Jumat, 15 Maret 2013

DIMENSI-DIMENSI ISLAM

Syari’ ah
Syari’at bisa disebut syir’ah artinya secara bahasa adalah sumber air mengalir yang didatangi manusia atau binatang untuk minum. Perkataan “sya ra’a fiil maa’I” artinya dating ke sumber air mengalir atau dating pada syari’ah. Kemudian kata tersebut digunakan untuk pengertian hukum-hukum Allah yang diturunkan untuk manusia.
Kata “ syara’a” berarti memakai syari’at. Juga kata “syara’a” atau “istara’a” berarti membentuk syari’at atau hukum. Dalam hal ini Allah berfirman :
“Untuk setiap umat di antara kamu (umat Nabi Muhammad dan umat-umat sebelumnya) Kami jadikan peratuan (syari’at) dan jalan yang terang.”[QS. Al-Maidah(5)
“Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syari’at (peraturan) tentang urusan itu (agama), maka ikutilah syari’at itu dan janganlah kamu ikut hawa nafsu orang yang tidak mengetahui.”[QS.Al-Maidah (5)
“Allah telah mensyari’atkan (mengatur) bagi kamu tentang agama sebagaimana apa yang telah diwariskan kepada Nuh.” [QS. Asy-Syuuraa (42)
Sedangkang arti syari’at, hukum-hukum (peraturan) yang diturunkan Allah SWT, melalui rasul-rasul-Nya, untuk manusia agar mereka keluar dari kegelapan ke alam yang terang, dan mendapatkan petunjuk ke jalan yang lurus. Jika ditambah kata “Islam” di belakangnya, sehingga menjadi frase Syari’at Islam (asy-syari’atul islaamiyatu). Istilah bentukan ini berarti, hukum atau peraturan yang diturunkan Allah SWT. Untuk umat manusia melalui Nabi Muhammad SAW, baik berupa Al Qur’an maupun Sunah Nabi yang berwujud perkataan, perbuatan, dan ketetapan, atau pengesahan.
Terkadang syari’ah Islam juga dimaksudkan untuk pengertian Fiqh Islam. Jadi , maknanya umum, tetapi maksudnya untuk suatu pengertian khusus. Ithlaaqul ‘aam mi wa yuraadubihil khaashsh (disebut umum padahal dimaksudkan khusus)

B. Pembagian Syari’at Islam
Hukum yang diturunkan melalui Nabi Muhammad SAW. Untuk segenap manusia dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:
Ilmu Tauhid, yaitu hukum atau peraturan yang berhubungan dengan dasar- dasar keyakinan agama Islam, yang tidak boleh diragukan dan harus benar-benar menjadi keimanan kita. Misalnya, peraturan yang berhubungan dengan Dzat dan Sifat Allah SWT. Yang harus iman kepada-Nya, iman kepada rasul-Nya, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan iman kepada hari akhir termasuk didalamnya kenikmatan dan siksa, serta iman kepada qadar baik dan buruk. Ilmu tauhid ini dinamakan juga ilmi Aqidah atau ilmu Kalam
Ilmu Akhlak, yaitu peraturan-peraturan yang berhubungan dengan pendidikan dan penyempurnaan jiwa.misalnya, segala peraturan yang mengarah pada perlindungan keutamaan dan mencegah kejelekan-kejelekan, seperti kita hurus berbuat benar, harus memenuhi janji, harus amanah, dan dilarang berdusta dan berkhianat.
Ilmu Fiqh, yaitu peraturan-peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya dan hubungan manusia dengan sesamanya. Ilmu Fiqh mengandung dua bagian: pertama, ibadah, yaitu yang menjelaskan tentang hukum-hukum hubungan manusia dengan Tuhannya. Dan ibadah tidak sah(tidak diterima) kecuali disertai dengan niat. Contoh ibadah misalnya sholat, zakat, puasa, dan haji. Kedua.  Muamalat, yaitu bagian yang menjelaskan tentang hukum-hukum hubungan antara manusia dengan sesamanya. Ilmu Fiqh dapat juga disebut Qanun (undang-undang).
“TARIQAH”
Penggunaan kata “ Tariqah “ dalam Al-Qur’an
Di dalam Al-Quranul Karim, perkataan Tariqah digunakan sebanyak 9 kali di dalam 5 surah. Pengertian tariqah di dalam Al-Quran mempunyai beberapa pengertian. Antaranya ialah:
1. Surah An-Nisa’ : 168
‘Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan melakukan
kezaliman, Allah sekali-kali tidak akan mengampuni (dosa)
mereka dan tidak (pula) akan menunjukkan jalan kepada
mereka.’
2. Surah An-Nisa’ : 169
Melainkan jalan ke Neraka Jahannam; mereka kekal di
dalamnya selama-lamanya. Dan yang demikian itu adalah
mudah bagi Allah.’
3. Surah Thoha : 63
‘Mereka berkata : Sesungguhnya dua orang ini adalah benar-
benar ahli sihir yang hendak mengusir kamu dari negeri kamu
dengan sihirnya dan hendak melenyapkan kedudukan kamu
yang utama.’
4. Surah Thoha : 77
‘Dan sesungguhnya telah Kami wahyukan kepada Musa:
Pergilah kamu dengan hambaKu (Bani Israil) di malam hari,
maka buatlah untuk mereka jalan yang kering di laut itu,
kamu tidak usah khuatir akan tersusul dan tidak usah takut
(akan tenggelam).’
5. Surah Thoha : 104
Kami lebih mengetahui apa yang mereka katakan ketika
berkata orang yang paling lurus jalannya di antara mereka:
Kamu tidak berdiam (di dunia) melainkan hanyalah sehari
sahaja.’
6. Surah Al-Ahqaf : 30
‘Mereka berkata : Hai kaum kami, sesungguhnya kami telah
mendengarkan kitab (Al-Quran) yang telah diturunkan
sesudah Musa yang membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya
lagi memimpin kepada kebenaran dan kepada jalan yang
lurus.’
7. Surah Al-Mukminin : 17
‘Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan di atas kamu
tujuh buah jalan (tujuh buah langit) dan Kami tidaklah
lengah terhadap ciptaan (Kami).’
8. Surah Al-Jinn : 11
‘Dan sesungguhnya di antara kami ada orang-orang yang
soleh dan di antara kami ada (pula) yang tidak demikian
halnya. Adalah kami menempuh jalan yang berbeza-beza.’
9. Surah Al-Jinn : 16
‘Dan bahawasanya jikalau mereka tetap berjalan lurus di atas
jalan itu (agama Islam), benar-benar Kami akan memberi
minum kepada mereka air yang segar (rezeki yang banyak).’
Jika diperhatikan 3 bentuk kekata tharaqa digunakan di
dalam Al-Quran.
Bentuk tersebut adalah :
Thariq – Jalan yang ditetapkan atau jalan yang dilalui oleh manusia
Thariqah – Keutamaan atau kebenaran
Tharaiq – Berbentuk jamak dari perkataan thariq dan thariqah.
SEJARAH PERKEMBANGAN TARIQAH
Banyak orang yang salah faham tentang tariqah, sehingga mereka tidak mau mengikutinya. Namun, mereka yang sudah mengikuti tariqahpun umumnya belum memahami bagaimana sebenarnya pengertian tariqah, awal mula dan sejarahnya,macam-macam serta manfaat mengikuti tarekat.
Asal-usul Tariqah Sufi
Asal-usul Tariqah (al-tariqah) Sufi dapat dirunut pada abad ke-3 dan 4 H (abad ke-9 dan 10 M). pada masa itu tasawuf telah berkembang pesat di negeri-negeri seperti Arab, Persia, Afghanistan dan Asia Tengah. Beberapa Sufi terkemuka memiliki banyak sekali murid dan pengikut.
Pada masa itu ilmu Tasawuf sering pula disamakan dengan ilmu Tariqah dan teori tentang maqam (peringkat kerohanian) dan hal (jamaknya ahwa, keadaan rohani). Di antara maqam penting yang ingin dicapai oleh seorang penempuh jalan tasawuf ialah mahabba atau isyq (cinta), fana (hapusnya diri/nafs yang rendah), baqa (rasa hidup kekal dalam Yang Satu), ma’rifa (makrifat) dan ittihad (perasan mistikal), serta kasyf ( tersingkapnya penglihatan hati).
Kehidupan para Sufis abad ke 3-4 H merupakan kritik terhadap kemewahan hidup para penguasa dan kecenderungan orientasi hidup masyarakat muslim pada materialisme. Keadaan politik yang penuh ketegangan juga memberikan peran bagi pertumbuhan sufisme dan tariqah di abad ke 12-13 M juga tidak lepas dari dinamika sosio-politik dunia Islam.
A. Arti Tariqah/ Tarekat
Kata al-tariqah berarti jalan, sinonim dengan kata suluk. Maksudnya ialah jalan kerohanian. Tariqah/ tarekat kemudian ditakrfkan sebagai’ Jalan kerohanian yang muncul disebabkan pelaksanaan syariat agama, karena kata syar (dari kata syariat berasal) berarti jalan utama, sedang cabangnya ialah tariq (darimana kata tariqa berasal).’ Pengertian di atas menunjukkan bahwa jalan yang ditempuh dalam ilmu tasawuf, melalui bimbingan dan latihan kerohanian dengan tertib tertentu, merupakan cabang daripada jalan yang lebih besar, yaitu Syariat. Termasuk di dalamnya ialah kepatuhan dalam melaksanakan syariat dan hukum Islam yang lain.
Para sufi dalam melihat tingkat laku kerabat dan sahabat dekat mereka tercermin perasaan dan perbuatan mereka sendiri. Apabila mereka melihat kekeliruan dalam perbuatan tetangga mereka, maka mereka segera bercermin ke dalam perbuatan mereka sendiri. Kebiasaan di atas mendorong munculnya salah satu aspek penting gerakan tasawuf, yaitu persaudaraan sufi yang didasarkan atas cinta dan saling bercermin pada diri sendiri. Persaudaraan sufi inilah yang kemudian disebut Tarekat Sufi.
Munculnya tarekat membuat tasawuf berbeda dari gerakan zuhud yang merupakan cikal bakal tasawuf. Apabila gerakan zuhud mengutamakan ‘penyelamatan diri’ melalui cara menjauhkan diri dari kehidupan serba duniawi dan memperbanyak ibadah serta amal saleh, maka tasawuf sebagai organisasi persaudaraan (tariqah) menekankan pada ‘keselamatan bersama’. Di antaranya dalam bentuk pemupukan kepentingan bersama dan keselamatan bersama yang disebut ithaar. Sufi yang konon pertama kali mempraktekkan ithaar ialah Hasan al-Nuri, sufi abad ke-9 M dari Baghdad. Tarekatnya merupakan salah satu tarekat sufi awal dalam sejarah.
B. Kanqah dan Zawiyah
Biasanya sebuah persaudaraan sufi lahir karena adanya seorang guru Sufi yang memiliki banyak murid atau pengikut. Pada abad ke-11 M persaudaraan sufi banyak tumbuh di negeri-negeri Islam. Mula-mula ia merupakan gerakan lapisan elit masyarakat Muslim, tetapi lama kelamaan menarik perhatian masyarakat lapisan bawah. Pada abasd ke-12 M banyak orang Islam memasuki tarekat-tarekat sufi. Pada waktu itu kegiatan mereka berpusat di kanqah, yaitu sebuah pusat latihan Sufi yang banyak terdapat di Persia dan wilayah sebelah timur Persia. Kanqah bukan hanya pusat para Sufi berkumpul, tetapi juga di situlah mereka melakukan latihan dan kegiatan spiritual, serta pendidikan dan pengajaran formal, termasuk dalam hal kepemimpinan.
Salah satu fungsi penting lain dari kanqah ialah sebagai pusat kebudayaan dan agama. Sebagai pusat kebudayaan dan agama, lembaga kanqah mendapat subsidi dari pemerintah, bangsawan kaya, saudagar dan organisasi/perusahaan dagang. Tempat lain berkumpulnya para Sufi ialah zawiyah, arti harafiahnya sudut. Zawiyah ialah sebuah tempat yang lebih kecil dari kanqah dan berfungsi sebagai tempat seorang Sufi menyepi. Di Jawa disebut pesujudan, di Turki disebut tekke (dari kata takiyah, menyepi).
Tempat lain lagi berkumpulnya Sufi ialah ribat. Ribat punya kaitan dengan tempat tinggal perajurit dan komandan perang, katakanlah sebagai tangsi atau barak militer. Pada masa berkecamuknya peperangan yang menyebabkan orang mengungsi, dan juga berakibat banyaknya tentara tidak aktif lagi dalam dinas militer, membuat ribat ditinggalkan tentara dan dirubah menjadi tempat tinggal para Sufi dan pengungsi yang mengikuti perjalanan mereka.
Dinamika Kehidupan Masyarakat Memahami sufisme Islam
Dunia Timuar yang telah lama menjadi perhatian banyak kalangan memang menarik untuk di telaah dan dilakukan kajian terhadapnya. Di samping menjadi kawasan yang asing dan baru bagi banyak kalangang pengkaji yang kemudian dikenal dengan orientalis, dunia Timur memang memunculkan banyak dinamika dalam masyarakatnya yang kemudian menciptakan semacam blok-blok atau kelompok-kelompok yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Hal ini dapat di mengerti karena kawasan ini merupakan tempat lahir dan tumbuhnya beragam agama dan aliran yang hingga saat ini ada dalam masyarakat di seluruh dunia. Agama Islam, Kristen, Hindu dan Budha dengan segala dinamika yang terjadi di dalamnya tumbuh dan berkembang di wilayah ini.
PENGERTIAN SUFISME
Untuk mengetahui sesuatu yang ingin diketahui, tidak lengkap rasanya jika tidak mengetahui terlebih dahulu pengertian yang dipahami oleh beberapa kalangan mengenai sesuatu tersebut. Dalam konteks ini pula penulis akan memaparkan terlebih dahulu pengertian yang biasa dipahami oleh orang-orang mengenai sufisme atau aspek mistisisme yang ada dalam Islam menurut pandangan mereka.
Pengertian pertama memahami sufisme sebagai suatu cara yang dimaksudkan untuk mengetahui bagaimana mensucikan diri manusia, menjernih tingkah lakunya, dan membangun aspek lahir dan batinnya agar kemudian berujung pada pencapaian kebahagian yang abadi[]. Sementara pengertian kedua memaknai sufisme sebagai salah satu dimensi dari beragam dimensi keagamaan dalam Islam yang dimaksud untuk menyelami relung terdalam dalam aspek religiusitas keislaman. Sedangkan pengertian ketiga lebih melihat eksistensi sufisme pada tujuannya, yaitu untuk memperoleh hubungan langsung (direct relation) dan secara sadar dengan Tuhan sehingga dengan demikian intisarinya adalah kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara roh manusia dengan Tuhan dengan cara mengasingkan diri dan berkontemplasi.[] Pengertian keempat memaknai sufisme sebagai paham mistik dalam Islam sebagaimana Taoisme yang ada di Tiongkok dan Yoga di India dan yang terakhir, sufisme dipahami sebagai aliran kerohanian mistik yang ada dalam Islam.[]
Sementara itu, seperti halnya pengertian sufisme yang mengalami perbedaan, pemahaman mengenai asal mula penamaan tasawuf yang merupakan nama lain dari sufisme juga terjadi perbedaan di kalangan para ahli. Menurut Nasution, penamaan tasawuf untuk menyebut aspek mistisisme dalam Islam berasal dari kata shūfi yang digunakan pertama kali oleh seorang asketik (zāhid) bernama Abū Hāsyim al-Khūfi di Irak. Di lain pihak ada yang menyebutkan bahwa penamaan tasawuf tersebut berkaitan dengan pakaian yang digunakan oleh para pelakunya (zāhid) yang menunjukkan pada kesederhanaan, yaitu berupa wol kasar yang dalam bahasa Arab disebut dengan shūf.[] Sedangkan di sisi lain ada yang mengatakan bahwa penamaan aspek mistisisme dalam Islam dengan sufisme karena merujuk pada suatu kelompok masyarakat miskin yang ada di Madinah di masa Nabi Muhammad. Orang-orang miskin ini tinggal di emperan Masjid Nabawi yang kemudian oleh para sahabat dikenal sebagai ahlu as-suffah. Selain itu, sebagian pihak menganggap bahwa penamaan tasawuf berasal dari kata shaf pertama dalam shalat berjamaah yang memiliki keistimewaan tersendiri dalam ajaran Islam sebagaimana juga dengan tasawuf (sufisme) yang bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.
Namun demikian, jika pendapat-pendapat di atas melihat bahwa penamaan tasawuf bersumber dari dalam Islam sendiri, maka ada juga pihak lain yang menganggap bahwa penamaan tersebut berasal dari luar Islam. Kalangan ini beranggapan bahwa penamaan aspek mistisisme dalam Isla dengan sufisme atau tasawuf merupakan aktualisasi dari terjadinya persentuhan antara Islam dengan budaya Yunani. Sebagaimana diketahui bahwa setelah Islam tersebar luas hingga mencapai kawasan-kawasan luar Arab, terjadi persentuhan dan persinggungan dengan budaya-budaya atau tradisi-tradisi yang ada dalam masyarakat wilayah tersebut. Salah satu persentuhan tersebut adalah dengan budaya Yunani yang memang diyakini memiliki sisi filosofis yang agung dan tinggi. Dengan demikian, menurut keyakinan para pengusung pemikiran ini, sufisme atau tasawuf berasal dari kata sophos (hikmat) yang kemudian ditransliterasikan ke dalam bahasa Arab menjadi s bukan shad.[]
Sejarah Sufisme
Untuk melacak asal mula sufisme secara pasti terdapat hambatan dan kesulitan yang menghadang para ahli untuk melakukannya. Hambatan yang mengemuka terutama berkaitan dengan ketiadaan tulisan atau informasi masa lalu yang secara pasti dan jelas mengungkapkannya. Namun demikian, beberapa pihak mencoba memaparkan sejumlah teori yang diharapkan dapat menjawab sejumlah pertanyaan mengenai asal mula adanya sufisme dalam Islam yang terus menggelayut dalam benak banyak ahli. Jika dirunut secara berurutan, setidaknya terdapat lima pendapat yang diketengahkan berkaitan dengan sejarah sufisme dalam Islam.
Pertama, sejarah sufisme dalam Islam berawal dari keterpengaruhan Islam terhadap Kristen yang telah ditaklukkan di wilayah-wilayah sebelumnya menjadi basis agama yang juga disebut Nasrani tersebut, seperti Syiria, Mesir dan Palestina. Menurut pengusung pendapat ini, Margareth Smith, agama Kristen memiliki ajaran yang menganjurkan para pemeluknya untuk menjauhi kehidupan dunia dengan cara mengasingkan diri dalam biara-biara. Ajaran inilah yang kemudian diadopsi oleh oleh apa yang kemudian dikenal dengan sufisme yang kala itu masih miskin dengan ajaran-ajaran dan dijadikan salah satu media yang digunakan seorang penganut sufisme dalam menjalankan aktivitasnya.[]
Kedua, asal mula sufisme karena pengaruh dari filsafat mistik Pytagoras yang berpendapat bahwa roh manusia adalah kekal dan berada di dunia sebagai roh orang asing. Roh terpenjara dalam badan jasmani dan untuk memperoleh kesenangan hidup, maka manusia harus mensucikan roh dengan meninggalkan hidup materi melalui sarana zuhd dan dilanjutkan dengan kontemplasi. Ketiga, adanya sufisme karena filsafat emanasi Plotimus yang mengatakan bahwa wujud yang ada ini memancar dari zat Tuhan Yang Maha Esa dan roh berasal dari dan akan kembali kepada-Nya. Di saat materi memasuki roh, maka ia menjadi kotor dan sebelum kembali kepada pemiliknya maka harus dibersihkan dengan cara meninggalkan dunia dan mendekati Tuhan serta bersatu dengan-Nya. Keempat, kemunculan sufisme karena ajaran Buddha dengan ajaran nirwananya atau surga dalam literatur agama samawi. Menurut salah satu ajaran inti Buddha ini, jika seseorang ingin mencapai nirwana maka ia harus meninggalkan dunia dan memasuki hidup kontemplasi. Kelima, kemunculan sufisme dalam Islam karena dipengaruhi oleh Hindu berupa ajaran Upanishad dan Vedanta yang mendorong manusia untuk meninggalkan dunia dan mendekati Tuhan untuk mencapai persatuan dengan Atman dengan Brahman.[]
Inilah kelima teori yang dikemukakan oleh sejumlah ahli untuk menjawab kegelisahan mengenai asal mula timbulnya sufisme. Namun demikian jika diperhatikan, kelima teori yang dipaparkan di atas mengatakan bahwa kemunculan sufisme dalam Islam karena pengaruh dari luar Islam, seperti Kristen; filsafat mistik Pytagoras; filsafat emanasi Plotimus; ajaran Nirwana Buddha; dan ajaran Upanishad dan Vedanta Hindu. Apakah memang demikian?. Apakah dalam Islam tidak memiliki ajaran yang mengajak pemeluknya untuk melakukan hal-hal seperti yang ada dalam ajaran sufisme?. Pertanyaan ini penting dilakukan kajian karena sebagai agama yang mengatur seluruh sendi kehidupan manusia dari persoalan-persoalan yang kecil hingga masalah-masalah yang besar serta dunia dan akhirat, sangat tidak mungkin tidak memiliki secuil saja ajaran atau anjuran sebagaimana yang ada dalam ajaran yang diusung oleh sufisme.
Jika dicermati secara mendetail dan seksama, sebenarnya ajaran-ajaran Islam memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan eksistensi sufisme. Melalui beberapa ayat dalam al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi Muhammad SAW sebagai dua tuntunan utama setiap muslim dalam menjalani kehidupannya akan tampak bahwa Islam memiliki ajaran tidak jauh berbeda dengan apa yang menjadi ajaran dari sufisme. Dari al-Qur’an akan dicontohkan tiga ayat yang dapat dipahami dan dimaknai sebagai ajaran inti dari sufisme, yaitu:
1. Q.s. al-Baqarah, 186 :
وإذا سألك عبادى عني فإني قريب أجيب دعوة الداع إذا دعان فليستجيبوالي وليؤمنوابي لعلهم يرشدون
Dari ayat ini menyiratkan suatu pemahaman bahwa manusia sebagai salah satu makhluknya adalah sangat dekat dengan Tuhan sebagai penciptanya.
2. Q.s. al-Baqarah, 115 :
ولله المشرق والمغرب فأينما تولوا فثم وجـه الله إن الله واسع عليـم
Ayat ini juga mengisyaratkan bahwa Tuhan sebagai penguasa alam semesta ini berada dan dapat dijumpai di mana saja.
3. Q.s. Qāf, 16 :
ولقد خلقنا الإنسان ونعلم ما توسوس به نفسـه ونحن أقرب إليه من حبل الوريـد
Ayat ini mengungkapkan bahwa Tuhan itu sebenarnya ada dalam diri manusia dan bukan berada di luarnya.
4. Q.s. al-Anfāl, 17 :
فلم تقتـلوهم ولكن الله قتلهـم ومـا رميت إذ رميت ولكن الله رمى
Dari ayat ini dapat dipahami bahwa manusia dan Tuhan dapat mengalami penyatuan dalam satu tubuh.
Sedangkan ajaran Islam yang bersumber dari hadits Nabi Muhammad SAW yang berkaitan dengan sufisme, yaitu : “Orang yang mengetahui dirinya, maka ialah orang yang mengetahui Tuhannya” dan sebuah hadits Qudsi :
كنت كنذا مخفيـا فأحببت أن أعرف فخـلقت الخـلق فبي عرفـواني
Aku pada mulanya adalah harta yang tersembunyi, kemudian Aku ingin dikenal, maka Aku ciptakan makhluk dan melalui Aku mereka mengenal Aku”.
ISLAM, IMAN DAN IHSAN
MENGENAL ISLAM
Islam, ialah berserah diri kpd Allah dgn tauhid dan tunduk kpd-Nya dgn penuh kepatuhan akan segala perintah-Nya serta menyelamatkan diri dari peruntukan syirik dan orang-orang yg beruntuk syirik.
Dan agama Islam, dalam pengertian tersebut, mempunyai tiga tingkatan, yaitu : Islam, Iman dan Ihsan, masing-masing tingkatan mempunyai rukun-rukunnya.
I. Tingkatan Islam
Adapun tingkatan Islam, rukun ada lima :
Syahadat (pengakuan dgn hati dan lisan) bahwa “Laa Ilaaha Ilallaah” (Tiada sesembahan yg haq selain Allah) dan Muhammad ialah Rasulullah.
Mendirikan shalat.
Mengeluarkan zakat.
Shiyam pada bulan Ramadhan.
Haji ke Baitullah Al-Haram.
II. Tingkatan Iman.
Iman itu lebih dari tujuh puluh cabang. Cabang yg paling tinggi ialah syahadat “Laa Ilaaha Ilallaah”, sedang cabang yg paling rendah ialah menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan sifat malu ialah salah satu dari cabang Iman.
Rukun Iman ada enam, yaitu :
Iman kpd Allah.
Iman kpd para Malaikat-Nya.
Iman kpd Kitab-kitab-Nya.
Iman kpd para Rasul-Nya.
Iman kpd hari Akhirat, dan
Iman kpd Qadar, yg baik dan yg buruk. (Qadar : takdir, ketentuan Ilahi. Yaitu : Iman bahwa segala sesuatu yg terjadi di dalam semesta ini ialah diketahui, dikehendaki dan dijadikan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala).
Iman Bertambah dan Berkurang
Ahlussunnah menetapkan kaidah bahwa jika istilah Islam dan Iman disebutkan secara bersamaan, maka masing-masing memiliki pegertian sendiri-sendiri, namun jika disebutkan salah satunya saja, maka mencakup yang lainnya. Iman dikatakan dapat bertambah dan berkurang, namun tidaklah dikatakan bahwa Islam bertambah dan berkurang, padahal hakikat keduanya adalah sama. Hal ini disebabkan karena adanya tujuan untuk membedakan antara Ahlussunnah dengan Murjiáh. Murjiáh mengakui bahwa Islam (amalan lahir) bisa bertambah dan berkurang, namun mereka tidak mengakui bisa bertambah dan berkurangnya iman (amalan batin). Sementara Ahlussunnah meyakini bahwa keduanya bisa bertambah dan berkurang.
III. Tingkatan Ihsan.
Ihsan, rukun hanya satu, yaitu :
Artinya Beribadah kepada Allah SWT dalam keadaan seakan-akan kamu melihat-Nya. Jika kamu tdk melihat-Nya, maka sesungguh Dia melihatmu”. Pengertian Ihsan tersebut ialah penggalan dari hadits Jibril, yg dituturkan oleh Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu ‘Anhu, sebagaimana akan disebutkan
Dalilnya, firman Allah Ta’ala.
“Sesungguh Allah bersama orang-orang yg bertakwa dan orang-orang yg beruntuk ihsan”. [An-Nahl : 128]
Dan firman Allah Ta’ala.
“Dan bertakwallah kpd (Allah) Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayg. Yang melihatmu ketika kamu berdiri (untuk shalat) dan (melihat) perubahan gerak badanmu di antara orang-orang yg sujud. Sesunnguh Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. [Asy-Syu’araa : 217-220]
Serta firman-Nya.
“Dalam keadaan apapun kamu berada, dan (ayat) apapun dari Al-Qur’an yg kamu baca, serta pekerjaan apa saja yg kamu kerjakan, tdk lain kami ialah menjadi saksi atasmu diwaktu kamu melakukannya”. [Yunus : 61]
Adapun dalil dari Sunnah, ialah hadits Jibril yg masyhur, yg diriwayatkan dari ‘Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu ‘anhu. “Arti : Ketika kami sedang duduk di sisi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tiba-tiba muncul ke arah kami seorang laki-laki, sangat putih pakaiannya, hitam pekat rambutnya, tidak tampak pada tubuh tanda-tanda sehabis dari bepergian jauh dan tiada seorang pun di antara kami yg mengenalnya. Lalu orang itu duduk di hadapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dgn menyandarkan kelutut pada kedua lutut beliau serta meletakkan kedua telapak tangan di atas kedua paha beliau, dan berkata : ‘Ya Muhammad, beritahulah aku tentang Islam’, maka beliau menjawab :’Yaitu : bersyahadat bahwa tiada sesembahan yg haq selain Allah serta Muhammad ialah Rasulullah, mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, melakukan shiyam pada bulan Ramadhan dan melaksanakan haji ke Baitullah jika kamu mampu untuk mengadakan perjalanan ke sana’. Lelaki itu pun berkata : ‘Benarlah engkau’. Kata Umar :’Kami merasa heran kepadanya, ia berta kpd beliau, tetapi juga membenarkan beliau. Lalu ia berkata : ‘Beritahulah aku tenatng Iman’. Beliau menjawab :’Yaitu : Beriman kpd Allah, para Malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya dan hari Akhirat, serta beriman kpd Qadar yg baik dan yg buruk’. Ia pun berkata : ‘Benarlah engkau’. Kemudian ia berkata : ‘Beritahullah aku tentang Ihsan’. Beliau menjawab : Yaitu : Beribadah kepada Allah SWT dalam keadaan seakan-akan kamu melihat-Nya. Jika kamu tdk melihat-Nya, maka sesungguh Dia melihatmu’. Ia berkata lagi. Beritahulah aku tentang hari Kiamat. Beliau menjawab : ‘Orang yg dia tentang hal tersebut tidak lebih tahu dari pada orang yang bertanya’. Akhir ia berkata :’Beritahulah aku sebagian dari tanda-tanda Kiamat itu’. Beliau menjawab : Yaitu : ‘Apabila ada hamba sahaya wanita melahirkan tuan dan apabila kamu melihat orang-orang tak beralas kaki, tak berpakaian sempurna melarat lagi, pengembala domba saling membangga-banggakan diri dalam membangun bangunan yg tinggi’. Kata Umar : Lalu pergilah orang laki-laki itu, semantara kami berdiam diri saja dalam waktu yg lama, sehingga Nabi bertanya : Hai Umar, tahukah kamu siapakah orang yg bertanya itu ? Aku menjawab : Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui. Beliau pun bersabda : ‘Dia ialah Jibril, telah datang kepada kalian untuk mengajarkan urusan agama kalian”.
SIMPULAN
Islam sebagai agama bisa dilihat dari berbagai dimensi, sebagai keyakinan, sebagai ajaran dan sebagai aturan. Apa yang diyakini oleh seorang muslim, boleh jadi sesuai dengan ajaran dan aturan Islam, boleh jadi tidak, karena proses seseorang mencapai suatu keyakinan berbeda-beda, dan kemampuannya untuk mengakses sumber ajaran juga berbeda-beda.
Diantara penganut satu agama bisa terjadi pertentangan hebat yang disebabkan oleh adanya perbedaan keyakinan. Sebagai ajaran, agama Islam merupakan ajaran kebenaran yang sempurna, yang dating dari Tuhan Yang Maha Benar. Akan tetapi manusia yang pada dasarnya tidak sempurna tidak akan sanggup menagkap kebenaran yang sempurna secara sempurna.kebenaran bisa didekati dengan akal (masuk akal), bisa juga dengan perasaan (rasa kebenaran). Kerinduan manusia terhadap kebenaran ilahiyah bagaikan api yang selalu menuju keatas. Seberapa tinggi api menggapai ketinggian dan seberapa lama api itu bertahan menyala bergantung pada bahan baker yang tersedia pada setiap orang. Ada orang yang tak pernah berhenti mencari kebenaran, ada juga yang tak tahan lama, ada orang yang kemampuannya menggapai kebenaran sangat dalam (atau tinggi), tetapi ada yang hanya bisa mencapai permukaan saja.
Agama Islam sebagai aturan atau sebagai hukum dimaksud untuk mengatur tata kehidupan manusia. Sebagai aturan, agama berisi perintah dan larangan, ada perintah keras (wajib) dan larangan keras (haram), ada juga perintah anjuran (sunnat) dan larangan anjuran (Makruh). Sumber hukum dalam Islam adalah Al-Qur’an, tetapi hanya mengatur secara umum, karena Al-Qur’an di peruntukkan bagi semua manusia sepanjang zaman dan di seluruh pelosok dunia.
Detail hukum kemudian dirumuskan denga Ijtihad. Karena sifatnya yang regional dan “Menzaman” maka fatwa hukum bisa berbeda-beda, ada yang menganggap bahwa hasil ijtihadnya itu sebagai hukum Tuhan, dan ada yang menganggap bahwa dalam hal detail tidak ada hukum Tuhan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar