Minggu, 11 Maret 2012

MAQASID SYARIAH-2

Suatu waktu Nabi Muhammad SAW melarang kaum muslimin menyimpan daging kurban kecuali dalam batas tertentu, sekedar bekal untuk tiga hari. Akan tetapi, beberapa tahun kemudian peraturan yang ditetapkan oleh Nabi Muhammad itu dilanggar oleh para sahabat. Permasalahan itu disampaikan kepada Nabi Muhammad. Beliau membenarkan tindakan para sahabat itu sambil menerangkan bahwa larangan menyimpan daging kurban adalah didasarkan atas kepentingan Al Daffah (tamu yang terdiri dari orang-orang miskin yang datang dari perkampungan sekitar Madinah). Setelah itu, Nabi Muhammad bersabda, “Sekarang simpanlah daging-daging kurban itu, karena tidak ada lagi tamu yang membutuhkannya”.
Dari kasus tersebut terlihat, adanya larangan menyimpan daging kurban diharapkan tujuan syariat dapat dicapai, yakni melapangkan kaum miskin yang datang dari dusun-dusun di pinggiran Madinah. Setelah alasan pelarangan tersebut tidak ada lagi, maka larangan itu pun dihapuskan oleh Nabi SAW.
Dari ketetapan tersebut terlihat bahwa sejak masa Nabi Muhammad, Maqasid Al Syariah telah menjadi pertimbangan sebagai landasan dalam menetapkan hukum. Upaya seperti itu, seterusnya dilakukan pula oleh para sahabat. Upaya demikian terlihat jelas dalam beberapa ketetapan hukum yang dilakukan oleh Umar Ibn al Khattab. Kajian Maqasid Al Syariah ini kemudian mendapat tempat dalam ushul fiqh, yang dikembangkan oleh para ushuli dalam penerapan qiyas, ketika berbicara tentang Masalik Al Illah. Kajian demikian terlihat dalam beberapa karya ushul fiqh, seperti Ar-Risalah oleh Al Syafii, Al-Musthafa karya Al Ghazali, Al-Mu’tamad karya Abu Al Hasan Al Bashri, dan lain-lain. Kajian ini kemudian dikembangkan secara luas dan sistematis oleh Abu Ishaq Al Syathibi.1

Dalam kelanjutannya, Maqasid Al Syariah malah menjadi bahasan yang kurang populer atau bahkan diabaikan dalam banyak buku referensi yang berbicara tentang ushul fiqh. Penelusuran tentang bahasan Maqasid Al Syariah menjadi tidak mudah didapat. Sejauh ini pembahasan Maqasid Al Syariah lebih banyak diidentikkan dengan Abu Ishaq al Shathibi.
Sedikitnya kitab-kitab ushul fiqh salaf terutama dari ulama madzhab Syafi’i yang membicarakan Maqasid Al Syariah atau bahkan mengabaikannya dalam pokok bahasan mereka, tersebab keterkaitan bahasan ini dengan teologi yang diyakininya.
Sebagaimana dijelaskan Shatibi, doktrin Maqasid Al Syariah menjelaskan bahwa tujuan akhir hukum adalah satu, yaitu mashlahah atau kebaikan dan kesejahteraan umat manusia.2 Teologi Islam menerima pengertian umum dan lahir dari mashlahah ini, tetapi mereka saling berbeda pendapat jika mashlahah dipahami dalam kerangka kausalitas. Kaum Asy’ariah menolak secara eksplisit maupun implisit, kausalitas dalam hubungannya dengan Tuhan. Bagi mereka, premis ini mengimplikasikan bahwa Tuhan diwajibkan karena pertimbangan mashalah, untuk bertindak dalam suatu cara tertentu. Karena kewajiban semacam itu berarti membatasi kemahakuasaan Tuhan, maka kaum Asy’ariah menolak ide bahwa mashlahah adalah ‘Illal Al Syar’i. Kendatipun demikian, mereka menerima premis ini dengan menafsirkan mashlahah sebagai ‘rahmat’ Tuhan, dibanding sebagai ‘sebab’ bagi tindakan-tindakanNya. Di sisi lain kaum Mu’tazilah walaupun juga mempertahankan kemahakuasaan Tuhan. Tetapi menyakini bahwa Tuhan berkewajiban melakukan kebaikan. Sebagai konsekwensinya, mereka menerima premis diatas, mengenai mashlahah sebagai ‘Illat Al Syariah.
Argument-argumen teologis yang merambat ke dalam ushul fiqh ini, karena banyak penulis dalam bidang ushul fiqh juga menulis di bidang teologi.3 Namun demikian, ushul fiqh menuntut suatu cara berpikir dan metode penalaran yang berbeda dari metode kalam. Pemikiran hukum mengharuskan bahwa kehendak bagi tindakan-tindakan sukarela manusia harus dihubungkan dengan manusia itu sendiri jika ia secara hukum harus bertanggung jawab atas tindakan-tindakannya. Karena ketaatan kepada perintah-perintah Tuhan tergantung pada kehendak manusia, maka perintah itu harus diperlihatkan dimotivasi oleh perkembangan kepentingan-kepentingan manusia. Sebagai konsekwensinya, premis mashlahah harus diterima dalam ushul fiqh dalam kerangka sebab, motif dan tujuan.
Perdebatan mengenai Maqasid Al Syariah ini, tidak saja terkait dengan teologi, tetapi juga terkait dengan kehujjahan Maqasid Al Syariah sebagai sumber pengembangan hukum. Metode-metode pengembangan hukum Islam yang didasarkan atas Maqasid Al Syariah seperti istihsan dan mashlahah mursalah,4 adalah metode pengembangan yang diperselisihkan keberadaannya. Imam Syafi’i contohnya, atas istihsan dia menyatakan:
من إستحسن فقد تشرع
“Barang siapa yang menggunakan istihsan maka ia telah benar-benar mencipta syara’”.5

Pengertian dan Cakupan Maqasid Al Syariah

Maqasid Al Syariah berarti tujuan Allah SWT dan Rasul-Nya dalam merumuskan hukum Islam.6 Sementara menurut Wahbah al Zuhaili, Maqasid Al Syariah berarti nilai-nilai dan sasaran syara’ yang tersirat dalam segenap atau bagian terbesar dari hukum-hukumnya. Nilai-nilai dan sasaran-sasaran itu dipandang sebagai tujuan dan rahasia syariah, yang ditetapkan oleh al-Syari’ dalam setiap ketentuan hukum.7 Menurut Syathibi tujuan akhir hukum tersebut adalah satu, yaitu mashlahah atau kebaikan dan kesejahteraan umat manusia.8
Maqasid Al Syariah, yang secara substansial mengandung kemashlahatan, menurut al Syathibi dapat dilihat dari dua sudut pandang. Pertama maqasid al syari’ (tujuan Tuhan). Kedua maqasid al mukallaf (tujuan mukallaf). Dilihat dari sudut tujuan Tuhan, Maqasid Al Syariah mengandung empat aspek, yaitu:9
  1. Tujuan awal dari Syari’ menetapkan syariah yaitu kemashlahatan manusia di dunia dan akhirat.
  2. Penetapan syariah sebagai sesuatu yang harus dipahami.
  3. Penetapan syariah sebagai hukum taklifi yang harus dilaksanakan.
  4. Penetapan syariah guna membawa manusia ke bawah lindungan hukum.
Begitu pula dari sudut maqasid al mukallaf, Maqasid Al Syariah mengandung empat aspek pula, yaitu:10
  1. Pembicaraan mashlahah, pengertian, tingkatan, karakteristik, dan relativitas atau keabsolutannya.
  2. Pembahasan dimensi linguistik dari problem taklif yang diabaikan oleh juris lain. Suatu perintah yang merupakan taklif harus bisa dipahami oleh semua subjeknya, tidak saja dalam kata-kata dan kalimat tetapi juga dalam pengertian pemahaman linguistik dan kultural. Al Syathibi mendiskusikan problem ini dengan cara menjelaskan dalalah asliyah (pengertian esensial) dan ummumiyah (bisa dipahami orang awam).
  3. Analisa pengertian taklif dalam hubungannya dengan kemampuan, kesulitan dan lain-lain.
  4. Penjelasan aspek huzuz dalam hubungannya dengan hawa dan ta’abud.
Mayoritas peneliti membagi kemashlahatan menjadi dua macam, kemashlahatan akhirat yang dijamin oleh akidah dan ibadah dan kemashlahatan dunia yang dijamin oleh muamalat. Tetapi dalam pembahasan ini, tidak ditemukan korelasi yang mengharuskan untuk memperhatikan pembagian ini. Karena pada hakekatnya segala hal yang terkait dengan akidah, ibadah dan muamalat dalam syariat Islam menjamin segala kemashlahatan umat baik sisi dunia maupun akhirat.11
Kemashlahatan yang menjadi tujuan syariat ini dibatasi dalam lima hal, agama, jiwa/nafs, akal, keturunan dan harta. Setiap hal yang mengandung penjagaaan atas lima hal ini disebut maslahah dan setiap hal yang membuat hilangnya lima hal ini disebut mafsadah.12
Adapun setiap hal yang menjadi perantara terjaganya lima hal ini, dibagi menjadi tiga tingkatan kebutuhan yaitu al dlorruriyat, al hajiyat dan al tahsinat.13

Kebutuhan dhoruriyat

Definisinya adalah tingkat kebutuhan yang harus ada atau disebut juga kebutuhan primer. Apabila tingkat kebutuhan ini tidak terpenuhi maka keselamatan ummat manusia akan terancam, baik di dunia maupun di akhirat. Menurut Al Syatibi ada lima hal yang termasuk dalam kategori ini yaitu memelihara agama, jiwa, kehormatan, keturunan dan harta. Untuk memelihara lima hal pokok inilah syariat Islam diturunkan. Dalam setiap ayat hukum apabila diteliti akan ditemukan alasan pembentukannya yang tidak lain adalah untuk memelihara lima hal pokok di atas. Seperti kewajiban qisas:
ولكم فى القصاص حياة يأولى الألباب لعلكم تتقون
“Dan dalam qisas itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu hai orang-orang yang bertakwa”14
Dari ayat ini dapat diketahui bahwa disyariatkannya qisas karena dengan itu ancaman terhadap kehidupan manusia dapat dihilangkan.

Kebutuhan al hajiyat

Al Syatibi mendefinisikan sebagai kebutuhan sekunder. Jika kebutuhan ini tidak terpenuhi keselamatan manusia tidak sampai terancam. Namun ia akan mengalami kesulitan. Syariat Islam menghilangkan segala kesulitan tersebut. Adanya hukum rukhshah (keringanan) seperti dijelaskan Abdul Wahhab Khallaf. Merupakan contoh kepedulian syariat Islam terhadap kebutuhan ini. Contoh pembolehan tidak berpuasa bagi musafir, hukuman diyat (denda) bagi seorang yang membunuh secara tidak sengaja, penangguhan hukuman potong tangan atas seseorang yang mencuri karena terdesak untuk menyelamatkan jiwanya dari kelaparan.

Kebutuhan al tahsinat

Definisinya adalah kebutuhan yang tidak mengancam eksistensi salah satu dari lima hal pokok tadi dan tidak pula menimbulkan kesulitan apabila tidak terpenuhi. Tingkat kebutuhan ini berupa kebutuhan pelengkap, seperti dikemukakan Al Syatibi seperti hal yang merupakan kepatutan menurut adat-istiadat menghindari hal yang tidak enak dipandang mata dan berhias dengan keindahan yang sesuai dengan tuntutan norma dan akhlak, dalam berbagai bidang kehidupan seperti ibadah muamalah, dan uqubah. Allah SWT telah mensyariatkan hal yang berhubungan dengan kebutuhan tahsinat. Contoh anjuran berhias ketika hendak ke masjid, anjuran memperbanyak ibadah sunnah, larangan penyiksaan mayat dalam peperangan/ muslah.
Al Syatibi juga membagi mashlahah dalam tiga hal:15
  1. Mashlahah muktabar, yaitu kemashlahatan yang berhubungan dengan penjagaan pada lima hal sebagaimana diungkap di atas. Usaha pemeliharaan kemashlahatan yang lima ini adalah pemeliharaaan yang dhoruri (yang paling utama). Itulah sebabnya diharuskannya berjihad kepada yang kuat fisiknya untuk melawan serangan musuh yang bermaksud menghancurkan agama dan tanah air. Ditetapkannya hukuman qisas untuk menjamin keselamatan jiwa, dan lain-lain.
  2. Mashlahat mulgha, yaitu sesuatu yang sepintas lalu terlihat mashlahat, tetapi ada mashlahat yang lebih besar sehingga mashlahat yang kecil itu boleh diabaikan. Sebagai contoh, pada suatu ketika Abdurrahman ibn Hakam, gubernur Andalusia, meminta fatwa kepada Imam al Laitsi tentang kafarat karena telah membatalkan puasa Ramadhan dengan mencampuri istrinya di siang hari. Al laitsi memfatwakan bahwa kafaratnya harus berpuasa dua bulan berturut-turut. Pengambilan keputusan ini diambil dengan argumen bahwa memerdekakan budak atau memberi makan 60 oarang miskin terlalu ringan bagi seorang gubernur, maka dikawatirkan sang gubernur meremehkannya. Kemashlahatan yang lebih besar dalam kasus ini adalah kemashlahatan agama.
  3. Mashlahat mursalah, yaitu kemashlahatan yang tidak terkait dengan dalil yang memperbolehkan atau melarangnya, contoh untuk mengatasi merajalelanya pemalsuan hak milik atas barang-barang berharga atau pemalsuan isteri agar dapat bebas kumpul kebo maka atas pertimbangan mashlahah mursalah boleh diadakan ketentuan kewajiban mencatat dan keharusan mempunyai keterangan yang sah setiap terjadi akad jual beli, nikah, hibah dan lain sebagainya.

Batasan Maslahah

Al Syatibi memberikan gambaran tentang karakter mashlahah:16
  • Tujuan legislasi (tashri’) adalah untuk menegakkan mashlahah di dunia ini dan di akhirat.
  • Syari’ menghendaki masalih harus mutlak
Alasan bagi kedua pertimbangan di atas ialah bahwa syariah telah dilembagakan harus abadi, universal (kull), dan umum (amm) dalam hubungannya dengan segala macam kewajiban (takalif), subjek hukum (mukallafin) dan kondisi-kondisi (ahwal).
Ketiga karakter di atas menuntut mashlahah harus mutlak dan universal. Kemutlakan berarti bahwa mashlahah tidak boleh subjektif dan relatif. Kenisbian biasanya didasarkan pada sikap menyamakan suatu masalah dengan salah satu dari kondisi kesenangan pribadi, keuntungan pribadi, pemenuhan keinginan nafsu dan kepentingan individu. Semua pertimbangan di atas memberikan konsep mashlahah akan makna relatif dan subjektif, yang bukan merupakan pertimbangan syari’ dalam mashlahah, meski mungkin dipertimbangkan dalam budaya adat.
Unsur universal dalam karakter di atas, tidak dipengaruhi oleh takhalluf (memperkecil) unsur-unsur partikulernya. Misalnya hukuman diberlakukan berdasarkan ketentuan universal bahwa biasanya hukuman ini mencegah orang dari melakukan kejahatan dengan mengabaikan orang-orang tertentu yang walaupun dihukum, tidak dapat menahan diri dari melakukan suatu kejahatan. Keberadaan orang-orang tertentu ini tidak mempengaruhi validitas ketentuan umum tentang hukuman.
Kemashlahatan asasi bagi al Buthi, sebenarnya hanyalah satu yaitu terciptanya penghambaan seorang mukallaf kepada Allah dan ma’rifat billah.17 Al Buthi mendasarkan pada dalil:
وابتغ فيما أتاك الله الدار الأخرة ولا تنس نصيبك من الدنيا…….
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi …”.18
Al Buthi menandaskan bahwa mayoritas ahli tafsir bersepakat bahwa pernyataan la tansa nashibaka min al dunya, bermakna bagian dunia yang berfaedah bagi akhiratnya.
Dalam memberikan batasan mashlahah, al Buthi memaparkan dua hal yang keluar dari kriteria mashlahah:19
  • Segala hal yang keluar dari substansi mashlahah dengan tujuan penjagaan lima hal contoh melepaskan ketentuan diri dari ketentuan ibadah, menginginkan kenikmatan berzina, melampaui batas penjagaan diri tanpa ketentuan yang dibenarkan syara’ dan lain-lain.
  • Segala sesuatu yang tidak bertentangan dengan substansi mashlahah tetapi menjadi berubah karena tujuan yang tidak baik berdasar hadits: “innamal a’malu binniyat”.

Kehujjahan Maqasid Al Syariah (mashlahah)

Mashlahah dalam bingkai pengertian yang membatasinya bukanlah dalil yang berdiri sendiri atas dalil-dalil syara’ sebagaimana Al Qur’an, Al Hadits, Ijma’ dan Qiyas. Dengan demikian tidaklah mungkin menentukan hukum parsial (juz’i/far’i) dengan berdasar kemashlahatan saja. Sesungguhnya mashlahah adalah makna yang universal yang mencakup keseluruhan bagian-bagian hukum far’i yang diambil dari dalil-dalil atau dasar syariah.
Kesendirian mashlahah sebagai dalil hukum, tidak dapat dilakukan karena akal tidak mungkin menangkap makna mashlahah dalam masalah-masalah juz’i. Hal ini disebabkan dua hal:20
  • Kalau akal mampu menangkap Maqasid Al Syariah secara parsial dalam tiap-tiap ketentuan hukum, maka akal adalah penentu/hakim sebelum datangnya syara’. Hal ini mungkin menurut mayoritas ulama.
  • Kalau anggapan bahwa akal mampu menangkap Maqasid Al Syariah secara parsial dalam tiap-tiap ketentuan hukum itu dianggap sah-sah saja maka batallah keberadaan atsar /efek dari kebanyakan dalil-dalil rinci bagi hukum, karena kesamaran substansi mashlahah bagi mayoritas akal manusia.
Bagi Abdul Wahhab Khallaf, Maqasid Al Syariah adalah suatu alat bantu untuk memahami redaksi Al Qur’an dan Al Hadits, menyelesaikan dalil-dalil yang bertentangan dan menetapkan hukum terhadap kasus yang tidak tertampung dalam Al Qur’an dan Al Hadits.21
Dari apa yang disampaikan Abdul Wahhab Khallaf ini, menunjukkan Maqasid Al Syariah tidaklah mandiri sebagai dalil hukum tetapi merupakan dasar bagi penetapan hukum melalui beberapa metode pengambilan hukum. Namun begitu, sebagaimana disinggung dalam pendahuluan hampir keseluruhan metode yang dipertentangkan/tidak disepakati oleh ulama, adalah karena faktor pengaruh teologi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar