Minggu, 01 April 2012

PANDUAN PRAKTIS PENGURUSAN JENAZAH[1]

  1. MUQADDIMAH
 Alhamdulillah robbil ‘alamin, Was sholatu was salamu ‘ala khatimin nabiyyin, wa ba’du :
Inilah tulisan mengenai tata-cara pelaksanaan fardhu kifayah yang sengaja kami tulis secara singkat dan praktis dengan memilih pendapat-pendapat para ulama yang insya Allah kami pandang rajih berdasarkan dalil-dalil yang shahih[2].

Tulisan ini kami tulis sebagai sedikit upaya untuk mengembalikan kaum muslimin kepada sunnah nabi mereka yang telah banyak dilupakan dan digantikan dengan berbagai macam bid’ah. Hal ini banyak terjadi pada berbagai aspek kehidupan beragama kaum muslimin terutama dalam penyelenggaraan fardhu kifayah atas mayit, sehingga terkesan sangat rumit, susah dan bertele-tele[3], padahal kalau kita mengerjakannya sesuai tuntunan Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam maka akan sangat mudah dan praktis disamping mendapatkan pahala mengamalkan sunnah dan terhindar dari bahaya bid’ah[4].

II. YANG KITA LAKUKAN KETIKA ADA YANG SAKARATUL MAUT

  1. Mentalkinkan/ menuntunnya untuk mengucapkan kalimat “Laa ilaha illallah”[5].
  2. Menutup kedua matanya[6].
  3. Mendo’akan kebaikan baginya[7].
  4. Melemaskan persendian kaki dan tangannya agar kelak mudah menggerakkannya ketika dibutuhkan.
  5. Melepaskan semua pakaiannya dan seluruh badan mayit ditutup dengan satu helai kain yang lebar, panjang dan tidak transparan[8].
  6. Mayit kemudian diletakkan ditempat yang agak tinggi yang dipersiapkan sebagai tempat memandikannya dan mayit siap untuk dimandikan.

CATATAN :

  1. Para ulama juga menyarankan agar kita mengikat antara dagu dengan bagian atas kepala supaya mulut mayit tidak terbuka, begitu juga agar kita mengikat kedua betis agar berada dalam posisi rapat dan meletakkan sesuatu yang agak berat diatas perut mayit dengan tujuan agar perut mayit tidak mengembung. Ketiga hal ini bisa kita lakukan kalau dipandang perlu, Wallahu a’lam.
  2. Tidak disunnahkan mengkhususkan membaca surah يٍِِس atas pendapat yang rajih baik atas orang yang sedang sakaratul maut maupun yang sudah meninggal[9].
  3. Mempercepat segala urusan fardhu kifayat atas mayit dari memandikan sampai memakamkan[10].

  1. II.    MEMANDIKAN MAYIT

  1. 1.       Perlengkapan :
-          Sehelai kain untuk menutupi aurat mayit
-          1 atau 2 pasang sarung tangan untuk membersihkan kotoran mayit
-          1 helai kain atau handuk kecil untuk menggosok-gosok badan mayit ketika dimandikan
-          3 (tiga) buah ember berukuran sedang ; ember pertama air biasa, ember kedua air dicampur daun sidr/ bidara kalau tidak ada bisa diganti air sabun, ember ketiga air dicampur dengan kapur barus/ kamfer
-          Sehelai handuk
-          Sehelai kain yang panjang dan lebar untuk menutupi badan mayit ketika selesai dimandikan (ini dibutuhkan kalau kain yang menutupi badan mayit ketika dia baru meninggal kotor atau terkena najis, kalau tidak bisa menggunakan kain tersebut)
  1. Menutup Aurat mayit (kalau mayit laki-laki antara pusar sampai lutut sedang perempuan antara dada sampai lutut) Pendapat inilah yang dipegang mayoritas para ulama termasuk syaikh Jibrin dan syaikh Al Albani kecuali syaikh Utsaimin berpendapat untuk perempuan tetap antara pusar dengan lutut.
  2. Tidak disyariatkan memotong rambut kemaluan dan ketiak sama sekali karena tidak adanya dalil dan ditakutkan akan menyebabkan aurat mayit terlihat. Begitu juga untuk kumis dan kuku kecuali kalau sangat panjang.
  3. Bagian atas badan mayit diangkat sampai mendekati posisi duduk, perut mayit kemudian ditekan dengan tangan kanan dari bagian atas ke bawah beberapa kali supaya kotoran mayit bisa keluar, kemudian tangan kiri dilapisi kaos tangan[11] untuk membersihkan kotoran yang keluar dari perut mayit setelah itu menyiramkan air yang agak banyak. Sebagian para ulama berpendapat tidak disyariatkan hal yang demikian karena terlalu berlebihan. Wallahu a’lam.
  4. Mewudhukan mayit dengan air biasa sebagaimana wudhu orang yang masih hidup kecuali mulut cukup dibersihkan giginya dengan kain begitu juga kedua lubang hidungnya[12].
  5. Kemudian memulai memandikannya dengan mengguyur bagian kepala dan membasuh jenggutnya dengan perasan air daun bidara/ sabun. Dilanjutkan dengan mengguyur badan mayit sebelah kanan dimulai dari bahu sampai ke ujung kaki dengan sambil menggosok-gosok badan mayit secara perlahan[13] dengan secarik kian atau handuk kecil, kemudian badan mayit sebelah kiri persis sebagaimana sebelah kanan badan mayiit. Hal ini dihitung satu kali.
  6. Setiap kali melewati perut mayit hendaknya ditekan-tekan dari atas kebawah secara perlahan.
  7. Memandikan mayit bisa 3, 5, 7 atau lebih dengan bilangan ganjil.
  8. Ketika hitungan yang terakhir menggunakan air yang dicampur dengan kapur barus[14]. OK.
  9. Setelah selesai badan mayit kemudian dikeringkan dengan handuk secara pelan-pelan[15].
  10. Kalau setelah memandikan keluar kotoran dari dubur mayit maka mayit kotoran tersebut dibersihkan dan wudhu mayit disunnahkan untuk diulang sedang mandi sudah dianggap sah dan tidak perlu diulang. Adapun kalau kotorannya keluar setelah mayit dikafani maka ulama sepakat tidak masalah

CATATAN :

  1. Mayit laki-laki hanya boleh dimandikan oleh laki-laki begitu juga mayit perempuan hanya boleh dimandikan oleh perempuan.
  2. Yang paling berhak memandikan mayit adalah orang yang telah ditunjuk oleh si mayit sebelum dia meninggal, kemudian bapaknya jika mayitnya adalah laki-laki kemudian keluarga yang lainnya yang terdekat.
  3. Mayit wanita dimandikan oleh wanita yang telah diamanahi oleh si mayit sebelum meninggal kemudian ibunya baru kemudian keluarganya yang terdekat yang lainnya.
  4. Seorang suami atau istri lebih utama dimandikan oleh pasangannya[16].
  5. Kaum laki-laki dibolehkan memandikan jenazah anak perempuan yang belum berusia 7 (tujuh) tahun, begitu juga kaum perempuan dibolehkan memandikan jenazah anak laki-laki yang belum berusia 7 (tujuh) tahun.
  6. Khusus mayit wanita rambutnya disisir dan dipintal menjadi tiga kemudian diletakkan dibelakang kepalanya[17].
  7. Kalau yang meninggal orang yang sedang berihram dia dimandikan dengan air campuran daun bidara  dan tidak boleh dengan air campuran kapur barus, begitu juga ketika dikafani kepalanya tidak boleh tertutup (kecuali yang meninggal ketika ihram adalah wanita maka kepalanya harus ditutup dengan membuka kain kafan pada bagian wajahnya) dan tidak boleh dipakaikan wewangian sebagaimana kain kafannya juga harus dari kedua kain ihramnya.
  8. Para syuhada (mujahid yang gugur dimedan perang) tidak dimandikan dan dikafankan dengan pakaian yang mereka kenakan ketika berjihad. Juga tidak wajib untuk dishalatkan[18].
  9. Janin yang keguguran kalau berusia lebih 4 (empat) bulan maka diperlakukan sebagaimana jenazah biasanya dimandikan, dikafankan, disholatkan dan dimakamkan. Adapun kalau usianya dibawah 4 bulan maka cukup ditanam saja[19].
  10. Apabila seorang laki-laki meninggal dikomunitas yang perempuan yang tidak ada laki-lakinya atau sebaliknya, atau dalam kondisi tidak adanya air dan yang semisalnya maka jenazah cukup ditayammumkan saja[20]. Kecuali Ibnu Taimiyyah dan syaikh Utsaimin berpendapat bahawa jikalau tidak ada air atau ada kondisi khusus sehingga tidak memungkinkan untuk dimandikan maka kewajibannya telah gugur dan mayit langsung dikafani.
  11. Kalau ada luka dan setelah selesai dimandikan tetap darahnya mengalir maka dibersihkan dan ditutup dengan kapas yang telah diberikan wewangian.
  12. Kalau ada perban jika memungkinkan untuk dibuka maka dibuka, tetapi jika sangat susah dan menyebabkan keluarnya banyak darah maka tidak usah dibuka dan cukup disusap dengan air. Wallahu a’lam.
  13. Diwajibkan memandikan jenazah di tempat yang tertutup dari pandangan manusia dan diusahakan yang memandikannya cuma 2 orang atau maksimal 3 orang. OK.
  14. Disunnah bagi orang yang telah memandikan mayit untuk mandi[21] atau minimal mencuci tangan.

  1. III.             MENGKAFANKAN MAYIT

  1. 1.       Perlengkapan :
-          Hanuth atau bubuk wangi untuk ditaburkan dikafan dan ditubuh mayit (jika tidak ada bisa digantikan dengan minyak wangi
-          Tiga helai kain kafan yang berwarna putih
-          5 sampai dengan 7 utas tali untuk menutup dan mengikat kain kafan
-          Kapas secukupnya

  1. Hukum mengkafani mayit adalah fardhu kifayah berdasarkan kesepakatan para ulama[22].
  2. Kain kafan dibeli dari harta peninggalan mayit dan didahulukan dari pada hutang, wasiat maupun warisan.
  3. Jika mayit tidak memiliki harta untuk membeli kain kafan maka hal itu menjadi kewajiban ahli waris/ keluarga terdekatnya, kalau tidak sanggup maka dibebankan atas kaum muslimin yang mampu untuk membantunya.
  4. Kain kafan hendaknya panjang dan lebar sehingga bisa menutupi seluruh tubuh mayit.
  5. Minimal kain kafan 1 (helai) kain yang dapat menutupi seluruh tubuh mayit dan idealnya 3 (tiga) lapis berwarna putih sebagaimana kain kafan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam ketika beliau meninggal[23] dan disunnahkan salah satu dari kain tersebut bercorak garis-garis[24].
  6. Tali kafan kemudian disusun ditempat yang telah disiapkan untuk proses pengkafanan mayit berjejer secara horizontal dan diperkirakan sesuai dengan panjang tubuh mayit.
  7. Kain kapan yang berjumlah 3 (tiga) helai kemudian dihamparkan tepat diatas tali kafan dengan cara satu helai tepat diatas helai kain kafan yang lain.
  8. Kain kafan yang paling atas kemudian di bubuhi hanuth (sejenis bubuk wangi khusus) dan tepat pada bagian bawah dubul dan kubul mayit diletakkan kapas yang telah diberikan wewangian. Syaikh Jibrin mengatakan lebih baik kapasnya dibalut kain kemudian diikat di pinggang mayit seperti celana pendek/ popok.
  9. Mayit kemudian diangkat dan diletakkan diatas kain kafan yang telah disiapkan.
  10. Bagian-bagian lekuk wajah mayit kemudian diberikan wewangian semisal kedua matanya, kedua lubang hidungnya, kedua telinganya. Demikian juga ketujuh anggota sujudnya dan pada bagian-bagian yang dikhawatirkan keluar bau yang tidak enak sebagaimana yang dikatakan oleh para ulama. Jikalau semua badan mayit diberikan wewangian maka tidak masalah sebagaimana yang dilakukan oleh Ibnu Umar dan Abu Hurairah radhiyallahu anhuma.
  11. Lembaran kain kafan pertama kemudian dilipat dari sebelah kanan kebagian sebelah kiri badan mayit, kemudian kain yang sebelah kiri dilipat ke kanan sambil mengambil kain penutup mayit (yang digunakan untuk menutup mayit sehabis memandikannya). Menyusul kemudian lembaran kain yang kedua dan ketiga sebagaimana cara mengerjakan lembaran kain yang pertama. Ini sebagaimana yang dikatan syaikh Jibrin. Sedangkan pendapat yang dipilih oleh syaikh Utsaimin sebaliknya yaitu dimulai dari kiri ke sebelah kanan sebagaiman inilah pendapat yang masyhur dikalangan ulama mazhab Hanabilah. Wallahu a’lam.
  12. Tali-tali yang sudah disiapkan dibawah kain kafan kemudian diikatkan pada bagian atas kepala, dada, perut, paha, dan ujung kaki. Tali-tali tadi dimaksudkan sebagai pengikat kain kafan agar tidak terbuka/ tersingkap dan dibuka ketika mayit diletakkan diliang lahat[25].
  13. Mayit yang sudah dikafani siap untuk disholatkan.


[1] .  Makalah ini ditulis dengan rujukan/ referensi utama bersumber dari tiga kitab ; Sholat Al Janazah yang ditulis oleh Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al Jibrin hafidzahullah, Ahkam Al Janaiz wa Bida’uha yang ditulis oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani dan Syarh Al Mumti’ jilid kelima, kitab Al Janaiz yang ditulis oleh Syaikh Shalih bin Muhammad Al Utsaimin rahimahumallah.
[2] . Kami tidak menafikan adanya ikhtilaf dalam masalah pengurusan fardhu kifayah, tapi untuk menyingkat tulisan cukup disini kami kemukakan pendapat-pendapat para ulama yang kami pandang rajih berdasarkan dalil-dalil yang shahih..
[3] . Karena memang salah satu ciri bid’ah adalah memberatkan dan menyusahkan pelakunya (tanattu‘) hal ini paradoks dengan sunnah yang sifatnya mudah dan tidak memberatkan orang yang mengerjakannya.
[4] . Semoga kita semua diwafatkan dalam keadaan berpegang teguh dengan aqidah yang shahih dan sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, amiin.
[5] . HR. Muslim
[6] . HR. Muslim dari jalan Ummu Salamah
[7] . HR. Muslim
[8] . Disunnahkan kain yang bercorak garis-garis sebagaimana yang dilakukan para shahabat terhadap jenazah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam (HR. Bukhari dan Muslim secara Muttafaq alaihi).
[9] . Karena hadits yang diriwayatkan oleh Ma’qal bin Yasar sanadnya lemah sebagaimana yang diterangkan oleh Ad Daruqutni dan Syaikh Al Albani. Ibnu Qattan mengatakan haditsnya mauquf. Pada sanad hadits ini ada dua rawi yang tidak dikenal para kritikus hadits yaitu Abu Utsman dan bapaknya.
[10] . HR. Bukhari dan Muslim secara Muttafaq alaihi.
[11] . Demikian seterusnya ketika menyentuh bagian aurat mayit tangan kita wajib dilapisi sesuatu semisal kain atau sarung tangan karena yang namanya aurat tidak boleh dilihat apalagi disentuh. Juga berdasarkan hadits yang dikeluarkan oleh Abu Daud dari Ali bin Abi Thalib Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda : “Janganlah engkau melihat pada aurat orang yang masih hidup maupun yang sudah meninggal
[12] . HR. Bukhari dan Muslim secara Muttafaq alaihi.
[13] . Berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam : “Mematahkan tulang mayit sama (hukumnya) seperti mematahkan tulang orang yang masih hidup“. Diriwayatkan oleh imam Ahmad : 6/58, Abu Daud : 3007, Ibnu Majah : 1616 dengan sanad yang shahih.
[14] . HR. Bukhari dan Muslim.
[15] . Hal ini bertujuan supaya tidak membasahi kain kafan ketika mayit akan dikafankan dan tidak ada ikhtilaf dalam masalah ini dikalangan para ulama.
[16] . HR. Ahmad : 6/228 dengan sanad yang hasan, juga mempunyai penguat berdasarkan hadits Aisyah Radhiyallahu anha secara marfu’ dikeluarkan oleh Abu Daud didalam Sunannya hadits ke 3141.
[17] . HR. Bukhaari dan Muslim sedang disisir terdapat pada riwayat yang dikeluarkan oleh Muslim.
2. Berdasarkan hadits riwayat Abu Daud :2/59, At Turmudzi : 2/138-139 dan Ahmad : 1/128. Dishahihkan oleh Syakh Al Albani di dalam Ahkam Al Janaiz hal. 55.
[19] . HR. Muslim
[20] . Kecuali imam Ibnu Taimiyyah dan beberapa ulama lainnya termasuk syaikh Shalih Al Utsaimin berpendapat ketika tidak ada air atau ada kondisi-kondisi khusus sehingga mayit terpaksa tidak bisa dimandikan maka langsung dikafankan tanpa ditayammumkan.
[21]. HR. Abu Daud dan At Turmudzi dishahihkan oleh Al Albani di dalam Al Irwaa’ : 144 dari jalan Abi Hurairah radhiyallahu anhu. Dan ini adalah pendapat para ulama dari mazhab Syafi’i, Maliki dan Hanbali.
[22] . Berdasarkan hadits riwayat Bukhari : 1267 dan Muslim : 1206.
[23]. HR. Bukhari : 1277 dan Ibnu Majah : 3555.
[24]. HR. Abu Daud : 3150 dan Baihaqi : 3/403.
[25]. Berdasarkan riwayat dari Ibnu Mas’ud secara mauquf yang memerintahkan hal yang demikian dikeluarkan oleh Al Atsram, hal serupa juga diriwayatkan dari Abu Musa Al Asy’ari. Inilah yang dipilih oleh imam Ahmad dan imam Syafi’i juga syaikh Abdul Aziz bin Baz dan syaikh Muhammad bin  Shalih Al Utsaimin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar