Abdullah bin Mas’ud berkata,
يا أيها الناس من علم شيئا فليقل به ومن لم يعلم فليقل الله أعلم فإن من العلم أن يقول لما لا يعلم الله أعلم
"Wahai manusia barangsiapa yang berilmu tentang sesuatu  maka  
hendaklah ia berkata dengan ilmunya tersebut dan barangsiapa yang  tidak
  berilmu (tidak mengetahui) maka hendaklah ia berkata “Allahu  A’lam”  
(Allahlah yang labih mengetahui) karena sesungguhnya merupakan  ilmu  
seseorang berkata “Allahu A’lam” tentang perkara yang ia tidak   
mengetahui ilmunya"[1]
Beliau juga berkata,
إن الذي يفتي الناس في كل ما يستفتونه فيه مجنون 
((Sesungguhnya orang yang berfatwa kepada manusia pada setiap perkara yang mereka tanyakan maka ia adalah orang gila))[2] 
Kenyataan Pahit dan Menyedihkan
Suatu  hal yang sangat patut untuk disedihkan yang merajalela saat ini  
adalah  banyak sekali para pemuda di negeri-negeri Islam yang semangat  
dalam  berdakwah dan menjadi para aktivis dakwah, begitu besar ghiroh  
mereka  terhadap agama mereka, namun mereka sangat jauh dari ilmu  
syar’i, mereka  tidak memiliki semangat untuk menuntut ilmu. Mereka  
sangat jauh dari  para ulama. Yang lebih menyedihkan lagi adalah sikap  
mereka yang sangat  berani dalam berfatwa tanpa ilmu (berbicara tentang 
 agama Allah tanpa  landasan ilmu).
Kita dapati ada diantara mereka yang  telah terjun di medan  dakwah 
lebih dari sepuluh tahun namun jika ditanya  tentang beberapa  
permasalahan yang berkaitan dengan sholat atau puasa  atau ibadah-ibadah
  yang lainnya maka mereka tidak menguasai jawabannya  dan merekapun  
membabi buta dalam memberikan jawaban. Bahkan yang lebih  menyedihkan  
lagi mereka berfatwa pada perkara-perkara yang berkaitan  dengan  
kepentingan banyak orang, yang berkaitan dengan keselamatan kaum   
muslimin secara umum…. sungguh menyedihkan dan aneh, mereka tidak   
mengerti hukum-hukum yang berkaitan dengan kepentingan individu-individu
   mereka sendiri, lantas bagaimana mereka berani berfatwa tentang   
perkara-perkara yang berkaitan dengan orang lain, bahkan berkaitan   
dengan kepentingan orang banyak…???, bahkan yang berkaitan dengan darah 
  kaum muslimin??. Apakah agama ini bisa dipimpin oleh orang-orang yang 
  tidak paham dengan ilmu syar’i…?? bagaimanakah nasib agama ini jika   
demikian…??.
Dan sungguh mengherankan, jika seluruh manusia di  atas muka bumi ini  
baik yang sholeh maupun yang fajir bersepakat  bahwasanya tidaklah  
mungkin seseorang bisa membangun bangunan kecuali  jika ia memiliki  
keahlian tentang bangunan, namun anehnya kenapa mereka  meremehkan  
perkara yang sangat urgen yaitu dakwah, yang jauh lebih urgen  dari  
segala urusan dunia??, kenapa mereka yang tidak menguasai ilmu  syar’i  
nekat memimpin gerakan-gerakan dakwah???, apakah mungkin dakwah  bisa  
dibangun oleh orang-orang yang tidak menguasai ilmu syar’i?? 
Kita  dapati juga sebagian orang berani masuk dalam area orang lain.  
Banyak  orang yang memiliki gelar doktor dalam bidang keduniaan nekat  
untuk  masuk dalam area para ulama. Merekapun ikut nimbrung dalam   
permasalahan-permasalahan agama, mereka berani berfatwa tentang   
permasalahan-permasalahan agama, bahkan mereka berani untuk memprotes   
ulama??. Apakah mereka tidak mentertawakan diri mereka sendiri…?, benar 
  memang mereka ahli dalam bidang kimia, fisika, kedokteran, tekhnologi,
   dan lain-lain namun pada hakekatnya mereka jahil dalam masalah agama.
   Mereka tidak menguasai Al-Qur’an dengan baik, tidak menguasai   
cabang-cabang ilmu yang berkaitan dengan hadits dan ilmu-ilmu agama yang
   lain. Bahkan diantara mereka ada yang belum bisa membaca Al-Qur’an   
dengan baik apalagi mengerti bahasa Arab, namun nekat untuk nimbrung   
dalam berfatwa. 
Renungkanlah…kalau ada seorang ulama yang  benar-benar ‘alim dalam agama
  namun tidak menguasai ilmu kedokteran  lantas nekat untuk nimbrung di 
 ruang operasi untuk melaksanakan operasi,  apakah kita 
membenarkannya??.  Orang-orang pasti mengatakan bahwa ulama  ini sudah 
tidak waras,  apalagi jika sang ulama tersebut ingin menjadi  pemimpin 
dalam jalannya  operasi tersebut. Meskipun ulama ini berniat  baik untuk
 menolong sang  pasien namun jelas pasti yang terjadi malah  akan 
mengakibatkan hal yang  fatal bagi sang pasien, dan bisa jadi  
membinasakan sang pasien. 
Demikian juga kita katakan sebaliknya,  jika ada seorang dokter yang  
tidak menguasai ilmu agama ikut nimbrung  dalam area para ulama yang  
sedang mengobati umat yang kritis agama  mereka, krisis aqidah mereka,  
akhlak mereka, dan seterusnya, maka kita  katakan dokter ini adalah  
seorang dokter yang tidak waras. Apalagi  dokter ini ingin memegang  
kepemimipinan dalam berdakwah…???. Apakah yang  akan terjadi dengan umat
  ini??, kebinasaan dan kehancuran yang akan  dirasakannya??. 
Inilah yang terjadi saat ini, betapa banyak  aktivis dakwah yang menjadi
  ujung tombak gerakan-gerakan dakwah namun  sangat minim pengetahuan  
agama mereka…. 
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 
إذا وسد الأمر إلى غير أهله فانتظر الساعة 
((Jika diserahkan urusan kepada yang bukan ahlinya maka tunggulah tibanya hari kiamat))[3]
فسئلوا فأفتوا بغير علم فضلوا وأضلوا
((…Merekapun ditanya lalu mereka berfatwa tanpa ilmu maka merekapun sesat dan menyesatkan))[4]
Yang  lebih menyedihkan lagi banyak diantara para pemuda tersebut yang  
tidak  menyadari bahwa diri mereka adalah orang-orang yang jahil tentang
  ilmu  agama. Bahkan yang lebih parah lagi mereka merasa bahwa diri  
mereka  adalah orang-orang yang alim sehingga terkumpulah pada mereka  
dua  kebodohan (bodoh kuadrat). Pertama mereka adalah bodoh, dan yang  
kedua  adalah mereka bodoh (tidak tahu) bahwa mereka adalah bodoh. 
Berkata Al-Kholil bin Ahmad, 
الرجال  أربعة رجل يدري ولا يدري أنه يدري فذاك غافل فنبهوه ورجل لا يدري  
ويدري  أنه لا يدري فذاك جاهل فعلموه ورجل يدري ويدري أنه يدري فذاك عاقل  
فاتبعوه  ورجل لا يدري ولا يدري أنه لا يدري فذاك مائق فاحذروه 
“Orang-orang  itu ada empat macam, (1) seorang yang mengetahui dan  
tidak mengetahui  bahwasanya ia mengetahui, itulah orang yang lalai maka
  ingatkanlah ia.  (2) Dan seorang yang tidak tahu dan ia mengetahui  
bahwasanya ia tidak  tahu, itulah orang yang jahil (bodoh) maka ajarilah
  ia. (3) Dan seorang  yang mengetahui dan ia tahu bahwasanya ia  
mengetahui, itulah orang yang  pandai maka ikutilah. (4) Dan seorang  
yang tidak tahu dan tidak tahu  bahwsanya ia tidak tahu, itulah orang  
tolol maka jauhilah ia”[5]
Ia  Juga berkata, “Manusia ada tiga macam, dua macam diajari dan yang
  satu  tidak diajari. Orang yang alim dan mengetahui bahwa ia adalah  
alim,  orang ini diajari. Dan seorang yang alim namun ia tidak  
mengetahui bahwa  ia tahu maka kedua orang ini juga diajari. Dan orang  
yang tidak  mengetahui dan ia memandang bahwa ia mengetahui maka ini  
tidak  diajari”[6] 
Berkata seorang penyair 
ومن نال العلومَ بغير شيوخٍ 
يضلُّ عن الصراط المستقيمِ 
وتلتبس الأمورُ عليه حتى 
يكونَ أضلَّ من تَوْمَى الحكيمِ 
تصدَّقَ بِالْبناتِ على رجالٍ 
يريد بذلك جناتِ النَّعِيمِ 
Barangsiapa yang meraih ilmu tanpa melalui guru maka ia akan tersesat dari jalan yang lurus
Dan perkara-perkara menjadi rancu baginya hingga lebih sesat daripada Hakim Tauma
 Hakim  Tauma telah (berfatwa untuk) menyedekahkan para wanita kepada
  para  lelaki karena ia berharap masuk surga yang penuh kenikmatan. 
Tentunya  fatwa Hakim Tauma ini menyelisih syari’at karena syari’at kita
   mewajibkan mahar dalam pernikahan. Ia berniat baik tatkala berfatwa  
 yaitu bersedekah bagi para lelaki yang mungkin kesulitan mencari mahar 
  untuk menikah, namun niat baik saja tidak cukup apalagi jika melanggar
   syari’at. 
Karena terlalu bodohnya Hakim Tauma hingga dikatakan bahwa himar (keledai) tunggangannya berkata 
 قال حمار الحكيم تومى     لو أنصف الدَهْرُ كنتُ أركبُ 
 لأَنَّنِي جَاهل بَسِيْطٌ                وصاحبي جاهلٌ مركَّبُ 
Berkata himar (tunggangannya) si Hakim Tauma 
 “Kalau memang zaman itu adil mestinya akulah yang menunggangi 
 Karena aku bodoh murni dan tuanku bodoh kuadrat”[7] 
Bahaya berfatwa tanpa ilmu 
Allah berfirman, 
وَلاَ  تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ   
وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولـئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْؤُولاً (الإسراء : 36 ) 
Dan  janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak  mempunyai 
pengetahuan  tentangnya. sesungguhnya pendengaran, penglihatan  dan 
hati, semuanya itu  akan diminta pertanggunganjawabnya. (QS. 17:36)
قُلْ  إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا  
بَطَنَ  وَالإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَن تُشْرِكُواْ  
بِاللّهِ مَا  لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَاناً وَأَن تَقُولُواْ عَلَى  
اللّهِ مَا لاَ  تَعْلَمُونَ (الأعراف : 33 )
Katakanlah:"Rabbku hanya  mengharamkan perbuatan yang keji, baik  
yang nampak maupun yang  tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak 
 manusia tanpa alasan yang  benar, (mengharamkan) kalian mempersekutukan
  Allah dengan sesuatu yang  Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan
  (mengharamkan) kalian  berbicara tentang Allah apa saja yang tidak 
kamu  ketahui"". (QS. 7:33)
Syaikh  Utsaimin berkata, “Sesungguhnya pembicaraan tentang   permasalahan-permasalahan agama (tanpa ilmi) adalah sangat berbahaya   karena hal ini merupakan pembicaraan tentang Allah tanpa ilmu”[8] 
Berkata  Al-Munawi, ((…Karena sesungguhnya seseorang yang berfatwa pada 
  hakekatnya adalah wakil Allah dalam menjelaskan hukum-hukum Allah, 
maka   jika ia berfatwa di atas kebodohan atau tanpa ilmu atau 
menggampangkan   dalam berfatwa atau dalam mengambil hukum maka ia telah
 menyebabkan   dirinya untuk masuk ke dalam neraka karena keberaniannya 
yang ngawur   tentang hukum-hukum Allah. Allah berfirman 
قُلْ أَرَأَيْتُم مَّا  أَنزَلَ اللّهُ لَكُم مِّن رِّزْقٍ فَجَعَلْتُم  
مِّنْهُ حَرَاماً  وَحَلاَلاً قُلْ آللّهُ أَذِنَ لَكُمْ أَمْ عَلَى اللّهِ
  تَفْتَرُونَ (يونس  : 59 )
Katakanlah:"Terangkanlah kepadaku tentang rezeki yang  diturunkan  
Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan  (sebagiannya)  
halal". Katakanlah:"Apakah Allah telah memberikan izin  kepadamu  
(tentang ini) atau kamu mengada-adakan saja terhadap Allah?"  (QS.  
10:59)
Az-Zamakhsyari berkata, “Cukuplah ayat ini  sebagai peringatan yang  
sangat keras terhadap sikap nekat dalam hukum  perkara-perkara yang  
ditanyakan dan merupakan pendorong untuk wajib  berhati-hati dalam hal  
ini dan agar tidak seorangpun berkata tentang  hukum sesuatu bahwasanya 
 hukumnya adalah boleh atau tidak boleh kecuali  setelah mantap 
(mengusai  dengan baik hukumnya) dan dalam keadaan yakin.  Barangsiapa 
yang tidak  dalam keadaan yakin –tatkala berfatwa- maka  hendaknya ia 
takut kepada  Allah dan hendaknya ia diam karena jika tidak  maka ia telah berdusta  atas nama Allah”)) [9] 
Seseorang bertanya  kepada ‘Amr bin Dinar suatu perkara dan ‘Amr bin  
Dinar tidak memberikan  jawaban kepadanya maka orang itu berkata,  
“Sesungguhnya ada sesuatu pada  diriku tentang perkara ini maka  
jawablah!”, maka ‘Amr berkata, لأن يكون  في نفسك مثل أبي قبيس أحب إلي من
  أن يكون في نفسي منها مثل الشعرة “Jika  dalam dirimu terdapat sesuatu  
seberat gunung Abu Qubais lebih aku sukai  daripada ada pada diriku  
(keraguan) tentang perkara ini seberat sehelai  rambut”[10] 
Oleh karena itu fatwa merupakan hak para ulama (yaitu  hak orang-orang  
yang benar-benar berilmu), karena merekalah pewaris  para nabi.  
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamr bersabda 
وإن العلماء ورثة الأنبياء وإن الأنبياء لم يورثوا دينارا ولا درهما إنما ورثوا العلم فمن أخذه أخذ بحظ وافر 
((Dan  para ulama adalah pewaris para nabi, dan para nabi tidaklah  
mewariskan  dinar dan dirham namun mereka mewariskan ilmu, maka  
barangsiapa yang  mengambil ilmu maka ia telah mendapatkan bagian yang  
banyak))[11] 
Ibnus  Sholah mengomentari hadits ini, “Maka Rasulullah shallallahu  
‘alaihi wa  sallam menetapkan keistimewaan bagi para ulama yang dengan  
keistimewaan  tersebut mereka mengungguli seluruh manusia, dan pekerjaan
  mereka yaitu  berfatwa menjelaskan bahwa mereka memang berhak untuk  
mendapatkan  keistimewaan tersebut di hadapan orang-orang yang meminta  
fatwa. Oleh  karena itu dikatakan bahwa fatwa adalah tanda tangan dari  
Allah….berkata  Muhamaad bin Al-Munkadir, إن العالم بين الله وبين خلقه  
فلينظر كيف يدخل  بينهم “Sesungguhnya seorang alim berposisi antara Allah
  dan makhluknya  maka hendaknya ia melihat bagaimana ia masuk di antara
  mereka”[12] 
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, 
من أفتي بغير علم كان إثمه على من أفتاه 
 ((Barangsiapa yang berfatwa tanpa ilmu maka dosanya bagi orang yang memberi fatwa))[13] 
Ibnu  Umar berkata, يريدون أن يجعلونا جسرا يمرون علينا على جهنم “Mereka 
  (orang-orang yang meminta fatwa) ingin menjadikan kami jembatan untuk 
  mereka lalui di atas api neraka” [14] 
Bagaimana jika fatwa  seseorang yang berbicara tanpa ilmu tersebut  
diamalkan oleh ratusan  orang atau bahkan ribuan orang, tentunya seluruh
  dosa-dosa mereka akan  dipikul oleh orang tersebut. 
Maka barangsiapa yang ditanya  tentang fatwa maka hendaknya ia diam dan 
 ia mengalihkannya kepada orang  yang lebih alim darinya atau ia 
serahkan  fatwa tersebut kepada orang  yang lebih alim tersebut dan ini 
adalah  sikap para salaf 
Berkata  Al-Qosim bin Muhammad, قال والله لأن يعيش الرجل جاهلا بعد أن  
يعلم حق  الله عليه خير له من أن يقول مالا يعلم “Demi Allah seseorang  
hidup dalam  keadaan bodoh setelah mengetahui hak Allah atas dirinya  
maka lebih baik  daripada ia berkata tanpa ilmu”[15] 
Sikap para salaf yang takut untuk berfatwa karena takut salah dalam berfatwa
Berkata Ibnu Abi Laila, 
لقد  أدركت عشرين ومائة من أصحاب رسول الله  صلى الله عليه وسلم  من  
الأنصار إن  كان أحدهم ليسأل عن المسألة فيردها إلى غيره فيرد هذا إلى هذا 
 وهذا إلى  هذا حتى ترجع إلى الأول وإن كان أحدهم ليقول في شيء وانه ليرتعد
 
“Sungguh  aku telah bertemu dengan 120 sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi 
 wa sallam  dari kaum Anshor, sungguh ada salah seorang dari mereka  
ditanya tentang  satu permasalahan maka iapun melemparkannya kepada  
yang lainnya, maka  yang ini melemparkan kepada yang itu, dan yang itu  
menyerahkannya kepada  yang ini hingga kembalilah permasalahan tersebut 
 kepada orang yang  pertama tadi, dan sungguh salah seorang dari mereka 
 berkata tentang  sesuatu dan ia dalam keadaan gemetar”[16] 
Beliau juga berkata, 
أدركت  عشرين ومائة من الأنصار من أصحاب محمد  صلى الله عليه وسلم  ما منهم
  من  أحد يحدث إلا ود أن أخاه كفاه إياه ولا يستفتى عن شيء إلا ود أن أخاه
  كفاه  الفتوى 
“Aku bertemu dengan 120 sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi  wa sallam dan 
 tidak seorangpun dari mereka yang berbicara kecuali ia  berharap  
saudaranya telah mencukupkan perkataannya (sehingga ia tidak  perlu  
lagi  berbicara)[17], dan tidak seorangpun dari mereka yang  berfatwa  
tentang suatu perkara kecuali ia berharap agar saudaranya telah   
mencukupi fatwanya (sehingga ia tidak perlu lagi berfatawa)”[18] 
Lihatlah  bagaimana keadaan sekarang yang telah berbalik, sesuatu yang  
para salaf  lari darinya (yaitu berfatwa) namun sekarang malah diminati 
 dan  sebaliknya sesuatu yang dituntut (untuk berfatwa dengan hati-hati 
 dan di  atas ilmu) namun sekarang malah dijauhi[19] 
Abdurrahman bin  Mahdi berkata, “Seorang pria menemui Malik bin Anas  
berhari-hari lamanya  untuk bertanya tentang suatu perkara, namun Malik 
 tidak memberi  jawaban, maka iapun berkata, “Wahai Abu Abdillah  
sesungguhnya aku ingin  keluar (kota) dan aku telah lama berulang-ulang 
 bolak-balik menemuimu!”.  Maka Malikpun menundukan kepalanya lama  
kemudian ia mengangkat  kepalanya dan berkata, “Masya Allah wahai fulan,
  sesungguhnya aku  tidaklah berkata kecuali yang menurutku baik dan aku
  tidak bisa  menguasai jawaban pertanyaanmu ini”[20] 
Dari Al-Haitsam bin Jamil  ia berkata, “Aku menyaksikan Imam Malik bin  
Anas ditanya 48 pertanyaan  dan ia berkata pada 32 pertanyaan tersebut  
“Aku tidak tahu”” 
Dan  diriwayatkan juga darinya bahwa ia ditanya suatu pertanyaan lalu ia
   berkata, “Aku tidak tahu” maka dikatakan kepadanya “Ini adalah   
pertanyaan yang ringan dan mudah!”, maka iapun marah dan berkata, “Tidak
   ada dalam ilmu sesuatupun yang ringan, tidakah engkau mendengar 
firman   Allah. 
إِنَّا سَنُلْقِي عَلَيْكَ قَوْلاً ثَقِيلاً (المزّمِّل : 5 ) 
Sesungguhnya Kami akan menurunkan kepadamu perkataan yang berat. (QS. 73:5) 
Maka  ilmu itu seluruhnya berat terutama sesuatu yang akan ditanya pada 
 hari  kiamat (yaitu orang yang berfatwa akan dimintai  
pertanggungjawabannya  pada hari kiamat-pen)” 
Imam Malik juga berkata, “Jika para  sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa
  sallam merasa berat untuk menjawab  pertanyaan-pertanyaan dan tidaklah
  salah seorang dari mereka menjawab  hingga ia melihat pendapat  
sahabatnya yang lain, padahal mereka telah  dianugrahi taufiq dan  
kelurusan dari Allah dan sucinya hati-hati mereka  maka lantas  
bagaimanakah dengan kita yang kesalahan-kesalahan serta  dosa-dosa kita 
 telah menutup hati-hati kita” [21] 
Berkata Ibnu Kholdah kepada Robi’ah, 
يا ربيعة إياك أن تفتي الناس فإذا جاءك الرجل يسألك فلا تكن همتك أن تخرجه مما وقع فيه ولتكن همتك أن تتخلص مما سألك عنه 
“Wahai  Robi’ah waspadalah engkau dari memberi fatwa kepada manusia,  
maka jika  datang kepadamu seseorang yang bertanya kepadamu maka  
janganlah tujuanmu  adalah untuk menyelematkan dia (sipenanya) dari apa 
 yang sedang ia  alami, namun jadikanlah tujuanmu adalah agar engkau 
bisa  selamat dari  pertanyaannya”[22] 
Ada orang yang bertanya kepada Imam Malik dan  Imam Malik tidak  
menjawabnya maka ia berkata, “Wahai Abu Abdillah  jawablah  
pertanyaanku!”, Imam Malik berkata, “Celaka engkau apakah  engkau hendak
  menjadikan aku hujjah antara aku dan Allah?, maka aku yang  lebih  
dahulu butuh untuk aku melihat bagaimana keselamatanku kemudian  aku  
menyelamatkan engkau”[23] 
Oleh karena itu tidaklah Ibnul  Musayyib berfatwa kecuali ia berkata,  
اللهم سلمني وسلمه مني “Ya Allah  selamatkanlah aku dan selamatkanlah ia 
 dariku”[24] 
Berkata Imam  Malik, “Terkadang aku menerima satu pertanyaan yang  
menjadikan aku tidak  bisa makan dan minum serta tidak bisa tidur” 
Beliau juga  berkata, “Sungguh aku pernah memikirkan satu permasalahan  
sejak belasan  tahun namun aku belum bisa memiliki pendapat yang pas  
hingga sekarang”. 
Beliau juga berkata, “Terkadang aku menemukan permasalahan maka akupun memikirkannya beberapa malam”[25] 
Dan  dari Imam Malik juga bahwasanya terkadang beliau ditanya 50  
pertanyaan  maka ia tidak menjawab kecuali satu pertanyaan saja dan ia  
berkata, 
من أجاب في مسألة فينبغي من قبل أن يجيب فيها أن يعرض نفسه على الجنة والنار وكيف يكون خلاصة في الآخرة ثم يجيب فيها 
“Barangsiapa  yang menjawab suatu pertanyaan maka hendaknya sebelum ia  
menjawab maka  ia meletakan dirinya diantara surga dan neraka dan  
bagaimanakah jalan  keluar di akhirat kemudian ia menjawab pertanyaan  
tersebut” 
Berkata  sebagian orang, “Demi Allah Imam Malik jika ditanya suatu  
pertanyaan  maka demi Allah ia sedang berdiri antara surga dan neraka” 
Imam  Malik jika sedang duduk maka ia menggerakan kedua bibirnya untuk  
 berdzikir kepada Allah dan ia tidak menengok ke kanan dan ke kiri, dan 
  jika ia ditanya tentang sautu permasalahan maka berubahlah warna kulit
   wajahnya, dan ia berkulit merah maka berubahlah jadi kuning (pucat) 
dan   ia menundukan kepalanya dan menggerakan kedua bibirnya kemudian 
berkata   ما شاء الله لا حول ولا قوة إلا بالله[26] 
Beliau berkata, “Tidak ada sesuatupun yang lebih berat bagiku daripada aku ditanya tentang permasalahan halal dan haram” 
Berkata  Asy-Syatibhi mengomentari perkataan Malik, “Karena hal ini  
adalah  memutuskan hukum Allah. Sungguh aku telah bertemu dengan para  
ulama dan  ahli fiqih di negeri-negeri kami, dan sungguh salah seorang  
dari mereka  jika ditanya tentang satu permasalahan maka seakan-akan  
kematian  dihadapan mereka, dan aku melihat penduduk negeri zaman kita  
ini mereka  begitu suka berbicara tentang halal dan haram dan suka  
berfatwa. Jika  seandainya mereka berhenti memikirkan akhir yang mereka 
 tuju kelak maka  mereka akan mempersedikit hal ini. 
Sesungguhnya Umar bin  Al-Khotthob, Ali, dan seluruh para sahabat yang  
mulia jika mereka  berhadapan dengan permasalahan-permasalahan –padahal 
 mereka adalah  generasi yang terbaik yang diutus kepada mereka Nabi  
shallallahu ‘alaihi  wa sallam- maka merekapun mengumpulan para sahabat 
 Nabi shallallahu  ‘alaihi wa sallam dan merekapun bertanya kepada  
mereka, kemudian setelah  itu mereka berfatwa. Adapun penduduk zaman  kita sekarang ini jadilah  kebanggaan mereka adalah berfatwa”[27] 
Ada seseorang yang  bertanya kepada Imam Malik tentang suatu  
permasalahan dan sang penanya  tersebut menyebutkan bahwa ia diutus dari
  perjalanan sejauh enam bulan  perjalanan dari Magrib untuk menanyakan 
 permasalahan tersebut. Maka Imam  Malik berkata, “Katakan kepada yang  
mengutusmu bahwa aku tidak memiliki  ilmu tentang permasalahan ini”.  
Orang itu berkata, “Kalau begitu  siapakah yang mengetahui permasalahan 
 ini?”, Imam Malik berkata, “Orang  yang diajari oleh Allah”. 
Imam Malik ditanya oleh seseorang  tentang permasalahan dan orang  
tersebut telah dititipkan oleh penduduk  Magrib kepadanya, maka Imam  
Malik berkata, “Aku tidak tahu, kami tidak  pernah menghadapi  
permasalahan seperti ini, dan kami tidak pernah  mendengar guru-guru  
kami berbicara tentang permasalahan ini akan tetapi  kembalilah engkau  
ke Magrib”. Dan tatkala keesokan harinya orang itupun  datang dan telah 
 mengangkat barang-barangnya di atas begolnya yang ia  tunggangi dan ia 
 berkata, “Pertanyaanku bagaimana?”, Imam Malik berkata,  “Aku tidak 
tahu  jawabannya”, orang itupun berkata, “Wahai Abu Abdillah  aku telah 
 meninggalkan di belakangku orang yang berkata bahwa tidak ada  di atas 
 muka bumi ini yang lebih pandai daripada engkau”, Imam Malikpun   
berkata, “Ada apa denganmu jika engkau tidak bersedih, jika engkau   
kembali maka kabarkanlah mereka bahwa aku tidak menguasai jawaban   
pertanyaan itu” [28] 
Berkata As-Syatibhi, “Dan riwayat-riwayat  dari imam Malik tentang  
perkataannya “Aku tidak tahu” dan “Aku tidak  menguasai permasalahan  
ini” sangatlah banyak hingga dikatakan kalau ada  seseorang yang ingin  
memenuhi bukunya dengan perkataan Imam Malik “Aku  tidak tahu” maka ia  
akan bisa melakukannya”… dan dikatakan kepada  beliau, “Jika engkau  
berkata wahai Abu Abdillah “Aku tidak tahu” maka  siapakah yang  
mengetahui?, maka Imam Malik berkata, “Celaka engkau,  apakah engkau  
mengetahui siapa aku?, dan siapakah aku?, apakah  kedudukanku hingga aku
  harus mengetahui apa yang kalian tidak ketahui?”,  kemudian Imam Malik
  berhujjah dengan hadits Ibnu Umar dan ia berkata,  “Lihatlah Ibnu 
Umar,  ia berkata, “Aku tidak tahu”, lantas siapakah  aku??, 
sesungguhnya yang  membinasakan mansia adalah ujub dan mencari  
kedudukan”… 
Beliau juga pernah berkata, “Umar bin Al-Khottob  pernah berhadapan  
dengan permasalahan-permasalahan ini dan ia tidak  menjawabnya”[29] 
Berkata Abu Hushoin, إن أحدهم ليفتي في المسألة  ولو وردت على عمر بن  
الخطاب رضي الله عنه لجمع لها أهل بدر “Sesungguhnya  salah seorang dari  
mereka (yang hidup di zamannya-pen) sungguh berfatwa  tentang suatu  
permasalahan yang jika permasalahan tersebut ditanyakan  pada Umar bin  
Al-Khottob maka ia akan mengumpulkan para sahabat yang  ikut perang  
Badar untuk menjawab pertanyaan tersebut”[30] 
Berkata  Sufyan bin ‘Uyainah, أجسر الناس على الفتيا أقلهم علما “Orang  
yang  paling berani berfatwa adalah orang yang paling sedikit  
ilmunya”[31] 
Perkataan “Aku tidak tahu” bukanlah aib bahkan merupakan kemuliaan 
Merupakan  perangkap syaitan yang sangat halus yaitu seseorang jika  
berada bersama  orang-orang yang ilmu mereka lebih sedikit dari  
ilmunya[32] maka  terkadang ia tanpa ia sadari telah memposisikan  
dirinya sebagai seorang  imam diantara mereka dan ia berusaha untuk  
tidak mengakui  ketidaktahuannya pada suatu perkara yang ditanyakan  
kepadanya yang ia  tidak memiliki ilmu tentang perkara tersebut, bahkan 
 terkadang jika  mereka sedang membicarakan sesuatu permasalahan maka  
iapun masuk  diantara mereka dan memberikan keputusan hukum perkara  
tersebut padahal  ia tidak memiliki ilmunya. Terkadang ia memposisikan  
dirinya seakan-akan  ia adalah seorang ahli hadits dan seorang ahli  
fikih padahal ia tidak  mengetahui bahwa seungguhnya ia telah  
membinasakan dirinya[33] 
Syaikh  Utsaimin berkata, “…Apakah yang menyebabkan seseorang untuk  
berbicara  tanpa ilmu?, sebabnya karena ia ingin terangkat, ingin ia  
mengungguli  para sahabatnya, ingin disebut-sebut, ingin popularitas  
agar ia dijuluki  seorang ‘allamah (yang sangat alim), fahhamah (yang  
sangat paham), laut  yang luas (yaitu yang sangat luas ilmunya), dan  
yang semisalnya. Dan  tidak diragukan lagi ini adalah termasuk  
perangkap-perangkap syaitan.  Yang wajib bagi engkau adalah engkau  
mengetahui ukuran dirimu dan  janganlah engkau memposisikan dirimu lebih
  dari ukuranmu”[34] 
Ketahuilah  bahwasanya perkataan seseorang yang ditanya kemudian ia  
tidak tahu  jawabannya “Aku tidak tahu” tidaklah merendahkan  
kedudukannya  sebagaimana yang disangkakan oleh sebagian orang-orang  
bodoh bahkan  perkataannya ini akan mengangkat derajatnya. Karena ini  
merupakan tanda  akan kuat agamanya, ketakwaannya, bersihnya hatinya,  
sempurnanya  ilmunya, serta kehati-hatiannya. 
Hanyalah enggan untuk mengatakan  “Aku tidak tahu” orang yang lemah  
agamanya dan sedikit ilmunya karena  ia takut jatuh di mata para  
hadirin, dan hal ini merupakan kebodohan dan  lemahnya agama. Dan bisa  
jadi ia terkenal di kalangan manusia dengan  kesalahan-kesalahannya  
karena ketidak hati-hatiannya dalam berfatwa  (menjawab) maka iapun  
terjatuh pada sesuatu yang ia lari darinya, dan  iapun disifati oleh  
manusia dengan sifat yang ia lari darinya[35] 
Oleh  karena itu Al-Qosim bin Muhammad berkata, إن من إكرام المرء نفسه  
أن لا  يقول إلا ما أحاط به علمه “Termasuk bentuk pemuliaan seseorang  
terhadap  dirinya yaitu ia tidak berkata kecuali sesuatu yang ia kuasai 
  ilmunya”[36] 
Berkata orang-orang bijak, 
من العلم أن لا  تتكلم فيما لا تعلم بكلام من يعلم فحسبك خجلا من نفسك  
وعقلك أن تنطق بما لا  تفهم وإذا لم يكن إلى الإحاطة بالعلم من سبيل فلا  
عار أن تجهل بعضه وإذا  لم يكن في جهل بعضه عار فلا تستحي أن تقول لا أعلم 
 فيما لا تعلم 
“Merupakan  ilmu engkau tidak berbicara tentang perkara yang engkau  
tidak ketahui  dengan perkataan orang yang mengetahuinya, cukuplah  
engkau malu dengan  dirimu dan akalmu jika engkau berbicara dengan  
perkataan yang tidak kau  pahami. Jika tidak ada jalan untuk bisa  
mengetahui seluruh ilmu maka  bukanlah aib jika engkau tidak mengilmui  
sebagaian perkara, dan jika  tidak mengetahui sebagian ilmu bukanlah  
suatu aib maka janganlah engkau  malu untuk mengatakan pada perkara yang
  tidak kau ketahui “Aku tidak  tahu”” [37] 
As-Sya’bi berkata, لا أدري نصف العلم ((“Aku tidak tahu” adalah setengah ilmu))[38]. 
Syaikh  Bakr Abu Zaid berkata, “Jika setengah ilmu adalah perkataan “Aku
  tidak  tahu” maka setengah kebodohan adalah perkataan “Dikatakan…” dan
   perkataan “Aku sangka…””[39] 
Faedah yang bisa didapatkan bagi orang yang mengatakan “Aku tidak tahu”
1. Inilah yang wajib baginya. 
2. Jika dia tidak menjawab dan berkata, “Aku tidak tahu” maka akan  
segera  datang ilmu kepadanya karena ia akan segera muroja’ah (mencari  
jawaban)  pertanyaan yang tidak bisa ia jawab tersebut atau orang lain  
yang  memeriksa jawabannya. Karena seorang murid jika melihat gurunya  
tidak  menjawab maka ia akan berusaha dengan keras untuk menemukan  
jawabannya  kemudian mengabarkan jawaban tersebut kepada gurunya, maka  
sungguh baik  hal ini. 
3. Jika ia tidak menjawab apa yang ia tidak ketahui  maka hal ini  
merupakan indikasi akan terpercayanya dia dan amanahnya  serta  
penguasaannya secara sempurna pada permasalahan-permasalahan yang  ia  
jawab, sebagaimana orang yang berani menjawab perkara-perkara yang ia   
tidak ketahui maka hal itu akan menimbulkan keraguan pada seluruh   
perkataannya hingga keraguan pada perkara-perkara yang telah jelaspun. 
4. Jika para murid melihat gurunya tidak menjawab perkara-perkara  yang 
 tidak diketahuinya maka hal ini merupakan pelajaran bagi mereka  untuk 
 bertindak demikian juga, karena meneladani perkataan yang  disertai  
amalan dari sang guru lebih mengena daripada hanya sekedar  meneladani  
perkataan saja.[40] 
Berkata Abdullah bin Yazid bin Hurmuz,  “Hendaknya seorang alim  
mengajarkan para muridnya setelahnya perkataan  “Aku tidak tahu” hingga 
 perkataan tersebut menjadi pegangan mereka yang  mereka segera  
menggunakannya jika salah seorang dari mereka ditanya  sesuatu yang  
tidak diketahuinya, maka ia akan berkata, “Aku tidak  tahu””[41] 
Syaikh Bakr Abu Zaid berkata, جُنَّةُ العالم لا أدري “Perisai seorang yang berilmu adalah perkataan “Aku tidak tahu””[42] 
Peringatan
1.  Bukan berarti tidak boleh berfatwa tanpa ilmu berarti tidak  boleh  
berfatwa sama sekali bahkan orang yang memiliki ilmu jika ditanya   
tentang apa yang ia ketahui maka wajib bagi dia untuk menjawabnya hal   
ini sebgaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam 
من سئل عن علم فكتمه ألجم يوم القيامة بلجام من نار 
((Barangsiapa  yang ditanya tentang ilmu kemudian ia menyembunyikannya  
maka ia akan  dikekang (dimulutnya) pada hari kiamat dengan kekangan  
dari api  neraka))[43]. 
Dan hal ini sebagaimana wasiat Ibnu Mas’ud يا أيها  الناس من علم شيئا  
فليقل به ((Wahai manusia barangsiapa yang mengilmui  sesuatu maka  
hendaknya ia berkata dengan ilmunya tersebut)) 
2. Bukan berarti karena takut berfatwa tanpa ilmu maka seseorang   
meninggalkan dakwah sama sekali dan tidak berdakwah hingga ia menjadi   
ulama. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda بلغوا عني
   ولو آيةً ((Sampaikanlah dariku meskipun hanya satu ayat))[44]. 
Berkata   Syaikh Utsaimin, “Barangsiapa yang menyangka tidak mungkin  
menggabungkan  antara menuntut ilmu dan berdakwah maka ia telah keliru  
karena  sesungguhnya seseorang mungkin baginya untuk belajar sambil  
mendakwahi  keluarganya, tetangganya, kampungnya, penduduk kotanya dan  
ia sambil  menuntut ilmu”[45].
Ada perkara-perkara yang bisa dipahami  dengan mudah  yang bisa 
didakwahkan oleh siapa saja. Namun perlu diingat  sabda Nabi  
shallallahu ‘alaihi wa sallam((dariku)) menunjukan bahwa  yang  disampaikan harus benar-benar merupakan agama dari Nabi  shallallahu  ‘alaihi wa sallam. 
Penulis: Firanda Andirja 
  Artikel www.firanda.com 
Catatan Kaki:
[1] Atsar riwayat Al-Bukhori dalam shahihnya 4/1809 no 4531 
[2]  Atsar riwayat At-Thobroni dalam Al-Mu’jam Al-Kabir 9/188 no 8923,  
 berkata Al-Haitsami “Para perawinya terpercaya” (Majma’ Az-Zawaid 
1/183)   dan juga Al-Baihaqi dalam Al-Madkhol ila As-Sunan Al-Kubro 
1/432, dan   perkataan yang semisal ini juga dikatakan oleh Ibnu Abbas 
sebagaimana   diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam Al-Madkhol 1/433 
[3] HR Al-Bukhari 1/33 no 59 
[4] HR Al-Bukhari 1/50 no 100, Muslim 4/2058 no 2673 
[5] Atsar riwayat Al-Baihaqi dalam Al-Madkhol ila As-Sunan Al-Kubro 1/441 no 828 
[6]Atsar riwayat Al-Baihaqi dalam Al-Madkhol ila As-Sunan Al-Kubro 1/441 no 829 
[7] Lihat kedua syair ini dalam syarah mandzumah Al-Waroqoot oleh Syaikh Utsaimin pada penjelasan makna ilmu 
[8] At-Ta’liq Ats-Tsamin hal 322 
[9] Faidhul Qodir 1/158-159 
[10] Atsar riwayat Al-Baihaqi dalam Al-Madkhol ila As-Sunan Al-Kubro 1/437 no 815 
[11]  HR Abu Dawud 3/317 no 3641, Ibnu Majah 1/81 no 223, At-Thirmidzi  
5/48  no 2682 dari hadits Abu Darda’ dan dishahihkan oleh Syaikh  
Al-Albani. 
[12] Fatawa Ibnus Solah 1/7-8 bab بيان شرف مرتبة الفتوى وخطرها وغررها 
[13] HR Abu Dawud 3/321 no 3657, Ibnu Majah 1/20 no 53 dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albani 
[14] Faidhul Qodir 1/158-159 
[15] Atsar riwayat Al-Baihaqi dalam Al-Madkhol ila As-Sunan Al-Kubro 1/434 no 806 
[16]  Tarikh Bagdad 13/412, Tarikh Ad-Dimasyq 36/87 dari Sufyan Ibnu  
Uyainah  ia berkata, “Telah mengabarkan kepadaku ‘Ato’ bin As-Saib dari 
 Ibni Abi  Laila….” 
[17] Tidak sebagaimana sekarang dimana kebanyakan orang mereka menghendaki merekalah yang berbicara 
[18] Atsar riwayat Al-Baihaqi dalam Al-Madkhol ila As-Sunan Al-Kubro 1/433 no 800 
[19] Faidhul Qodir 1/159 
[20] Fatawa Ibnus Solah 1/13 
[21] Fatawa Ibnus Solah 1/13-15 
[22] Atsar riwayat Al-Baihaqi dalam Al-Madkhol ila As-Sunan Al-Kubro 1/439 no 823 
[23] Al-Muwafaqoot 4/288 
[24] Atsar riwayat Al-Baihaqi dalam Al-Madkhol ila As-Sunan Al-Kubro 1/439 no 824 
[25] Al-Muwafaqoot 4/286 permasalahan yang ketujuh 
[26] Al-Muwafaqoot 4/286 permasalahan yang ketujuh 
[27] Al-Muwafaqoot 4/287 
[28] Al-Muwafaqoot 4/288 
[29] Al-Muwafaqoot 4/289 
[30] Atsar riwayat Al-Baihaqi dalam Al-Madkhol ila As-Sunan Al-Kubro 1/434 no 803 
[31] Fatawa Ibnus Solah 1/12 
[32]  Berbeda jika ia sedang berada diantara orang-orang yang ilmunya  
lebih  daripada dia atau setara dengannya maka ia cenderung untuk lebih 
  berhati-hati karena takut ketahuan kesalahan-kesalahannya. 
[33] Ma’alim fi toriq tolabil ‘ilmi hal 249 
[34] At-Ta’liq Ats-Tsamin hal 322 
[35] Ma’alim fi toriq tolabil ‘ilmi hal 206 
[36] Atsar riwayat Al-Baihaqi dalam Al-Madkhol ila As-Sunan Al-Kubro 1/434 no 805 
[37] Faidhul Qodir 1/158-159 
[38] Atsar riwayat Al-Baihaqi dalam Al-Madkhol ila As-Sunan Al-Kubro 1/434 no 810 
[39] At-Ta’liq Ats-Tsamin hal 325 
[40]  Keempat faedah ini disampaikan oleh Syaikh As-Sa’di dalam kitab   
Al-Fatawa As-Sa’diyah hal 627-629 sebagaimana dinukil dalam buku ma’alim
   fi toriq tolabil ilmi hal 206-207 
[41] Atsar riwayat Al-Baihaqi dalam Al-Madkhol ila As-Sunan Al-Kubro 1/434 no 809 
[42]  At-Ta’liq Ats-Tsamin hal 325. Kisah : Syaikh Muhammad Amin   
Asy-Syinqithi –rohimahulloh- jika sedang mengawasi para mahasiswa   
Universitas Islam Madinah yang sedang melaksanakan ujian kemudian ada   
diantara mahasiswa yang bertanya kepada beliau tentang soal ujian maka  
 beliau memberi jawabannya, padahal mereka sedang ujian. Tatkala beliau 
  ditanya kenapa beliau memberi tahu jawaban soal ujian maka beliau   
berdalil dengan hadits ((Barangsiapa yang ditanya tentang ilmu kemudian 
  ia menyembunyikannya maka ia akan dikekang (dimulutnya) pada hari  
kiamat  dengan kekangan dari api neraka)). Kalau seluruh pengawas ujian 
 seperti  beliau…??? 
[43] HR Ibnu Majah 1/97 no 264, At-Thirmidzi 5/29 no 2649 dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani 
[44] HR Al-Bukhari 3/1275 no 3274, para ulama berbeda pendapat tentang makna ayat dalam hadits ini 
1. Ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud adalah ayat  Al-Qur’an. 
Berkata  Al-Baydhowi, “Maka menyampaikan hadits dipahami  dengan mafhum 
awlawi”  (Umdatul Qori 16/45) 
2. Ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud adalah perkataan yang berfaedah (yaitu hadits-hadits Nabi r) 
3. Ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud adalah hukum-hukum  yang  
diwahyukan kepada Nabi r maka lebih luas daripada hanya sekedar  ayat  
yang dibaca. (Tuhfatul Ahwadzi 7/360) 
[45] Kitabul ilmi hal 162

Tidak ada komentar:
Posting Komentar