Selasa, 05 Maret 2013

Filsafat Islam : QADHIYYAH DAN MACAM-MACAMNYA

BAB I
PENDAHULUAN
  1. Latar Belakang
Ilmu mantiq adalah ilmu yang berkaitan dengan pembicaraan yang masuk akal yang sesuai dengan keadaan dan kenyataan beserta argumentasi dan juga sesuai dengan dalil. Ilmu ini merupakan suatu metode dalam penelitian ilmiah sehingga dalam pembahasan Ilmu Mantiq tidak bisa dilepaskan dengan pembahasan sesuatu yang condong pada kebenaran dzatnya yang berlaku diantara manathiqah. Perkataan itu dipandang dari segi perkataan itu sendiri yang dapat condong kearah benar dan tidak benar, hal ini dalam ilmu mantiq disebut dengan “qadhiyah” atau “khobar”.
Sesuatu itu akan mengandung kemungkinan dua kemungkinan yakni benar dan salah, hal tersebut dibuktikan dengan suatu eksperimen untuk memastikan kebenarannya. Sebagaimana yang telah kita ketahui, tashdiqi adalah penilaian dan penghukuman atas sesuatu dengan sesuatu yang lain (seperti: gunung itu indah; manusia itu bukan kera dan lain sebagainya). Atas dasar itu, tashdiq berkaitan dengan dua hal: maudhu’ dan mahmul (“gunung” sebagai maudhu’ dan “indah” sebagai mahmul). Gabungan dari dua sesuatu itu disebut qadhiyyah (proposisi).


  1. Rumusan Masalah
    1. Bagaimana pengertian Qadhiyyah?
    2. Bagaimana pembagian-pembagian dalam Qadhiyyah?
    3. Bagaimana hukum-hukum dalam Qadhiyyah?

  1. Tujuan Masalah
    1. Memahami pengertian Qadhiyyah dalam ilmu mantiq.
    2. Memahami pembagian-pembagian dalam Qadhiyyah.
    3. Mengetahui hukum-hukum dalam Qadhiyyah


BAB II
PEMBAHASAN
  1. Pengertian qadhiyah
Qadhiyah adalah:
قَوْلٌ مُفيْدٌ يَحْثَمِلُ الصِّدْقَ وَالكِذْبَ لَذَاتِهِ
Pernyataan yang sempurna, yang isinya mengandung klemungkinan benar atau salah.
 jumlah khobariyah yang mengandung kebenaran dan kesalahan dan bisa diketahui benar tidaknya dengan penelitian atau eksperimen. Misalnya, Tahun depan saya akan dapat menamatkan sekolah saya/pelajaran saya atau besok syawal saya akan pindah ke Surabaya. Perkataan ini disebut qadhiyah karena penamatan atau kepindahan itu mungkin bisa terjadi dan mungkin  tidak terjadi.[1]
Sebuah contoh, Allah itu maujud/ada, Nabi Muhammad itu utusan Allah. Untuk memastikan kebenarannya bahwa telah ada yang mengatakan dan membuktikan kebenarannya kepada kita, atau kita sudah mengi’tiqadkannya terlebih dahulu bahwa Allah itu ada dan Muhammad itu utusan Allah.
  1. Macam-macam qadhiyyah
Setiap qadhiyyah terdiri dari tiga unsur: 1) maudhu’, 2) mahmul dan 3) rabithah (hubungan antara mawdhu’ dan mahmul).[2]
  1. Maudhu’ (subjek), dalam ilmu nahwu disebut mubtada’, fa’il atau na’ibul fa’il atau mahkum alaih jika dilihat dari segi proses engambilan kerputusan
  2. Mahmul (predikat) dalam ilmu nahwu disebut khabar atau fi’il, disebut pula al-mahkumbih jika dilihat dari segi pengambilan keputusan.
  3. Rabith (penghubung), berupa kata ganti (dhamir al-fashl) byang menghubungkan antara subjek dan predikat.
Contoh:
Zaid itu berdiri, maka yang pertama yaitu Zaid disebut maudhu’, berdiri dinamakan mahmul yaitu hukum yang diletakkan pada zaid dan itu disebut rabithah.
Berdasarkan rabithah-nya, qadhiyyah dibagi menjadi dua: qadiyyah hamliyyah (proposisi kategoris) dan qadiyyah syarthiyyah (proposisi hipotesis). yaitu
  1. 1.      Qadhiyah syarthiyyah
Yaitu qadhiyah yang menerangkan ketergantungannya suatu hukum, dimana ketetapan suatu hukum tersebut digantungkan oleh adanya suiatu hukum yang lain,[3]contoh:
  • Kalau aku punya uang, aku pergi haji.
  • Kalau matahari terbit, terjadilah siang.
Qadhiyah syarthiyyah dibagi menjadi dua macam:
  1. a.  Syarthiyyah muttashilah, yaitu qadhiyah yang mengharuskan adanya saling tetap menetapkan antara juznya. seperti: kalau aku punya uang, aku jadi pergi.[4]
Dilihat dari segi penggunaan “adat Sur” (kata yang menunjukkan kuantitas), Qadhiyah Syarthiyah Muttashilah terbagi menjadi empat macam:[5]
  1. Al-Sur al-Kulli fi al-Ijab yaitu kata depan yang menunjukkan adanya penetapan atas hubungan antara muqaddam dan taliy dalam semua situasi dan kondisi, Contoh: jika tamu datang ke rumahku, aku akan menemuinya.
  2. Al-Sur al-Kulli fi al-Salabi yaitu kata depan yang menunjukkan penetapan dengan meniadakan tetapnya hubungan sebab-akibat antara muqaddam dan taliy dalam semua situasi dan kondisi. Contoh: tidaklah sama sekali, jika pandangan masyarakat itu bersatu, mereka gagal dalam perjuangannya.
  3. Al-Sur al-Juz’I fi al-Ijab yaitu kata depan yang menunjukkan penetapan adanya sebagian hubungan sebab-akibat antara muqaddam dan taliy tanpa menentukan situasi dan kondisi. Contoh; terkadang terjadi, jika mahasiswa itu rajin, ia akan memperoleh penghargaan.
  4. Al-Sur al-Juz’I fi al-Salab artinya kata depan yang menunjukkan tetapnya sebagian dengan memindahkan tetapnya hubungan sdebab-akibat antara muqaddam dan taliy tanpa menentukan situasi dan kondisi. Contoh: terkadang tidak terjadi, manusi berilmu, mengamalkan ilmunya.

  1. Syarthiyyah munfashilah, yaitu qadhiyah yang menetapkan adanya perlawanan antara dua juznya. Seperti: Zaid ada kalanya pergi, ada kalanya tidur. Qadhiyah ini dibagi menjadi tiga macam:
    1. Mani’ul jami’, ditolak kumpulnya artinya tidak boleh berkumpul dan tidak ditolak sepinya artinya tidak boleh terjadi kedua-duanya. Umpama: Umar adakalanya berdiri, adakalanya duduk; ini mani’ul jami’ karena berdiri dan duduk tidak bisa dilakukan secara bersamaan. Tetapi kalau sekaligus tidak berdiri dan tidak duduk itu mungkin terjadi, ini yang dimaksud ditolak sepinya (boleh tidak terjadi kedua-duanya).
    2. Mani’ul huluwwi, ditolak sepinya (tidak boleh tidak terjadi kedua-duanya), tidak ditolak berkumpulnya (boleh berkumpul kedua-duanya sekaligus), misalnya: Aisyah ada kalanya berada dilautan, adakalanya tidak tenggelam, ini boleh jadi (karena berperahu misalnya).[6]
    3. Mani’ul jami’ wal huluw, yaitu yang dinamakan qadhiyyah syarthiyyah munfashilah haqiqqiyah, artinya kedua-duanya berkumpulnya dan sepinya (tidak terjadi) itu ditolak, keduanya terjadi sekaligus tidak mungkin. Contohnya, Muhammad adakalanya mati dan adakalanya hidup, andaikata Muhammad sekjaligus mati dan hidup itu tidak mungkin terjadi, sebaliknya ia tidak mati dan tidak hidup juga tidak mungkin.
Qadhiyah syarthiyyah pasti mempunyai dua bagian (Dua juz) kalimat. Manakala matahari terbit (bagian ke satu/muqaddam) siang hari terjadi (bagian juz kedua/taalie).
      Qadhiyah hamliyyah
Yaitu qadhiyah yang menerangkan terjadinya ketetapan hukum, tidak tergantung pada suatu yang lain.[7] Qadhiyah ini ada dua macam:
  1. Qadhiyah syahshiyyah; yaitu qadhiyah yang menerangkan terjadinya ketetapan hukum atas bagian yang tertentu. Seperti: Ahmad kaya, Dani itu juru tulis, ditetapkannya hukum (kaya dan juru tulis) atas Ahmad dan Dani merupakan sebagian dari hakekat Ahmad dan Dani. Atau Ahmad dan Dani itu adalah sebagian saja dari suatu jenis (manusia).[8]
  2. Qadhiyah kulliyah atau berdasarkan maudhu’nya dibagi menjadi dua macam, yaitu:
    1. Kulliyah musyawwaroh atau mahshurah; yaitu qadhiyah yang dimulai dengan “Soer”, misalnya semua siswa pada tidur, kata “semua” itu dinamakan “soer” yang bahasa Arabnya “Kullu”. Semua, setiap, seluruh adalah “soer”. Seperti contoh, setiap manusia itu hewan, semua murid berolah raga, seluruh penghuni asrama tidur.
    2. Kulliyah Muhmalah; yaitu qadhiyah yang tidak dimulai dengan “soer”. Umpama: manusia itu hewan, murid berolah raga, penghuni asrama tidur.
Sur yang berupa kully dan juz’i itu dapat dilihat dari empat bagian sur, ada kalanya dengan lafadz kullin atau dengan lafadz ba’dlin atau dengan lafadz laa syai’in dan lafadz laisa ba’dlu atau sesamanya yang telah jelas.[9]
Soer itu ada kalanya kulli(universal/keseluruhan) dan ada kalanya juz’i(sebagian), kulli dibagi menjadi dua yakni mujibah yang mengharuskan, kepastian, keharusan. Contoh: seperti manusia itu hewan. Dan salibah yang menghapuskan, mentiadakan, dan menolak. Contoh: tidaklah semua dari manusia itu batu. Juz’i juga dibagi menjadi dua yaitu mujibah, contoh: sebagian dari hewan itu manusia dan salibah, contoh: tidaklah sebagian dari hewan itu manusia.
  1. Adat Sur Qadhiyyah Hamliyah
Sur qadhiyah adalah:
اللَّفْظُ الدَّالُ عَلَي كَمِيَةِ مَاوُقِعَ عَلَيْهِ الحُكْمُ مِنْ أَفْرَادِ المَوْضُوْعِ
Kata  yang menunjukkan kuantitas sesuatu yang padanya ditetapkan keputusan dari individu-individu maudhu’.
Adat sur atau sur qadhiyah adalah kata yang menunjukkan penjumlahan (kuantitas). Qadhiyah yang menggunakan adat sur ini disebut masrurat atau mahshurat.[10]
Adat sur ada ada empat macam, diantaranya:
  1. Al-sur al-Kulli fi al-ijabi, yaitu kata yang menunjukkan tetapnya mahmul pada seluruh individu maudhu’,contoh kata: كَا فَّةٌ, عَا مَّةٌ, جَمِيْعٌ, كُلٌّ
  2. Al-sur al-Kulli fi al-Ijabi, yaitu kata yang menunjukkan tidak tetapnya mahmul dari individu maudhu’. Seperti kata لَا أَحَدٌ, لَا شَيْءٌ  (tidak satupun).
  3. Al-Sur al-juz’I fi al-Ijabi, yaitu kata yang menunjukkan tetapnya mahmul bagi sebagian individu maudhu’. Seperti kata: قَلِيْلٌ, مُعْظَمٌ, كَثِيْرٌ, بَعْضٌ
  4. Al-Sur al-Juz’I fi al-Salab, yaitu kata yang menunjukkan tidak tetapnya mahmul dari sebagian individu-individu maudhu’. Seperti kata:لَيْسَ كُلٌّ, لَيْسَ جَمِيْعٌ, لَيْسَ بَعْضٌ
Dengan memperhatikan uraian Qadhiyyah Hamiliyah dari segi kualitatif (mujabah, salibah, maudhu-nya) dan kuantitatif (kuliyah, juz’iyah) serta kletika tidak menggunakan kata kuantitatif, maka jumlah keseluruhannya adalah delapan macam, diantaranya:
  1. Qadhiyah Hamliyah Kulliyah Masrurah bi al-Sur al-Kulli Wajibah contoh setiap manusia adalah hewan yang berpikir..
  2. Qadhiyah Hamliyah Kulliyah Masrurah bi al-Sur al-Kulli Salibah.contoh: tidak satupun dari manusia itu batu.
  3. Qadhiyah Hamliyah Kulliyah Masrurah bi al-Sur al-Juz’I Mujabah. Contoh: sebagian manusia adalah penulis.
  4. Qadhiyah Hamliyah Kulliyah Masrurah bi al-Sur al-Juz’I Salibah. Contoh: sebagian hewan adalah manusia.
  5. Qadhiyah Hamliyah Kulliyah Mahmulah Mujabah. Contoh: manusia adalah termasuk hewan.
  6. Qadhiyah Hamliyah Kulliyah Mahmulah Salibah. Contoh: manusia itu bukan batu.
  7. Qadhiyah Hamliyah Syahshiyah Mujabah. Contoh: amar adalah mahasiswa.
  8. Qadhiyah Hamliyah Syahshiyah Salibah. Contoh: Syahroni bukan mahasiswa.
  9. Hukum-Hukum Qadhiyyah
Pada pembahasan terdahulu telah kita ketahui bahwa terdapat empat macam hubungan antara empat tashawwuri kulli: 1. tabâyun, 2. tasâwi, 3. umum wa khusus mutlak dan 4. umum wa khusus min wajhin. Demikian pula terdapat empat macam hubungan antara masing-masing empat qadhiyyah mahshurah: 1. tanaqudh, 2. tadhadd, 3. dukhul tahta tadhadd dan 4. tadakhul.[11]
  1. Tanaqudh (mutanaqidhain /kontradiktif) adalah dua qadhiyyah yang mawdhu’ dan mahmul-nya sama, tetapi kuantitas (kam) dan kualitasnya (kaif) berbeda, yakni yang satu kulliyah mujabah dan yang lainnya juz’iyyah salibah. Misalnya, “Semua manusia hewan” (kulliyyah mujabah) dengan “Sebagian manusia bukan hewan” (juz’iyyah salibah).
 “Tanaqud” menurut istilah mantiq yaitu berbedanya dua qadhiyyah dipandang dari ijab (kepastian) salibah (tidak)nya dan kebenarannya. Kalau dua qadhiyyah berbeda (tanaaqudh) dengan sendirinya salah satu dari qadhiyah itu pasti benar dan yang lain tidak benar.[12]
Cara membuat tanaaqudh adalah apabila qadhiyahnya memakai:
  1. Qadhiyah syakhshiyyah atau qadhiyyah muhmalah, cukup hanya kaifnya (kepastian tidaknya, ijab salibahnya), seperti:
Yang asalnya: kholid menulis (ijab) dirubah menjadi Kholid tidak menulis (salab) jadi hanya berubah, yang asalya mujabah menjadi saalibah.
  1. Qadhiyyah musawwaroh, cara mentaannaqudkan, yaitu dengan merubah “soer”nya. Kalau qadhiyyah:
  • Mujibah kulliyah: semua manusia itu hewan, naqidhnya dengan salibah juz’iyyah: tidaklah sebagian manusia itu hewan.
  • Salbah kulliyah: tidaklah setiap manusia itu batu, naqidhnya dengan mujibah juz’iyyah : sebagian manusia itu batu.
Para ahli mantiq dan filsafat menyebutkan bahwa selain mawdhu’ dan mahmul dua qadhiyyah mutanaqidhain itu harus sama, juga ada beberapa kesamaan dalam kedua qadhiyyah tersebut. Kesamaan itu terletak pada:
  1. Kesamaan tempat (makan)
  2. Kesamaan waktu (zaman)
  3. Kesamaan kondisi (syart)
  4. Kesamaan korelasi (idhafah)
  5. Kesamaan pada sebagian atau keseluruhan (juz dan kull )
  6. Kesamaan dalam potensi dan aktual (bil quwwah dan bil fi’li). Qiyas (silogisme)
Pembahasan tentang qadhiyyah sebenarnya pendahuluan dari masalah qiyas, sebagaimana pembahasan tentang tashawwur sebagai pendahuluan dari hudud atau ta’rifat. Dan sebenarnya inti pembahasan mantiq adalah hudud dan qiyas.
Qiyas adalah kumpulan dari beberapa qadhiyyah yang berkaitan yang jika benar, maka dengan sendirinya (li dzatihi) akan menghasilkan qadhiyyah yang lain (baru).[13] Atau yang otomatis dapat menimbulkan kesimpulan, contohnya seperti: kholid itu putera dari Umar, dan Umar putera dari Abu Bakar.[14]
Manusia disaat ingin mengetahui hal-hal yang majhul, maka terdapat tiga cara untuk mengetahuinya:
  1. Pengetahuan dari juz’i ke juz’i yang lain. Argumenatsi ini sifatnya horisontal, dari sebuah titik yang parsial ke titik parsial lainnya. Argumentasi ini disebut tamtsil (analogi).
  2. Pengetahuan dari juz’i ke kulli. Atau dengan kata lain, dari khusus ke umum (menggeneralisasi yang parsial) Argumentasi ini bersifat vertikal, dan disebut istiqra’ (induksi).
  3. Pengetahuan dari kulli ke juz’i. Atau dengan kata lain, dari umum ke khusus. Argumentasi ini disebut qiyas (silogisme).
Macam-macam Qiyas
Qiyas dibagi menjadi dua, yaitu: iqtirani (silogisme kategoris) dan istitsna’i (silogisme hipotesis). Sesuai dengan definisi qiyas di atas, satu qadhiyyah atau beberapa qadhiyyah yang tidak dikaitkan antara satu dengan yang lain tidak akan menghasilkan qadhiyyah baru. Jadi untuk memberikan hasil (konklusi) diperlukan beberapa qadhiyyah yang saling berkaitan. Dan itulah yang namanya qiyas.[15]
1. Qiyas Iqtirani
Qiyas iqtirani adalah qiyas yang mawdhu’ dan mahmul natijahnya berada secara terpisah pada dua muqaddimah. Contoh: “Kunci itu besi” dan “setiap besi akan memuai jika dipanaskan”, maka “kunci itu akan memuai jika dipanaskan”. Qiyas ini terdiri dari tiga qadhiyyah; 1. Kunci itu besi, 2. setiap besi akan memuai jika dipanaskan dan 3. kunci itu akan memuai jika dipanaskan. Qadhiyyah pertama disebut muqaddimah shugra (premis minor), qadhiyyah kedua disebut muqaddimah kubra (premis mayor) dan yang ketiga adalah natijah (konklusi).
Natijah merupakan gabungan dari mawdhu’ dan mahmul yang sudah tercantum pada dua muqaddimah, yakni, “kunci” (mawdhu’) dan “akan memuai jika dipanaskan” (mahmul). Sedangkan “besi” sebagai had awshat.
Yang paling berperan dalam qiyas adalah penghubung antara mawdhu’ muqadimah shugra dengan mahmul muqaddimah kubra. Penghubung itu disebut had awsath. Had awsath harus berada pada kedua muqaddimah (shugra dan kubra) tetapi tidak tecantum dalam natijah.
Empat Bentuk Qiyas Iqtirani
Qiyas iqtirani kalau dilihat dari letak kedudukan had awsath-nya pada muqaddimah shugra dan kubra mempunyai empat bentuk :[16]
1. Syakl Awwal adalah Qiyas yang had awsth-nya menjadi mahmul pada muqaddimah shugra dan menjadi mawdhu’ pada muqaddimah kubra. Misalnya, “Setiap Nabi itu makshum”, dan “setiap orang makshum adalah teladan yang baik”, maka “setiap nabi adalah teladan yang baik”. “Makshum” adalah had awsath, yang menjadi mahmul pada muqaddimah shugra dan menjadi mawdhu’ pada muqaddimah kubra.
Syarat-syarat syakl awwal.
Syakl awwal akan menghasilkan natijah yang badihi (jelas dan pasti) jika memenuhi dua syarat berikut ini:
a. Muqaddimah shugra harus mujabah.
b. Muqaddimah kubra harus kulliyah.
2. Syakl Kedua adalah Qiyas yang had awshat-nya menjadi mahmul pada kedua muqaddimah-nya. Misalnya, “Setiap nabi makshum”, dan “tidak satupun pendosa itu makshum”, maka “tidak satupun dari nabi itu pendosa”.
Syarat-syarat syakl kedua.
a. Kedua muqaddimah harus berbeda dalam kualitasnya (kaif, yakni mujabah dan salibah).
b. Muqaddimah kubra harus kulliyyah.
3. Syakl Ketiga adalah Qiyas yang had awshat-nya menjadi mawdhu’ pada kedua muqaddimahnya. Misalnya, “Setiap nabi makshum”, dan “sebagian nabi adalah imam”, maka “sebagian orang makshum adalah imam”.
Syarat-syarat Syakl ketiga.
a. Muqaddimah sughra harus mujabah.
b. Salah satu dari kedua muqaddimah harus kulliyyah.
4. Syakl Keempat adalah Qiyas yang had awsath-nya menjadi mawdhu’ pada muqaddimah shugra dan menjadi mahmul pada muqaddimah kubra (kebalikan dari syakl awwal).[17]
Syarat-syarat Syakl keempat.
a. Kedua muqaddimahnya harus mujabah.
b. Muqaddimah shugra harus kulliyyah. Atau
c. Kedua muqaddimahnya harus berbeda kualitasnya (kaif)
d. Salah satu dari keduanya harus kulliyyah.
Catatan: Menurut para mantiqiyyin, bentuk qiyas iqtirani yang badihi (jelas sekali) adalah yang pertama sedangkan yang kedua dan ketiga membutuhkan pemikiran. Adapun yang keempat sangat sulit diterima oleh pikiran. Oleh karena itu Aristoteles sebagai penyusun mantiq yang pertama tidak mencantumkan bentuk yang keempat.[18]
Qiyas Istitsna’i
Berbeda dengan qiyas iqtirani, qiyas ini terbentuk dari qadhiyyah syarthiyyah dan qadhiyyah hamliyyah. Misalnya, “Jika Muhammad itu utusan Allah, maka dia mempunyai mukjizat. Oleh karena dia mempunyai mukjizat, berarti dia utusan Allah”. Penjelasannya: “Jika Muhammad itu utusan Allah, maka dia mempunyai mukjizat” adalah qadhiyyah syarthiyyah yang terdiri dari muqaddam dan tali, dan “Dia mempunyai mukjizat” adalah qadhiyyah hamliyyah. Sedangkan “maka dia mempunyai mukjizat” adalah natijah. Dinamakan istitsna’i karena terdapat kata ” tetapi”, atau “oleh karena”.
 Macam-Macam Qiyas istitsna’i (silogisme) Ada empat macam, yaitu: Muqaddam positif dan tali positif. Misalnya, “Jika Muhammad utusan Allah, maka dia mempunyai mukjizat. Tetapi Muhammad mempunyai mukjizat berarti Dia utusan Allah”. Muqaddam negatif dan tali positif. Misalnya, “Jika Tuhan itu tidak satu, maka bumi ini akan hancur. Tetapi bumi tidak hancur, berarti Tuhan satu (tidak tidak satu)”. Tali negatif dan muqaddam negatif. Misalnya, “Jika Muhammad bukan nabi, maka dia tidak mempunyai mukjizat. Tetapi dia mempunyai mukjizat, berarti dia Nabi (bukan bukan nabi)”. Tali negatif dan muqaddam positif. Misalnya, “Jika Fir’aun itu Tuhan, maka dia tidak akan binasa. Tetapi dia binasa, berarti dia bukan Tuhan”.
  1. Tadhad (kontrariatif) adalah dua qadhiyah yang sama kuantitasnya (keduanya kulliyyah), tetapi yang satu mujabah dan yang lain salibah. Misalnya, “Semua manusia dapat berpikir” (kulliyyah mujabah) dengan “Tidak satupun dari manusia dapat berpikir” (kulliyyah salibah).
  2. Dukhul tahta tadhad (dakhilatain tahta tadhad / interferensif sub-kontrariatif) adalah dua qadhiyyah yang sama kuantitasnya (keduanya juz’iyyah), tetapi yang satu mujabah dan lain salibah. Misalnya: “Sebagian manusia pintar” (juz’iyyah mujabah) dengan “Sebagian manusia tidak pintar” (juz’iyyah salibah).
  3. Tadakhul (mutadakhilatain/ interferensif) adalah dua qadhiyyah yang sama kualitasnya tetapi kuantitasnya berbeda. Misalnya: “Semua manusia akan mati” (kulliyyah mujabah) dengan “Sebagian manusia akan mati” (juz’iyyah mujabah) atau “Tidak satupun dari manusia akan kekal” (kulliyyah salibah) dengan “Sebagian manusia tidak kekal” (juz’iyyah salibah).
  4. Akas mustawie
 yaitu: membalikkan dua juz dari qadhiyyah tetapi kebenaran kaifnya dan kamnya tetap tidak berubah. Semua qadhiyyah dapat di’akas mustawiekan, yakni dengan membalik qadhiyyah itu (lafadznya maudhu’ menjadi lafadznya mahmul, dan lafadznya mahmul menjadi maudhu’) kecuali mujibah kulliyah. Contoh: Manusia itu dapat menulis, akasnya: yang dapat menulis itu manusia”, hal itu tidak merubah kaif (ijab-salab)nya dan am (soer)nya, akan tetapi kebenarannya, persesuaiannya tidak berubah.kalau qadhiyyahnya: mujibah kulliyah misalnya:[19] setiap manusia itu hewan, ‘akasnya harus memakai mujibah juz’iyyah, misalnya sebagian hewan itu manusia.
Jadi hanya qadhiyyah mujibah kulliyah saja yang tidak boleh dibalik begitu saja, tanpa merubah kaifnya/kamnya. Demikian pula sebaliknya.[20]
‘aks itu dapat ditetapkan pada lainnya sesuatu yang terwujud dengan sesuatu itu kumpulnya dua hina, maka memksudkanlah engkau dan umpamanya ijtimaa’ al khistaini itu qadhiyyah muhmalan salbiyyah karena muhmalah yang ada di dalam quwwati juz’iyyah. Semua qadhiyyah itu dapat di’akas mustawilkan, kecuali qadhiyyah salibah juz’iyyah dan qadhiyyah muhmalah saalibah sebab muhmalah itu bisa dikatakan (seolah-olah) juz’iyyah, hanya lafadznya saja yang lain, jadi kalau salibah muhmalah sama dengan saalibah juz’iyyah didalam artinya, padahal saalibah juz’iyyah tidak dapat di ‘akas-mustawilkan. Maka qadhiyyah:
  1. a. manusia sebagian hewan itu manusia dan
b. manusia itu tidak hewan; tidak bisa di ‘akas begini
2. a. tidak sebagian manusia itu hewan atau pun
b. semua manusia itu hewan serta hewan itu tidak manusia. Sedangkan selain dua qadhiyyah tersebut dapat di’akas mustawiulkan.
Tiga macam qadhiyyah yang tidak dapat di ‘akas ta’wilkan, yaitu:
  1. Tidak sebagian hewan itu manusia
  2. Tidak sebagian hewan itu tidak manusia
  3. M,anusia itu tidak hewan.
‘akas-mustawiy itu tidak dimungkinkan terjadinya, kecuali bagi qadhiyyah-qadhiyyah yang bertartibkan thobi’iy, yaitu dengan kata lain, yang dimungkinkan dapat terjadi ‘akas mustawie hanyalah qadhiyyah hamliyyah dan muttashilah. Sedangkan qadhiyyah syarthiyyah munfashilah tidak dapat di’akas mustawikan karena kedua bagian dari qadhiyyah syarthiyyah munfashilah itu masing-masing patut kecuali menjadi muqaddam juga, menjadi taaly dan sama sekali tidak mempengaruhi artinya, manakala bolak-balik.[21]











BAB III
KESIMPULAN
Qadhiyah adalah jumlah khobariyah yang mengandung kebenaran dan kesalahan dan bisa diketahui benar tidaknya dengan penelitian atau eksperimen. Setiap qadhiyyah terdiri dari tiga unsur: 1) mawdhu’, 2) mahmul dan 3) rabithah (hubungan antara mawdhu’ dan mahmul). Contoh, Zaid itu berdiri, maka yang pertama yaitu Zaid disebut maudhu’, berdiri dinamakan mahmul yaitu hukum yang diletakkan pada zaid dan itu disebut rabithah.
                  Berdasarkan rabithah-nya, qadhiyyah dibagi menjadi dua: qadiyyah hamliyyah (proposisi kategoris) dan qadiyyah syarthiyyah (proposisi hipotesis). Qadhiyah syarthiyyah dibagi menjadi dua macam yaitu Syarthiyyah muttashilah dan munfashilah. Qadhiyyah hamliyyah juga dibagi menjadi dua yakni Qadhiyah syahshiyyah dan Qadhiyyah kulliyah, kulliyah dibagi menjadi dua lagi yaitu musyawwarah dan muhmalah. Hubungan antara masing-masing empat qadhiyyah mahshurah: 1. tanaqudh, 2. tadhadd, 3. dukhul tahta tadhadd dan 4. Tadakhul yang masing-masing menghasilkan hukum dalam Qadhiyyah.










DAFTAR PUSTAKA
Bisyri, cholil. 1893. Ilmu Manthiq. Rembang: Al-Ma’arif offset.
Sambas, sukriadi. 2009. Mantiq Kaidah Berfikir. Bandung: Remaja Rosdakarya.
 Al-Kaff, Husain. 1999. Pengantar Menuju Filsafat Islam“. Al-Jawad.

[1]Cholil Bisyri, Ilmu Manthiq, (Rembang: Al-Ma’arif offset, 1893), 31.

[2]Sukriadi Sambas, Mantiq Kaidah Berfikir Islami, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009), 69-70
[3]Cholil Bisyri, Ilmu Manthiq, (Rembang: Al-Ma’arif offset, 1893), 32.
[4]Ibid., 36-37.
[5] Sukriadi Sambas, Mantiq Kaidah Berfikir Islami, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009), 85-88.
[6]Ibid.,
[7]Cholil Bisyri, Ilmu Manthiq, (Rembang: Al-Ma’arif offset, 1893), 33.
[8]Ibid.,
[9]Ibid., 34.
[10]Sukriadi Sambas, Mantiq Kaidah Berfikir Islami, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009), 74-75.
[11]Al-Kaff, Husain. Pengantar Menuju Filsafat Islam“. (Al-Jawad, 1999). 32.
[12]Cholil Bisyri, Ilmu Manthiq, (Rembang: Al-Ma’arif offset, 1893), 38.
[13]Al-Kaff, Husain. Pengantar Menuju Filsafat Islam“. (Al-Jawad, 1999), 35.
[14]Cholil Bisyri, Ilmu Manthiq, (Rembang: Al-Ma’arif offset, 1893), 43.
[15]Al-Kaff, Husain. Pengantar Menuju Filsafat Islam“. (Al-Jawad, 1999), 36.
[16]Ibid.,
[17]Al-Kaff, Husain. Pengantar Menuju Filsafat Islam“. (Al-Jawad, 1999), 38.

[18]Ibid.,
[19]Cholil Bisyri, Ilmu Manthiq, (Rembang: Al-Ma’arif offset, 1893), 40.

[20]Ibid.,
[21]Ibid.,41-42.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar