Minggu, 23 Desember 2012

Kapita Selekta Pendidikan

PENDAHLUAN
Kebijakan pemerintah hindia belanda terhadap pendidikan islam pada dasarnya bersifat menekan karena kekhawatiran akan timbulnya militasi kaum muslimin terpelajar. Salah satu kebijakan pemerintah Hindia Belanda dalam mengawasi pendidikan Islam adalah menerapkan “Ordonasi Guru” pada tahun 1905. Kebijakan ini mewajibkan guru-guru agama untuk memiliki surat izin dari pemerintah. Tidak setiap orang, meskipun ahli ilmu agamadapat mengajar di lembaga pendidikan.
Latar belakang Ordonasi Guru ini sepenuhnya bersifat politisi untuk menekan sedemikian rupa sehingga pendidikan Islam tidak menjadi factor pemicu perlawanan rakyat terhadap penjajah.
Dalam perkembangannya “Ordonasi Guru” ini sendiri mengalami perubahan dari keharusan guru agama itu cukup melapor dan member tahu saja. Ordonasi Guru ini sering sekali disalahgunakan oleh pemerintah local untuk menghambat perkembangan pendidikan Islam.
Dengan penerapan Ordonasi Guru, menimbulkan reaksi dari umat Islam terhadap kebijakan pemerintah Hindia Belanda yang dipandang deskriminatif terhadap pendidikan Islam.
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Pendidikan Islam
Pendidikan Islam menurut Zarkowi Soejoeti sebagaimana yang dituturkan oleh M.Ali Hasan dan Mukti Ali, terbagi dalam tiga pengertian. Pertama “Pendidikan Islam” adalah jenis pendidikan yang pendirian dan  penyelenggaraannya didorong oleh hasrat dan semangat cita-cita untuk mengejawantahkan nilai-nilai Islam , baik yang tercermin dalam nama lembaganya, maupun dalam kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan[1]
Di sini kata Islam ditempatkan sebagai sumber nilai yang akan diwujudkan dalam seluruh kegiatan pendidikan. Kedua, jenis pendidikan yang memberikan perhatian sekaligus menjadikan ajaran Islam sebagai pengetahuan untuk program studi yang diselenggarakan. Di sini kata Islam ditempatkan sebagai bidang studi, sebagai ilmu, dan diperlakukan sebagai ilmu yang lain. Ketiga, jenis pendidikan yang mencakup kedua pengertian di atas. Di sini kata Islam ditempatkan sebagai sumber nilai sekaligus sebagai bidang studi yang ditawarkan melalui program studi yang diselenggarakan[2]
Ciri khas pendidikan Islam itu ada dua macam :
Tujuannya : Membentuk individu menjadi bercorak diri tertinggi menurut ukuran Allah.
Isi pendidikannya : ajaran Allah yang tercantum dengan lengkap di dalam Al Qur’an yang pelaksanaannya dalam praktek hidup sehari-hari dicontohkan oleh Muhammad Rasulullah SAW.
 Teori-teori pendidikan Islam yang berkembang di Indonesia secara umum mendefinisikan pendidikan Islam dalam dua tataran : idealis dan pragmatis. Pada tataran idealis, pendidikan Islam diandaikan sebagai suatu sistem yang independen (eksklusif) dengan sejumlah kriterianya yang serba Islam. Definisi ini secara kuat dipengaruhi oleh literatur Arab yang masuk ke Indonesia baik dalam bentuk teks asli, terjemahan, maupun sadurannya.
Sedangkan pada tataran pragmatis, pendidikan Islam ditempatkan sebagai identitas (ciri khusus) yang tetap berada dalam konteks pendidikan nasional. Perkembangan-perkembangan aktual di Indonesia khususnya selama tiga dekade terakhir sangat mempengaruhi munculnya definisi pragmatis ini[3]
Penulis-penulis Indonesia kontemporer berusaha menjelaskan definisi pendidikan Islam dengan melihat tiga kemungkinan hubungan antara konsep pendidikan dan konsep Islam. Dilihat dari sudut pandang kita tentang Islam yang berbeda-beda, istilah pendidikan Islam tersebut dapat dipahami sebagai :
1.      Pendidikan (menurut) Islam,
2.      Pendidikan (dalam) Islam,
3.      Pendidikan (agama) Islam.
Dalam hubungan yang pertama, pendidikan Islam bersifat normatif, sedang dalam hubungan yang kedua, pendidikan Islam lebih bersifat sosio-historis. Adapun dalam hubungan yang ketiga, pendidikan Islam lebih bersifat proses-operasional dalam usaha pendidikan ajaran-ajaran agama Islam. Dalam kerangka akademik, pengertian yang pertama merupakan lahan filsafat pendidikan Islam, dan pengertian yang ketiga merupakan kawasan ilmu pendidikan Islam teoritis.
B.     Relevensi Kebijakan terhadap Pendidikan Islam
Relevensi dari kebijakan pemerintah terhadap Pendidikan Islam dapat di lihat dari dikeluarkannya Tap MPRS No.2 Tahun 1960 ditegaskan bahwa madrasah adalah lembaga pendidikan otonom dibawah pengawasan Menteri Agama selain itu dalam Tap MPRS No.27 Tahun 1966 dinyatakan bahwa agama merupakan salah satu unsur mutlak dalam pencapaian tujuan nasional. Berdasarkan ketentuan ini, maka Departemen Agama menyelenggarakan pendidikan madarasah tidak saja bersifat keagamaan dan umum, tetapi juga bersifat kejuruan[4]
Dengan keputusan Presiden No.34 Tahun 1972 tentang tanggung jawab Fungsional Pendidikan dan Latihan. Isi keputusan ini pada intinya menyangkut tiga hal, yaitu:
1.      Menteri Pendidikan dan Kebudayaan bertugas dan bertanggung jawab atas pembinaan pendidikan umum dak kejuruan.
2.      Menteri Tenaga Kerja bertanggung jawab atas pembinaan latihan keahlian dan kejuruan tenaga kerja bukan pegawai negeri.
3.      Ketua Lembaga Administrasi Negara bertugas dan bertanggung jawab atas pembinaan pendidikan dan latihan khusus untuk pegawai negeri.
Kemudian dikeluarkan inpres No. 15 tahun 1974, penyelenggaraan pendidikan umum dan kejuruan menjadi sepenuhnya berada dibawah tanggung jawab Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Secara implicit ketentuan ini mengharuskan diserakannya penyelenggaraan pendidikan madrasah yang sudah menggunakan kurikulum nasional kepada Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.
Menarik untuk dicatat bahwa kebijakan keputusan Presiden No.34 tahun 1972 yang kemudian diperkuat oleh inpres No.15 tahun 1974 menggambarkan ketegangan yang cukup keras dalam hubungan madrasah tidak saja diasingkan dengan pendidikan nasional, tetapi terdapat indikasi kuat akan dihapuskan. Dengan kata lain, kepres dan inpres di atas dipandang oleh sebagian umat Islam sebagai suatu manuver untuk mengabaikan peran dan manfaat madrasah sebagai suatu lembaga pendidikan Islam.
Hal ini menimbulkan reaksi di kalangan umat Islam terhadap kebijakan pemerintah tersebut yang dianggap merugikan bagi kelangsungan pendidikan Islam, kemudian reaksi umat Islam ini mendapat perhatian oleh Musyawarah Kerja Majelis Pertimbangan Pendidikan dan Pengajaran Agama. Lembaga ini memandang bahwa madrasah merupakan suatu lembaga pendidikan Islam, oleh sebab itu yang tepat untuk menyelenggaakannya adalah Departemen Agama sebab Menteri Agama yang lebih tahu tentang kebutuhan pendidikan Agama bukan menteri P & K.
Memperhatikan aspirasi umat islam, maka pemerintah mengeluarkan Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri mengenai peningkatan mutu Pendidikan pada Madarasah. Dalam Surat Keputusan Bersama ini, masing-masing Kementrian dalam Negeri bertanggung jawab terhadap pembinaan Madrasah.
Kelahiran SKB Tiga Menteri adalah untuk  mengatasi kekhawatiran umat Islam akan dihapuskannya system pendidikan madrasah sebagai konsekwensi dan kepres No.34 Tahun 1972 dan Inpres No.15 Tahun 1974. SKB Tiga Menteri ini dikeluarkan pada sidang kabinet pada tanggal 26 November 1974.
Adapun isi dari SKB Tiga Menteri, mengandung beberapa diktum seperti dalam Bab1, pasal 1 ayat 2 misalnya menyatakan madrasah itu meliputi tiga tingkatan, yaitu:
a.       Madrasah  Ibtidaiyah setingkat dengan Sekolah Dasar.
b.      Madrasah Tsanawiyah setingkat dengan Sekolah Menengah Pertama.
c.       Madrasah Aliyah setingkat dengan Sekolah Menengah Atas.
Selanjutnya dalam Bab II, pasal 2 disebutkan bahwa:
a.       Ijazah Madrasah dapat mempunyai nilai yang sama dengan ijazah Sekolah Umum.
b.      Lulusan Madrasah dapat melanjutkan ke Sekolah Umum.
c.       Siswa madrasah dapat berpindah ke Sekolah Umum.
Mengenai pengelolaan dan pembinaan terdapat dalam Bab IV, pasal 4, yaitu:
a.       Pengelolaan Madrasah dilakukan oleh Mnteri Agama.
b.      Pembinaan mata pelajaran agama pada Madrasah dilakukan oleh Menteri Agama.
c.       Pembinaan dan pengawasan mutu pelajaran umum pada madrasah dilakukan oleh Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri.
Dengan dikeluarkannya SKB Tiga Menteri dapat dipandang sebagai bentuk pengakuan yang lebih nyata terhadap eksestensi madrasah dan sekaligus merupakan langkah strategis untuk menuju tahapan integrasi madrasah ke dalam system pendidikan nasional. Dalam hal ini, pendidikan keagamaan atau lembaga penyelenggaraan kewajiban belajar tetapi sudah merupakan lembaga pendidikan yang menjadikan mata pelajaran agama islam sebagai mata pelajaran dasar.
Kemudian setelah SKB Tiga Menteri dikeluarkan Undang-undang sistem Pendidikan Nasional Tahun 1989. Berbeda dengan UU sebelumny, UU ini mencakup ketentuan tentang semua jalur dan jenis pendidikan. Jika pada UU sebelumnya pendidikan Nasional bertumpu pada sekolah maka, dalam UU sistem pendidikan nasional ini pendidikan nasional mencakup jalur sekolah dan luar sekolah serta meliputi jenis-jenis pendidikan akademik, pendidikan professiona, pendidikan kejuruan dan pendidikan keagamaan.
Dengan dmikian UU No.2 Tahun 1989 tersebut merupakan wadah formal terintegrasinnya sistem pendidikan nasional meskipun secara eksplisit tidak mengatur secara khusus tentang pendidikan Islam tetapi dalam prakteknya memberikan ketentuan-ketentuan baru mengenai jenis dan kurikulum pendidikan Islam, khususnya pendidikan madrasah.
Dengan demikian integritas madrasah ke dalam Sistem Pendidikan Nasional bukan merupakan integritas dalam artian penyelenggaraan dan pengelolaan tetapi lebih ke pada pengakuan yang lebih mantap bahwa madrasah adlah bagian dari sistem Pendidikan Nasionalvwalaupun pengelolaanya diserakan kepada Depatemen Agama[5].
KESIMPULAN
            Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kebijakan pemerintah terhadap pendidikan islam dimulai sejak zaman belanda yang sangat merugikan dan membelenggu perkembangan sistem pendidikan islam.
            Kebijakan ini lebih terasa ketika diterapkannya ordonasi guru sehingga sekolah Islam banyak menutup diri dari perkembangan sistem pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah.
            Sedangkan pada tataran pragmatis, pendidikan Islam ditempatkan sebagai identitas (ciri khusus) yang tetap berada dalam konteks pendidikan nasional. Perkembangan-perkembangan aktual di Indonesia khususnya selama tiga dekade terakhir sangat mempengaruhi munculnya definisi pragmatis ini.
Dengan dikeluarkannya SKB Tiga Menteri dapat dipandang sebagai bentuk pengakuan yang lebih nyata terhadap eksestensi madrasah dan sekaligus merupakan langkah strategis untuk menuju tahapan integrasi madrasah ke dalam system pendidikan nasional. Dalam hal ini, pendidikan keagamaan atau lembaga penyelenggaraan kewajiban belajar tetapi sudah merupakan lembaga pendidikan yang menjadikan mata pelajaran agama islam sebagai mata pelajaran dasar.
Kemudian setelah SKB Tiga Menteri dikeluarkan Undang-undang sistem Pendidikan Nasional Tahun 1989. Berbeda dengan UU sebelumny, UU ini mencakup ketentuan tentang semua jalur dan jenis pendidikan. Jika pada UU sebelumnya pendidikan Nasional bertumpu pada sekolah maka, dalam UU sistem pendidikan nasional ini pendidikan nasional mencakup jalur sekolah dan luar sekolah serta meliputi jenis-jenis pendidikan akademik, pendidikan professiona, pendidikan kejuruan dan pendidikan keagamaan.
Dengan demikian integritas madrasah ke dalam Sistem Pendidikan Nasional bukan merupakan integritas dalam artian penyelenggaraan dan pengelolaan tetapi lebih ke pada pengakuan yang lebih mantap bahwa madrasah adlah bagian dari sistem Pendidikan Nasionalvwalaupun pengelolaanya diserakan kepada Depatemen Agama.
DAFTAR PUSTAKA
Hawi, Akmal. 2007. Kapita Selekta Pendidikan. Palembang: IAIN Raden Fatah Press.
Diakses Pada Tanggal 26 Juli 2012.
Muhammad, Hasan Ali. 2003. Kapita Selekta Pendidikan. Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya.


[1] kumpulanmakalah.blogspot.com/pendidikan-islam-dalam-sistem.html
[2] M. Ali Hasan, Mukti Ali, Kapita Selekta Pendidikan Islam (Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya, 2003), 45.
[3] Ibid, M. Ali Hasan. Hal.46
[4] Akmal Hawi, Kapita Selekta Pendidikan, (Palembang: IAIN Raden Fatah Press, 2007), hal 137.
[5] Ibid, Akmal Hawi. Hal. 140-141.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar