris, dan Sosiologis, sedangkan metodologi teologis normatif digunakan untuk memahami Islam yang terkandung dalam kitab suci.
Metode-metode yang digunakan untuk memahami Islam itu suatu saat mungkin dipandang tidak cukup lagi, sehingga diperlukan pendekatan baru yang harus terus digali oleh para pembaharu. Diantara metodologi-metodologi hasil galian para pembaharu adalah metodologi Tafsir dan Studi Al-Qur’an, metodologi Ulumul Hadist, metodologi Filsafat dan Teologi (Kalam), metodologi Tasawuf dan Mistis Islam. Metodogi inilah yang akan diulas dan dikaji secara mendalam dalam makalah ini dengan tujuan lebih mengenal tentang Metodologi memahami Islam I.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Metode Ilmu Tafsir dan Studi Al-Qur’an
Dilihat dari segi usianya, penafsiran tentang ilmu tafsir termasuk yang paling tua dibandingkan dengan kegiatan ilmiah lainnya dalam Islam. Dengan demikian secara singkat dapat diambil suatu pengertian bahwa yang dimaksud dengan model penelitian tafsir adalah suatu contoh, ragam, acuan atau macam dari penyelidikan secara seksama terhadap penafsiran Al-Qur’an yang pernah dilakukan generasi terdahulu untuk diketahui secara pasti tentang berbagai hal yang terkecil dengannya.
Obyek pembahasan tafsir yaitu Al-Qur’an karena Al-Qur’an merupakan sumber ajaran Islam dan juga pemandu gerakan-gerakan umat Islam sepanjang lima belas abad sejarah pergerakan umat ini, sekaligus penafsiran-penafsiran itu dapat mencerminkan perkembangan serta corak pemikiran mereka.
  1. Macam-macam metode penafsiran Al-Qur’an
Menurut hasil penelitian Quraish Sihab, bermacam-macam metodologi dan coraknya telah diperkenankan dan diterapkan oleh pakar-pakar Al-Qur’an metode penafsiran Al-Qur’an secara garis besar dapat dibagi dua bagian yaitu corak Ma’tasur (riwayat) dan corak penalaran. Kedua metode ini dapat dikemukakan sebagai berikut:
a. Corak ma’tsur (riwayat)
Metode ma’tsur (riwayat) tersebut memiliki keistimewaan antar lain:
1) Menekankan pentingnya bahasa dalam memahami Al-Qur’an
2) Memaparkan ketelitian redaksi ayat ketika menyampaikan pesan pesannya.
3) Mengikat musafir dalam bingkai teks ayat-ayat sehingga membatasinya terjerumus dalam subyektifitas berlebihan.
Metode Ma’tsur (riwayat) juga memiliki kelemahan, antar lain:
1) Terjerumusnya sang musafir ke dalam uraian kebahasaan dan kesustraaan yang bertele-tele sehingga pesan pokok Al-Qur’an kabur dialah uraian tersebut.
2) Seringkali konteks turunnya ayat atau sisi kronologis turunnya ayat-ayat hukum yang dipahami.
b. Corak Penalaran
Banyak cara, pendekatan dan corak tafsir yang mengandalkan nalar, sehingga akan sangat luas pembahasannya apabila kita bermaksud menelusurinya. Untuk itu, menurut Al-Farmawi membagi metode tafsir yang bercorak penalaran ini kepada empat macam metode:
1) Metode Tahlily
Metode Tahlily atau yang dinamai oleh Baqir Al-Shadr sebagai metode Tajzi’iya adalah satu metode tafsir yang menjelaskan kandungan ayat-ayat Al-Qur’an dari berbagai seginya dengan memperhatikan runtutan ayat-ayat Al-Qur’an sebagaimana tercantum di dalam Washuf. Kelebihan metode ini antar lain adanya potensi untuk memperkaya arti kata-kata melalui usaha penafsiran terhadap kosa kata ayat, dan kaidah-kaidah ilmu Nahwu, metode ini, walaupun dinilai luas, namun tidak menjelaskan pokok bahasan, karena seringkali satu pokok bahasan diuraikan sisinya atau kelanjutannya.
2) Metode ijmali
Metode ini disebut juga metode global adalah cara menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan menunjukkan kandungan makna yang terdapat pada suatu ayat secara global. Metode ini sering terintegrasi dengan metode Tahlily karena itu sering kali metode ini tidak dibahas secara tersendiri. Dengan metode ini seorang mufasir cukup dengan menjelaskan kandungan yang terkandung dalam ayat tersebut secara garis besar saja.


3) Metode Muqarin
Metode muqarin adalah metode tafsir Al-Qur’an yang dilakukan dengan cara membandingkan ayat Al-Qur’an yang satu dengan yang lain, atau membandingkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan hadist nabi Muhammad, SAW, serta membandingkan pendapat ulama’ tafsir menyangkut penafsiran Al-Qur’an.
4) Metode maudlu’iy
Metode ini mufasirnya berupaya menghimpun ayat-ayat Al-Qur’an dari berbagai surat yang berkaitan dengan persoalan atau topik yang diterapkan sebelumnya menurut Quraish Shihab bahwa metode Maudlu’iy mempunyai dua pengertian, pertama, penafsiran menyangkut satu surat dalam Al-Qur’an dengan menjelaskan tujuan-tujuannya secara umum, sehingga satu surat tersebut dengan berbagai masalahnya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan kedua, penafsiran yang bermula dari menghimpun ayat-ayat Al-Qur’an yang membahas satu masalah tertentu dari berbagai ayat atau surat Al-Qur’an belikan petunjuk Al-Qur’an secara utuh tentang masalah yang dibahas itu.
  1. Model-model penelitian tafsir
Dalam kajian kepustakaan dapat dijumpai berbagai hasil-hasil penelitian para pakar Al-Qur’an terhadap penafsiran yang dilakukan generasi terdahulu berikut ini akan ada model penafsiran Al-Qur’an yang dilakukan para ulama’ tafsir sebagai berikut:
a. Model Quraish Shihab
Model penelitian tafsir yang dikembangkan oleh H.M. Quraish Shihab lebih banyak bersifat eksploratif, deskriptif, analitis dan perbandingan, yaitu model penelitian yang berupaya menggali sejauh mungkin produk tafsir yang dilakukan ulama-ulama tafsir terdahulu berdasarkan berbagai literatur tafsir baik yang primer, yakni yang ditulis oleh ulama tafsir yang bersangkutan maupun ulama lainnya, data-data yang dihasilkan dari berbagai literatur tersebut kemudian dideskripsikan secara lengkap serta dianalisis dengan menggunakan pendekatan kategorisasi dan perbandingan. Sehingga, Qurasih Shihab telah meneliti hampir seluruh karya tafsir yang dilakukan para ulama terdahulu. Dari penelitian tersebut telah dihasilkan beberapa kesimpulan yang berkenaan dengan tafsir antara lain tentang:
1) Periodesasi pertumbuhan dan perkembangan tafsir
Corak-corak penafsiran
a) Macam-macam metode penafsiran Al-Qur’an
b) Syarat-syarat dalam penafsiran Al-Qur’an
c) Hubungan tafsir modernisasi
b. Model Ahmad Al-Syarbashi
Ahmad Al-Syarbashi melakukan penelitian tentang tafsir dengan menggunakan metode deskriptif, eksploratif dan analisis sebagaimana halnya yang dilakukan Quraish Shihab. Sedangkan sumber yang digunakan adalah bahan-bahan bacaan atau kepustakaan yang ditulis para ulama tafsir seperti Jarir al-Thabari, al-Zamakhsyri, Jalaluddin Al-Suyuthi, dll. Hasil penelitiannya itu mencakup tiga bidang:
1) Mengenali sejarah penafsiran Al-Qur’an yang dibagi kedalam tafsir pada masa sahabat nabi
2) Mengenai corak tafsir
3) Mengenai pergerakan pembaharuan di bidang tafsir
Selanjutnya mengenai gerakan pembaharuan di bidang tafsir, Ahmad Al-Syarbashi mendasarkan pada beberapa karya lama yang muncul awal Ahad ke-20. langkah selanjutnya ia menghimpun dan menambah penjelasan seperlunya dalam sebuah kita tafsir yang diberi nama tafsir Al-Manar yaitu kita tafsir yang mengandung pembaharuan dan sesuai dengan perkembangan zaman.
c. Model Syaikh Muhammad Al-Ghazali
Banyak hasil penelitian yang ia lakukan, termasuk dalam bidang tafsir Al-Qur’an, sebagaimana para peneliti tafsir lainnya, Muhammad Al-Ghozali menempuh cara penelitian tafsir yang bercorak eksploratif deskriptif dan analisis dengan berdasar pada rujukan kita-kitab tafsir yang ditulis ulama terdahulu.
Tentang macam-macam metode memahami Al-Qur’an, Al-Ghozali membaginya kedalam metode klasik dan metode modern dalam memahami Al-Qur’an berbagai macam metode atau kajian yang dikemukakan Muhammad dan Al-Ghozali tersebut oleh ulama lainnya disebut sebagai pendekatan, dan bukan metode, karena sebagai sebuah disiplin ilmu biasanya memiliki metode. Dalam hubungan ini Muhammad Al-Ghozali kelihatannya ingin mengatakan bahwa metode yang terdapat dalam berbagai disiplin ilmu tersebut ingin digunakan dalam memahami Al-Qur’an.
Selanjutnya Muhammad Al-Ghozali mengemukakan adanya metode modern dalam memahami Al-Qur’an metode modern ini timbul sebagai akibat dari adanya kelemahan pada berbagai metode yang telah disebutkan dan digunakan. Muhammad Al-Ghozali mengemukakan ada juga tafsir yang bercorak dialogis, seperti yang pernah dilakukan oleh Al-Razi dalam tafsirnya Al-Tafsir Al-Kabir. Tafsir ini banyak menyajikan tema-tema menarik, namun sebagian dari tema tafsir terebut sudah keluar dari batasan tafsir itu sendiri.
  1. Model penelitian tafsir dan studi Al-Qur’an lainnya.
Banyak penelitiannya dilakukan para ulama terhadap aspek tertentu dari Al-Qur’an diantaranya ada yang menfokuskan penelitiannya terhadap kemu’jizatan Al-Qur’an, metode-metode, kaidah-kaidah dalam menafsirkan Al-Qur’an, kunci-kunci untuk memahami Al-Qur’an, serta ada pula yang khusus meneliti mengenai corak dan arah penafsiran Al-Qur’an. Pada mulanya usaha penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an berdasarkan Ijtihad masih sangat terbatas dan terikat dengan kaidah-kaidah bahasa serta arti-arti yang terkandung oleh satu kosakata namun sejalan dengan lajunya perkembangan masyarakat, berkembang dan tertambah besar pula peranan akal atau ijtihad dalam penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an, sehingga bermunculan berbagai kitab atau penafsiran yang beraneka ragam. sehingga adanya supaya penafsiran Al-Qur’an sejak zaman Rasulullah SAW, hingga dewasa ini, serta adanya sifat dari kandungan Al-Qur’an yang tersusun menurut memancarkan cahaya kebenaran itulah yang mendorong timbulnya dua kegiatan, yaitu kegiatan-kegiatan penelitian tentang penafsiran yang dilakukan generasi terdahulu dan kegiatan penafsiran Al-Qur’an itu sendiri.
B. Metodologi Ulumul Hadis
Secara bahasa, Hadis berarti khabar yaitu sesuatu yang diperbincangkan, dibicarakan, atau dialihkan dari seseorang kepada orang lain. Secara istilah, Jumhur Ulama’ umumnya berpendapat bahwa Hadis, khabar, dan atsar mempunyai pengertian yang sama, yaitu segala sesuatu yang dinukilkan dari Rasulullah saw., sahabat atau tabi’in baik dalam bentuk ucapan, perbuatan maupun ketetapan, baik semuanya itu dilakukan sewaktu-waktu saja maupun lebih sering dan banyak diikuti oleh para sahabat.[4] Peneliti-peneliti awal di bidang Hadis diantaranya adalah Imam Bukhori dan Muslim.
1. Beberapa model penelitian Ilmu Hadis
a. Model H. M. Quraish Shihab
Meneliti dua sisi dai keberadaan Hadis, yaitu mengenai hubungan Hadis dan Al Qur’an serta fungsi dan posisi Sunnah dalam tafsir. Bahan-bahan penelitian yang digunakan adalah bahan kepustakaan atau bahan bacaan. Sedangkan sifat penelitiannya adalah deskriptif analitis, dan bukan uji hipotesis.[5]
b. Model Musthafa Al Siba’iy
Penelitiannya bercorak eksploratif dengan menggunakan pendekatan historis dan disajikan secara deskriptif analitis. Yakni dalam sistem penyajiannya menggunakan pendekatan kronologi urutan waktu dalam sejarah.[6]
c. Model Muhammad al Ghazali
Penelitiannya termasuk penelitian eksploratif. Corak penelitiannya bersifat deskriptif analitis.[7]
d. Model Zain Al Din ‘Abd Al Rahim bin Al Husain Al Iraqiy
Penelitiannya bersifat penelitian awal, yaitu penelitian yang ditujukan untuk menemukan bahan-bahan untuk digunakan membangun suatu ilmu.[8]
2. Pembagian ilmu Hadis
a. Ilmu Hadis Riwayah
Ilmu Hadis Riwayah adalah suatu ilmu pengetahuan untuk mengetahui cara-cara penukilan, pemeliharaan, dan pendewanan apa-apa yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw. Baik berupa oerkataan, perbuatan, ikrar, maupun lain sebagainya. Obyek ilmu Hadis Riwayah, ialah bagaimana cara menerima, menyampaikan kepada orang lain, dan memindahkan atau mendewankan dalam suatu Dewan Hadis.
b. Ilmu Hadis Dirayah (Ilmu Mushthalahul Hadis)
Ilmu Hadis Dirayah adalah Undang-Undang (kaidah-kaidah) untuk mengetahui hal ihwal sanad, matan, cara-cara menerima dan menyampaikan Al Hadis, sifat-sifat Rawi, dan lain sebagainya. Obyek ilmu Hadis Dirayah, ialah meneliti kelakuan para Rawi dan keadaan Marwinya (sanad dan matannya).[9]
Cabang-cabang Ilmu Mushthalahul Hadis adalah sebagai berikut:[10]
- cabang-cabang yang berpangkal pada sanad, antara lain:
1) Ilmu Rijali’l Hadis
2) Ilmu Thabaqati’r Ruwah
3) Ilmu Tarikh Rijali’l Hadis
4) Ilmu Jarh wa Ta’dil
- cabang-cabang yang berpangkal pada matan adalah sebagai berikut;
1) Ilmu Gharibi’l Hadis
2) Ilmu Asbabi Wurudi’l Hadis
3) Ilmu Tawarikhi’l Mutun
4) Ilmu Nasikh wa Mansukh
5) Ilmu Talfiqi’l Hadis
- cabang-cabang yang berdasarkan pada sanad dan matan, ialah:
1) Ilmu ‘Ilali’l Hadis
3. Penelitian Sanad dan Matan Hadis
Faktor yang paling utama perlunya dilakukan penelitian terhadap sanad dan matan Hadis, ada dua hal. Pertama, karena beredarnya Hadis palsu (Hadis Maudhu’) pada kalangan masyarakat. Kedua, hadis-hadis tidak ditulis secara resmi pada masa Rasul saw. (berbeda dengan Al Qur’an), sehingga penulisan dilakukan hanya bersifat individual (tersebar di tangan pribadi para sahabat) dan tidak menyeluruh.[11]
Takhrij Al Hadis, merupakan solusi yang perlu terus dikembangkan mengingat dewasa ini banyak bermunculan buku-buku atau kitab-kitab dalam masalah ibadah, akidah, dan akhlak yang menggunakan dalil-dalil Hadis, dengan tidak menyertakan sumber rujukan dan keterangan tentang kualitas hadis-hadis tersebut.[12]
4. Pembagian Hadis secara umum
a. Dari segi jumlah perawinya.
1) Hadis Mutawattir
2) Hadis Ahad
b. Dari segi kualitas sanad dan matan Hadis
1) Hadis Shahih
2) Hadis Hasan
3) Hadis Dhaif
c. Dari segi kedudukan dalam hujjah
1) Hadis Maqbul
2) Hadis Mardud
d. Dari segi perkembangan sanadnya
1) Hadis Muttashil
2) Hadis Munqathi’
C. Metode Filsafat dan Ilmu Kalam (teologi)
Filsafat Islam merupakan salah satu bidang studi Islam yang keberadaannya telah menimbulkan pro dan kotra, sebagai mereka yang berpikiran maju dan bersifat liberal cenderung mau menerima pemikiran filsafat Islam dewasa ini kajian dan penelitian filsafat yang dilakukan para ahli, kiranya dapat diraih kembali kejayaan Islam di bidang ilmu pengetahuan.
Filsafat Islam berdasar pada ajaran Islam yang bersumberkan Al-Qur’an dan hadist, pembahasannya mencakup bidang kosmalogi, bidang metafisika, masalah kehidupan di dunia, kehidupan di akhirat, ilmu pengetahuan, dan lain sebagainya, kecuali masalah zat Tuhan. Filsafat Islam hadir sejalan dengan perkembangan ajaran Islam itu sendiri, pemikiran filsafat Islam dikembangkan oleh orang-orang Islam. Kedudukan filsafat Islam sejajar dengan bidang studi keislaman lainnya. Untuk dapat mengembangkan pemikiran filsafat Islam diperlukan metode dan pendekatan secara seksama.
Berbagai metode penelitian filsafat Islam dilakukan oleh para ahli dengan tujuan untuk dijadikan bahan perbandingan bagi pengembangan filsafat Islam selanjutnya. Diantara adalah sebagai berikut:
2. H. Amin Abdullah: metode deskriptif, pendekatan studi tokoh dengan cara melakukan studi komparatif.
3. Sheila Mc Donough: penelitian kategori kualitatif, corak penelitian deskriptif analitis, pendekatan tokoh dan komparatif studi.
4. Otto Horrossowitz: penelitian kategori kualitatif, metode deskriptif analitis, pendekatan historis dan tokoh.
5. Masjid Fakhry: pendekatan campuran yakni pendekatan historis, kawasan, dan substansi
6. Harusn Nasution: pendekatan tokoh dan pendekatan historis, penelitian deskriptif, penelitian kategori kualitatif
7. Ahmad Fuad Al-Ahwani: metode kepustakaan, corak penelitian deskriptif kualitatif, pendekatan campuran yakni pendekatan historis, kawasan, dan tokoh
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa pada umumnya penelitian yang dilakukan para ahli bersifat penelitian kepustakaan, yakni penelitian yang menggunakan bahan-bahan gerakan sebagai sumber rujukannya. Metode yang digunakan umumnya bersifat deskriptif analitis. Sedangkan pendekatan yang digunakan umumnya pendekatan historis, kawasan, substansial.[13]
Berbagai kajian di bidang keagamaan yang dilihat dari segi demikian filosofis nya, maka akan dapat ditangkap dan dihayati makan substansial, hakikat, ini, dan pesan spiritual dari setiap ajaran keagamaan tersebut.
Teologi adalah ilmu yang pada intinya berhubungan dengan masalah ketuhanan. Dengan ilmu ini diharapkan seseorang menjadi yakin dalam hatinya secara mendalam dan mengikatkan dirinya hanya pada alam sebagai Tuhan. Pemikiran teologis memiliki loyalitas terhadap kelompok sendiri, komitmen dan dedikasi yang tinggi serta menggunakan bahasa yang bersifat subyektif, yakni bahasa sebagai pelaku, bukan sebagai pengamat.[14]
Secara umum penelitian ilmu kalam ada dua bagian yakni penelitian yang bersifat dasar (penelitian pemula) dan penelitian yang bersifat lanjutan atau pengembangan dari penelitian.
6) Penelitian pemula
a. Abu Mansur Muhammad: mengemukakan riwayat hidup secara singkat dari Al-Maturidy, juga berbagai masalah yang detail dan rumit di bidang ilmu kalam.
b. Al-Imam Abi Al-Hasan: membahas masalah-masalah yang rumit dan mendetail tentang teologi
c. Abd Al-Jabbar Bin Ahmad: membahas secara detail lima ajaran pokok Mu’tazilah dan juga berbagai masalah teologi.
d. Thahawiyah: membahas teologi di kalangan ulama salaf, yaitu ulama yang belum dipengaruhi pemikiran Yunani dan pemikiran lainnya yang berasal dari luar Islam, atau bukan dari Al-Qur’an dan Al-Sunnah.
e. Al-Imam Al-Haramain Al-Juwainy: membahas tentang penciptaan alam, kitab Tahid, Akidah, kesucian Allah SWT, Ta’wil, sifat-sifat bagi Allah, Illat atau sebab
f. Al-Ghozali: membahas tentang ilmu zat Allah dan kenabian Muhammad SAW.
g. Al-Amidy: membahas sifat-sifat bagi allah, tentang barunya lam, tidak adanya sifat tasalsul dan tentang Imamah.
h. Al-Syahrastani: berbicara tentang Islam, Iman, dan Ihsan, juga berbagai alasan dalam teologi Islam lengkap dengan tokoh-tokohnya
i. Al-Bazdani: mengemukakan tentang perbedaan pendapat para ulama’ mengenai ilmu Kalam.
Dapat disimpulkan bahwa penelitian pemula bersifat eksploratif yakni menggali sejauh mungkin ajaran teologi Islam yang diambil dari Al-Qur’an dan hadsit serta berbagai pendapat yang dijumpai dari para pemikir di bidang teologi Islam. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan doktriner atau substansi ajaran, karena yang dicari adalah rumusan ajaran dari berbagai golongan atau aliran yang ada dalam ilmu kalam.
7) Penelitian lanjutan
a) Abu Zahrah: mengangkat masalah obyek-obyek yang dijadikan pangkal pertentangan oleh berbagai aliran dalam bidang politik yang berdampak pada masalah teologi.
b) Ali Mushthofa Al-Ghurabi: memusatkan penelitiannya pada masalah berbagai aliran yang tedapat dalam Islam serta pertumbuhan ilmu kalam di kalangan masyarakat Islam.
c) Abd Al-Lathif Muhammad Al-‘Asyr: membahas tentang pokok-pokok yang menyebabkan timbulnya perbedaan pendapat di kalangan umat Islam.
d) Ahamd Mahmud Shubdi: berbicara mengenai aliran Mu’tazilah dan aliran Asy’ariyah
e) Ali Sami Al-Nasyr dan Ammar Jam’iy Al-Thaliby: mengungkap tentang pemikiran kau Salaf yang berasal dari tokoh-tokohnya yang menonjol.
f) Harun Nasution: mengemukakan tentang sejarah timbulnya persoalan-persoalan teologi dalam Islam, berbagai aliran teologi Islam lengkap dengan tokoh-tokoh dan pemikirannya.
Dari berbagai penelitian lanjutan tersebut dapat diketahui bahwa penelitiannya termasuk penelitian kepustakaan, yaitu penelitian yang mendasarkan pada data yang terdapat dalam berbagai sumber rujukan di bidang teologi Islam. Corak penelitiannya yaitu deskriptif, yaitu penelitian yang tekannya pada kesungguhan dalam mendeskripsikan data selengkap mungkin. Pendapatan yang digunakan adalah pendekatan historis, yaitu mengkaji masalah teologi berdasarkan data sejarah yang ada dan juga melihatnya sesuai dengan konteks waktu yang bersangkutan. Dalam analisisnya, menggunakan analisis doktrin dan juga analisis perbandingan, yaitu dengan mengemukakan isi doktrin ajaran dari masing-masing aliran sedemikian rupa, kemudian baru dilakukan perbandingan
D. Metode Tasawuf dan Mistis Islam
Mistisme adalah Islam diberi nama Tasawuf dan oleh kaum orientalis barat disebut sufisme. Kata sufisme dalam istilah orientalis barat khusus dipakai untuk mistisme Islam tasawwuf atau sufisme mempunyai tujuan memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan, sehingga disadari benar bahwa seseorang berada di hadirat Tuhan.[15]
Islam sebagai agama yang bersifat universal, menghendaki kebersihan lahirian (dimensi eksoterik), dan keberhasilan batiniah (dimensi esoteric). Tasawuf merupakan salah satu bidang studi Islam yang memusatkan perhatian pada memberikan aspek rohani manusia yang selanjutnya dapat menimbulkan akhlak mulia, di dalam tasawuf, seseorang dibina secara intensif tentang cara-cara agar seseorang selalu merasakan kehadiran Tuhan dalam dirinya. Terdapat hubungan yang erat antar akidah, Syari’ah dan akhlak. Berkenaan dengan ini telah bermunculan para peneliti yang mengkonsentrasikan kajiannya pada masalah tasawuf. Keadaan ini selanjutnya mendorong timbulnya kajian dan penelitian di bidang tasawuf.
Berbagai bentuk dan modal penelitian tasawuf adalah sebagai berikut:
1) Sayyed Husein Nasr: modal penelitiannya kualitatif, pendekatan tematik yang berdasarkan pada studi kritis terhadap ajaran tasawuf yang pernah berkembang dalam sejarah.
2) Mustafa Zahri: penelitiannya bersifat eksploratif, menekankan pada ajaran yang terdapat dalam tasawuf berdasarkan literatur yang ditulis oleh para ulama terdahulu serta dengan mencari sandaran ada Al-Qur’an dan Al-Hadist.
3) Kautsar Azharri Noor: penelitian yang ditempuh adalah studi tentang tokoh dengan pahamnya yang khas.
4) Harun Nasution: pendekatan tematik, bersifat deskriptif eksploratif.
5) A. J. Arberry: penelitian bersifat deskriptif, pendekatan kombinasi yakni kombinasi antar pendekatan tematik dengan pendekatan tokoh, menggunakan analisa kesejahteraan.
6) Imam Al-Ghozali: penelitian bersifat deskriptif
Berangkat dari uraian tersebut diatas maka tampaknya terdapat tiga modal pendekatan pemikiran tasawuf, yakni pendekatan tematik, pendekatan tokoh, dan pendekatan kombinasi, antar keduanya.[16] Pendekatan tematik adalah penelusuran tema-tema tertentu sebagai jalan untuk dekat pada Allah. Sedangkan pendekatan tokoh adalah mengenai tokoh-tokoh tasawuf tertentu berikut ajaran-ajarannya. Selanjutnya pendekatan kombinasi ialah menggunakan Al-Qur’an dan Al-Hadist sebagai standar dalam memahami tema-tema dari ajaran tasawuf berikut mengenal tokohnya. Analisanya adalah analisa kesejahteraan yakni memahami berbagai tema berdasarkan konteks sejarahnya.


BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Sejak kedatangan Islam pada abad ke-13 M hingga saat ini fenomena pemahaman ke-Islaman umat Islam Indonesia masih ditandai oleh keadaan umat variatif. Hingga saat ini pemahaman Islam yang terjadi di masyarakat masih bercorak parsial belum utuh dan belum pula komprehensif. Oleh karena itu metode memiliki peranan sangat penting dalam kemajuan dan kemunduran pemahaman Islam. Metode-metode yang digunakan untuk memahami Islam itu suatu saat mungkin dipandang tidak cukup lagi, sehingga diperlukan pendekatan baru yang harus terus digali oleh para pembaharu. Diantara metodologi-metodologi hasil galian para pembaharu adalah metodologi Tafsir dan Studi Al-Qur’an, metodologi Ulumul Hadist, metodologi Filsafat dan Teologi (Kalam), metodologi Tasawuf dan Mistis Islam. Model penelitian tafsir adalah suatu contoh, ragam, acuan atau macam dari penyelidikan secara seksama terhadap penafsiran Al-Qur’an. Penelitian terhadap Hadist dikaji dari segi keautentikannya, kandungan makna dan ajaran yang terdapat didalamnya, macam-macam tingkatannya, maupun fungsinya dalam menjelaskan kandungan Al-Qur’an.. Penelitian yang dilakukan para ahli filsafat bersifat penelitian kepustakaan, yakni penelitian yang menggunakan bahan-bahan gerakan sebagai sumber rujukannya. Metode yang digunakan umumnya bersifat deskriptif analitis. Sedangkan pendekatan yang digunakan umumnya pendekatan historis, kawasan, substansial. Secara umum penelitian ilmu kalam ada dua bagian yakni penelitian yang bersifat dasar (penelitian pemula) dan penelitian yang bersifat lanjutan atau pengembangan dari penelitian. Dalam metode tasawuf, terdapat tiga modal pendekatan pemikiran, yakni pendekatan tematik, pendekatan tokoh, dan pendekatan kombinasi antar keduanya.


DAFTAR PUSTAKA
Raza,, Nasrudin, Dienul (Bandung : Al-Ma’arif, 1977)
Nasution, Harun, Falsafat dan Mistisme Dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973)
Nata, Abuddin, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 1998)
Studi Islam IAIN Sunan Ampel Surabaya, Pengantar Studi Islam, (Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press, 2004)



[1] Lihat Nasrudin Raza, Dienul (Bandung : Al-Ma’arif, 1977), hal. 49-50
[2] Lihat pemahaman Islam yang dikemukakan reformer seperti Muhammad Abdul (pembaharuan dari Mesir) Muhammad Iqbal dan Fazlur Rahman (keduanya pembaharu dari Pakistan), Harun Nasution dan Nurcholis Majid )dari Indonesia)
[3] A. Mukti Ali, op.cit, hal. 44
[4] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), hal.237
[5] Ibid, hal.241
[6] Ibid, hal.244
[7] Ibid, hal.246
[8] Ibid, hal.247
[9] Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahu’l Hadis, (Bandung: PT. Al Ma’arif), hal.73
[10] Ibid, hal.77
[11] Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), hal.100
[12] Ibid, hal.104
[13] Ibid, Metodologi Studi Islam, hal.215
[14] Ibid, hal.221
[15] Harun Nasution, Falsafat dan Mistisme Dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), hlm. 56
[16] Studi Islam IAIN Sunan Ampel Surabaya, Pengantar Studi Islam, (Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press, 2004)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar