Rabu, 08 Juni 2011

Tafsir dan Asbabunuzul QS. Al-Baqarah: 217-218

PENDAHULUAN
Bagi orang islam Jihad merupakan perintah dari Alloh yang harus dilakukan, sama halnya dengan perintah-perintah ibadah lain. Jihal juga merupakan salah satu ibadah yakni berjuang dijalan Alloh. Karena jihad dijalan Alloh maka ada berbagai macam cara untuk menempuhnya, sebab itu ada berbagai macam pemakanaan jihad dari orang-orang islam. Di sini ada ayat yang menyinggung tentang jihad yakni seperti ayat:

 
Artinya: “mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah: "Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjidilharam dan mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah[1] dan berbuat fitnah[2][2] lebih besar (dosanya) daripada membunuh. mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup. Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu Dia mati dalam kekafiran, Maka mereka Itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka Itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya”. (Al-Baqoroh 217)
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (Al-Baqoroh 218)
Untuk lebih objektif kita dalam memahami ayat tersebut perlu kita mengetahui sebab turunya dan penafsiranya:
Sebab Turunnya Ayat
Tatkala Allah Ta’ala memerintahkan kepada kaum mukminin untuk berperang, maka rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengutus satu ‘sariah’(rombongan pasukan muslim) dengan ditunjuk panglima sariah tersebut ‘Abdullah bin Jahsy’ untuk mencari informasi tentang kondisi orang-orang kafir. Maka dengan kehendak Allah bertemulah Abdullah bin Jahsy dan pasukannya dengan rombongan orang-orang kafir Quraisy dan ia pun memerangi mereka maka terbunuhlah salah seorang dari rombongan kafir Quraisy tersebut yang bernama ‘Amr bin al-Hadrami dan menawan dua orang dari mereka serta mengambil harta-harta bawaan mereka sebagai ghonimah dan akhirnya mereka pun pulang. Hal itu terjadi pada penghujung hari pada bulan Jumada ats-Tsaniyah yaitu diawal malam bulan Rajab. Maka orang-orang Quraisy pun menyebarkan kebencian mereka dengan mengatakan “Muhammad menghalalkan (membolehkan perang) di bulan haram. Orang-orang Yahudi dan orang-orang munafiq Madinah pun ikut serta dalam penyebarannya, sehingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasalam tawaqquf beberapa waktu tidak memutuskan apa-apa terhadap tawanan dan barang-barang yang dibawa pasukan tadi. Abdullah bin Jahsy dan teman-temannya pun dalam kondisi yang tidak nyaman karena apa yang terjadi terhadap mereka. Waktu pun terus berjalan demikian hingga turunlah dua ayat tersebut diatas.
Sedangkan ayat yang kedua (ayat : 218) turun berkenaan Abdullah bin Jahsy dan sahabat-sahabatnya dalam rangka memberikan kabar gembira kepada mereka dan menenangkan hati mereka bahwa mereka tidak bersalah dalam hal tersebut, yaitu penyerangan yang mereka lakukan diawal-awal bulan haram tersebut. Karena mereka hanyalah mengharapkan rhmat Allah yaitu surga dan sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa mereka hal itu dikarenakan oleh keimanan, hijrah dan jihad mereka dijalan Allah Ta’ala.
Tafsir
(ayat 217) Sebagian besar ulama berpendapat bahwa haramnya peperangan pada bulan-bulan haram itu telah dimansukholeh perintah memerangi kaum musyrikin di mana pun mereka ditemukan. Sedangkan sebagian ahli tafsir berkata, bahwa hukum tersebut tidaklah dimansukh, karena teks yang muthlaq (bebas) harus dipahami dengan teks yang muqayyad (diberi batasan), sedangkan ayat ini adalah teks yang memberi batasan keumuman ayat-ayat tentang perintah berperang secara umum, dan juga karena di antara keistimewaan bulan-bulan haram itu, bahkan keistimewaannya yang paling besar adalah haramnya peperangan padanya. Ini adalah dalam konteks memulai perang (ofensif), adapun bila dalam konteks membela diri (defensif), maka boleh dilakukan pada bulan-bulan tersebut, sebagaimana juga dibolehkan pada tanah haram.
Dan tatkala ayat ini turun disebabkan apa yang terjadi pada pasukan kecil Abdullah bin Jahsyi dan pembunuhan mereka terhadap Amr bin al-Hadhrami serta pengambilan harta mereka -di mana kejadian tersebut menurut suatu pendapat adalah pada bulan Rajab- kaum musyrikin mencela kaum muslimin karena melakukan peperangan dalam bulan-bulan haram, dan kaum musyrikin tersebut telah berlaku zhalim dalam mencela kaum muslimin, karena mereka sendiri memiliki perbuatan-perbuatan yang jelek yang sebagiannya lebih keji daripada yang telah mereka tuduhkan terhadap kaum muslimin[3]. (ket: Lihat)
Allah Ta’ala berfirman tentang penjelasan yang ada pada mereka, وَصَدٌّ عَن سَبِيلِ اللهِ“menghalangi (manusia) dari jalan Allah”, artinya, kaum musyrikin menghalangi orang yang hendak masuk Islam dan beriman kepada Allah dan RasulNya, menyiksa orang yang telah beriman kepadaNya dan usaha mereka dalam mengembalikan orang-orang tersebut dari agama mereka dan kekufuran mereka yang terjadi pada bulan-bulan haram dan pada tanah haram, yang dengan itu saja sudah cukup menjadi suatu keburukan, dan bagaimana jika itu terjadi pada bulan haram dan di negeri haram?
وَإِخْرَاجُ أَهْلِهِ “Dan mengusir penduduknya”, maksudnya, penduduk Masjidil Haram, yaitu Nabi shallallahu ‘alaiohi wasallam dan para sahabatnya, karena mereka lebih berhak terhadap Masjidil Haram daripada kaum musyrikin, dan mereka itulah yang sebenarnya memakmurkannya. Tetapi mereka mengusir kaum muslimin, مِنْهُ “dari sekitarnya”; dan mereka tidak memberikan kesempatan agar Nabi shallallahu ‘alaiohi wasallam dan para sahabatnya itu sampai kepadanya, padahal tanah haram itu sama saja bagi orang yang menetap maupun yang tidak.
Semua perkara-perkara tadi, setiap darinya, أَكْبَرُ مِنَ الْقَتْلِ “lebih besar (dosanya) daripada membunuh” pada bulan haram, bagaimana tidak, padahal hal-hal tersebut telah terkumpul pada mereka. Sehingga diketahui bahwasanya mereka itu adalah orang-orang yang fasik lagi zhalim dalam celaan mereka terhadap kaum muslimin.
Kemudian Allah Ta’ala mengabarkan bahwasanya mereka akan terus memerangi kaum muslimin, tujuan mereka bukanlah harta dan membunuh mereka akan tetapi mengembalikan kaum muslimin dari agama mereka sebagai orang-orang yang kafir setelah keimanan mereka hingga mereka menjadi penghuni-penghuni neraka Sa’ir. Mereka mengerahkan segala kemampuan mereka dalam hal tersebut dan berusaha dengan segala kemungkinan yang mereka bisa lakukan, namun Allah tidaklah mau kecuali hanya menyem-purnakan cahayaNya walaupun kaum kafir membencinya.
Kemudian Allah Ta’ala mengabarkan bahwa barangsiapa yang keluar dari Islam yaitu dengan memilih kekufuran dan ia terus dalam kekafiran hingga ia meninggal sebagai seorang kafir, فَأُوْلئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالَهُمْ فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ ”maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat” فَأُوْلئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ , karena tidak ada syaratnya yaitu Islam. “dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya”.
Ayat ini menunjukkan (menurut pemahamannya secara terbalik) bahwa orang yang keluar dari Islam kemudian kembali masuk Islam, maka amalan-amalannya akan kembali lagi (yaitu yang sebelum ia murtad). Demikian pula bagi orang yang bertaubat dari kemaksiatan, maka akan kembali kepadanya segala perbuatan-perbuatannya yang terdahulu.
(Tafsir Ayat 218) Amalan-amalan yang tiga tersebut merupakan tanda-tanda kebahagiaan dan poros utama penghambaan. Dengannya pula dapat diketahui keuntungan atau kerugian yang diderita seorang manusia. Adapun tentang keimanan, maka tidaklah perlu anda bertanya lagi tentang keutamaannya, dan bagaimana menanyakan suatu hal yang merupakan pembeda antara orang-orang yang bahagia dari orang-orang yang sengsara? Demikian juga pembeda antara penghuni surga dari penghuni neraka. Dan iman itulah yang apabila ada pada seorang hamba, niscaya amalan kebaikannya diterima, dan bila tidak ada, niscaya tidak akan diterima darinya tindakan, keadilan, kewajiban dan sunnah.
Adapun hijrah adalah meninggalkan orang-orang yang dicintai dan disayangi hanya untuk mencari ridha Allah Ta’ala. Maka seorang muhajir meninggalkan negeri, harta, keluarga dan teman sejawatnya sebagai suatu pendekatan diri kepada Allah dan pembelaan terhadap agamaNya, sedangkan jihad adalah mengerahkan upaya dalam memerangi musuh, dan usaha yang maksimal dalam membela agama Allah dan memberantas ajaran setan. Jihad itu adalah puncak dari segala amal shalih dan balasannya adalah balasan yang paling utama, dan sebab paling dominan untuk memperluas negeri Islam, menghinakan hamba-hamba berhala, menciptakan keamanan bagi kaum muslimin pada diri, harta dan anak-anak mereka. Barangsiapa yang menegakkan tiga perbuatan tersebut dengan segala kesulitan dan rintangannya, maka perbuatan-perbuatan selainnya akan lebih ditegakkan dan disempurnakan. Karena itu pantaslah bagi mereka untuk menjadi orang-orang yang mengharap rahmat Allah, karena mereka telah melakukan sebab yang mengharuskan adanya rahmat bagi mereka.
Di sini terdapat dalil bahwasanya harapan itu tidaklah dilakukan kecuali setelah melakukan sebab-sebab kebahagiaan. Sedangkan harapan yang diiringi dengan sifat malas dan tidak melakukan sebab-sebabnya adalah sebuah kelemahan, angan-angan kosong dan bualan, dan itu menunjukkan lemahnya cita-cita pelakunya, kurangnya akal, sama seperti orang yang menghendaki seorang anak tanpa menikah, dan mengharapkan hasil panen tanpa menanam biji dan tidak menyiramnya dan semacamnya.
Dalam firman Allah, أُوْلئِكَ يَرْجُونَ رَحْمَةَ اللهِ“Mereka itu mengharapkan rahmat Allah وَاللهُ غَفُورٌ “, sebuah isyarat bahwa seorang hamba itu walaupun telah banyak melakukan amal, tidaklah baik baginya hanya bersandar pada amal-amal tersebut dan hanya berpatokan padanya, namun seharusnya ia juga mengharap rahmat Allah, diterimanya amal-amal tersebut, ampunan bagi dosa-dosanya, dan ditutupi aib dan kekurangannya. Karena itu Allah berfirman, “dan Allah Maha Pengampun”, artinya, bagi yang bertaubat secara benar-benar, رَّحِيمٌ “lagi Maha Penyayang”.
RahmatNya menyebar kepada segala sesuatu, kedermawanan dan kebajikanNya menyeluruh kepada setiap makhluk hidup. Di sini terdapat dalil bahwa orang yang mengerjakan amalan-amalan tersebut akan memperoleh ampunan Allah. Karena kebaikan itu akan menghapus dosa-dosa dan ia mendapatkan rahmat dari Allah. Apabila ia telah mendapatkan ampunan niscaya ia akan terhindar dari hukuman dunia dan akhirat yang merupakan akibat dari dosa-dosa yang telah diampuni, dan bekas-bekasnya tidak lenyap. Apa-bila ia memperoleh rahmat, maka ia telah memperoleh segala kebaik-an di dunia maupun di akhirat, bahkan amalan-amalan mereka tersebut juga merupakan rahmat Allah terhadap mereka. Karena kalau bukan karena taufik Allah bagi mereka dalam hal itu niscaya mereka tidak akan menginginkannya, dan sekiranya bukan karena kemampuan yang diberikan Allah untuk mereka dalam melakukannya, niscaya mereka tidak akan mampu melakukannya, dan kalau bukan karena kebajikanNya, niscaya Dia tidak menyempurnakan-nya dan tidak menerimanya dari mereka.
Dari kedua ayat tersebut jika kita kontekstualkan dalam kehidupan sehari-hari dan perkembangan keilmuan maka cukup banyak pemahaman lain yang belum kita ketahui, unutk itu lah makalah ini di buat di samping utuk memenuhi tugas matakuliah study Al-Qur’an.

[1] Jika kita ikuti Pendapat Ar Razy, Maka terjemah ayat di atas sebagai berikut: Katakanlah: "Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar, dan (adalah berarti) menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah dan (menghalangi manusia dari) Masjidilharam. tetapi mengusir penduduknya dari Masjidilharam (Mekah) lebih besar lagi (dosanya) di sisi Allah." Pendapat Ar Razy ini mungkin berdasarkan pertimbangan, bahwa mengusir Nabi dan sahabat-sahabatnya dari Masjidilharam sama dengan menumpas agama Islam
[2] Fitnah di sini berarti penganiayaan dan segala perbuatan yang dimaksudkan untuk menindas Islam dan muslimin.
[3] sirah Ibnu Hisyam 2/213, tafsir ath-Thabrani, 4/302 tahqiq Ahmad Syakir, dan Dalail an-Nubuwah, oleh al-Baihaqi 3/17 dan dishahihkan al-Hafizh di dalam Fath al-Bari 1/155

Tidak ada komentar:

Posting Komentar