Minggu, 05 Juni 2011

PERKEMBANGAN METODOLOGI TAFSIR

Al-Quran adalah sumber ajaran Islam. Kitab suci itu, menempati posisi sentral, bukan saja dalam perkembangan dan pengembangan ilmu-ilmu keislaman, tetapi juga merupakan inspirator, pemandu dan pemadu gerakan-gerakan umat Islam sepanjang empat belas abad sejarah pergerakan umat.
Jika demikian itu halnya, maka pemahaman terhadap ayat-ayat al-Quran, melalui penafsiran-penafsirannya, mempunyai peranan yang sangat besar bagi maju-mundurnya umat. Sekaligus, penafsiran-penafsiran itu dapat mencerminkan perkembangan serta corak pemikiran mereka.
Berikut ini, akan dikemukakan selayang pandang tentang perkembangan metode penafsiran, keistimewaan dan kelemahannya, menurut tinjauan kacamata kita yang hidup pada abad ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), serta era globalisasi dan informasi.

Corak dan metodologi Tafsir
1. Corak Ma’tsur (Riwayat)
Bermacam-macam metodologi tafsir dan coraknya telah diperkenalkan dan diterapkan oleh pakar-pakar al-Quran. Kalau kita mengamati metode penafsiran sahabat-sahabat Nabi saw. ditemukan bahwa pada dasarnya –setelah gagal menemukan penjelasan Nabi saw.– mereka merujuk kepada pengguna bahasa dan syair-syair Arab. Cukup banyak contoh yang dapat dikemukakan tentang hal ini. Misalnya, Umar Ibn Al-Khaththab, pernah bertanya tentang arti takhawwuf dalam firman Allah: Auw ya’khuzahum ‘ala takhawwuf (QS. 16:47). Seorang Arab dari kabilah Huzail menjelaskan bahwa artinya adalah “pengurangan”. Arti ini berdasarkan pengguna bahasa yang dibuktikan dengan syair pra-Islam. Umar ketika itu puas dan menganjurkan untuk mempelajari syair-syair tersebut dalam rangka memahami Al-Quran.
Setelah masa sahabat pun, para tabi’in dan atba’ at-tabi’in, masih mengandalkan metode periwayatan dan kebahasaaan seperti sebelumnya.
Kalaulah kita berpendapat bahwa Al-Farra’ (w. 207 H) merupakan orang pertama yang mendiktekan tafsirnya Ma’aniy Al-Quran, maka dari tafsirnya kita dapat melihat bahwa faktor kebahasaaan menjadi landasan yang sangat kokoh. Demikian pula Al-Thabari (w. 3110 H) yang memadukan antara riwayat dan bahasa.
Mengandalkan metode ini, jelas memiliki keistimewaan, namun juga mempunyai kelemahan-kelemahan.
Keistimewaannya, antara lain, adalah:
a. Menekankan pentingnya bahasa dalam memahami Al-Quran.
b. Mamaparkan ketelitian redaksi ayat ketika menyampaikan pesan-pesannya.
c. Mengikat mufasir dalam bingkai teks ayat-ayat, sehingga membatasinya terjerumus dalam subjektivitas berlebihan.
Di sisi lain, kelemahan yang terlihat dalam kitab-kitab tafsir yang mengandalkan metode ini adalah:
a. Terjerumusnya sang mufasir dalam uraian kebahasaan dan kesusasteraan yang bertele-tele sehingga pesan-pokok Al-Quran menjadi kabur dicelah uraian itu.
b. Seringkali konteks turunnya ayat (uraian asbab al-nuzul atau sisi kronologis turunnya ayat-ayat hukum yang dipahami dari uraian nasikh/mansukh) hampir dapat dikatakan terabaikan sama sekali, sehingga ayat-ayat tersebut bagaikan turun bukan dalam satu masa atau berada di tengah-tengah masyarakat tanpa budaya.
Bahwa mereka mengandalkan bahasa, serta menguraikan ketelitiannya adalah wajar. Karena, di samping penguasaan dan rasa bahasa mereka masih baik, juga karena mereka ingin membuktikan kemukjizatan al-Quran dari segi bahasanya. Namun, menerapkan metode ini serta membuktikan kemukjizatan itu untuk masa kini, agaknya sangat sulit karena –jangankan kita di Indonesia ini- orang-orang Arab sendiri sudah kehilangan kemampuan dan rasa bahasa itu.
Metode periwayatan yang mereka terapkan juga cukup beralasan dan mempunyai keistimewaan dan kelemahannya.
Metode ini istimewa bila ditinjau dari sudut informasi kesejarahannya yang luas, serta objektivitas mereka dalam menguraikan riwayat itu, sampai-sampai ada di antara mereka yang menyampaikan riwayat-riwayat tanpa melakukan penyeleksian yang ketat. Imam Ahmad menilai bahwa tafsir yang berdasarkan riwayat, seperti halnya riwayat-riwayat tentang peperangan dan kepahlawanan, kesemuanya tidak mempunyai dasar (yang kokoh). Karena itu, agaknya para pakar riwayat menekankan bahwa “Kami hanya menyampaikan dan silakan meneliti kebenarannya”.
Pegangan ini, secara umum, melemahkan metode riwayat, walaupun diakui bahwa sanad dari suatu riwayat seringkali dapat ditemukan. Namun, sebagian lainnya tanpa sanad. Yang ditemui sanadnya pun membutuhkan penelitian yang cukup panjang untuk menetapkan kelemahan dan kesahihannya. Kelemahan lainnya adalah bahwa mufassir seringkali disibukkan dengan pendapat si A dan si B, yang tidak jarang berbeda bahkan bertentangan satu dengan lainnya sehingga pesan-pesan ayat terlupakan.
Cukup beralasan sikap generasi lalu ketika mengandalkan riwayat dalam penafsiran Al-Quran. Karena, ketika itu, masa antara generasi mereka dengan generasi para sahabat dan tabi’in masih cukup dekat dan laju perubahan sosoial dan perkembangan ilmu belum sepesat masa kini, sehingga tidak terlalu jauh jurang antara mereka. Di samping itu, penghormatan kepada sahabat, dalam kedudukan mereka sebagai murid-murid generasi peringkat kedua khair al-qurun (sebaik-baik generasi), masih sangat berekesan dalam jiwa mereka. Dengan kata lain, pengakuan akan keistimewaan generasi terdahulu atas generasi berikut masih cukup mantap.
Kesemua itu sedikit atau banyak berbeda dengan keadaan masa sesudahnya apalagi masa kini, sehingga menggunakan metode riwayat membutuhkan pengembangan, di samping dengan menggunakan nalar dan dari penalaran lahir metode tafsir bi al-ra’y.
2. Metode Penalaran: Pendekatan dan Corak-coraknya
a. Metode Tahliliy
Banyak cara pendekatan dan corak tafsir yang mengandalkan nalar, sehingga akan sangat luas pembahasan apabila kita bermaksud menelusurinya satu demi satu. Untuk itu, agaknya akan lebih mudah dan efisien, bila bertitik tolak dari pandangan Al-Farmawi yang membagi metode tafsir menjadi empat macam metode, yaitu tahliliy, ijmaliy, muqaran dan mawdhu’iy. Terlepas dari catatan-catatan yang dikemukakan menyangkut istilah dan kategorisasinya.
Yang paling popular dari keempat metode yang disebutkan itu, adalah metode tahliliy, dan metode mawdhu’iy. Metode tahliliy, atau yang dinamai oleh Baqir Al-Shadr sebagai metode tajzi’iy, adalah satu metode tafsir yang “Mufasirnya berusaha menjelaskan kandungan ayat al-Quran dari berbagai seginya dengan memperhatikan runtutan ayat-ayat al-Quran sebagaimana tercantum di dalam mushaf.”
Segala segi yang dianggap perlu oleh seorang mufasir tajzi’iy/tahiliy diuraikan, bermula dari arti kosakata, asbab al-nuzul, munasabah, dan lain-lain yang berkaitan dengan teks atau kandungan ayat. Metode ini, walupun dinilai sangat luas, namun tidak menyelesaikan satu pokok bahasan, karena seringkali satu pokok bahasan diuraikan sisinya atau kelanjutannya, pada ayat lain.
Pemikir Aljazair kontemporer, Malik bin Nabi, menilai bahwa upaya para ulama menafsirkan al-Quran dengan metode tahliliy itu, tidak lain kecuali dalam rangka upaya mereka meletakkan dasar-dasar rasional bagi pemahaman akan kemukjizatan al-Quran.
Terlepas dari benar tidaknya pendapat Malik di atas, namun yang jelas, kemukjiatan al-Quran tidak ditujukan kecuali kepada mereka yang tidak percaya. Ia tidak ditujukan kepada umat Islam. Hal ini dapat dibuktikan dengan memperhatikan rumusan definisi mukjizat dimana terkandung di dalamnya unsur tahaddiy (tantangan), sedangkan seorang muslim tidak perlu ditantang karena dengan keislamannya ia telah menerima. Bukti kedua dapat dilihat dari teks ayat-ayat yang berbicara tentang keluarbiasaan al-Quran yang selalu dimulai dengan kalimat “inkuntum fi raib” atau ‘inkuntum shadiqin”.
Kalau tujuan penggunaan metode tahlily seperti yang diungkapkan Malik di atas maka terlepas dari keberhasilan atau kegagalan mereka, yang jelas untuk masyarakat muslim dewasa ini, paling tidak persoalan tersebut bukan lagi merupakan persoalan yang mendesak. Karenanya, untuk masa kini, pengembangan metode penafsiran menjadi amat dibutuhkan, apalagi jika kita sependapat dengan Baqir al-Shadr –Ulama Syi’ah Irak itu- yang menilai bahwa metode tersebut telah menghasilkan pandangan-pandangan parsial serta kotradiktif dalam kehidupan umat Islam. Dapat ditambahkan bahwa para penafsir yang menggunakan metode itu tidak jarang hanya berusaha menemukan dalil atau lebih tepat dalih pembenaran pendapatnya dengan ayat-ayat al-Quran. Selain itu, terasa sekali bahwa metode ini tidak mampu memberi jawaban tuntas terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi sekaligus tidak banyak memberi pagar-pagar metodologis yang dapat mengurangi subjektivitas mufasirnya.
Kelemahan lain yang dirasakan dalam tafsir-tafsir yang menggunakan metode tahliliy dan yang masih perlu dicari penyebabnya –apakah pada diri kita atau metode mereka– adalah bahwa bahasan-bahasannya dirasakan sebagai “mengikat” generasi berikut. Hal ini mungkin, karena sifat penasirannya amat teoritis, tidak sepenuhnya mengacu kepada penafsiran persoalan-persoalan khusus yang mereka alami dalam masyarakat mereka, sehingga uraian yang bersifat teoritis dan umum itu mengesankan bahwa itulah pandangan al-Quran untuk setiap waktu dan tempat.
b. Metode Mawdhu’iy
“Istanthiq al-Quran” (“Aajaklah al-Quran berbicara” atau “Biarkan ia menguraikan maksudnya”) –konon itu pesan Ali Ibn Abi Thalib.
Pesan ini, antara lain mengharuskan penafsir untuk merujuk kepada al-Quran dalam rangka memahami kandungannya. Dari sini lahir metode mawdhu’iy dimana mufasirnya berupaya menghimpun ayat-ayat al-Quran dari berbagai surah dan yang berkaitan dengan persoalan atau topik yang ditetapkan sebelumnya. Kemudian, penafsir membahas dan menganalisis kandungan ayat-ayat tersebut sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh.

Tafsir dalam Era Globalisasi
Dr. Abdul Aziz Kamil, mantan menteri waqaf dan urusan al-Azhar, Mesir, dalam bukunya al-Islam wa al-Mustaqbal menyinggung tentang hal-hal yang menjadi penekanan sementara penulis Islam baik Muslim maupun on Muslim tentang apa yang dinamai “al-Islam al-Iqlimiy”. Hal itu berarti bahwa setiap wilayah (kawasan atau lokasi) mengambil corak dan bentuk yang berbeda dengan lainnya, akibat perbedaan agama dan peradaban yang pernah hidup dan dianut oleh penduduk kawasan tersebut, sehingga pemahamannya terhadap Islam dipengaruhi sedikit atau banyak dengan budaya setempat.
Kalau pendapat di atas dapat diterima, itu berarti bahwa Islam Indonesia dapat berbeda dengan Islam di negara-negara lain, akibat perbedaan budaya dan peradaban.
Dari satu sisi, apa yang ditekankan di atas ada benarnya dan dapat diperkuat dengan kenyataan yang berkaitan dengan al-Quran yang diyakini sebagai berdialog dengan seluruh manusia sepanjang masa. Dan tentunya, pemahaman manusia –termasuk al-Quran- akan banyak dipengaruhi oleh budaya dan perkembangan masyarakatnya. Bahkan lebih jauh dari itu, dalam al-Quran sendiri terdapat perbedaan-perbedaan, akibat perbedaan masyarakat yang ditemuinya. Hal ini dapat dirasakan dari adanya apa yang dinamai al-Ahruf al-Sab’ah yang oleh sementara ulama dipahami sebagai adanya perbedaan bahasa atau dialek yang dibenarkan Allah akibat kesulitan-kesulitan masyarakat (suku) tertentu dalam membacanya bila hanya terbatas dalam satu bahasa (dialek) saja. Demikian juga halnya dengan perbedaan qira’at yang dikenal luas dewasa ini.
Namun demikian, hemat penulis, tidaklah wajar untuk menonjolkan segi-segi perbedaan tersebut, yang pada akhirnya menciptakan tafsir al-Quran ala Indonesia, Mesir atau kawasan lain. Ketidakwajaran ini bukan saja disebabkan oleh adanya sekian banyak persamaan dalam bidang pandangan hidup umat Islam –akidah, syari’ah, dan akhlak- yang tentunya harus mempengaruhi pemikiran-pemikiran mereka sehingga dapat melahirkan persamaan padangan dalam banyak bidang. Tetapi juga, dan yang tidak kurang pentingnya, adalah karena kita semua hidup dalam era informasi dan globalisasi yang menjadikan dunia kita semakin menyempit dan penduduknya saling mempengaruhi.
Diakui bahwa setiap masyarakat mempunyai kekhususan-kekhususan. Nah, apakah ciri masyarakat Indonesia, yang membedakannya dari masyarakat-masyarakat lain dan yang mungkin akan menjadi bahan pertimbangan untuk meletakkan dasar-dasar penafsiran itu?
Ada yang berpendapat bahwa kekhususan tersebut adalah keberadaannya sebagai masyarakat plural. Tetapi, walupun hal tersebut benar, hal ini bukan merupakan sesuatu yang khas Indonesia. Masyarakat Mesir, Syria, dan India, misalnya, juga merupakan masyarakat plural dimana berbagai etnis dan agama hidup berdampingan dengan segala suka-dukanya.
Menjadi kewajiban semua umat Islam untuk membumikan al-Quran, menjadikannya menyentuh realitas kehidupan. Kita semua berkewajiban memelihara al-Quran dan salah satu bentuk pemeliharaannya adalah memfungsikannya dalam kehidupan kontemporer yakni dengan memberinya interpretasi yang sesuai tanpa mengorbankan teks sekaligus tanpa mengorbankan kepribadian, budaya bangsa, dan perkembangan positif masyarakat.
Dalam kesempatan yang sangat terbatas ini, penulis ingin menggarisbawahi dua persoalan pokok, yang berkaitan dengan dasar penafsiran, tanpa menutup mata terhadap dasar-dasar lain.

1. Asbab al-Nuzul
al-Quran tidak turun dalam satu masyarakat yang hampa budaya. Sekian banyak ayatnya oleh ulama dinyatakan sebagai harus dipahami dalam konteks sebab nuzul-nya. Hal ini berarti bahwa arti “sebab” dalam rumusan di atas –walaupun tidak dipahami dalam arti kausalitas, sebagaimana yang diinginkan oleh mereka yang berpaham bahwa “al-Quran qadim”- tetapi paling tidak ia menggambarkan bahwa ayat yang turun itu berinteraksi dengan kenyataan yang ada dan dengan demikian dapat dikatakan bahwa “kenyataan” tersebut mendahului atau paling tidak bersamaan dengan keberadaan ayat yang turun di pentas bumi itu.
Dalam kaitannya dengan asbab al-nuzul, mayoritas ulama menemukakan kaidah al-‘ibrah bi ‘umum al-lafzh la bi khushush al-sabab (patokan dalam memahami ayat adalah redaksinya yang bersifat umum, bukan khusus terhadap (pelaku) kasus yang menjadi sebab turunnya); sedangkan sebagian kecil dari mereka mengemukakan kaidah sebaliknya, al-‘ibrah bi khushush al-sabab la bi’umum al-lafzh (patokan dalam memahami ayat adalah kasus yang menjadi sebab turunnya, bukan redaksinya yang bersifat umum).
Di sini perlu kiranya dipertanyakan: “Bukankah akan lebih mendukung pengembangan tafsir jika pandangan minoritas di atas yang ditekankan?” Tentunya, jika demikian, maka perlu diberikan beberapa catatan penjelasan sebagai berikut:
Seperti diketahui setiap asbab al-nuzul pasti mencakup: (a) Peristiwa, (b) Pelaku, dan (c) Waktu. Tidak mungkin benak akan mampu menggambarkan adanya suatu peristiwa yang tidak terjadi dalam kurun waktu tertentu dan tanpa pelaku.
Sayang, selama ini pandangan menyangkut asbab al-nuzul dan pemahaman ayat seringkali hanya menekankan kepada peristiwanya dan mengabaikan “waktu” terjadinya –setelah terlebih dahulu mengabaikan pelakunya– berdasarkan kaidah yang dianut oleh mayoritas tersebut.
Para penganut paham al-‘ibrah bi khushush al-sabab, menekankan perlunya analogi (qiyas) untuk menarik makna dari ayat-ayat yang memiliki latar belakang asbab al-nuzul itu, tetapi dengan catatan apabila qiyas tersebut memenuhi syarat-syaratnya. Pandangan mereka ini, hendaknya dapat diterapkan tetapi dengan memperhatikan faktor waktu, karena kalau tidak, ia menjadi tidak relevan untuk dianalogikan. Bukankah, seperti dikemukakan di atas, ayat-al-Quran tidak turun dalam masyarakat hampa budaya dan bahwa “kenyataan mendahului/bersamaan dengan turunnya ayat”?
Analogi yang dilakukan hendaknya tidak terbatas oleh analogi yang dipengaruhi oleh logika formal (al-manthiq, al-shuriy) yang selama ini banyak mempengaruhi para fuqaha’ kita. Tetapi, analogi yang lebih luas dari itu, yang meletakkan di pelupuk mata al-mashalih al-mursalah dan yang mengantar kepada kemudahan pemahaman agama, sebagaimana halnya pada masa Rasul dan para sahabat.
Qiyas yang selama ini dilakukan menurut Ridwan al-Sayyid adalah berdasarkan rumusan Imam al-Syahfi’i, yaitu “Ilhaq far’i bi ashl li ittihad al-‘illah”, yang pada hakikatnya tidak merupakan upaya untuk mengantisipasi masa depan, tetapi sekadar membahas fakta yang ada untuk diberi jawaban agama terhadapnya dengan membandingkan fakta itu dengan apa yang pernah ada.
Pengertian asbab al-nuzul dengan demikian dapat diperluas sehingga mencakup kondisi sosial pada masa turunnya al-Quran dan pemahamannya pun dapat dikembangkan melalui kaidah yang pernah dicetuskan oleh ulama terdahulu, dengan mengembangkan pengertian qiyas.
2. Ta’wil
Pemahaman literal terhadap teks ayat al-Quran tidak jarang menimbulkan problem atau ganjalan-ganjalan dalam pemikiran, apalagi ketika pemahaman tersebut dihadapkan dengan kenyataan sosial, hakikat ilmiah, atau keagamaan.
Dahulu, sebagian ulama merasa puas dengan menyatakan bahwa “Allahu a’lam bi muradihi” (Allah yang mengetahui maksud-Nya). Tetapi, ini tentunya tidak memuaskan banyak pihak, apalagi dewasa ini. Karena itu, sedikit demi sedikit sikap seperti itu berubah dan para mufasir akhirnya beralih pandangan dengan jalan menggunakan ta’wil, tamsil, atau metafora. Memang, literalisme seringkali mempersempit makna, berbeda dengan pan-ta’wil-an yang memperluas makna sekaligus tidak menyimpang darinya.
Al-Jahiz (w. 225 H/868 M), seorang ulama beraliran rasional dalam bidang teologi, dinilai sebagai tokoh dalam bidang penafsiran metaforis. Ia tampil dengan gigih memperkenalkan makna-makna metaforis pada ayat-ayat al-Quran. Dan, dalam hal ini harus diakui bahwa dia telah menghasilkan pemikiran-pemikiran yang sangat mengagumkan, sehingga mampu menyelesaikan sekian banyak problem pemahaman keagamaan atau ganjalan-ganjalan yang sebelumnya dihadapi itu.
Tokoh lain dalam bidang ini adalah murid Al-Jahiz, yakni Ibnu Qutaibah (w. 276 h/889 M). Tokoh ini bukanlah penganut aliran rasional (Mu’tazilah) dan bahkan dinilai sebagai “juru bicara Ahl al-Sunnah”. Namun, dia menmpuh cara-cara gurunya dan mengembangkannya dalam rangka memahami tekas-teks keagamaan.
Tentunya kita tidak dapat menggunakan ta’wil tanpa didukung oleh syarat-syarat tertentu. Al-Syathibi mengemukakan dua syarat pokok bagi pen-ta’wil-an ayat-ayat al-Quran:
Pertama, makna yang dipilih sesuai dengan hakikat kebenaran yang diakui oleh mereka yang memiliki otoritas.
Kedua, arti yang dipilih dikenal oleh bahasa Arab klasik.
Syarat yang dikemukakan ini, lebih longgar dari syarat kelompok Al-Zhahiriyah yang menyatakan bahwa arti yang dipilih tersebut harus telah dikenal secara popular oleh masyarakat Arab pada masa awal. Kosakata tidak disinggung lagi. Bahkan lebih jauh Al-Syathibi menegaskan bahwa kata-kata yang bersifat ambigus/musytarak (mempunyai lebih dari satu makna yang kesemua maknanya dapat digunakan bagi pengertian teks tersebut selama tidak bertentangan satu dengan lainnya.
Aliran tafsir Muhammad Abduh mengembangkan lagi syarat pent-ta’wil-an, sehingga ia lebih banyak mengandalkan akal, sedangkan faktor kebahasaan dicukupkannya selama ada kaitan makna pen-ta’wil-an dengan kata yang di-ta’wil-kan. Karena itu, kata Jin yang berarti “sesuatu yang tertutup”, diartikan oleh muridnya Rasyid Ridha sebagai “kuman yang tertutup” (tidak terlihat oleh pandangan mata). Pendapat ini mirip dengan pendapat Bint Al-Syathi’ yang secara tegas menyatakan bahwa “Pengertian kata Jin tidak harus dipahami terbatas pada apa yang biasa dipahami tentang makhluk-makhluk halus yang ‘tampak’ pada saat ketakutan seseorang di waktu malam atau dalam ilusinya. Tetapi, pengertiannya dapat mencakup segala jenis yang bukan manusia yang hidup di alam-alam yang tidak terlihat, tidak terjangkau, dan yang berada di luar alam manusia di mana kita berada.”
Ta’wil, sebagaimana dikemukkan di atas, akan sangat membantu dalam memahami dan membumikan al-Quran di tengah kehidupan modern dewasa ini dan masa-masa yang akan datang.
Sebelum menutup persoalan ini, perlu kita garisbawahi bahwa tidaklah tepat men-ta’wil-kan suatu ayat, semata-mata berdasarkan pertimbangan akal dan mengabaikan faktor kebahasaan yang terdapat dalam teks ayat, lebih-lebih bila bertentnagan dengan prinsip-prinsip kaidah kebahasaan. Karena, hal ini berarti mengabaikan ayat itu sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar