Kamis, 29 Maret 2012

PERANAN INSTITUSI PENDIDIKAN ISLAM DALAM PEMBANGUNAN WACANA KEISLAMAN (PERSPEKTIF PERGURUAN TINGGI )

Pendahuluan
    Untuk membahas topik seperti yang tertera dalam tema seminar ini, maka pertama-tama kita harus membahas dulu apa yang dimaksud dengan wacana keislaman itu.  Sesudah itu kita akan membahas bagaimana kondisi wacana keislaman saat ini dan bagaimana peran yang dapat dimainkan oleh institusi pendidikan Islam untuk membangun wacana tersebut.

      Wacana, seperti yang digunakan dalam konteks ini, adalah terjemahan dari kata discourse dalam Bahasa Inggris.  Menurut kamus, arti kata discourse adalah (1) talk, conversation, dan (2) lecture, treatise, or sermon.iii  Dalam bahasa Indonesia awam, wacana dapat diartikan sebagai 'percakapan, pertukaran pendapat.’  Dus, istilah ‘wacana ilmiah’ berarti ‘percakapan atau pertukaran pendapat dalam topik ilmu’.  Demikian pula, istilah ‘wacana keislaman’ dalam hal ini akan diartikan sebagai ‘perbincangan, percaturan, atau pertukaran pendapat di bidang keislaman.’  Dalam pembicaraan kita kali ini, yang dimaksud dengan wacana keislaman adalah percaturan umum tentang masalah agama Islam di Indonesia.

Kondisi wacana keislaman di Indonesia saat ini

      Banyak kesan yang akan diperoleh kalau kita mengamati wacana keislaman yang ada di Indonesia saat ini.  Semua itu tergantung pada siapa yang mengamatinya, apa atau siapa yang diamatinya, paradigma dan parameter apa yang digunakannya, dari sudut mana ia mengamatinya, serta kapan dan di mana ia mengamatinya.  Ada yang terkesan memprihatinkan, ada yang terkesan sudah lumayan, bahkan ada yang terkesan sudah cukup baik jika dibandingkan dengan keadaan di tempat lain.

    Salah satu perspektif yang menarik adalah gambaran situasi wacana keislaman di Indonesia yang diberikan oleh sebagian mahasiswa STAIN Ponorogo, seperti yang tertuang dalam proposal seminar ini.  Dari proposal panitia diperoleh kesan bahwa kondisi wacana keislaman di Indonesia ini tidak ideal, atau bahkan memprihatinkan.  Wacana keislaman di Indonesia dianggap telah 'membeku', statis, karena tidak ada lagi perdebatan teologis yang dinamis.  Terlalu banyak wilayah yang tabu untuk dibicarakan.  Dalam kata-kata di proposal, " …'gugatan' terhadap teks ajaran (nash) masih merupakan sesuatu yang tabu dalam tradisi pemahaman agama di lingkungan ummat Islam."  Teks ajaran (nash) telah diajarkan kepada generasi muda sebagai ajaran yang telah mapan dan normatif, sebagai " … wujud tunggal dari 'kebenaran mutlak' yang mesti dijadikan pedoman.  Kecenderungan untuk bergeser dari teks, meskipun sedikit saja, atau menempatkan 'ajaran' lain sebagai pedoman ekstra di sampingnya adalah suatu penyelewengan yang sering disebut sebagai bid'ah atau khurafat, suatu 'kejahatan teologis' yang tiada ampun baginya."iv  Proposal tersebut juga mengesankan adanya semacam 'gugatan' terhadap kondisi wacana keislaman di Indonesia yang mungkin dirasakan kurang ideal serta 'permintaan pertanggung-jawaban' kepada institusi pendidikan Islam mengenai peran mereka untuk membangun wacana keislaman itu

    Kalau kita amati, wacana keislaman di Indonesia sampai saat ini memang terasa ‘adem-ayem’, tenang-tenang saja, dan biasa-biasa saja.  Tidak ada dinamika diskusi dan perbedaan pendapat yang menggairahkan dan meangsang pemikiran.  Ajaran Islam kita pelajari sebagai barang yang sudah jadi dan tinggal menjalankannya saja.  Hal ini bukan saja dalam hal fiqh bahkan sampai pada masalah-masalah keimanan.  Di sekolah umum, misalnya, agama Islam diajarkan sebagai suatu yang monolitik, satu intepretasi dan tak ada perbedaan faham.  Bahkan Islam diajarkan tanpa sejarahnya yang panjang dan penuh dinamika perdebataan teologis, pertikaian antar sesama muslim, serta jatuh bangunnya kerajaan Islamv .Tak ada penemuan-penemuan baru, pemikiran-pemikiran baru, ataupun suasana yang mendorong orang untuk melakukan pemikiran-pemikiran dan mencari penerapan ajaran pada konteks masyarakat yang selalu berubah.

    Perkembangan zaman yang semakin modern telah melahirkan teorisi-teorisi dalam berbagai disiplin ilmu yang berangkat dari pengalaman empirik, bukan dari wahyu.  Bidang ilmu ini kebanyakan dikembangkan di negeri Barat yang kemudian masuk ke negeri muslim.  Karena didasarkan pada pengalaman empirik, teori-teori ini (di bidang sosial maupun eksakta) tampak ‘membumi’, sesuai dengan kenyataan di lapangan.  Sebaliknya, ajaran Islam yang didasarkan pada wahyu sering memberikan kaidah-kaidah yang ideal dan kadang-kadang tidak sesuai dengan kenyataan.  Sebagai contoh, ada ayat Al-Qur’an yang menyatakan bahwa shalat itu akan mencegah orang berbuat kejahatan.  Namun, di lapangan orang dapat dengan mudah melihat ada orang yang shalat tetapi tetap juga berbuat kejahatan.  Contoh lain adalah kampus sekolah Islam yang kumuh padahal ada hadith yang mengatakan bahwa kebersihan itu adalah sebagian dari iman.

    Keadaan seperti inilah yang mungkin menimbulkan kegelisahan di kalangan sebagian ummat Islam, utamanya di kalangan mereka yang telah mempelajari teori-teori ilmu empirik.  Konsep pendidikan untuk pembebasan yang dicetuskan Paulo Freire, misalnya, telah mengusik sebagian mahasiswa Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel beberapa waktu yang lalu untuk mempertanyakan keberadaan Pendidikan Islam yang, menurut mereka, malahan menindas para santri.  Mereka mulai mempertanyakan kebenaran ajaran Islam karena, secara empiris, ternyata ajaran-ajaran itu tidak benar (tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan).  Hal ini terutama muncul di kalangan mahasiswa, lapisan masyarakat yang memang dilatih untuk berfikir kritis dan skeptis.  Namun, ketika mereka mempertanyakan hal ini, tampaknya bukan jawaban yang mereka dapatkan melainkan ‘peringatan-peringatan’ dari para pemuka agama.  Maka jadilah mereka orang-orang yang ketakutan, frustrasi, dan merasa tertekan.  Mereka mendambakan suasana wacana keislaman yang tidak menekan melainkan yang mencerahkan (enlightening).

      Mengapa hal ini dapat terjadi?  Salah satu penyebabnya mungkin adalah karena pendekatan keagamaan yang selama ini diterapkan di Indonesia adalah pendekatan kekuasaan dan keamanan, persis seperti pendekatan di bidang politik.  Agama diformalkan dan perlu diatur agar tertib.  Untuk eksis, agama memerlukan legalisasi dari pemerintah..  Kong Hu Cu dianggap tidak ada di Indonesia, meskipun pemeluknya cukup banyak, dan tidak boleh melakukan upacara peribadatan.  Bahkan dianjurkan untuk bergabung saja dengan agama Budha.  Kelompok Darul Hadith Kediri juga dilarang karena ajarannya dianggap menyimpang dari ajaran ‘pakem’ sehingga harus bermetamorphose dengan nama lain.
    
    Di kalangan masyarakat, sikap keagamaan masyarakat juga masih mengandalkan emosi dan otot, bukan nalar dan nurani dalam menyelesaikan perbedaan.  Kita lihat, misalnya, gerakan penggerebekan aliran sesat (tarekat?) di Malang, pembakaran rumah ibadah ummat lain, dsb.  Semuanya itu menunjukkan bahwa sebagian dari masyarakat kita masih beranggapan bahwa kekerasan (otot) dan emosi merupakan satu-satunya cara untuk menghilangkan perbedaan.  Memeluk agama dikira dapat dilakukan dengan paksaan ataupun bujukan materi.  Fanatisme agama kelompok (biasanya berdasarkan emosi) tumbuh subur dan dipelihara.

    Sebagian masyarakat muslim juga masih berfikirn sempit yang ditandai dengan sikap bahwa hanya pendapatnya atau pendapat kelompoknya lah yang benar sedang pendapat kelompok lain yang berbeda, atau bertentangan, dengan pendapat kelompoknya adalah salah.  Hal ini tampak dalam bentuk-bentuk kelompok eksklusif yang ‘tampil beda’ di kalangan masyarakat.  Meskipun tidak semua kelompok bersikap eksklusif, tapi tidak sedikit kelompok (bahkan yang diikuti oleh para mahasiswa) yang berfikir bahwa penafsiran Islam seperti pendapat kelompoknya itu sajalah yang benar, sementara kelompok lain yang tidak sealiran bisa dianggap bukan Muslim.vi  Akibatnya, orang cenderung untuk menganggap pendapat orang lain salah sebelum ia mengetahui apa pendapat mereka itu.

    Suasana wacana keislaman yang bagaimanakah yang diinginkan oleh para mahasiswa itu?  Mungkin yang diinginkan oleh pemikir-pemikir muda ini adalah adanya suatu suasana wacana yang penuh dinamis, penuh gairah, penuh perbedaan pendapat dan adu argumentasi sehingga merangsang pemikiran yang lebih mendalam guna memahami lebih jauh masalah-masalah keislaman.  Inilah suasana akademis yang umumnya ada di perguruan tinggi tempat orang mencari ilmu dan kebenaran.  Ini adalah suatu keinginan yang masuk akal mengingat kedudukan mereka sebagai mahasiswa, lapisan masyarakat yang memang dilatih untuk berfikir kritis dan skeptis.

Peran institusi pendidikan Islam dalam membangun wacana keislaman

    Bagaimana caranya agar suasana wacana keislaman di Indonesia yang beku dan statis itu diubah menjadi dinamis dan merangsang daya pikir?  Adakah peran yang dapat dimainkan oleh institusi pendidikan Islam dalam hal ini?  Inilah pertanyaan-peranyaan yang akan dijawab dalam bagian ini.

    Yang pertama harus kita sadari adalah adanya berbagai jenis lapisan dalam masyarakat muslim: masyarakat awam, mahasiswa yang sedang mempelajari ilmu keislaman, dan para ulama atau ahli agama.  Tentunya, masing-masing lapisan masyarakat itu memiliki kebutuhan akan ilmu agama yang berbeda-beda. Ada yang memerlukan agama sebagai pedoman hidup dan mempelajarinya sekedar cukup untuk dipakainya sendiri, ada yang mempelajari agama  sebagai ilmu pengetahuan yang merangsang fikiran dan rasa ingin tahu dan ada pula yang mempelajari agama sebagai ilmu untuk diajarkan kepada orang lain

    Untuk lapisan pertama (kalangan awam), barangkali mereka akan lebih senang apabila agama itu disajikan sebagai suatu rambu-rambu hidup yang sudah jadi dan tinggal melaksanakannya saja.  Pergulatan keagamaan mereka adalah bagaimana mereka dapat menyesuaikan diri mereka dengan tuntutan ajaran agama yang, secara sederhana, dilihatnya sebagai kumpulan perintah dan larangan Tuhan.  Suasana akademis yang penuh perbedaan pendapat dalam hal ajaran agama akan sangat membingungkan mereka. Untuk kalangan yang ke dua, tentunya suasana akademis yang terbuka dan penuh perbedaan pendapat akan sangat membantu mereka meluaskan wawasan dan pengertiannya mengenai ilmu keislaman.  Suasana yang beku, statis, tentu tidak akan merangsang daya fikirnya yang selalu mengharapkan adanya pemikiran-pemikiran baru.  Kelompok ke tiga juga akan diuntungkan oleh suasana akademis ini karena hal itu akan meluaskan wawasan dan pengetahuan mereka yang, pada gilirannya, akan berguna bagi pengajarannya kepada orang lain.  Tentu saja ia harus dapat memilih apa yang harus disajikan kepada para muridnya itu sesuai dengan kebutuhan mereka akan ajaran agama.

    Suasana akademis ini dapat dimulai dari perguruan tinggi Islam, terutama yang khusus mempelajari ilmu agama Islam seperti IAIN, STAIN, dan STAIS.  Hal ini dikarenakan lembaga pendidikan tersebut, sebagai perguruan tinggi, tentunya memiliki tradisi yang umumnya berlaku di perguruan tinggi di seluruh dunia: keterbukaan, empiris, obyektif, sikap ilmiah, skeptis, dan bernalar logis.  Tentunya, penerapan kaidah-kaidah universal perguruan tinggi tersebut dilakukan dengan tetap memandang Islam sebagai agama yang harus dia hayati dan amalkan, bukan sekedar dipelajari secara akademis untuk memuaskan rasa ingin tahu belaka atau untuk membina karir di bidang akademis.

    Di Indonesia, PTAI (perguruan tinggi agama Islam) seyogyanya dapat menggabungkan dua tradisi keilmuan yang sudah ada di Indonesia, yaitu tradisi pesantren dan tradisi universitas.  Dari pesantren, PTAI harus mengambil sesuatu yang menjadi kelebihan pesantren, yaitu pemelajaran ilmu agama Islam untuk dihayati dan diamalkan, bukan sekedar dipelajari sebagai ilmu.  Dari perguruan tinggi, PTAI harus mengambil sesuatu yang menjadi unggulan perguruan tinggi, yaitu sikap skeptis, ilmiah, komitmen untuk mencari kebenaran, kejujuran ilmiah, dan keterbukaan.

    Ini semua tentu saja memerlukan komitmen dan keseriusan orang-orang yang terlibat di PTAI untuk benar-benar membangun wacana keislaman seperti yang diidealkan itu.  Kita harus membuat kajian-kajian Islam di PTAI cukup mendalam sehingga dapat menyamai kajian di pesantren tetapi dengan cara yang mungkin berbeda dari cara yang ditempuh oleh pesantren.  Sebagai perguruan tinggi, PTAI harus melaksanakan kajiannya secara ilmiah, obyektif, kritis, dan terbuka untuk kritik.  Dengan suasana akademis seperti itu, diharapkan akan timbul kegairahan baru di kalangan mahasiswa dan dosen untuk melahirkan pemikiran-pemikiran baru yang orisinal dan mampu menyumbangkan sesuatu bagi pemecahan masalah yang ada di masyarakat.

Penutup

Makalah ini telah berusaha menjawab tiga pertanyaan dalam kaitannya dengan tema Seminar ini.  Sesudah mendefinisikan apa yang dimaksud dengan istilah wacana keislaman, makalah ini berusaha memberikan deskripsi tentang situasi wacana keislaman yang ada di Indonesia saat ini.  Gambaran bagaimana seharusnya wacana keislaman yang ideal juga diberikan dan, akhirnya, diskusi tentang peran apa yang dapat dimainkan oleh institusi pendidikan Islam, utamanya Perguruan Tinggi Agama Islam, dalam upaya membangun wacana keislaman yang ideal itu di Indonesia.  Namun, mengingat kondisi PTAI saat ini, kadang-kadang kita terpaksa bertanya 'mampukan PTAI saat ini melakukannya?'

Wa Allahi a'lam bi al-shawaab.


    
i Makalah disampaikan pada Seminar Sehari dengan tema "Peranan Institusi Pendidikan Islam dalam Pembangunan Wacana Keislaman" yang diselenggarakan di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Ponorogo, tgl. 22 Februari 2000.
ii Pembantu Rektor I, IAIN Sunan Ampel Surabaya.
iii The Winston Dictionary for Schools.  1956, The John C. Winston Company, Chicago, hal. 233.
iv Proposal Seminar Sehari 'Peran Institusi Pendidikan Islam dalam Pembangunan Wacana Keislaman', hal. 1.
v Di Sekolah Umum, sejarah Islam diajarkan hanya sampai ke khulafa al-rasyidiin.  Sesudah itu langsung tentang Islam di Indonesia.
vi Di internet, situs kelompok Akhmadiyah diberi catatan oleh kelompok Ahl al-Sunnah sebagai ‘bukan Muslim’
5

Tidak ada komentar:

Posting Komentar