Selasa, 07 Juni 2011

PEMIKIRAN AL GHOZALI TERKAIT PENDIDIKAN

A. Sekilas Tentang Al-Ghazali
Banyak dari kita mengenal al-Ghazali hanya sebagai seorang teolog, Faqih dan sufi, padahal ada sisi lain dari al-Ghazali yang kurang ter-cover dalam perhatian para sarjana belakangan yaitu pemikirannya tentang pendidikan. Padahal pemikirannya tentang hal tersebut banyak berpengaruh terhadap para ulama’ sunni sesudahnya. Lalu apa saja pemikiran al-Ghazali dimaksud. Untuk menjawab hal ini ada beberapa hal yang penulis rujuk, rujukan utama dan pertama adalah karya besarnya Ihya’ Ulumiddin juz I, kedua, terjemahan karyanya yang berjudul Ayyuha Al-Walad, yang ketiga adalah pendapat-pendapat para cendekiawan yang juga penulis jadikan sebagai bahan pertimbangan.
Berikut adalam item ‘b’ dalah ringkasan isi dari Ihya’ Ulumiddin Bab I yang dianggap mewakili bab yang berisi wacana pendidikan dalam kitab Ihya’. Akan tetapi yang perlu disadari oleh pembaca bukan berarti selain di bab I Ihya’, dalam bab-bab lain al- ghazali tidak menyinggung tentang pendidikan. Jadi sebenarnya lebih pada pilihan penulis karena keterbatasan waktu dan kemampuan yang ada.

B. KONSEP BELAJAR MENURUT AL-GHOZALI

Konsep belajar al-Ghozali merupakan hasil dari aplikasi dan responsi jawabannya terhadap permasalahan sosial kemasyarakatan yang dihadapinya pada saat itu. Konsep tersebut jika diaplikasikan di masa sekarang nampak bahwa sebagianya masih ada yang sesuai dan sebagian lainnya ada yang perlu disempurnakan. Perkembangan intelektualitas al-Ghozali sebenarnya telah mulai kelihatan sejak ia sebagai seorang pelajar. Pada waktu itu, ia selalu menunjukkan sikap keraguan terhadap apa-apa yang dipelajarinya. Hal tersebut terus berlanjut hingga ia belajar di Bagdad. Pertanyaan yang selalu muncul dipikirannya adalah “apakah yang dimaksud dengan pengetahuan?.
Rangkaian pertanyaan dan keraguan tersebut membuatnya terus berfikir dan mencari guru yang dapat menjawab berbagai pertanyaan yang ada dalam pikirannya. Melalui perjalanan panjang dalam mencari jawaban tersebut akhirnya telah membentuk dan memperkaya khazanah intelektualitasnya. Setelah mengajar diberbagai tempat seperti Bagdad, Syam, dan Naisaburi, akhirnya ia kembali ke kota kelahirannya, Thus pada tahun 1105 M. Disini kemudian ia mendirikan sebuah madrasah dan mengabdikan dirinya sebagai pendidik pada tahun 1111 M.
Diantara pemikirannya tentang pendidikan Islam dapat dilihat dari tiga buku karangannya, yaitu Fatihat al-Kitab, Ayyuha al-Walad, dan Ihya’ Ulum al-Din. Dari karangan-karangannya ini terlihat jelas bahwa al-Ghazali merupakan sosok ulama’ yang menaruh perhatian terhadap proses transisi sebuah ilmu dan pelaksana pendidikan.
Menurutnya hal tersebut merupakan sarana utama untuk menyiarkan agama Islam, memelihara jiwa, dan Taqarrub ila Allah. Oleh karena itu, pendidikan merupakan suatu ibadah dan upaya peningkatan kualitas diri. Pendidikan yang baik merupakan jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah dan mendapatkan kebahagiaan dunia akherat. Secara sistematis pemikirannya memiliki corak tersendiri. Ia secara jelas dan tuntas mengungkapkan pendidikan sebagai suatu sistem yang terdiri dari beberapa komponen. Totalitas pandangannya meliputi hakekat tujuan pendidikan, pendidik, peserta didik, materi, dan metode.
Menurut al-Ghozali jalan yang harus ditempuh oleh peserta didik dalam proses belajar tidak bisa seperti halnya yang dilakukan oleh para Nabi dan Rasul, karena mereka menjadi ahli ilmu tanpa belajar dan didik dalam bangku pendidikan. Bagi manusia biasa untuk mencapai arah tersebut harus dilalui dengan jalan usaha dan belajar. Hal ini sangat mungkin karena manusia mempunyai fitrah yang harus dikembangkan. Menurut al-Ghozali apabila seorang hendak belajar maka mereka harus membersihka jiwa mereka dengan perbuatan baik. Sedangkan pendidik harus menjadi uswatun hasanah. Dengan kebersihan dan kesucian jiwa mereka akan mudah dalam belajar.



C. HAL-HAL YANG HARUS DIPERHATIKAN PESERTA DIDIK DALAM BELAJAR

Dalam kaitannya dengan peserta didik, lebih lanjut Al-Ghozali menjelaskan bahwa mereka adalah makhluk yang telah dibekali potensi atau fitrah untuk beriman kepada Allah SWT. Fitrah itu sengaja disiapkan oleh Allah SWT sesuai dengan kejadian manusia, cocok dengan tabi’at dasarnya yang memang cenderung kepada agama tauhid (Islam). Untuk itu tugas seorang pendidik adalah membimbing dan mengarahkan fitrah tersebut agar tumbuh dan berkembang sesuai dengan tujuan penciptaan-Nya.
Menurutnya pendidik adalah orang yang berusaha membimbing, meningkatkan, menyempurnakan, dan mensucikan hati sehingga menjadi dekat dengan Khaliqnya. Tugas ini didasarkan pada pandangan bahwa manusia merupakan makhluk yang mulia. Kesempurnaan manusia terletak pada kesucian hatinya. Untuk itu, pendidik dalam perspektif Islam melaksanakan proses pendidikan hendaknya diarahkan pada aspek Tazkiyah An-Nafs.
Menurut Al-Ghozali dalam menuntut ilmu (belajar), peserta didik memiliki tugas dan kewajiban yaitu:
a. Mendahulukan kesucian jiwa
b. Bersedia merantau untuk mencari ilmu pengetahuan
c. Jangan menyombongkan ilmunya dan menentang gurunya
d. Mengetahui kedudukan ilmu pengetahuan
Dalam belajar, peserta didik hendaknya memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1. Belajar dengan niat ibadah dalam rangka taqarrub ila Allah, sehingga dalam kehidupan sehari-hari peserta didik senantiasa mensucikan jiwanya dengan akhlak al-karimah (Q.S.Al-An’aam:162 ; Adz-Dzariyat :56)
Artinya : “Katakanlah: Sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.”
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.”
2. Mengurangi kecenderungan pada duniawi dibandingkan dengan masalah ukhrawi (Q.S. Adh-Dhuha: 4)
artinya: “Dan Sesungguhnya hari Kemudian itu lebih baik bagimu daripada yang sekarang (permulaan).”
Maksud dari ayat ini ialah bahwa akhir perjuangan nabi Muhammad s.a.w. itu akan menjumpai kemenangan-kemenangan, sedang permulaannya penuh dengan kesulitan-kesulitan. ada pula sebagian ahli tafsir yang mengartikan akhirat dengan kehidupan akhirat beserta segala kesenangannya dan ulama dengan arti kehidupan dunia.
3. Bersikap tawadhu’ ( rendah hati ) dengan cara menanggalkan kepentingan pendidikan. Hal ini sejalan dengan pendapat al-Ghozali yang menyatakan bahwa menuntut ilmu adalah merupakan perjuangan yang berat yang menuntut kesungguhan yang tinggi, dan bimbingan dari guru.
4. Hendaknya tujuannya dalam belajar di dunia adalah untuk menghias dan mempercantik batinnya dengan keutamaan, dan di akherat adalah untuk memndekatkan diri kepada Allah dan meningkatkan diri untuk bisa berdekatan dengan makhluk tertinggi dari kalangan malaikat dan orang-orang yang di dekatkan. Hendaklah murid tidak bertujuan untuk mendapatkan kekuasaan, pangkat, harta atupun untuk mengelabuhi orang-orang bodoh dan membanggakan diri kepada sesama orang yang berilmu.di samping itu tidak boleh meremehkan semua ilmu, yakni ilmu fatwa, ilmu nahwu dan bahasa yang berkaitan dengan al-Qur’an, as-Sunah dan ilmu-ilmu lainnya yang merupakan fardhu kifayah.
5. Mempelajari ilmu-ilmu yang terpuji, baik untuk ukhrawi maupun duniawi.
6. Belajar dengan bertahap atau berjenjang dengan memulai pelajaran ysng mudah (konkret) menuju pelajaran yang sukar (abstrak) atau dari ilmu yang fardhu ‘ain menuju ilmu yang fardhu kifayah (Q.S. Al-Fath: 9).
Artinya : “Supaya kamu sekalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, menguatkan (agama)Nya, membesarkan-Nya. dan bertasbih kepada-Nya di waktu pagi dan petang.”
7. Belajar ilmu sampai tuntas untuk kemudian beralih pada ilmu yang lainnya, sehingga anak didik memiliki spesifikasi ilmu pengetahuan secara mendalam.
8. Mengenal nilai-nilai ilmiah atas ilmu pengetahuan yang dipelajari.
9. Memprioritaskan ilmu yang diniyah sebelum memasuki ilmu yang duniawi.
10. Mengenal nilai-nilai pragmatis bagi suatu ilmu pengetahuan yaitu ilmu yang dapat bermanfaat yang dapat membahagiakan, mensejahterakan, serta memberi keselamatan hidup dunia dan akherat.
11. Mendahulukan kesucian hati dari akhlak yang rendah dansifat tercela, karena ilmu adalah ibadah dan sholatnya dari hati, dan pendekatan pada Allah SWT .
12. Merasa satu bangunan dengan murid lainnya sehingga merupakan satu bangunan yang saling menyayangi dan menolong serta berkasih sayang.
Ciri-ciri murid yang demikian itu nampak juga masih terlihat dari perspektif tasawuf yang menempatkan murid. Untuk masa sekarang hendaknya masih ditambah lagi dengan ciri-ciri yang lebih membawa kepada kreatifitas dan kegairahan dalam belajar.
Menurutnya pendidik adalah orang yang berusaha membimbing, menyempurnakan, dan mensucikan hati sehingga menjadi dekat dengan khaliqnya. Tugas ini didasarkan pada pandangan bahwa manusia merupakan makhluk yang mulia. Kesempurnaan manusia terletak pada kesucian hatinya. Untuk itu pendidik dalam perspektif Islam melaksanakan proses pendidikan hendaknya diarahkan pada aspek penyucian diri. Seorang pendidik juga dituntut memiliki beberapa sifat keutamaan yang menjadi kepribadiannya. Diantara sifat tersebut tersebut yaitu:
a. Sabar dalam menaggapi pertanyaan murid
b. Senantiasa bersifat kasih, tidak pilih kasih ( objektif ).
c. Duduk dengan sopan, tidak riya’atau pamer.
d. Tidak takabur, kecuali terhadap oarang yang zalim dengan maksud mencegah tindakannya.
e. Bersikap tawadhu’ dalam setiap pertemuan ilmiah.
f. Sikap dan pembicaraan hendaknya tertuju pada topik persoalan.
g. Memilki sifat bersahabat terhadap semua murid-muridnya.
h. Menyantuni dan tidak membentuk orang-orang bodoh.
i. Membimbing dan mendidik murid yang bodoh dengan cara yang sebaik-baiknya.
j. Mengajar sesuai dengan kognisi pelajar, sehingga tidak memberuikan pengetahuan yang tak terjangkau oleh akalnya dan membuatnya trauma.
k. Menampilkan hujjah yang benar. Apabila ia berada dalam kondisi yang salah, ia bersedia merujuk kembali kepada rujukan yang benar.
Selanjutnya yang menjadi titik perhatian al-Ghozali dalam mengajarkan ilmu pengetahuan kepada anak didik adalah ilmu yang digali dari kandungan al-Qur’an, karena ilmu model ini akan jauh lebih bermanfaat bagi kehidupan manusia di dunia dan akherat, karena dapat menenangkan jiwa dan mendekatkan diri pada Allah SWT . Hal terpenting yang harus menjadi perhatian tarbiyah para murabbi ialah memperbaiki hati dan perilaku :
“Sebagaimana (Kami Telah menyempurnakan nikmat kami kepadamu) kami Telah mengutus kepadamu Rasul diantara kamu yang membacakan ayat-ayat kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al Kitab dan Al-Hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar