Salah  satu cara untuk mengenal dengan baik sebuah ilmu ialah dengan meninjau  sejarahnya, perkembangannya, metode-metode para pakarnya dalam  merumuskan prinsip-prinsipnya, membentuk hukum-hukumnya, dan menggali  kaidah-kaidahnya.Ilmu  nahwu berbeda dari ilmu-ilmu ke-Arab-an yang lain dari sisi bahwa ia  mempunyai sejarah yang cukup unik, dan juga ia mulia atas dasar  ketinggian tujuannya yaitu menjaga otentisitas lisan (bahasa) orang Arab  secara umum dan Al-Qur’an secara khusus. Hal ini terutama ketika  didapati banyak penyimpangan bahasa yang kemudian menggugah kesadaran  setiap orang Arab yang takut kepada Allah bahwasanya mereka harus  menjaga Al-Qur’an yang tentangnya Allah berfirman,”Sesungguhnya Kami telah menurunkan Peringatan (Al-Qur’an) dan sesungguhnya Kami pulalah yang akan menjaganya”.
 Sungguh, ilmu nahwu telah mendapatkan perhatian yang luar biasa dalam perkembangannya, sampai-sampai dikatakan,”Ilmu nahwu telah dipelajari dengan giat sampai “terbakar”’.  Yang demkian ini tentu saja menunjukkan adanya gerakan-gerakan ilmiah  yang cemerlang sepanjang perkembangannya, terutama pada saat orang-orang  Kufah memasuki dunia studi ilmu nahwu sebagai rival bagi orang-orang  Bashrah yang selama beberapa saat telah terlebih dahulu memegang panji  ilmu nahwu. Persaingan positif tersebut telah mengakibatkan berbagai  perbaikan dan pengkajian yang mendalam, sehingga ilmu nahwu pun  berkembang dengan cepat dan akhirnya mengalami formasi pada periode yang  sangat dini,yang hal itu belum terjadi pada ilmu-ilmu yang lain.
  Dan  sungguh sejarah kemanusiaan telah mencatat hal tersebut melalui mereka  yang telah mengungkap hal yang menakjubkan ini. Sementara, apa yamg  sejauh ini dipahami oleh orang-orang Arab tidaklah sebagaimana yang  digambarkan diatas, dimana orang-orang Arab telah berusaha keras  menyusun ilmu yang paling mula-mula dari ilmu-ilmu bahasa, yakni ilmu  nahwu.
  Penyusunan  ilmu nahwu tidaklah sebagaimana gambaran-gambaran negatif yang telah  disebutkan diatas. Penyusunan tersebut mencakup definisi  istilah-istilahnya, pembentukan kaidah-kaidahnya, dan penjagaan terhadap  hukum-hukumnya. Semua ini merupakan hal yang sungguh-sungguh  menakjubkan, yang dilakukan oleh para ahlinya dengan pola pikir Arab.  Mereka telah melakukannya dengan tekun dan sungguh-sungguh, meskipun ada  sementara kalangan yang karena pretensi buruk meragukan prestasi dan  kemampuan intelektual mereka dengan mengatakan,”Sesungguhnya orang-orang  Arab telah berhasil melakukan pekerjaan besar ini dengan bersandar pada  orang lain yakni para ahli tata bahasa lain seperti India dan  sebagainya. Mereka berargumentasi bahwa kebudayaan Yunani – yang  merupakan warisan kebudayaan India – telah beralih ke Arab melalui  orang-orang Suryani.
  Ada  pula sekelompok orang yang ingin bersikap tengah-tengah diantara dua  pendapat yang ada dengan mengatakan,”Sesungguhnya dasar-dasar metodologi  yang dengan itu orang-orang Arab menyusun Ilmu Nahwu mereka bukanlah  milik orang Arab, namun implementasi pengembangannya merupakan pekerjaan  orang Arab. Namun, agaknya pendapat yang pertama lebih tepat tanpa ada  keinginan untuk melebih-lebihkan dan membuat-buat.
  Dari  sini, dan karena hal ini serta yang lainnya, studi tentang sejarah tata  bahasa Arab harus dilakukan dengan teliti, tekun, dan bebas tanpa sikap  ekstrim, agar menghasilkan sebuah disiplin ilmu yang bebas dari bias  dan manipulasi, yang dipelajari di ma’had-ma’had dan kampus-kampus kita,  yang banyak mempelajari bahasa dan tata bahasa Arab. Dengan demikian  pada akhirnya para mahasiswa kita akan mengenal khazanah klasik mereka,  meyakini orisinalitasnya, dan tsiqah terhadap pemikiran para  pendahulu kita yang mana Al-Qur’an telah membukakan mata mereka terhadap  kebaikan yang banyak dan ilmu yang beragam. Sebaliknya, mereka pun  menjaga Al-Qur’an dari manipulasi orang-orang yang sesat, penakwilan  orang-orang yang berpretensi negatif, dan syubhat yang ditiupkan oleh  orang-orang yang durjana.
 I.BAHASA DAN TATA BAHASA
 Andai  saja kita mengenal bahasa dalam konsepsinya yang paling luas –  sebagaimana yang dikemukakan oleh Ibn Jani – yakni “suara yang diucapkan  oleh setiap kaum untuk menyatakan tujuannya” atau dalam definisi yang  lain sebagaimana yang dikemukakan oleh Edward Sabr yakni “instrumen  manusiawi yang dikhususkan untuk menyatakan pikiran, sikap, dan  keinginan, melalui aturan-aturan yang sistematis, yang dilakukan dengan  sadar. Apabila kita mengenal konsepsi seperti diatas, maka kita akan  memahami bahasa sebagai sesuatu yang bersifat menyeluruh, atau bahwa  bahasa merupakan aturan umum yang tersusun dari aturan-aturan parsial  yang satu sama lain tidaklah saling bertentangan. Pada akhirnya kita  akan menyadari bahwa kita tidak akan mungkin bisa terlepas dari bahasa  apabila bahasa memang memerankan posisinya sebagaimana disebutkan  diatas.
  Aturan-aturan parsial yang dimaksud ialah:
 - Aturan sintaksis (al-nizham al-nahwiy)
 - Aturan perubahan bentuk kata (al-nizham al-sharfiy)
 - Aturan pelafalan (al-nizham al-shautiy)
 - Aturan semantik (al-nizham al-dalaliy)
 
Aturan  sintaksis (nahwu) secara khusus berbicara tentang aturan dalam menyusun  kalimat. Dari sini kita memahami bahwa titik tekan kajian nahwu ialah  pada kalimat (al-jumlat), yang ditinjau makna umumnya dalam  batas-batas tertentu. Maksudnya, ilmu nahwu secara khusus berbicara  tentang jabatan tiap elemen kalimat dan secara umum berbicara tentang  aturan mengenai hubungan antar elemen tersebut. Demikianlah, ilmu nahwu  telah digunakan untuk menganalisis secara sintaktik bagian-bagian sebuah  kalimat serta hubungan antar bagian-bagian tersebut dalam apa yang  dalam tradisi klasik kita disebut sebagai hubungan penyandaran (isnad),  atau dalam analisis yang dipakai oleh Imam Abdul Qohhar Al-Jurjaniy  dimana beliau menjadikan ilmu nahwu sebagai landasan dalam mengungkap  keajaiban Al-Qur’an (I’jaz Al-Qur’an). Beliau menulis dalam kitabnya Indikasi-indikasi Keajaiban (Dalaa-il al-I’jaz) :
  “Ketahuilah  bahwa apabila Anda melakukan refleksi terhadap diri Anda sendiri, maka  Anda akan memahami sesuatu yang tidak bisa diragukan lagi, yakni  bahwasanya dalam berbicara tidak ada aturan maupun tata urutan tertentu  kecuali bahwa sebagian mesti tergantung pada yang lain dan sebagian  mesti dibangun diatas yang lain. Demikian pula, suatu keadaan ini mesti  disebabkan oleh sesuatu yang lain. Yang demikian ini merupakan sesuatu  yang tidak akan dipungkiri oleh mereka yang berakal sehat, juga  merupakan sesuatu yang tidak tersembunyi bagi satu orang manusia pun.  Apabila kita mengamati yang demikian itu, kita akan mengetahui bahwa,  tidak bisa tidak, apabila Anda menggunakan sebuah isim maka isim  tersebut pasti menjadi fa’il atau maf’ul bagi fi’il-nya. Apabila Anda  menggunakan dua buah isim maka salah satu akan menjadi khabar bagi yang  lainnya. Apabila Anda meletakkan isim mengikuti isim yang lain maka isim  yang kedua pasti merupakan shifat bagi yang pertama, penegasan (ta’kid) baginya, atau pengganti (badal)  baginya. Apabila Anda meletakkan isim dibelakang sebuah kalimat  sempurna maka isim tersebut akan menjadi shifat, hal atau tamyiz.  Apabila Anda menginginkan bahwa dari dua fi’il, salah satu menjadi  syarat bagi yang lainnya, maka Anda harus memakai huruf atau isim dengan  makna yang sesuai. Demikian seterusnya, kita bisa menganalogikannya”.
  Selanjutnya,  beliau melanjutkan dengan menjelaskan pentingnya berpegang pada  kaidah-kaidah dan hukum-hukum nahwu, serta menjaga keterkaitan antara  bagian-bagian kalimat di satu sisi dan keterkaitan antara satu kalimat  dengan kalimat lainnya di sisi yang lain. Demikianlah sampai  kalimat-kalimat kita menjadi teratur dan tersusun secara sempurna, dalam  rangka mengungkapkan makna tertentu. Dalam hal ini, beliau menulis :
  “Ketahuilah  bahwa tidaklah aturan itu dibuat kecuali agar Anda meletakkan  kalimat-kalimat Anda pada tempatnya sebagaimana yang telah diatur oleh  ilmu nahwu, dan agar Anda mentaati hukum-hukum dan prinsip-prinsipnya.  Demikian pula, aturan tersebut dibuat agar Anda memahami  manhaj-manhajnya. Maka, janganlah Anda melanggar dan mengabaikannya”.
  Lebih  jauh lagi, beliau menambahkan bahwa nahwu merupakan ukuran bagi  benar-tidaknya ucapan dan kualitas keteraturannya. Sebaliknya, menyalahi  hukum-hukumnya akan berakibat pada rusaknya ucapan dan rendahnya  kualitas keteraturannya. Beliau menulis:
  “Persoalannya  ialah sebagai berikut. Anda tidak akan menemukan sesuatu yang  kebenarannya – jika memang benar - merujuk pada aturan dan kekeliruannya  – jika memang keliru - merujuk pada aturan, kecuali itu semua termasuk  dalam makna ilmu nahwu. Maka Anda tidak akan melihat suatu kalimat bisa  dinyatakan benar atau salah susunannya, dan dinyatakan sebagai kalimat  yang bagus dan indah, kecuali Anda harus mempunyai rujukan tentang  kebenaran dan kekeliruannya, atau tentang kebagusan dan keindahannya,  yang semua itu terdapat dalam makna-makna dan hukum-hukum ilmu nahwu,  serta prinsip-prinsip dan bahasan-bahasannya”.
Adapun ilmu atau aturan perubahan kata (sharf), ia banyak berkaitan dengan pembentukan kata (al-bunyat wa al- shighat).  Ilmu ini mempelajari timbangan-timbangan (wazan) dan indikasinya, serta  bentuk-bentuk perubahan yang sangat beragam seperti penghapusan (al-hadzf), penambahan (al-ziyadat), perentangan (al-tathwil), pemendekan (al-taqshir), peleburan (al-idgham), pembalikan (al-qalb), penggantian (al-ibdal), pencacatan (al-i’lal), serta keadaan saat terus (washl) dan saat berhenti (waqf). Dari sana kita bisa mengatakan bahwa titik tekan kajian sharf ialah al-shighat wa al-bunyat atau, dengan kata lain, kata (al-kalimat).Adapun  ilmu atau aturan pelafalan, ia secara khusus mempelajari pelafalan  bahasa, dari sisi karakteristiknya, sifat-sifatnya, macam-macamnya,  serta cara pelafalan dan perpindahannya dari mulut pembicara ke telinga  orang yang mendengarkan. Dengan demikian titik tekan kajian pelafalan  ialah suara (al-shaut).
Mengenai  yang terakhir, yakni ilmu atau aturan penunjukan (indikasi) makna,  sesungguhnya ia menitikberatkan pada aspek makna dan aspek penunjukan  makna. Titik berat pada aspek makna berarti bahwa disana akan dipelajari  tentang makna leksikon (al-ma’na al-mu’jami, al-ma’na al-qamusi) dari suatu kata, makna kontekstualnya (al-ma’na al-siyaqi) yang  disebabkan oleh susunan disekitarnya, makna individual, makna sosial,  dan sebagainya. Titik berat pada penunjukan makna berarti bahwa disana  akan dipelajari tentang perkembangan makna suatu kata, yang dipengaruhi  oleh banyak variabel seperti aspek individu, bahasa, sosial, kebudayaan,  militer, politik, peradaban, dan lain-lain.  Cabang-cabang  ilmu diatas secara bersama-sama membentuk bangunan ilmu bahasa secara  keseluruhan. Kita tidak mungkin memisahkan sama sekali satu cabang dari  yang lainnya karena bahasa, semuanya saja, bukan merupakan sesuatu yang  bisa dipisah-pisah. Bahasa tidak akan bisa berfungsi sebagaimana  mestinya apabila salah satu atau beberapa bagiannya ditiadakan. Ambillah  gambaran tentang nomor telepon. Ia merupakan susunan tertentu dari  beberapa angka, misalnya 751265. Setiap nomor dalam susunan tersebut  memiliki posisi numeralnya sendiri-sendiri. 5 bukanlah 6. Keduanya pun  bukanlah 2 atau 1. Demikian seterusnya. Ada yang berada pada posisi  satuan, puluhan atau ratusan. Angka 5 pada posisi satuan berbeda dengan  angka yang sama pada posisi puluhan ribu. Yang pertama berarti 5  sementara yang belakangan berarti 50000.
  Demikianlah  nomor telepon melakukan fungsinya dimana semua persyaratan yang telah  diterangkan diatas harus terpenuhi tanpa kecuali. Apabila salah satu  angka dihilangkan, atau salah satu angka diubah seperti 5 diubah menjadi  4, atau angka-angkanya ditukar tempatnya, maka fungsinya pun akan  hilang.
  Demikian  pula dengan bahasa, tidak bisa tidak. Kita harus memahaminya dari  segenap aturan-aturannya baik itu dari aspek nahwu, sharf, pelafalan,  atau penunjukan maknanya. Satu pun dari aspek-aspek tersebut tidak  mungkin bisa ditinggalkan. Kita membedakan atau memilah-milah  aturan-aturan tersebut hanyalah sebatas untuk menjadikannya sebagai  disiplin ilmu yang bisa dipelajari secara terpisah, karena masing-masing  aturan tersebut memiliki manhaj, tema, tujuan, persoalan, dan kaidahnya  sendiri-sendiri. Semua itu hanyalah dilakukan dalam rangka studi dan  pengkajian, serta untuk tujuan-tujuan pengajaran dan pendidikan.
  Dari  sini jelas sudah kaitan antara nahwu dan bahasa yakni bahwa nahwu  merupakan bagian dari bahasa. Demikian juga telah jelas pula kaitan  antara nahwu dan sharf, pelafalan, serta penunjukan makna. Semuanya  merupakan elemen-eleman dari satu kesatuan yakni bahasa.
Berdasarkan  apa yang sudah dikemukakan diatas tentang karakteristik dan funsi ilmu  nahwu, kiranya sudah jelas bagi pembaca bahwa nahwu tidaklah sebagaimana  yang didefinisikan oleh sebagian orang, yakni “mengetahui harakat dari  akhir kata serta i’rabnya”. Nahwu, ternyata, lebih luas daripada sekedar  masalah harakat akhir kata. Ia merupakan ilmu yang mengkhususkan diri  berbicara tentang aturan menyusun dan merangkai ucapan. Kata-kata harus  disusun berdasarkan pola-pola tertentu dan kaidah-kaidah yang sudah ada.  Demikianlah kata-kata itu tersusun berdampingan satu sama lain,  memiliki harakat yang berbeda-beda, dan memiliki posisi yang  berbeda-beda, sesuai dengan aturan umum berbahasa. Nahwu merupakan ilmu  mengatur kata-kata atau ilmu menyusun kata-kata, yang banyak mempelajari  tentang pengaturan kalimat dalam berbagai macam dan bentuknya. Ia juga  mempelajari tentang elemen-elemen kalimat baik dari sisi kedudukannya,  fungsinya, kaitannya, i’rabnya, dan hal-hal lain yang termasuk dalam  aturan-aturan nahwu.2.PENYUSUNAN ILMU NAHWU
 Diantara  prestasi cemerlang yang senantiasa diabadikan oleh sejarah ialah  penyusunan (peletakan) ilmu nahwu. Para ahli tata bahasa kontemporer –  di Timur maupun di Barat – hanya bisa tercengang dengan penuh rasa  takjub, karena ilmu nahwu ternyata sangat sempurna, memiliki kaidah yang  teliti, dan hukum-hukumnya senantiasa konsisten. Ini, sungguh,  merupakan sebuah penemuan ilmiah sekaligus prestasi pioner dalam bahasa,  yang dicapai dibawah petunjuk Kitab Suci Rabb semesta alam dan sunnah  Nabi saw. Disamping itu, semua ini juga karena lingkungan yang khas  dengan ketercerahan, kejernihan pikiran, kejelasan pandangan, dan  kejelasan akan kebenaran. Karakter pikiran yang demikian itu telah  menghasilkan ingatan yang kuat, ketajaman rasa, kemampuan analisis dan  sintesis, kemampuan metodologis dalam menggali hukum, dan kemampuan problem solving  melalui kajian yang mendalam. Namun sebelum semua itu, akal Arab telah  memiliki orientasi yang amat mulia, yang menjadi bagian dari aqidah dan  iman, yakni untuk menjaga Al-Qur’an yang mulia serta memeliharanya dari  berbagai kesalahan dan kekeliruan.
  Sesungguhnya  sebagian kalangan telah mengakui prestasi pioner ini. Adapun  orang-orang yang menyimpan kedengkian, maka mereka berusaha untuk  menyuarakan kebatilan dengan baju kebenaran, yakni dengan mengatakan  bahwa asal muasal dan referensi tata bahasa Arab ialah tata bahasa lain.  Mereka menyebarluaskan paham bahwa para ahli tata bahasa Arab telah  dipengaruhi oleh para ahli tata bahasa lain.
  Berangkat  dari sini, kita hendaknya memahami bahwa bahasan tentang penyusunan  ilmu nahwu merupakan bahasan penting yang harus dicermati oleh para  generasi muda kita. Mereka harus melakukan pengkajian yang detail atas  bahasan tersebut. Dengan demikian pemahaman mereka atas khazanah klasik  akan bertambah. Disamping itu, mereka juga akan sanggup membela  kemuliaan generasi terdahulu mereka, membentengi diri mereka dari  gelombang peragu-raguan dan inferioritas, dan penghancuran khazanah  klasik kita yang dilakukan oleh musuh-musuh Islam dan Arab.
  Berbicara  tentang penyusunan ilmu nahwu akan berhubungan dengan persoalan yang  cukup banyak. Siapakah yang menyusunnya? Sebelum pertanyaan ini ialah  pertanyaan “Apa sebab-sebab yang mendorong penyusunannya?” Bab apa yang  pertama kali disusun dalam ilmu nahwu? Atau barangkali ilmu nahwu  disusun secara sekaligus? Dimana dan kapan ia disusun? Lalu apa saja  bahasan ilmu ini? Apa tujuan dan fungsinya? Dari mana ia dikembangkan?  Demikian seterusnya, yang semua persoalan tersebut akan dibahas berikut  ini.
SEBAB-SEBAB YANG MENDORONG DISUSUNNYA ILMU NAHWU
Orang-orang  Arab pra-Islam merupakan model sebuah masyarakat yang khas dan unik.  Mereka memiliki tradisi bahasa yang menjadi patron bagi aturan bahasa  secara umum. Pada masa mereka tidak terjadi pergumulan dengan  bangsa-bangsa lain yang sampai menimbulkan pengaruh yang signifikan pada  bahasa mereka. Ini berkebalikan dengan apa yang terjadi pada zaman  sesudah Islam, dengan beberapa alasan yang akan dibahas kemudian.
  Bahasa di jazirah Arab pra-Islam bisa dibedakan atas dua tingkatan:
 - Pertama, tingkatan bahasa fasih, yang berupa bahasa patron yang disepakati, dan berkiblat pada dialek Quraisy yang digunakan dalam bidang keagamaan, politik, perdagangan, dan kebudayaan, sampai-sampai kabilah-kabilah Arab menjadikannya sebagai kiblat dalam berbagai bidang kehidupan.
 - Kedua, tingkatan dialek, yang terdiri dari dialek-dialek berbagai kabilah yang sangat banyak jumlahnya, yang mana cara dan tradisinya berbeda satu sama lain sampai pada batas-batas tertentu.
 
Orang-orang  Arab saat itu mampu berbicara dalam kedua tingkatan tersebut, yang  fasih maupun dialek. Mereka menggunakan bahasa dialek apabila sedang  bercakap-cakap santai dengan keluarga. Apabila mereka pada saat yang  lain dituntut untuk memakai bahasa yang fasih maka mereka pun akan  melakukannya tanpa merasa kesulitan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar