Kamis, 30 Agustus 2012

Pembaharuan Kebijakan Kelembagaan Pendidikan Islam


A. Latar Belakang

Pengalaman sejarah menunjukkan bahwa perkembangan pendidikan Islam dipengaruhi oleh kebijakan-kebijakan politik pada umumnya, dan kebijakan politik pendidikan khususnya. Azyumardi Azra mencatat bahwa hubungan antara pendidikan dengan politik bukanlah hal baru, karena telah tumbuh sejak masa pertumbuhan madrasah di Timur Tengah.

Pendidikan Islam di Indonesia masih menghadapi berbagai masalah dalam berbagai aspek. Upaya perbaikannya belum dilakukan secara mendasar, sehingga terkesan seadanya saja. Selama ini, upaya pembaharuan pendidikan Islam secara mendasar, selalu dihambat oleh berbagai masalah mulai dari persoalan dana sampai tenaga ahli. Padahal pendidikan Islam dewasa ini, dari segi apa saja terlihat goyah terutama karena orientasi yang semakin tidak jelas. Berdasarkan uraian ini, ada dua alasan pokok mengapa konsep pembaharuan pendidikan Islam di Indonesia sangat mendesak, yaitu:

1. Konsep dan praktik pendidikan Islam dirasakan terlalu sempit, artinya terlalu menekankan pada kepentingan akhirat, sedangkan ajaran Islam menekankan pada keseimbangan antara kepentingan dunia dan akhirat. Maka perlu pemikiran kembali konsep pendidikan Islam yang betul-betul didasarkan pada asumsi dasar tentang manusia yang akan diproses menuju masyarakat madani.

2. Lembaga- lembaga pendidikan Islam yang dimiliki sekarang ini, belum atau kurang mampu memenuhi kebutuhan umat Islam dalam menghadapi tantangan dunia modern dan tantangan masyarakat dan bangsa Indonesia disegala bidang.

Di samping itu, Kemunduran umat Islam sebagian besar dikarenakan tertinggalnya ia dalam ilmu pengetahuan dan teknologi. Menurut para pakar terdapat suatu korelasi pengusaan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan kekuatan poltik dan ekonomi. Masyarakat Islam selalu kalah dalam politik dan ekonomi diantaranya karena umat Islam tidak dapat mengusai dan melakukan penyebaran ilmu pengetahuan dan teknologi. Lebih lanjut, di dalam kehidupan politik dan ekonomi kita lihat adanya fase-fase perkembangan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Fase-fase tersebut ialah fase perbudakan, feodaisme, industrialisasi, dan masa depan ialah era ilmu pengetahuan. Era ilmu pengetahuan berarti semakin luas penyebaran dan kontrol ilmu pengetahuan dalam kehidupan manusia. Hal ini berarti suatu masyarakat atau bangsa yang tidak menguasai dan mengontrol ilmu pengetahuan berarti akan kehilangan kekuatan politik dan ekonominya.

Masyarakat masa depan adalah masyarakat yang berkembang atas dasar penguasaan dan pengembangan ilmu pengetahuan. Apabila ilmu pengetahuan merupakan faktor yang sangat menentukan di dalam kehidupan umat manusia masa depan, maka ini artinya lembaga-lembaga pendidikan haruslah menyesuaikan diri dengan tuntutan masa depan tersebut. Visi dan misi lembaga pendidikan (Islam) harus berubah sebagai tempat untuk mempersiapkan sumberdaya manusia masa depan yang menguasai ilmu pengetahuan dan mengembangkannya, serta memanfaatkannya untuk meningkatkan taraf hidup manusia.

Dalam prespektif Islam, pendidikan bukan hanya diimplementasikan sebagai alat transformasi ilmu (transfer of knowledge) dari satu generasi ke generasi berikutnya, tetapi lebih dari itu pendidikan merupakan transformasi sosial (transformation of society) yang bersumber dan berakar dari ajaran-ajaran Islam yang integral dan universal, karena Al-Qur’an mengintroduksikan dirinya sebagai pemberi petunjuk kejalan yang lurus sebagaimana yang tercantum dalam Q.S.Al-Baqarah ayat 9.

Disamping itu juga, Islam dipahami sebagai pandangan hidup bukan semata-mata bersifat ritual belaka. Hal ini memungkinkan tercapainya tujuan yang komprehensif, yaitu memelihara keselarasan rohani, jasmani, dan akal manusia. Islam universal dipahami bukan agama pribadi dan agama perseorangan dari Bangsa Arab, namun sebaiknya harus dianggap sebagai idiologi sempurna yang memberi petunjuk kehidupan masyarakat universal.[1]

Secara umum, dapat diambil entry point bahwa tujuan pendidikan adalah beribadah pada Allah SWT dalam pengertian yang luas, meliputi masalah-masalah ritual dan sosial dengan maksud untuk melaksanakan tugas kekhalifahan dimuka bumi ini. Rumusan ini didasarkan pada firman Allah SWT dalam QS. Al-Baqarah ayat 30.

B. Rumusan Masalah

Bertitik tolak dari uraian latar belakang di atas, maka dapat difahami bahwa pendidikan terutama Pendidikan Agama Islam, perlu melakukan pembaharuan yang cukup efektif dan sinergis dengan konsep keberagaman untuk dapat melakukan transformasi nilai-nilai yang terkandung didalamnya.

Dan untuk menyederhanakan serta mempermudah permasalahan dalam perumusan masalah ini, pemakalah akan mengkrucutkan masalah tersebut sebagai berikut:

1. Apakah konsep pendidikan multikultural strategis untuk dijadikan sebagai alas pembaharuan pendidikan islam?
2. Apa sajakah faktor yang mempengaruhi dalam kebijakan pendidikan islam?


Bab II Pembahasan

A. Pendidikan Multikultural Sebagai Alas Pembaruan Pendidikan Islam

Pengertian pembaharuan dalam banyak penggunaannya sering dikacaukan dengan istilah-istilah lain yang sekilas tampak sama, seperti perubahan dan inovasi. Memang, pada hakekatnya semua istilah tersebut mempunyai pengertian melakukan sesuatu yang baru diluar konsep-konsep yang konvensional.

Untuk mengantisipasi dan menghindarkan pengertian yang tidak jelas mengenai ketiga istilah tersebut, perlu diuraikan lebih lanjut perbedaan dari ketiganya. Perbedaan istilah-istilah tersebut, yaitu :[2]

1. Perubahan; mempunyai arti yang sangat luas dan tidak selalu harus berarti peningkatan. Istilah ini mempunyai konotasi baik dengan kemajuan maupun dengan kemunduran.

2. Inovasi; dalam hubunganya dengan pendidikan diinterpretasikan sebagai peningkatan dari tekhnik pendidikan yang relatif bersifat pragmatis. Dan secara umum hal ini terbatas pada perubahan dan peningkatan dari tekhnik pendidikan yang telah ada, dan tidak mutlak harus bertentangan secara fundamental dengan praktek yang telah ada sebelumnya.

3. Pembaharuan; istilah ini juga berhubungan dengan peningkatan yang secara umum meliputi beberapa aspek inovasi, tetapi yang berkelanjutan.

Lebih jauh lagi pengertian inovasi yang terlepas dari pendidikan, inovasi bisa didefenisikan sebagai:[3] “Proses tertentu yang dilakukan seseorang dengan melalui pendayagunaan pemikiran, kemampuan imajinasi, berbagai stimulan dan individu yang mengelilinginya, yang berusaha menghasilkan produk baru, baik bagi dirinya atupun bagi lingkungannya”

Dan definisi pembaharuan pendidikan adalah :[4] Perubahan baru dan kualitatif yang berbeda dari hal yang telah ada sebelumnya, serta sengaja diupayakan untuk meningkatkan kemampuan guna tujuan tertentu dalam dunia pendidikan.

Jadi dari beberapa definisi diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa istilah perubahan lebh luas dan umum dari pada inovasi dan pembaharuan, dan istilah pembaharuan, khususnya dalam dunia pendidikan, lebih luas cakupannya dari pada inovasi, karena pembaharuan adalah perubahan yang cukup mendasar dalam pendidikan, baik sasaran maupun kebijakan-kebijakan serta landasan yang tergolong fundamental dalam sistem pendidikan.

Dalam perkembangannya, pendidikan tidak akan lepas dari interaksi manusia sebagai satu kesatuan yang utuh. Realitas integralisasi manusia sebagai makhluk sosial di satu sisi, dan keberagaman etnis, budaya, agama serta perbedaan interprestasi dan dialektika di sisi yang lain, bagaikan dua keping mata uang yang tak dapat dipisahkan satu sama lain. Intensitas manusia sebagai makhluk sosial lebih dominan dibanding intensitas manusia sebagai makhluk yang harus taat dan patuh terhadap Tuhannya. Artinya, fakta bahwa umat manusia tidak bisa mengesampingkan keshalehan sosial dan lebih mengagungkan kesalehan individu tak dapat terelakan, apalagi dalam konteks era globalisasi kekinian.

Realitas manusia yang pluralis tersebut, menuntut pendidikan untuk lebih akomodatif dan aspiratif terhadap kehegemonikan serta tidak bersifat mengekang dan diskriminatif terhadap masyarakat arus bawah yang nota bene termarginalkan. Dengan kata lain, diperlukan pendidikan yang dapat memberikan “solusi konstruktif” sehingga akan terjadi pembaharuan pendidikan disegala aspek tanpa diikat oleh sekat-sekat etnik, budaya, agama, ras, dan lain sebagainya termasuk didalamnya perbedaan pandangan dan keyakinan interprestasi intra agama.

Konsep pembaharuan pendidikan tersebut harus difahami tidak secara sempit. Artinya. interprestasi pembaharuan pendidikan tidak hanya sebatas pembaharuan dalam konteks fisik semata, tetapi lebih dari itu pembaharuan pendidikan dapat difahami sebagai pembaharuan dalam konteks multidimensial, meliputi kejiwaan dan psikologis peserta didik. Pembangunan gedung-gedung bertingkat dan pengadaan sarana dan pra sarana yang relatif memadai dan tersebar di pelosok-pelosok pedesaan, bukanlah implementasi dari pembaharuan pendidikan yang paling urgens. Yang harus dijadikan skala prioritas adalah bagaimana pendidikan bisa dijadikan sebagai wahana yang benar-benar mencerahkan, bukannya mengekang, atau sebagai alat merefleksikan potensi diri, bukannya sebagai alat pelanggeng kekuasaan, atau sebagai sarana kebutuhan akan eksistensinya sebagai makhluk Tuhan, bukannya sarana untuk menanamkan permusuhan antar sesama.

Dalam proses pembaharuannya umat Islam harus mampu menciptakan model-model pendidikan yang dapat menyentuh berbagai aspek, yaitu yang mampu mengembangkan “agent of technology and culture”.[5] Dalam model ini mampu mendobrak pola pikir konservatif, yang pada dasarnya dogmatis, kurang dinamis, dan berkembang secara bebas.

Pembaharuan pendidikan sejatinya adalah dimana setiap manusia mempunyai kedudukan dan hak yang sama dalam memperoleh pendidikan. Konsep pembaharuan pendidikan seperti ini mempunyai kekuatan hukum yang cukup representatif, dimana dalam UUD’45 Bab XVIII Pasal 31 Ayat 1 tentang Pendidikan dan Kebudayaan, disebutkan bahwa setiap warga Negara berhak mendapatkan pendidikan. Dari aplikasi pembaharuan pendidikan diatas, dan ditambah dengan diperlukannya pendidikan yang realistis dan relevan dalam konteks masyarakat yang plural dan hegemonik seperti realita yang terjadi di Indonesia ini, maka alternatif pendidikan yang tepat adalah pendidikan yang berorientasikan kepada rakyat dan berwawasan multikultural.

Pembaharuan pendidikan yang berorientasikan kepada rakyat direflesikan melalui satu bentuk “simbiosis mutualisme”, dimana masing-masing saling berkaitan dan menguntungkan antara pendidik dan peserta didik dengan berusaha menghilangkan dikotomi subject dan object pendidikan. Pendidikan kerakyatan timbul bukan karena ketidakmengertian arti filosofis Pasal 31 UUD’45, melainkan karena kebingungan realitas dalam menghadapi berbagai perilaku inkonsistensi, terutama dalam berbagai kebijakan pemerintah.[6] Secara realita, pendidikan banyak diperuntukan bagi mereka yang mendapatkan kelayakan (kebanyakan bersifat material) dan sesuai dengan syarat-syarat zaman yang multi komplek. Hal ini bisa dilihat dari tingkat partisipatoris mayarakat miskin terhadap pendidikan. Agenda penting tersebut merupakan wacana kerakyatan dalam memperoleh keadilan untuk mencerdaskan dirinya agar bisa kompetitif dengan masyarakat lain.

Adapun pendidikan multikultural adalah implementasi strategis dari pendidikan yang berorientasikan kerakyatan tersebut, karena pendidikan multicultural mengidentifikasikan diri dalam tiga lapis diskursus kemasyarakatan, yaitu masalah kebudayaan, kebiasaan dan pola-pola kelakuan yang hidup ditengah-tengah masyarakat, serta kegiatan atau kemajuan tertentu (achievement) dari kelompok-kelompok di dalam masyarakat yang merupakan identitas yang melekat pada kelompok tersebut.[7]

Pendidikan multikultural mempunyai beberapa karakteristik dalam pengimplementasiannya, karekteristik dari pendidikan multikultural tersebut meliputi tujuh komponen, yaitu :[8]

1. Belajar hidup dalam perbedaan,
2. Membangun tiga aspek mutual (saling percaya, saling pengertian, dan saling menghargai),
3. Terbuka dalam berfikir,
4. Apresiasi dan interdependensi,
5. Resolusi konflik dan rekonsiliasinir kekerasan.

Kemudian dari karakteristik-karakteristik tersebut, diformulasikan dengan ayat-ayat al-Qur’an sebagai back up strategis, bahwa konsep pendidikan multikultural ternyata selaras dengan ajaran-ajaran Islam dalam mengatur tatanan hidup manusia di muka bumi ini, terutama sekali dalam konteks pendidikan, yaitu:

1. Karakteristik belajar hidup dalam perbedaan. Selama ini pendidikan lebih diorientasikan pada tiga pilar pendidikan, yaitu menambah pengetahuan, pembekalan keterampilan hidup (life skill), dan menekankan cara menjadi “orang” sesuai dengan kerangka berfikir peserta didik. Kemudian dalam realitas kehidupan yang plural, ketiga pilar tersebut kurang mumpuni dalam menjawab relevansi masyarakat yang semakin majemuk. Maka dari itu diperlukan satu pilar strategis yaitu belajar saling menghargai akan perbedaan, sehingga akan terbangun relasi antara personal dan intra personal. Dalam terminology Islam, realitas akan perbedaan tak dapat dipungkiri lagi, sesuai dengan Q.S. Al-Hujurat:13 yang menekankan bahwa Allah SWT menciptakan manusia yang terdiri dari berbagai jenis kelamin, suku, bangsa, serta interprestasi yang berbeda-beda. Hal ini juga dipertegas dengan sikap Nabi yang berdiam diri ketika ada dua sahabatnya yang berbeda pendapat dalam suatu ketentuan hukum.

2. Membangun tiga aspek mutual, yaitu membangun saling percaya (mutual trust), memahami saling pengertian (mutual understanding), dan menjunjung sikap saling menghargai (mutual respect). Tiga hal ini sebagai konsekuensi logis akan kemajemukan dan kehegemonikan, maka diperlukan pendidikan yang berorientasi kepada kebersamaan dan penanaman sikap toleran, demokratis, serta kesetaraan hak. Banyak sekali ayat-ayat al-Qur’an yang menekankan akan pentingnya saling percaya, pengertian, dan menghargai orang lain, diantaranya ayat yang menganjurkan untuk menjauhi berburuk sangka dan mencari kesalahan orang lain (Q.S. al-Hujurat:12), tidak mudah memvonis dan selalu mengedepankan klarifikasi (Q.S. al-Hujurat:6), serta ayat yang menegaskan prinsip tidak ada paksaan (Q.S. al-Baqoroh:256).

3. Terbuka dalam berfikir. Pendidikan seyogyanya memberi pengetahuan baru tentang bagaimana berfikir dan bertindak, bahkan mengadopsi dan beradaptasi terhadap kultur baru yang berbeda, kemudian direspons dengan fikiran terbuka dan tidak terkesan eksklusif. Peserta didik didorong untuk mengembangkan kemampuan berfikir sehingga tidak ada kejumudan dan keterkekangan dalam berfikir. Penghargaan al-Qur’an terhadap mereka yang mempergunakan akal, bisa dijadikan bukti representatif bahwa konsep ajaran Islampun sangat responsif terhadap konsep berfikir secara terbuka. Salah satunya ayat yang menerangkan betapa tingginya derajat orang yang berilmu (Q.S. al-Mujadallah:11), atau ayat yang menjelaskan bahwa Islam tidak mengenal dogmatisme (Q.S. al-Baqarah:170).

4. Apresiasi dan interdependensi. Karakteristik ini mengedepankan tatanan social yang care (peduli), dimana semua anggota masyarakat dapat saling menunjukan apresiasi dan memelihara relasi, keterikatan, kohesi, dan keterkaitan sosial yang rekat, karena bagaimanapun juga manusia tidak bisa survive tanpa ikatan sosial yang dinamis. Konsep seperti ini banyak termaktub dalam al-Qur’an, salah satunya Q.S. al-Maidah:2 yang menerangkan betapa pentingnya prinsip tolong menolong dalam kebajikan, memelihara solidaritas dan ikatan sosial (takwa), dengan menghindari tolong menolong dalam kejahatan.

5. Resolusi konflik dan rekonsiliasinir kekerasan. Konflik dalam berbagai hal harus dihindari, dan pendidikan harus mengfungsikan diri sebagai satu cara dalam resolusi konflik. Adapun resolusi konflik belum cukup tanpa rekonsiliasi, yakni upaya perdamaian melalui sarana pengampunan atau memaafkan (forgiveness). Pemberian ampun atau maaf dalam rekonsiliasi adalah tindakan tepat dalam situasi konflik komunal. Dalam ajaran Islam, seluruh umat manusia harus mengedepankan perdamaian, cinta damai dan rasa aman bagi seluruh makhluk (Q.S. asy-Syura:40), dan secara tegas al-Qur’an juga menganjurkan untuk memberi maaf, membimbing kearah kesepakatan damai dengan cara musyawarah, duduk satu meja dengan prinsip kasih sayang (Q.S. Ali Imran:139).

Berangkat dari pemahaman karakteristik diatas, pendidikan multikultural adalah gerakan pembaharuan dan inovasi pendidikan dalam rangka menanamkan kesadaran pentingnya hidup bersama dalam keragaman dan perbedaan, dengan spirit kesetaraan dan kesederajatan, saling percaya, saling memahami dan menghargai persamaan, perbedaan dan keunikan agama-agama, sehingga terjalin suatu relasi dan interdependensi dalam situasi saling mendengar dan menerima perbedaan pendapat dalam pikiran terbuka, untuk menemukan jalan terbaik mengatasi konflik dan menciptakan perdamaian melalui kasih sayang antar sesama.[9]

Maka dari itu implementasi pendidikan multikultural tidak akan lepas dari konsep-konsep pembaharuan pendidikan, karena pembaharuan pendidikan mempunyai konsep konstruktif yang membentuk terwujudnya pendidikan multikultural. Dalam melakukan pembaharuan, pendidikan diharapkan mengorientasikan tujuannya lebih bersifat problematis, strategis, aspiratif, menyentuh aspek aplikasi, serta dapat merespon kebutuhan masyarakat.[10] Kemudian dari kerangka ini, tujuan yang dirumuskan meliputi aspek ilahiyyah (teoritis), fisik dan intelektual, kebebasan (liberal), akhlak, profesionalisme, berkualitas, dinamis, dan kreatif sebagai insan kamil dalam kehidupannya.

B. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kebijakan Pendidikan Islam

1. Faktor Agama

Visi pendidikan Islam sesungguhnya melekat pada visi ajaran Islam itu sendiri yang terkait dengan visi kerasulan para Nabi, mulai dari visi kerasulan Nabi Adam AS. hingga kerasulan Nabi Muhammad SAW, yaitu membangun sebuah kehidupan manusia yang patuh dan tunduk kepada Allah SWT, serta membawa rahmat bagi seluruh alam.

Berkaitan dengan visi rahmatan lil alamin sebagaimana firman Allah SWT. (QS. 21: 107), Imam al-Maraghi mengatakan sebagai berikut. Bahwa yang dimaksud dengan ayat 107 surat al-Ambiya yang artinya : “Tidaklah Aku utus engkau Muhammad melainkan agar menjadi rahmat bagi seluruh alam adalah bahwa tidaklah Aku utus engkau Muhammad dengan al-Qur’an ini serta berbagai perumpamaan dari ajaran agama dan hukum yang menjadi dasar rujukan untuk mencapai bahagia dunia dan akhirat melainkan agar menjadi rahmat dan petunjuk bagi mereka dalam segala urusan kehidupan dunia dan akhiratnya.

Visi pendidikan Islam yang bertumpu pada mewujudkan rahmat bagi seluruh alam itu, memperlihatkan bahwa pendidikan Islam memiliki sebuah tanggung jawab yang amat berat, kompleks, multidimensi dan berjangka panjang. Visi pendidikan Islam terkait erat dengan upaya mewujudkan sebuah tata kehidupan yang harmoni, aman, damai, sejahtera lahir dan batin.

Sedangkan misi ajaran Islam yang memuliakan manusia yang demikian itu, menjadi misi pendidikan Islam. Terwujudnya manusia yang sehat jasmani, rohani dan akal pikiran, serta memiliki ilmu pengetahuan, keterampilan, akhlak yang mulia, keterampilan hidup (skill life) yang memungkinkan ia dapat memanfaatkan berbagai peluang yang diberikan oleh Allah termasuk pula mengelola kekayaan alam yang ada di daratan, di lautan, bahkan di ruang angkasa adalah merupakan misi pendidikan Islam.

Dalam perspektif Islam, tanggung jawab pendidikan dengan segala jenisnya tidak hanya berdimensi duniawi, melainkan juga berdimensi ukhrawi dalam satu kesatuan yang integral. Sehingga pendidikan Islam mempunyai tanggung jawab membantu setiap pribadi muslim untuk merealisasikan misi hidupnya, seperti yang digariskan Allah SWT.

Di atas misi kemanusiaan itulah pendidikan Islam berpijak untuk menciptakan kondisi yang ideal bagi terbentuknya pribadi-pribadi muslim dan untuk selanjutnya membentuk tatanan masyarakat Islami yang dinamis.

Ketika menghadapi tantangan-tantangan modernisasi dan polarisasi ideologi dunia, terutama didorong oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern, pendidikan Islam tidak terlepas dari tantangan yang menuntut jawaban segera. Secara garis besar tantangan-tantangan tersebut meliputi hal-hal sebagai berikut :

a. Terdapat kecenderungan perubahan sistem nilai untuk meninggalkan sistem nilai yang sudah ada (agama). Standar-standar kehidupan dilaksanakan oleh kekuatan-kekuatan yang berpijak pada materialisme dan sekularisme. Dan inilah titik sentral masalah modernisasi yang menjadi akar timbulnya masalah-masalah di semua aspek kehidupan manusia, baik aspek sosial, ekonomi, budaya maupun politik.

b. Adanya dimensi besar dari kehidupan masyarakat modern yang berupa pemusatan pengetahuan teoritis. Ini berarti bertambahnya ketergantungan manusia pada ilmu pengetahuan dan informasi sebagai sumber strategis pembaharuan. Tidak terpenuhinya kebutuhan ini akan menimbulkan depersonalisasi dan keterasingan dalam dunia modern.

Dalam menghadapi tantangan di atas, sudah barang tentu pendidikan Islam harus memperhitungkan kekuatan arus yang mengitarinya seperti sistem Barat yang bercorak sekuler dan telah memasuki semua aspek kehidupan manusia. Begitu juga halnya modernisasi harus dipahami sebagai proses alamiah dalam evolusi kehidupan manusia.

2. Faktor Ideologi Negara

Antara pendidikan Islam dan pendidikan nasional Indonesia tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Hal ini dapat ditelusuri dari dua segi: Pertama, dari konsep penyusunan sistem pendidikan nasional Indonesia itu sendiri. Kedua, dari hakikat pendidikan Islam dalam kehidupan beragama kaum muslimin di Indonesia.

Penyusunan suatu sistem pendidikan nasional harus mementingkan masalah-masalah eksistensi umat manusia pada umumnya dan eksistensi bangsa Indonesia pada khususnya baik dalam hubungannya dengan masa lampau, masa kini dan kemungkinan-kemungkinan perkembangan masa depan.

Eksistensi bangsa Indonesia terwujud dengan proklamasi kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, dimana bangsa Indonesia sebagai negara yang merdeka, bersatu dan berdaulat penuh. Bangsa Indonesia telah bertekad bulat untuk membangun dan mengembangkan bangsa dengan Pancasila sebagai landasan Ideologi dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan konstitusionalnya.


3. Faktor Perkembangan Masyarakat

Perkembangan masyarakat dunia pada umumnya dan Indonesia pada khususnya mau tidak mau akan menuju kepada masyarakat informasi (informatical society) sebagai kelanjutan atau perkembangan dari masyarakat industri atau modern. Jika masyarakat modern memiliki ciri-ciri rasional, berorientasi ke depan, bersikap terbuka, menghargai waktu, kreatif, mandiri dan inovatif, maka pada masyarakat informasi ciri-ciri tersebut belum cukup. Pada masyarakat informasi, manusia selain harus memiliki ciri-ciri masyarakat modern pada umumnya, juga harus memiliki ciri-ciri lain, yaitu menguasai dan mampu mendaya gunakan arus informasi, mampu bersaing, terus menerus belajar (serba ingin tahu), mampu menjelaskan, imajinatif, mampu mengubah tantangan menjadi peluang, dan menguasai kemampuan menggunakan berbagai metode dalam memecahkan berbagai masalah yang dihadapi.

Peran media elektronik yang demikian besar akan menggeser agen-agen sosialisasi yang berlangsung secara tradisional seperti yang dilakukan orang tua, guru, pemerintah dan sebagainya. Komputer dapat menjadi teman bermain, orang tua yang akrab, guru yang memberi nasehat, juga sewaktu-waktu dapat memberikan jawaban segera terhadap pertanyaan-pertanyaan eksistensial dan mendasar.

Kemajuan dalam bidang informasi tersebut pada akhirnya akan berpengaruh pada kejiwaan dan kepribadian masyarakat. Pada era informasi yang sanggup bertahan hanyalah mereka yang berorientasi ke depan, yang mampu mengubah pengetahuan menjadi kebijakan dan ciri-ciri lain sebagaimana dimiliki oleh masyarakat modern.

Itulah gambaran masa depan yang akan terjadi, dan umat manusia mau tidak mau harus menghadapinya. Masa depan yang demikian itu selanjutnya akan mempengaruhi dunia pendidikan, baik dari kelembagaan, materi pendidikan, guru, metode, sarana dan prasarana dan lain sebagainya. Hal ini pada gilirannya menjadi tantangan yang harus dijawab oleh dunia pendidikan khususnya pendidikan Islam. Hal ini perlu dilakukan jika dunia pendidikan Islam ingin tetap bertahan secara fungsional dalam memandu perjalanan umat manusia.

4. Faktor Perkembangan Ilmu Pengetahuan

Kemajuan teknologi dalam tiga dasawarsa ini telah menampakkan pengaruhnya pada setiap dan semua kehidupan individu, masyarakat dan negara. Dapat dikatakan bahwa tidak ada orang yang dapat menghindar dari pengaruh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), IPTEK bukan saja dirasakan individu, akan tetapi dirasakan pula oleh masyarakat, bangsa dan negara.

Kehadiran IPTEK di negara-negara maju, sudah lama dirasakan pengaruhnya, karena pada negara-negara tersebutlah kemajuan itu mula-mula dicapai. Sebaliknya bagi negara-negara berkembang, pengaruh tersebut baru mulai dirasakan antara lain seperti dalam bidang informasi, buku-buku, media TV, radio, video, internet dan lain sebagainya.

Sekarang yang menjadi persoalan sekaligus pertanyaan bagi kita tentunya adalah bagaimana dengan eksistensi pendidikan Islam dalam menghadapi arus perkembangan IPTEK yang sangat pesat tersebut. Bagaimanapun tampaknya pendidikan Islam (terutama lembaganya) dituntut untuk mampu mengadaptasikan dirinya dengan kondisi yang ada. Disamping dapat mengadaptasi dirinya, pendidikan Islam juga dituntut untuk menguasai IPTEK, dan kalau perlu merebutnya.

Kenyataan untuk merebut teknologi dan ilmu pengetahuan tersebut adalah sangat penting, sebab sekarang pembangunan nasional diarahkan dengan orientasi pada teknologi industri, dalam hal ini tak terkecuali dalam bidang pendidikan.
Daftar Pustaka

Agus Salim Sitompul, Menyatu dengan Umat Menyatu dengan Bangsa, Pemikiran Keislaman HMI (1947-1997), Jakarta : Logos, 2002

Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Melenium Baru, Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 1999

http://kajiandi.wordpress.com/2011/01/28/pembaharuan-pendidikan-islam/

http://mochamadiskarim.blogspot.com/2011/01/pembaharuan-pendidikan-islam-sebuah.html

http://mpiuika.wordpress.com/2009/11/21/makalah-diskusi-analisis-kebijakan-pendidikan-islam-kelompok-3/

Hans N. Weiler, “Educational Planning and Social Change: A Critical Review of Concept and Practice, dalam Philip G. Altbach et al, (editors), Comparative Education”, New York: Macmillan Publishing Co., Inc., 1982

H.A.R. Tilaar, Pendidikan Untuk Masyarakat Indonesia Baru, 70 Tahun, Jakarta : Grassindo, 2002

http://sefriwandanahsb.blogspot.com/2012/02/pembaharuan-kebijakan-kelembagaan.html
------------------

[1] Abdurrahman Saleh, 1994:12
[2] Menurut Junius Mauegha 1982:90 yang dikutip dari Kruchrikov 1976
[3] Muhammad Abdul Jawad (2004:1)
[4] Prof. Santoso S. Harjoyo ( Cece Wijaya dkk., 1992 : 6 )
[5] H.M. Arifin ( 1991 : 31 )
[6] Dadang S. Anshori (2000:18)
[7] H.A.R. Tilaar, 2003:168
[8] menurut Zakiyyudin Baidhawy (2005:78),
[9] Zakiyyudin Baidhawy (2005:85)
[10] Hujair A.H. Sanaky (2003:157)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar