Sabtu, 22 Desember 2012

Telaah Pembaharuan Kurikulum Pendidikan Dasar dan Menengah

PENDAHULUAN
Dunia pendidikan memiliki posisi menarik dan cukup signifikan dalam upaya membentuk peradaban serta budaya manusia, posisi tersebut adalah titik sentral di antara faktor-faktor yang membentuk budaya dan peradaban mereka (megatrends). Hanya saja untuk melakukan sebuah proses pendidikan, apalagi yang bersifat formal, terlalu banyak aspek yang mempengaruhi berhasil-tidaknya proses pendidikan tersebut. Satu di antara sekian banyak aspek adalah kurikulum.
Bila dikatakan kalau kurikulum merupakan jiwa dari pelaksanaan pendidikan, sebab ia diartikan sebagai keseluruhan yang utuh dari kegiatan akademik, dari seluruh rangkaian aktivitas yang dijalankan di sebuah institusi pendidikan, maka kurikulum selayaknya diorientasikan untuk pengembangan kepribadian peserta didik secara integral-komprehensif, baik segi kognisi, afeksi dan psikomotori pada diri peserta didik.
Secara historis-kronologis, kurikulum pendidikan di Indonesia sendiri telah mengalami berbagai revisi, tentu saja disesuaikan dengan mainstream yang berkembang pada saat itu. Banyak hal yang melandasi perkembangan arah pemikiran untuk memperbaharui kurikulum pendidikan, salah satu di antaranya adalah sentralisasi pendidikan, sehingga nantinya ruang gerak demokratisasi pendidikan mendapat porsi layak. Bagaimanapun juga kebijakan/policy pemerintahan dalam hal ini Menteri Pendidikan Nasional memiliki peranan dominan menentukan segala ‘kehendak’ penguasa, dalam konteks ini politisasi dunia pendidikan sangat eviden dalam fenomena kehidupan. Pendidikan hanya dijadikan lahan proyek basah yang menghasilkan rupiah, lebih ironis lagi pendidikan dijadikan indoktrinasi sebuah partai politik tertentu.
Bukti nyata adalah ‘kegagalan’ kurikulum 1994 dalam meningkatkan mutu/kualitas output pendidikan karena masih berbau teoritis dan diperparah dengan didaktik yang lebih memfokuskan pada hafalan, tidak pada pemahaman yang komprehensif. Mengutip apa yang dikatakan oleh mantan Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional Indra Djati Sidi, bahwa “...perbaikan SD yang dilakukan tidak hanya memperbaiki fisiknya (bangunan sekolah), namun juga manajemen dan kurikulum pembelajarannya. Sistem pembelajaran SD ke depan jelas harus menyenangkan. Setelah anak-anak merasa senang belajar, diharapkan derajat kesulitan yang dihadapi anak-anak dalam belajar akan bisa diatasi secara bertahap.”
Pada tahun 1994, tepatnya pada tanggal 2 Mei (Hari Pendidikan Nasional) pemerintah mencanangkan program Wajib Belajar 9 tahun, dengan dasar evaluasi yang kurang matang dari program sebelumnya (Wajib Belajar 6 tahun) pada tahun 1984, pemerintah kurang melengkapi sarana pendudkung baik yang bersifat fisik maupun non-fisik (kurikulum). Maka yang terjadi hanyalah pengejaran kualifikasi lulusan yang belajar sampai tingkatan dasar (Sekolah Menengah Pertama). Studi Wohletter dan kawan-kawan (1997) membuktikan bahwa inovasi pembelajaran itulah yang menjadi kunci peningkatan mutu pendidikan, kegiatan-kegiatan lain pada dasarnya ‘hanya’ wahana untuk mendorong guru agar mampu berinovasi dalam mengajar.
Inovasi pembelajaran selayaknya juga berimplikasi pada inovasi kurikulum sebagai keseluruhan rangkaian materi dan kegiatan belajar peserta didik. Plus-minus pelaksanaan kurikulum 1994 dan program Wajib Belajar 9 tahunnya menjadi bahan berharga evaluasi dan motivasi untuk merancang rencana pelajaran/kurikulum yang baru di tahun 2004 (Kurikulum Berbasis Kompetensi/KBK) beserta modifikasinya yang dinamai Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).

DASAR PEMAHAMAN KURIKULUM

Istilah “Kurikulum” berasal dari bahasa Latin, yakni curriculum yang berarti a running course, dalam bahasa Perancis courier berarti to run = berlari. Dari istilah ini kemudian digunakan untuk menempuh sejumlah matapelajaran (courses) demi memperoleh suatu gelar penghargaan akademik, pada akhirnya ada yang menamakan ijazah.
Pada perkembangan selanjutnya terjadi friksi dalam mendefinisikan istilah kurikulum sesuai dengan persepsi para tokoh yang berkecimpung dalam dunia pendidikan. Secara garis besar pemahaman kurikulum bisa dipandang dalam perspektif tradisional, yakni kurikulum diartikan sejumlah matapelajaran yang diajarkan di sekolah, sedangkan dalam pandangan modern berarti seluruh aktivitas yang dilakukan oleh siswa di dalam dan luar sekolah sebagai kegiatan pendidikan dan tidak hanya sebatas matapelajaran atau proses belajar-mengajar untuk mentransfer matapelajaran.
Pandangan tradisional tentang pengertian kurikulum sesuai dengan pendapat Ralp Tyler (1949) bahwa semua pelajaran-pelajaran murid yang direncanakan dan dilakukan oleh pihak sekolah untuk mencapai tujuan-tujuan pendidikannya. Lain halnya dengan apa yang dikemukakan oleh A. Glatthom (1987) bahwa kurikulum dimaknai sebagai rencana-rencana yang dibuat untuk membimbing dalam belajar di sekolah, yang biasanya meliputi dokumen, level secara umum, dan aktualisasi dari rencana-rencana itu di kelas, sebagai pengalaman murid yang telah dicatat dan ditulis oleh seorang ahli; pengalaman-pengalaman tersebut ditempatkan dalam lingkungan belajar yang juga mempengaruhi apa yang dipelajari.
Meskipun terdapat perbedaan pendapat mengenai makna kurikulum, bukan berarti tidak terdapat pengertian yang bisa diterima oleh kebanyakan orang, dan pengertian tersebut mengerucut pada istilah populer the curriculum of school is all the experience that pupils have under guidance of school (segala pengalaman anak di bawah bimbingan sekolah).
Disparitas model pengembangannyapun terjadi antarpakar, dari beberapa pendapat para ahli dapat digolongkan menjadi; model pendekatan Rasional Obyektif, model pendekatan lingkaran (a cycle process), model pendekatan interaktif/dinamis, dan model pendekatan integrasi. Keberagaman model lebih tertuju pada bentuk, kelemahan, dan kelebihan masing-masing. Tetapi secara substantif semua kurikulum memiliki komponen; tujuan, bahan, proses belajar-mengajar, dan penilaian atau evaluasi yang sama. Terpenting dari itu semua bahwa dalam pengembangan kurikulum tidak pernah terlepas dari asas-asas yang terkandung dalam diri kurikulum itu sendiri, antara lain; asas filosofis, sosiologis, psikologis dan organisatoris.

ULAS ULANG KURIKULUM 1994

Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kesenian, perkembangan masyarakat, dan kebutuhan pembangunan yang terus meningkat, perlu diimbangi dengan peningkatan dan penyempurnaan penyelenggaraan pendidikan. Sebab pendidikan pada hakikatnya adalah “...meningkatkan kecerdasan serta harkat dan martabat bangsa, mewujudkan manusia serta masyarakat Indonesia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berkualitas, mandiri serta dapat memenuhi kebutuhan pembangunan nasional dan bertanggungjawab atas pembangunan bangsa” (GBHN 1993 – 1998). Peningkatan penyelenggaraan dan penyempurnaan pendidikan dilakukan dengan berbagai upaya, yaitu mulai dari pembenahan sistem pendidikan nasional, pengaturan jenjang dan satuan pendidikan, sampai dengan pemantapan kurikulum pendidikan. Sistem pendidikan Indonesia sudah tergolong ‘mantap’ sebab secara yuridis sudah diundangkan lewat Undang – Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 2 tahun 1989. Dengan demikian, hal-hal yang bersangkut paut dengan pendidikan harus ‘mengacu’ kepada butir-butir yang terdapat dalam Sistem Pendidikan Nasional tersebut.
Latar belakang sosio-kultur bangsa Indonesia yang sedang dalam fase perkembangan, memicu perubahan sekaligus pembenahan yang bersifat inovatif-kreatif. Apalagi dipicu dan dipacu oleh kompetisi antarnegara yang semakin sengit. Sebagai wahana pemberdayaan manusia terutama aspek kognisi, afeksi dan psikomotorinya, pendidikan dimanfatkan seoptimalmungkin membentuk kepribadian manusia yang utuh dan unggul lewat kurikulum. Bahan-bahan / materi yang tertuang di dalamnya diorientasikan pada peningkatan mutu-kualitas manusia Indonesia sedinimungkin semenjak dari pendidikan tingkat dasar.
Kurikulum 1994 dilaksanakan secara bertahap mulai ajaran 1994-1995 merupakan pembenahan atas pelaksanaan kurikulum 1984 setelah memperhatikan tuntutan perkembangan dan keadaan masyarakat saat itu, khususnya yang menyangkut perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta seni, kebutuhan pembangunan dan gencarnya arus globalisasi, dan evaluasi pelaksanaan kurikulum 1984 itu sendiri. Upaya pembaharuan kurikulum pendidikan nampak saat diadakannya serangkaian Rapat Kerja Nasional Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dari tahun 1986 sampai 1989.
Pembenahan kurikulum ini juga didorong oleh amanat GBHN 1988 yang intinya; 1) perlunya diteruskan upaya peningkatan mutu pendidikan di berbagai jenis dan jenjang pendidikan, 2) perlunya persiapan perluasan wajib belajar pendidikan dasar dari enam tahun menjadi sembilan tahun, dan 3) perlunya segera dilahirkan undang-undang yang mengatur tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Butir 1 dan 2 direalisasikan pada tahun ajaran 1994 – 1995 (bersamaan dengan pelaksanaan kurikulum 1994), sedang butir 3 diundangkan pada tanggal 27 Maret 1989 dalam Undang-undang Nomor 2 tahun 1989. Atas dasar yang terakhir ini, pembenahan kurikulum 1994 didasarkan pada ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Sistem Pendidikan Nasional beserta peraturan-peraturan pelaksanaannya, yang pada kurikulum-kurikulum sebelumnya tidak ada. Ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Sisdiknas sebagai dasar pembenahan kurikulum adalah yang menyangkut tentang fungsi dan tujuan pendidikan nasional, fungsi dan tujuan pendidikan pada setiap jenjang dan jenis pendidikan sekolah, dan adanya muatan dalam kurikulum (muatan nasional dan muatan lokal).
Untuk melengkapi pemahaman terhadap kurikulum 1994, di bawah ini dikemukakan contoh hal-hal baru sekaligus sebagai ciri khas atau karakteristik Kurikulum 1994 yang tidak ada pada kurikulum sebelumnya.
Hal-hal baru dalam Kurikulum 1994 Sekolah Menengah Umum:
1. Sekolah Menengah Umum merupakan bentuk satuan pendidikan menengah selain Sekolah Menengah Kejuruan.
2. Berbeda dengan kurikulum sebelumnya (1984), kurikulum 1994 Sekolah Menengah Umum menggunakan sistem catur wulan. Dengan demikian, satu tahun terdiri dari tiga catur wulan.
3. Program pengajaran Sekolah Menengah Umum terbagi menjadi dua: program pengajaran umum dan program pengajaran khusus. Program pengajaran umum diikuti oleh siswa kelas 1 dan 2, sedangkang program pengajaran khusus diikuti oleh siswa kelas 3. program pengajaran umum selama 2 tahun dirasa cukup memadai untuk membekali pengetahuan dan kemampuan serta pengalaman siswa guna menentukan pilihan khusus.
4. Program pengajaran khusus terdiri dari tiga jenis, yaitu ; 1) program Bahasa, 2) program Ilmu Pengetahuan Alam, dan 3) program Ilmu Pengetahuan Sosial. Ketiga jenis program sama derajatnya. Yang membedakan adalah bahan atau bidang kajiannya. Program pengajaran khusus ini diikuti sesuai dengan kemampuan dan minat siswa.
5. Pendidikan Sekolah Menengah Umum merupakan pilihan terminal. Tamatan Sekolah Menengah Umum mendapat Sertifikat Tanda Tamat Belajar.

MEMAHAMI KURIKULUM 2004

Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dapat diartikan sebagai suatu konsep kurikulum yang menekankan pada pengembangan kemampuan (kompetensi) melakukan tugas-tugas dengan standar performan tertentu, sehingga hasilnya dapat dirasakan oleh peserta didik, berupa penguasaan terhadap seperangkat kompetensi tertentu. KBK diarahkan untuk mengembangkan pengetahuan, pemahaman, keterampilan, nilai, sikap, dan minat peserta didik agar dapat melakukan sesuatu dalam bentuk kemahiran, ketepatan, dan keberhasilan dengan tanggung jawab.
KBK memfokuskan pada penguasaan kompetensi tertentu dan bisa diamati dalam tindakan, walaupun disadari tidak semua kapabilitas dapat dicermati, seperti pengambilan keputusan sebelum perbuatan dilaksanakan. Dalam kurikulum ini mengandung rasionalitas, sebab setiap aktivitas anak didik dilakukan dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab atas landasan berpikir yang berupa pertanyaan “mengapa dan “bagaimana”. Di sini tampak bahwa sejak awal anak didik berada dalam posisi aktif, sadar dengan apa yang diperbuat dalam rangka meningkatkan kualitas diri.
Perumusan kurikulum 2004 dilandaskan juga pada pembacaan obyektif kondisi anak didik yang belum meraih seluruh potensinya dari proses pembelajaran di sekolah. Siswa mempelajari fakta dan gagasan-gagasan tetapi belum dapat menggunakannya secara efektif. Di dalam era pembangunan yang berbasis ekonomi dan globalisasi sekarang ini diperlukan pengetahuan dan keanekaragaman keterampilan agar siswa mampu memberdayakan dirinya untuk menemukan, menafsirkan, menilai dan menggunakan informasi, serta melahirkan gagasan untuk menentukan sikap dalam pengambilan keputusan.
Pemberian otonomi pendidikan yang luas pada sekolah merupakan kepedulian pemerintah terhadap gejala-gejala yng muncul di masyarakat serta upaya peningkatan mutu pendidikan secara umum. Pemberian otonomi ini menuntut pendekatan kurikulum yang lebih kondusif di sekolah agar dapat mengakomodasi seluruh keinginan sekaligus memberdayakan berbagai komponen masyarakat secara efektif, guna mendukung kemajuan dan sistem yang ada di sekolah. Dalam kerangka inilah, KBK tampil sebagai alternatif kurikulum yang menawarkan konsep otonomi pada sekolah untuk menentukan kebijakan sekolah dalam rangka meningkatkan, mutu, efesiensi pendidikan agar dapat mengakomodasi keinginan masyarakat setempat serta menjalin kerjasama yang erat antara sekolah, masyarakat, industri, dan pemerintah dalam membentuk pribadi peserta didik.
Lebih lanjut KBK memiliki karakteristik yang mencakup seleksi kompetensi yang sesuai; spesifikasi indikator-indikator evaluasi untuk menentukan kesuksesan pencapaian kompetensi; dan pengembangan sistem pembelajaran. Di samping itu KBK memilki sejumlah kompetensi yang harus dikuasai oleh peserta didik, penilaian dilakukan berdasarkan standar khusus sebagai hasil demonstrasi kompetensi yang ditunjukkan oleh peserta didik, pembelajaran lebih menekankan pada kegiatan individu personal untuk menguasai kompetensi yang dipersyaratkan, peserta dapat dinilai kompetensinya kapan saja bila mereka telah siap, dan dalam pembelajaran peserta didik dapat maju sesuai dengan kecepatan dan kemampuan masing-masing.
Depdiknas (2002) mengemukakan bahwa KBK memiliki karakteristik sebagai berikut:
1. Menekankan pada ketercapaian kompetensi siswa baik secara individu maupun klasikal.
2. Berorientasi pada hasil belajar (leraning outcomes) dan keberagaman.
3. Penyampaian dalam pembelajaran menggunakan pendekatan dan metode yang bervariasi.
4. Sumber belajar bukan hanya guru, tetapi juga sumber belajar lainnya yang memenuhi unsur edukatif.
5. Penilaian menekankan pada proses dan hasil belajar dalam upaya penguasaan atau pencapaian suatu kompetensi.

Dari berbagai sumber sedikitnya dapat diidentifikasi enam karakteristik KBK, yaitu; 1) sistem belajar dengan modul, 2) menggunakan keseluruhan sumber belajar, 3) pengalaman lapangan, 4) strategi individu personal, 5) kemudahan belajar, dan 6) belajar tuntas.

KOMPARASI ANTARA KURIKULUM 1994 DAN 2004

Komparasi keduanya pernah digambarkan dalam sebuah tabel oleh Poedjinoegroho (2003) sebagai berikut:
Kurikulum Lama/1994 Perbedaan Kurikulum Baru/2004
Materi pembelajaran Pendekatan Kompetensi: lulusan, dasar, standar
-Pusat: Puskurnas 80 %-Daerah: Kurmulok 20 % Otoritas -Pusat: standar-Daerah: silabusUnggulan daerahUnggulan sekolah
Banyak pengulangan “Overload” Materi (Pengetahuan) -Komprehensif-Berkelanjutan-Kontekstual-Sedikit tapi mendalam
Guru dan apa yang harus dilakukan Pusat PBM Peserta didik dan apa yang harus dilakukan
-Angka: menjawab tes-Hasil Orientasi -Praksis: untuk hidup-Proses
-Pengajar/pendidik-Sumber belajar Guru -Pendampingan/rekan: mengajak eksplorasi-Fasilitator
Searah: subyek-obyek (informatif) Relasi Dialogis: subyek-subyek
Catur wulan: tiga Tahun Pembelajaran Semester: dua
42 jam pelajaran/minggu Hari Efektif 36 jam pelajaran/minggu

· Aspek Pendekatan
Kurikulum lama menggunakan pendekatan isi/materi sejumlah pelajaran yang wajib ditransfer pada diri anak didik. Siswa dianggap sukses bila menguasai seluruh matapelajaran. Hal ini sesuai dengan teori Tabularasa-nya John Locke.
Berbeda dengan kurikulum baru yang lebih menekankan standar kompetensi, kemudian dibuat indikator-indikator standar yang harus dimilki siswa.

· Aspek Otoritas Pengembangan
Dalam kurikulum 1994, pemerintah pusat lebih mendominasi materi pembelajaran dengan muatan kurikulum nasional sebanyak 80 %, sedangkan pihak daerah yang pada hakikatnya mengetahui keadaan, kebutuhan dan potensi wilayahnya hanya mendapat kesempatan 20 %.
Semangat desentralisasi menjadikan pengembangankurikulum 2004 beralih dari pusat ke daerah. Otoritas pengembangan kurikulum menjadi berbalik dari semula yang ada.

· Aspek Isi/Materi
Pada kurikulum 1994 materi yang diberikan terkesan overload, sehingga yang terjadi pengulangan-pengulangan materi. Bukan saja hal ini menyebabkan pemborosan waktu, tenaga dan pikiran, namun juga kebosanan/kejenuhan pada diri anak mencapai titik kulminasinya.
Wajah materi dalam KBK lebih menampakkan segi komprehensifitas, berkesinambungan/berkelanjutan, kontekstualitas, dan intensitas. Dalam hal ini guru mempunyai hak untuk mempertimbangkan materi/bahan yang dianggap perlu atau sebaliknya disampaikan kepada anak didik.

· Aspek Pusat Proses Belajar Mengajar
Keberhasilan PBM dalam kurikulum lama lebih banyak ditentukan oleh guru dan apa yang harus dilakukan, sebab sejak awal posisi guru berada pada satu-satunya sumber belajar. Keadaan seperti ini menjadikan anak didik pasif, menerima apa adanya kenyataan yang terjadi di dalam kelas.
Sedang PBM yang berlangsung di KBK dialihkan kepada kehendak anak didik, sejak awal mereka diberi kemerdekaan untuk menentukan apa yang harus dilakukan guna menunjang pemahaman, perolehan dan eksplorasi keterampilan dari potensi yang dimilikinya.

· Aspek Orientasi
Orientasi kurikulum 1994 lebih ditekankan pada perolehan hasil tes yang tinggi, dalam raport diwujudkan dengan bentuk angka-angka. Bagi raport anak didik yang tertulis angka-angka tinggi dari hasil ujian dinyatakan sebagai anak yang berprestasi.
Diharapkan dalam KBK orientasi dialihkan ke pembekalan anak didik dengan berbagai macam kompetensi. Pengembangan ranah psikomotorik dan afeksi mendapat porsi seimbang dan cukup dalam kurikulum baru ini.

· Aspek Guru
Di KBK, guru menjadi satu-satunya sumber belajar saat PBM berlangsung, dengan keadaan seperti ini, keaktifan siswa berkurang. Justru terjadi pemasungan kreativitas terselubung, sentra pembelajaran ada pada seorang guru.
Berbeda dengan posisi guru di KBK, ia bukan lagi satu-satunya sumber belajar/pengetahuan, namun seluruh konteks kehidupan dapat dijadikan sumber belajar.

· Aspek Relasi
Nuansa pembelajaran dalam Kurikulum 1994 bersifat informatif, sebab sejak semula guru menjadi satu-satunya sumber belajar. Metode didaktika yang sering tampak dipergunakan adalah ceramah, maka yang terjadi situasi monologis, guru lebih aktif memberikan materi dan siswa menjadi pasif lebih banyak mendengar.
Sebagai kurikulum baru, KBK lebih memilih sifat relasi antara guru dan siswa sebagai subyek-subyek. Alam semacam ini memberikan kebebasan kepada siapapun mengekspresikan ide-ide, gagasan ataupun pendapat, tidak memandang kedudukan dan jabatan seseorang.

· Aspek Tahun Pembelajaran
Bila dalam kurikulum lama menggunakan tahun pembelajaran terbagi dalam catur wulan, maka dalam satu tahun ada tiga masa utama belajar aktif. Dengan implikasi masa ujian juga menjadi tiga kali (Tes Tahap Belajar Catur Wulan I, II dan III). Ini tidak lepas dari orientasi awal pembelajaran yang bersifat teoritis, mencurahkan materi/bahan sebanyak mungkin pada siswa.
Maka berbeda dengan KBK yang menitikberatkan pada penguasaan kompetensi. Jadinya masa pembelajaran hanya dibagi menjadi dua semester dalam setahun. Implikasinya sekolah hanya mengadakan ujian dua kali juga.

· Aspek Hari Efeketif
Pada Kurikulum 1994 anak didik wajib masuk kelas selama 6 hari / minggu dan menghabiskan 42 jam pelajaran. Hanya tersisa satu hari bagi anak didik untuk bersosialisasi dengan lingkungannya, belum lagi bagi mereka yang menempuh dua jenis pendidikan. Hampir seharian penuh waktunya dihabiskan di ruang – ruang kelas, pagi sampai siang hari dimanfaatkan belajar di Seskolah Dasar (SD), sedang siang sampai sore hari digunakan belajar di Madrasah Ibtidaiyah (MI), amat melelahkan dan cukup membosankan.
Perubahan pun terjadi pada Kurikulum 2004, hari efektif di dalamnya hanya berlaku 5 hari / minggu dan hanya menempuh 36 jam pelajaran. Dengan demikian alokasi waktu bagi anak didik untuk mengembangkan kepribadian secara utuh lebih banyak diperoleh dan lebih leluasa berekspresi. Bila pengetahuan di sekolah tidak bersikap inklusif terhadap perubahan, niscaya akan tertinggal bahkan sampai pada tarap proses alienasi. Pendidikan yang diterima di sekolah mungkin menjadi sesuatu aktivitas yang subversif atau konservatif, di mana sekolah memang bisa menjadi awalan yang terlambat dan akhiran yang terlalu dini. Di antara masa-masa sekolah, proses pendidikan akan berhenti selama liburan-liburan dan hari-hari libur, serta sangat bermurah hati untuk memaklumi anak didik manakala mereka sakit.

KURIKULUM TINGKAT SATUAN PENDIDIKAN

Adalah kurikulum Operasional dari Kurikulum Berbasis Kompetensi (2004), di samping UU Sisdiknas No. 20/2003 yang melandasinya, juga Peraturan Pemerintah No. 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP), di dalamnya –salah satunya- menjelaskan delapan standar, darinya pemerintah baru menyelesaikan dua standar, yakni Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah yang disahkan lewat Permendiknas No. 22/2006, dan Standar Kelulusan Kompetensi (SKL) disahkan juga lewat Permendiknas No.23/2006. Berdasarkan Peraturan Menteri tersebut, pengembangan standar kompetensi dan kompetensi dasar ke dalam kurikulum operasional tingkat satuan pendidikan, merupakan tanggung jawab satuan pendidikan masing-masing.
Kurikulum ini mencoba memberikan jalan penerapan apa yang dikehendaki oleh KBK, nampak dari semangat yang diusung tidak lepas dari unsur kompetensi. Menghindari kebingungan di antara para praktisi pendidikan, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan menuntun pada tahap praktis/operasional sebuah pembelajaran, walaupun tidak menjamin segala persoalan pendidikan di sekolah hanya bisa diperjelas dengan kata-kata operasional sebagai indikator pembelajaran. Paling tidak, tingkat keberhasilan sebuah pembelajaran dapat diukur dengan standar yang telah ditentukan.
Secara umum tujuan diterapkannya KTSP adalah untuk memandirikan dan memberdayakan satuan pendidikan melalui pemberian kewenangan ( otonomi ) kepada lembaga pendidikan dan mendorong sekolah untuk melakukan pengambilan keputusan secara partisipatif dalam pengembangan kurikulum.
Demi mempermudah pelaksanaan KTSP, setiap matapelajaran pada tiap satuan pendidikan telah terkonsep Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasarnya (SKKD), misalnya isi SKKD dari matapelajaran IPS untuk SMP/MTs Kelas VII Semester I :

Standar Kompetensi Kompetensi Dasar
1. Memahami lingkungan kehidupan manusia 1.1 mendeskripsikan keragaman bentuk muka bumi, proses pembentukan, dan dampaknya terhadap kehidupan1.2 Mendeskripsikan kehidupan pada masa pra-aksara di Indonesia
2. Memahami kehidupan sosial manusia 2.1 Mendeskripsikan interaksi sebagai proses sosial2.2 Mendeskripsikan sosialisasi sebagai proses pembentukan kepribadian2.3 Mengidentifikasi bentuk-bentuk interaksi sosial2.4 Menguraikan proses interaksi sosial
3. Memahami usaha manusia memenuhi kebutuhan 3.1 Mendeskripsikan manusia sebagai makhluk sosial dan ekonomi yang bermoral dalam kaitannya dengan usaha memenuhi kebutuhan dan pemanfaatan sumber daya yang tersedia3.2 Mengidentifikasi tindakan ekonomi berdasarkan motif dan prinsip ekonomi dalam berbagai kegiatan sehari-hari

Dalam penyusunan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar tetntu saja sebelumnya dilengkapi dengan Latar Belakang, Tujuan, dan Ruang Lingkup.
Dari contoh isi SKKD diatas kemudian dijabarkan dalam indikator kompetensi, meliputi aspek Kognitif, Afektif, dan Psikomotorik.

PENUTUP
Upaya pembaharuan sebuah kurikulum dengan nama apapun, pihak pengembang kurikulum tidak bisa lepas begitu saja dari tujuan pendidikan. Sekolah hanya institusi formal yang mengarahkan anak didik pada bentuk belum sepenuhnya sempurna, masih millieu yang ikut andil besar dalam mempengaruhi perkembangannya. Aspek lingkungan dan berbagai variannya ini menjadi bahan pertimbangan tersendiri mengotak-atik sebuah kurikulum.
Kurikulum yang baik tentu akan mendongkrak kualitas anak bangsa, bila dilakukan dengan sungguh-sungguh oleh praktisi, dievaluasi, dikembangkan secara berkala. Dan yang juga tidak kalah penting adalah kurikulum tidak memperdaya Guru dan Siswa tapi memberdayakannya.

*) Afifullah Hasyim adalah Dosen Luar Biasa di FAI UNISMA
CATATAN AKHIR
1. Prihadiyoko Imam & Saptono Hariadi, 2003, Hanya Menghafal Tidak Berlatih, dikutip dari Harian Kompas

2. Poedjinoegroho Baskoro, April 2003, KBK Memberdaya atau Memperdaya Guru?, dikutip dari Harian Kompas

3. Idi Abdullah, Drs., M.Ed., 1999, Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktik, Jakarta, Gaya Media Pratama, hal. 3-4

4. Ibid, hal. 6

5. Muslich Masnur, Drs., 1994, Dasar – dasar Pemahaman Kurikulum 1994, Malang, YA 3, hal. 3

6. Ibid, hal. 4

7. Mulyasa E., Dr., M.Pd., 2003, Kurikulum Berbasis Kompetensi Konsep, Karakteristik, dan Implementasi, Bandung, Rosda, hal. 23

8. Ibid, hal. 26

9. Kata-kata Operasional Aspek Kognitif antara lain untuk kompetensi pengetahuan (menyebutkan, menuliskan, mengurutkan, mengidentifikasi, mendefinisi, mencocokkan, memberi nama, memberi label,melukiskan), untuk kompetensi pemahaman (menerjemahkan, mengubah, menggeneralisasi, menguraikan...............) selengkapnya bisa dilihat di Mulyasa E., Dr., M.Ed., 2006, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan: Suatu Panduan Praktis, Bandung, Rosda, hal. 139 – 141

10. Ibid, hal. 125 - 126

3 komentar:

  1. posting ini sangat bermanfaat bagi saya. khususnya bagi para pendidik untuk lebih mampu meningkatkan kualitas pengembangan kurikulum pendidikan di Indonesia yang sistemnya kurang mampu memajukan pendidikan kita.
    terimakasih

    Zainul Mufidah FIAI

    BalasHapus
  2. bagus...like this beud..hehhehe
    kebersamaannya Subhanallah...

    tyas umsini tarbiyah FIAI UII

    BalasHapus