Senin, 04 Maret 2013

PENDIDIKAN AKHLAK

1. PENGERTIAN PENDIDIKAN AKHLAK

Dalam pengertian pendidikan akhlak ini dijelaskan terlebih dahulu mengenai pengertian pendidikan dan pengertian akhlak.
a. Pengertian Pendidikan
Secara etimologi, pengertian pendidikan yang diberikan oleh ahli. John Dewey, seperti yang dikutip oleh M. Arifin menyatakan bahwa pendidikan adalah sebagai suatu proses pembentukan kemampuan dasar yang fundamental, baik menyangkut daya pikir (intelektual) maupun daya perasaan (emosional) menuju ke arah tabiat manusia dan manusia biasa.[1]
Pendidikan pada dasarnya adalah usaha sadar yang diarahkan untuk mematangkan potensi fitrah manusia, agar setelah tercapai kematangan itu, ia mampun memerankan diri sesuai dengan amarah yang disandangnya, serta mampu mempertanggung jawabkan pelaksanaan kepada Sang Pencipta. Kematangan di sini dimaksudkan sebagai gambaran dari tingkat perkembangan optimal yang dicapai oleh setiap potensi fitrah manusia.[2]
Dalam Islam, pada mulanya pendidikan disebut dengan kata “ta’dib”. Kata “ta’dib” mengacu kepada pengertian yang lebih tinggi dan mencakup seluruh unsur-unsur pengetahuan (‘ilm), pengajaran (ta’lim) dan pengasuhan yang baik (tarbiyah). Akhirnya, dalam perkembangan kata-kata “ta’dib” sebagai istilah pendidikan hilang dari peredarannya, sehingga para ahli didik Islam bertemu dengan istilah at tarbiyah atau tarbiyah, sehingga sering disebut tarbiyah. Sebenarnya kata ini asal katanya adalah dari “Rabba-Yurobbi-Tarbiyatan” yang artinya tumbuh dan berkembang.[3]
Walaupun dalam Al-Qur’an tidak disebutkan secara jelas tentang definisi pendidikan, namun dari beberapa ayat dapat ditemukan indikasi ke arah pendidian, sebagaimana disebutkan dalam Q.S. 17/Al-Isra : 24 :
وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَّبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَياَّنِيْ صَغِيْرًا.
Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah “Wahai Tuhanku, kasihanilah mereka keduanya, sebagaimana mereka mendidik aku waktu kecil”. (Q.S. al-Isra : 24)[4]

Berdasarkan ayat tersebut dapat diambil pengertian bahwa al-Tarbiyah adalah proses pengasuhan pada fese permulaan pertumbuhan manusia, karena anak sejak dilahirkan di dunia dalam keadaan tidak tahu apa-apa, tetapi ia sudah dibekali Allah SWT berupa potensi dasar (fitrah) yang perlu dikembangkan. Maka pendidikan anak sangat penting mengingat untuk kelangsungan perkembangannya menuju ke tahap selanjutnya.
Menurut Frederic J. Mc. Donald, dalam bukunya Educational Psychology, mengungkapkan bahwa education in the sense used here, is a process or an activity which is directed at producting desirable changes in the behaviour of human beings. Pendidikan dalam pengertian yang digunakan di sini adalah sebuah proses atau aktivitas yang menunjukkan pada proses perubahan yang diinginkan di dalam tingkah laku manusia.[5]
Menurut Nelson B. Henry, education is the process by which those powers (abilities, capacities) of the man that are susceptible to habituation are perfected by good habits.[6] Artinya, pendidikan adalah merupakan suatu proses di mana kemampuan seseorang dapat terpengaruh oleh kebiasaan yang berupa kebiasaan yang baik.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa pendidikan adalah suatu kegiatan atau usaha yang dilakukan secara sadar dan disengaja untuk memberikan bimbingan, baik jasmani maupun rohani, melalui penanaman nilai-nilai Islam, latihan moral, fisik serta menghasilkan perubahan ke arah positif yang nantinya dapat diaktualisasikan dalam kehidupan, dengan kebiasaan bertingkah laku, berpikir dan berbudi pekerti yang luhur menuju terbentuknya manusia yang berakhlak mulia.
b. Pengertian Akhlak
Pengertian akhlak secara etimologi dapat diartikan sebagai budi pekerti, watak dan tabiat.[7] Kata akhlak berasal dari bahasa Arab, jamak dari khuluqun (خلق) yang menurut lughot diartikan sebagai budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat.
Menurut Rahmat Djatnika, bahwa pengertian akhlak dapat dibedakan menjadi dua macam, di antaranya menurut etimologi kata akhlak berasal dari bahasa Arab (ا خلا ق) bentuk jamak dari mufrodnya khuluq (خلق), yang berarti budi pekerti. Sinonimnya adalah etika dan moral. Etika berasal dari bahasa Latin, etos yang berarti kebiasaan. Moral berasal dari bahasa Latin juga, mores yang juga berarti kebiasaan. Sedangkan menurut terminolog, kata budi pekerti terdiri dari kata “budi” dan “pekerti”. Budi adalah yang ada pada manusia, yang berhubungan dengan kesadaran, yang didorong oleh pemikiran, rasio yang disebut karakter. Pekerti adalah apa yang terlihat pada manusia, karena didorong oleh perasaan hati yang disebut dengan behaviour. Jadi, budi pekerti merupakan perpaduan dari hasil rasio dan rasa yang bermanifestasi pada karsa dan tingkah laku manusia.[8]
Menurut Abuddin Nata, akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan mendalam dan tanpa pemikiran, namun perbuatan itu telah mendarah daging dan melekat dalam jiwa, sehingga saat melakukan perbuatan tidak lagi memerlukan pertimbangan dan pemikiran.[9]
Menurut Elizabeth B. Hurlock, behaviour which may be called “true morality” not only conforms to social standarts but also is carried out voluntarily, it comes with the transition from external to internal authority and consist of conduct regulated from within.[10] Artinya, bahwa tingkah laku boleh dikatakan sebagai moralitas yang sebenarnya itu bukan hanya sesuai dengan standar masyarakat, tetapi juga dilaksanakan dengan suka rela, tingkah laku it terjadi melalui transisi dari kekuatan yang ada di luar (diri) dan ke dalam (diri) dan ada ketetapan hati dalam melakukan (bertindak) yang diatur dalam diri.
Imam Al-Ghazali mengemukakan definisi akhlak sebagai berikut :
الخلق عبارة عن هيئة فى النفس را سخة عنها تصدر الافعال بسهولة ويسر من غير حاجة إلى فكر ورويّة عقلا وسرعا. [11]
Bahwa akhlak adalah suatu sifat yang tertanam dalam jiwa yang dari padanya timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah dengan tidak memerlukan pertimbangan pikiran (terlebih dahulu).
Dari definisi tersebut dapat diketahui bahwa hakikat akhlak menurut al-Ghazali mencakup dua syarat. Pertama, perbuatan itu harus konstan, yaitu dilakukan berulang kali dalam bentuk yang sama, sehingga dapat menjadi kebiasaan. Kedua, perbuatan itu harus tumbuh dengan mudah tanpa pertimbangan dan pemikiran, yakni bukan karena adanya tekanan, paksaan dari orang lain atau bahkan pengaruh-pengaruh dan bujukan yang indah dan sebagainya.
Menurutnya juga, bahwa akhlak bukanlah pengetahuan (ma’rifah) tentang baik dan jahat, maupun kodrat (qudrah) untuk baik dan buruk, bukan pula pengamalan (fi’l) yang baik dan jelek, melainkan suatu keadaan jiwa yang mantap (hay’arasikha fi-n-nafs).[12]
Akhlak adalah suatu istilah yang sering digunakan oleh Al-Ghazali. Jadi, kerap kali kita temukan pernyataan, seperti ‘akhlak kedermawanan” dan “akhlak-akhlak tercela”. Dapat dipahami bahwa dalam etika Al-Ghazali, suatu amal lahiriyah tak dapat secara tegas disebut baik dan buruk. Maka ketulusan seseorang mungkin dipandang sebagai suatu kebaikan, tetapi jual belinya yang jujur atau tidak. Namun, suatu suatu amal dapat dikatakan suatu amal shaleh atau amal jahat.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa akhlak adalah suatu sikap atau kehendak manusia disertai dengan niat yang tentram dalam jiwa yang berlandaskan al-Qur’an dan al-Hadits yang daripadanya timbul perbuatan-perbuatan atau kebiasaan-kebiasaan secara mudah tanpa memerlukan pembimbingan terlebih dahulu. Jiwa kehendak jiwa itu menimbulkan perbuatan-perbuatan dan kebiasaan-kebiasaan yang bagus, maka disebut dengan akhlak yang terpuji. Begitu pula sebaliknya, jika menimbulkan perbuatan-perbuatan dan kebiasaan-kebiasaan yang jelek, maka disebut dengan akhlak yang tercela.
c. Pengertian Pendidikan Akhlak
Setelah dijelaskan secara terpisah mengenai pengertian pendidikan dn pengertian akhlak, maka dapat disimpulkan bahwa pendidikan akhlak adalah pendidikan mengenai dasar-dasar akhlak dan keutamaan perangai, tabiat yang harus dimiliki dan dijadikan kebiasaan oleh anak sejak masa analisa sampai ia menjadi seorang mukallaf, seseorang yang telah siap mengarungi lautan kehidupan. Ia tumbuh dan berkembang dengan berpijak pada landasan iman kepada Allah dan terdidik untuk selalu kuat, ingat bersandar, meminta pertolongan dan berserah diri kepada-Nya, maka ia akan memiliki potensi dan respon yang instingtif di dalam menerima setiap keutamaan dan kemuliaan. Di samping terbiasa melakukan akhlak mulia.[13]
Atau suatu kegiatan yang dilakukan secara sadar dan disengaja untuk memberikan bimbingan, baik jasmani maupun rohani, melalui penanaman nilai-nilai Islam, latihan moral, fisik serta menghasilkan perubahan ke arah positif, yang nantinya dapat diaktualisasikan dalam kehidupan, dengan kebiasaan bertingkah laku, berpikir dan berbudi pekerti yang luhur menuju terbentuknya manusia yang berakhlak mulia, di mana dapat menghasilkan perbuatan atau pengalaman dengan mudah tanpa harus direnungkan dan disengaja atau tanpa adanya pertimbangan dan pemikiran, yakni bukan karena adanya tekanan, paksaan dari orang lain atau bahkan pengaruh-pengaruh yang indah dan pebuatan itu harus konstan (stabil) dilakukan berulang kali dalam bentuk yang sering sehingga dapat menjadi kebiasaan.
2. DASAR-DASAR DAN TUJUAN PENDIDIKAN AKHLAK
a. Dasar-Dasar Pendidikan Akhlak
Dasar pendidikan akhlak adalah al-Qur’an dan al-Hadits, karena akhlak merupakan sistem moral yang bertitik pada ajaran Islam. Al-Qur’an dan al-Hadits sebagai pedoman hidup umat Islam menjelaskan kriteria baik dan buruknya suatu perbuatan. Al-Qur’an sebagai dasar akhlak menjelaskan tentang kebaikan Rasulullah SAW sebagai teladan bagi seluruh umat manusia. maka selaku umat Islam sebagai penganut Rasulullah SAW sebagai teladan bagi seluruh umat manusia, sebagaimana firman Allah SWT dalam Q.S. 33/Al-Ahzab : 21 :
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فىِْ رَسُوْلِ اللهِ اُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَنْ كَانَ يَرْجُوْا اللهَ وَالْيَوْمَ اْلا خِرَ وَذَكَرَ اللهَ كَثِيْرًا.
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (Q.S. al-Ahzab : 21)[14]
Berdasarkan ayat tersebut di atas dijelaskan bahwasannya terdapat suri teladan yang baik, yaitu dalam diri Rasulullah SAW yang telah dibekali akhlak yang mulia dan luhur. Selanjutnya juga dalam Q.S. 68/Al-Qalam : 4 :
وَاِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيْمٍ. (القلم : 4)
Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang luhur. (Q.S. al-Qalam : 4)[15]
Bahwasannya Nabi Muhammad SAW dalam ayat tersebut dinilai sebagai seseorang yang berakhlak agung (mulia).
Di dalam hadits juga disebutkan tentang betapa pentingnya akhlak di dalam kehidupan manusia. Bahkan diutusnya rasul adalah dalam rangka menyempurnakan akhlak yang baik, sebagaimana sabda Rasulullah SAW, bahwa :
عن عبد الله حد ثي أبى سعيدبن منصور قال : حدثنا عيد العزيز ين محمد عن محمد بن عجلا عن القعقاع بن حكم عن أبي صالح عن أبي هريرة قال : قال رسول الله صا.م : انما بعثت لأ تمم صالح الاخلاق.(رواه احمد) [16]
Dari Abdullah menceritakan Abi Said bin Mansur berkata : menceritakan Abdul Aziz bin Muhammad dari Muhammad bin ‘Ijlan dari Qo’qo’ bin Hakim dari Abi Shalih dari Abi Hurairoh berkata Rasulullah SAW bersabda : Sesungguhnya Aku hanya diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia. (H.R.Ahmad)
Berdasarkan hadits tersebut di atas memberikan pengertian tentang pentingnya pendidikan akhlak dalam kehidupan manusia, di mana dengan pendidikan akhlak yang diberikan dan disampaikan kepada manusia tentunya akan menghasilkan orang-orang yang bermoral, laki-laki maupun perempuan, memiliki jiwa yang bersih, kemauan yang keras, cita-cita yang benar dan akhlak yang tinggi, mengetahui arti kewajiban dan pelaksanaannya, menghormati hak-hak manusia, mengetahui perbedaan buruk dan baik, memilih satu fadhilah karena cinta pada fadhilah, menghindari suatu perbuatan yang tercela dan mengingat Tuhan dalam setiap pekerjaan yang mereka lakukan.
b. Tujuan Pendidikan Akhlak
Tujuan pokok dari pendidikan Islam adalah mendidik budi pekerti dan pembentukan jiwa. Pendidikan yang diberikan kepada anak didik haruslah mengandung pelajaran-pelajaran akhlak. Setiap pendidik haruslah memikirkan akhlak dan memikirkan akhlak keagamaan sebelum yang lain-lainnya karena akhlak keagamaan adalah akhlak yang tertinggi, sedangkan akhlak yang mulia itu adalah tiang dari pendidikan Islam.
Dalam tujuan pendidikan akhlak dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu :
1) Tujuan Umum
Menurut Barnawy Umari, bahwa tujuan pendidikan akhlak secara umum meliputi :
a) Supaya dapat terbiasa melakukan yang baik, indah, mulia, terpuji serta menghindari yang buruk, jelek, hina dan tercela.
b) Supaya perhubungan kita dengan Allah SWT dan dengan sesama makhluk selalu terpelihara dengan baik dan harmonis.[17]
Menurut Ali Hasan bahwa tujuan pokok akhlak adalah agar setiap orang berbudi (berakhlak), bertingkah laku (tabiat) berperangai atau beradat istiadat yang baik atau yang sesuai dengan ajaran Islam.[18]
2) Tujuan Khusus
Adapun secara spesifik pendidikan akhlak bertujuan :
a) Menumbuhkan pembentukan kebiasaan berakhlak mulia da beradat kebiasaan yang baik
b) Memantapkan rasa keagamaan pada siswa, membiasakan diri berpegang pada akhlak mulia dan membenci akhlak yang rendah.
c) Membiasakan siswa bersikap rela, optimis, percaya diri, emosi, tahan menderita dan sabar.
d) Membimbing siswa ke arah dikap yang sehat dan dapat membantu mereka berinteraksi sosial yang baik, mencintai kebaikan untuk orang lain, suka menolong, sayang kepada yang lemah, dan menghargai orang lain.
e) Membiasakan siswa bersopan santun dalam berbicara dan bergaul baik di sekolah maupun di luar sekolah.
f) Selalu tekun beribaah dan mendekatkan diri kepada Allah dan bermuamalah yang baik.[19]
Adapun menurut Muhammad ‘Athiyyah Al-Abrasyi menjelaskan tujuan dari pendidikan moral dan akhlak dalam Islam adalah membentuk orang-orang yang bermoral baik, keras kemauan, sopan dalam bicara dan mulia dalam bertingkah laku dan perangai, bersifat bijaksana, sempurna, sopan dan beradab, ikhlas, jujur dan suci. Jiwa dari pendidikan Islam adalah pendidikan moral dan akhlak.[20]
Dijelaskan juga menurut Ahmad Amin, bahwasannya tujuan pendidikan akhlak (etika) bukan hanya mengetahui pandangan atau teori, bahkan setengah dari tujuan itu adalah mempengaruhi dan mendorong kehendak kita supaya membentuk hidup suci dan menghasilkan kebaikan dan kesempurnaan dan memberi faedah kepada sesama manusia. maka etika itu adalah mendorong kehendak agar berbuat baik, akan tetapi ia tidak selalu berhasil kalau tidak ditaati oleh kesucian manusia.[21]
3. RUANG LINGKUP PENDIDIKAN AKHLAK
Muhammad Daud Ali menyatakan bahwa dalam garis besarnya akhlak terbagi dalam dua bagian, pertama adalah akhlak terhadap Allah/Khaliq (pencipta) dan kedua adalah akhlak terhadap makhluknya (semua ciptaan Allah).[22] Dan ruang lingkup pendidikan akhlak, di antaranya adalah :
a. Akhlak Terhadap Allah SWT
Akhlak kepada Allah SWT dapat diartikan sebagai sikap/perbuatan yang seharusnya dilakukan oleh manusia sebagai makhluk kepada Tuhan yang Khaliq.
Sekurang-kurangnya ada empat alasan mengapa manusia perlu berakhlak kepada Allah :
1) Karena Allah yang telah menciptakan manusia dan menciptakan manusia di air yang ditumpahkan keluar dari antara tulang punggung dan tulang rusuk. (Q.S. al-Thariq : 5-7). Dalam ayat lain, Allah menyatakan bahwa manusia diciptakan dari tanah yang kemudian diproses menjadi benih yang disimpan dalam tempat yang kokoh (rahim) setelah ia menjadi segumpal darah, daging, dijadikan tulang dan dibalut dengan daging, dan selanjutnya diberikan ruh. (Q.S. Al-Mu’minun : 12-13)
2) Karena Allah lah yang telah memberikan perlengkapan panca indera, berupa pendengaran, penglihatan, akal, pikiran dan hati sanubari. Di samping anggota badan yang kokoh dan sempurna pada manusia.
3) Karena Allah lah yang telah menyediakan berbagai bahan dan sarana yang diperlukan bagi kelangsungan hidup manusia, seperti bahan makanan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan, air, udara, binatang dan ternak dan lain sebagainya. (Q.S.al Jatsiah : 12-13)
4) Allah lah yang telah memuliakan manusia dengan diberikannya kemampuan untuk menguasai daratan dan lautan. (Q.S. al-Isra’ : 70)[23]
Dalam berakhlak kepada Allah SWT., manusia mempunyai banyak cara, di antaranya dengan taat dan tawadduk kepada Allah, karena Allah SWT menciptakan manusia untuk berakhlak kepada-Nya dengan cara menyembah kepada-Nya, sebagaimana fiman Allah SWT dalam Q.S. 51/Adz-Dzariyat : 56 :
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَاْلاِنْسَ اِلاَّ لِيَعْبُدُوْنِ.
Dan Aku (Allah) tidak menciptakan jin dan manusia,melainkan supaya mereka menyembah kepada-Ku. (Q.S. adz-Dzariyat : 56)[24]
Ada dua dimensi dalam berakhlak kepada Allah SWT :
1. Akhlak kepada Allah karena bentuk ketaatan (kewajiban kepada Allah)
Perintah untuk taat kepada Allah ditegaskan dalam firman-Nya yaitu dalam Q.S. 4/An-Nisaa : 59 :
يا اَيُّهَا الَّذِيْنَ امَنُوْا اَطِيْعُوْ اللهَ وَاَطِيْعُوْ الرَّسُوْلَ وَاُولىِ اْلاَمْرِ مِنْكُمْ ج فَاِنْ تَنزَعْتُمْ فىِ شَئٍ فَرُدُّوْهُ اِلىَ اللهِ وَالرَّسُوْلِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْ مِنُوْنَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلاخِرِ ط ذلِكَ خَيْرٌ وَاَحْسَنُ تَأْوِيْلاً.
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya) dan ulil amri di antara kamu, kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya.(Q.S. An-Nisaa : 59)[25]
Akhlak kepada Allah adalah taat dan cinta kepada-Nya, mentaati Allah berarti melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya,di antaranya melaksanakan shalat wajib lima waktu.
2. Akhlak kepada Allah karena bentuk tawadduk kepada Allah (keikhlasan dalam melaksanakan perintah-Nya). Tawadduk adalah sikap merendahkan diri terhadap ketentuan-ketentuan Allah SWT, sebagaimana firman Allah SWT dalam Q.S. 23/Al-Mukminun : 1-7 :
قَدْ اَفْلَحَ الْمُؤْمِنُوْنَ. اَلَّذِيْنَ فِىْ صَلاَتِهِمْ خشِعُوْنَ. وَالَّذِيْنَ هُمْ عَنِ الَّلغْوِمُعْرِضُوْنَ. وَالَّذِيْنَ هُمْ لِلزَّكوةِ فعِلُوْنَ. وَالَّذِيْنَ هُمْ لِفُرُجِهِمْ حفِظُوْنَ. اِلاَّعَلىاَزْوجِهِمْ اَوْمَامَلَكَتْ اَيْمنُهُمْ فَاِنَّهُمْ غَيْرُمَلُوْمِيْنَ.
Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam sembahyangnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna, dan orang-orang yang menunaikan zakat, dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki. Maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. (Q.S. al-Mukminun : 1-7)[26]
Untuk menumbuhkan sikap tawadduk, manusia harus menyadari asal kejadiannya, menyadari bahwa hidup di dunia ini terbatas, memahami ajaran Islam, menghindari sikap sombong, menjadi orang yang pemaaf, ikhlas, bersyukur, sabar dan sebagainya.
b. Akhlak Terhadap Sesama Manusia
Akhlak terhadap sesama manusia,antara lain meliputi akhlak terhadap Rasul, orang tua (ayah dan ibu), guru, tetangga dan masyarakat.
1) Akhlak terhadap Rasulullah
Akhlak karimah kepada Rasulullah adalah taat dan cinta kepadanya, mentaati Rasulullah berarti melaksanakan segala perintahnya dan menjauhi larangannya. Ini semua telah dituangkan dalam hadits (sunnah) beliau yang berwujud ucapan, perbuatan dan penetapannya. Dan sebagaimana firman Allah SWT dalamQ.S. 4/An-Nisaa : 80 :
مَنْ يُّطِعِ الرَّسُوْلَ فَقَدْ اَطَاعَ اللهَ وَمَنْ تَوَ لىّ فَمَا اَرْسَلْنكَ عَلَيْهِمْ حَفِيْظًا.
Barangsiapa yang menaati Rasul, sesungguhnya ia telah menaati Allah, dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan), maka kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka. (Q.S.an-Nisaa : 80)[27]
2) Akhlak terhadap orang tua (ayah dan ibu)
Wajib bagi umat Islam untuk menghormati kedua orang tuanya, yaitu dengan berbakti, mentaati perintahnya dan berbuat baik kepada keluarganya, di antaranya :
a) Berbicara dengan perkataan yang baik. Firman Allah SWT dalam Q.S. 17/Al-Isra : 23 :
وَقَض رَبُّكَ اَلاَّتَعْبُدُوْا اِلاّ اِيَّاهُ وَبِالْولِدَيْنِ اِحْسنًاط اِمَّايَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَاَحَدُهُمَا اَوْكِلاَهُمَا فَلاَتَقُلْ لَّهُمَا اُفٍّ وَّلاَ تَنْهَرْ هُمَاوَقُلْ لَّهُمَا قَوْلاًكَرِيْمًا.
Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya berumur lanjut dalam pemeliharanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada kaduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataanm yang mulia. (Q.S. al-Isra’ : 23)[28]
b) Membantu orang tua (ayah dan ibu)
3) Akhlak terhadap guru
Akhlakul karimah kepada guru di antaranya dengan menghormatinya, berlaku sopan di hadapannya, mematuhi perintah-perintahnya, baik itu di hadapannya ataupun di belakangnya, karena guru adalah spiritual father atau bapak rohani bagi seorang murid, yaitu yang memberi santapan jiwa dengan ilmu, pendidikan akhlak dan membenarkannya.
Penyair Syauki telah mengakui pula nilainya seorang guru dengan kata-katanya sebagai berikut :
قُمْ لِلْمُعَلِّمِ وَفِّهِ التَّبْجِيْلاَ # كَادَالْمُعَلِّمُ اَنْ يَكُوْنَ رَسُوْلاً. [29]
Berdiri dan hormatilah guru dan berilah penghargaan, seorang guru itu hampir saja merupakan seorang Rasul.
4) Akhlak terhadap tetangga dan masyarakat
Pentingnya akhlak tidak terbatas pada perorangan saja, tetapi penting untuk bertetangga, masyarakat, umat dan kemanusiaan seluruhnya. Di antaranya akhlak terhadap tetangga dan masyarakat adalah saling tolong menolong, saling menghormati, persaudaraan, pemurah, penyantun, menepati janji, berkata sopan dan berlaku adil. Allah SWT berfiman dalam al-Qur’an Q.S. 5/Al-Maaidah : 2 :
وَتَعَاوَنُوْاعَلَىالْبِرِّ وَالتَّقْوَىصوَلاَتَعَاوَنُوْا عَلَى اْلاِثْمِ وَالْعُدْوانِص وَاتَّقُوا اللهَ ط اِنَّ اللهَ شَدِيْدُالْعِقَابِ.
Dan tolonglah menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa dan janganlah tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertaqwalah kamu kepada Allah,sesungguhnya Allah amat berat siksanya. (Q.S. Al-Maaidah : 2)[30]
c. Akhlak Terhadap Lingkungan
Yang dimaksud dengan lingkungan di sini adalah segala sesuatu yang berada di sekitar manusia, baik binatang, tumbuh-tumbuhan, maupun benda-benda tidak bernyawa. Pada dasarnya, akhlak yang diajarkan Al-Qur’an terhadap lingkungan bersumber dari fungsi manusia sebagai khalifah.
Binatang, tumbuhan, dan benda-benda tidak bernyawa semuanya diciptakan oleh SWT., dan menjadi milik-Nya, serta semua memiliki ketergantungan kepada-Nya. Keyakinan ini mengantarkan sang muslim untuk menyadari bahwa semuanya adalah “umat” Tuhan yang seharusnya diperlakukan secara wajar dan baik, seperti firman Allah SWT dalam Q.S. 6/Al-An’aam : 38 :
وَمَامِنْ دَآ بَّةٍ فىِ اْلاَرْضِ ولاَ طَئِرٍ يَّطِيْرُ بِجَنَا حَيْهِ اِلاَّ اُمَمٌ اَمْثَالُكُمْ ط مَافَرَطْنَا فىِ الْكِتبِ مِن شَيْئٍ ثُمَّ اِلى رَبِّهِمْ يُحْشَرُوْنَ.
Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat-umat (juga) seperti kamu. Tiadalah kami alpakan sesuatupun di dalam Al Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan.(Q.S. Al-An’aam : 38)[31]
4. METODE PENDIDIKAN AKHLAK
Dalam buku Daur al-Bait fi Tarbiyah ath-Thifl al-Muslim, karangan Khatib Ahmad Santhut yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, membagi metode pendidikan moral/akhlak ke dalam 5 bagian, di antaranya adalah :[32]
a. Keteladanan
Metode ini merupakan metode terbaik dalam pendidikan akhlak. Keteladanan selalu menuntut sikap yang konsisten serta kontinyu, baik dalam perbuatan maupun budi pekerti yang luhur.
b. Dengan memberikan tuntunan
Yang dimaksud di sini adalah dengan memberikan hukuman atas perbuatan anak atau perbuatan orang lain yang berlangsung di hadapannya, baik itu perbuatan terpuji atau tidak terpuji menurut pandangan al-Qur’an dan Sunnah.
c. Dengan kisah-kisah sejarah
Islam memperhatikan kecenderungan alami manusia untuk mendengarkan kisah-kisah sejarah. Di antaranya adalah kisah-kisah para Nabi, kisah orang yang durhaka terhadap risalah kenabian serta balasan yang ditimpakan kepada mereka. al-Qur’an telah menggunakan kisah untuk segala aspek pendidikan termasuk juga pendidikan akhlak.
d. Memberikan dorongan dan menanamkan rasa takut (pada Allah)
Tuntunan yang disertai motivasi dan menakut-nakuti yang disandarkan pada keteladanan yang baik mendorong anak untuk menyerap perbuatan-perbuatan terpuji, bahkan akan menjadi perwatakannya.
e. Memupuk hati nurani
Pendidikan akhlak tidak dapat mencapai sasarannya tanpa disertai pemupukan hati nurani yang merupakan kekuatan dari dalam manusia, yang dapat menilai baik buruk suatu perbuatan. Bila hati nurani merasakan senang terhadap perbuatan tersebut, dia akan merespon dengan baik, bila hati nurani merasakan sakit dan menyesal terhadap suatu perbuatan, ia pun akan merespon dengan buruk.
Menurut Ahmad D. Marimba, ada 3 metode dalam pendidikan akhlak, yaitu :[33]
a. Dengan pembiasaan
Tujuannya adalah agar cara-cara yang dilakukan dengan tepat, terutama membentuk aspek kejasmanian dari kepribadian atau memberi kecakapan berbuat dan mengucapkan sesuatu.
b. Dengan pembentukan pengertian, minat dan sikap
Dengan diberikan pengetahuan dan pengertian
c. Pembentukan kerohanian yang luhur
5. MATERI PENDIDIKAN AKHLAK
Mengenai materi akhlak dapat dikelompokkan menjadi beberapa kelompok, di antaranya yaitu :
a. Akhlak Mahmudah
Menurut Al-Ghazali, berakhlak mulia dan terpuji artinya “menghilangkan semua adat kebiasaan yang tercela yang sudah digariskan dalam agama Islam serta menjauhkan diri dari perbuatan tercela tersebut, kemudian membiasakan adat kebiasaan yang baik, melakukannya dan mencintainya.[34]
Akhlak yang terpuji dibagi menjadi dua bagian, yaitu :[35]
1) Taat Lahir
Taat lahir berarti melakukan seluruh amal ibadah yang diwajibkan Tuhan, termasuk berbuat baik kepada sesama manusia dan lingkungan dan dikerjakan oleh anggota lahir. Beberapa perbuatan yang dikategorikan taat lahir adalah :
a) Tobat
Menurut para sufi adalah fase awal perjalanan menuju Allah (taqarrub ila Allah). Tobat dikategorikan taat lahir dilihat dari sikap dan tingkah laku seseorang. Namun, sifat penyesalannya merupakan taat batin.
b) Amar Ma’ruf dan Nahi Mungkar
Yaitu perbuatan yang dilakukan kepda manusia untuk menjalankan kebaikan dan meninggalkan kemaksiatan.
c) Syukur
Yaitu berterima kasih pada nikmat yang dianugerahkan Allah kepada manusia dan seluruh makhluk-Nya.
2) Taat Batin
Taat batin adalah segala sifat yangbaik, yang terpuji yang dilakukan oleh anggota batin (hati). Beberapa perbuatan yang dikategorikan taat batin adalah :
a) Tawakal
Yaitu berserah diri sepenuhnya kepada Allah dalam menghadapi, menanti atau menunggu hasil pekerjaan.
b) Sabar
Dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu sabar dalam beribadah, sabar ketika dilanda malapetaka, sabar terhadap kehidupan dunia, sabar terhadap maksiat, sabar dalam perjuangan.
c) Qanaah
Yaitu merasa cukup dan rela dengan pemberian yang dianugerahkan oleh Allah.
b. Akhlak madzmumah
Menurut Imam Al-Ghazali, akhlak madzmumah atau akhlak tercela ini dikenal dengan sifat-sifat muhlikat, yakni segala tingkah laku manusia yang dapat membawanya kepada kebinasaan dan kehancuran diri, yang bertentangan dengan fitrahnya untuk selalu mengarah kepada kebaikan.
Pada dasarnya, sifat dan perbiatan yang tercela dibagi menjadi dua bagian, yaitu :[36]
1) Maksiat Lahir
Yaitu pelanggaran oleh orang yang berakal baligh (mukallaf), karena melakukan perbuatan yang dilarang dan meninggalkan pekerjaan yang diwajibkan oleh syariat Islam. Maksiat lahir dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu :
a) Maksiat mata
Seperti melihat aurat wanita yang bukan muhrimnya, melihat aurat laki-laki yang muhrimnya, melihat orang lain dengan gaya menghina dan melihat kemungkaran tanpa beramar ma’ruf nahi mungkar.
b) Maksiat telinga
Seperti mendengarkan pembicaraan orang lain, mendengarkan orang yang sedang mengumpat, mendengarkan orang yang sedang namimah, mendengarkan nyanyian-nyanyian atau bunyi-bunyian yang dapat melalaikan ibadah kepada Allah SWT, mendengarkan umpatan, caci maki, perkataan kotor dan ucapan-ucapan yang jahat.
c) Maksiat lisan
Seperti berkata-kata yang tidak bermanfaat, berlebih-lebihan dalam percakapan, berbicara hal yang batil, berkata kotor, mencaci maki atau mengucapkan kata laknat, baik kepada manusia, binatang, maupun kepada benda-benda lainnya, menghina, menertawakan, atau merendahkan orang lain, berkata dusta, dan lain sebagainya.
d) Maksiat perut
Seperti memasukkan makanan yang haram dan syubhat, kekenyangan, makan dari harta milik orang lain yang belum jelas (yang diambil dari harta wakaf tanpa ada ketentuan untuk itu dari orang yang memberikan wakaf)
e) Maksiat farji (kemaluan)
Seperti tidak menjaga auratnya (kehormatan) dengan melakukan perbuatan yang haram, dan tidak menjaga kemaluannya.
f) Maksiat tangan
Seperti menggunakan tangan untuk mencuri, merampok, mencopet, merampas, mengurangi timbangan, memukul sesama kaum muslim dan menulis sesuatu yang diharamkan membacanya.
g) Maksiat kaki
Seperti jugalah kaki jangan sampai ke tempat-tempat yang haraf. Hendaklah dijaga dan dipelihara dari segala macam langkah yang salah dan janganlah dipakai untuk berjalan menuju ke tempat raja yang dzalim itu tanpa alasan yang sah akan mendorong terjadinya kemaksiatan yang besar.[37]
2) Maksiat batin
Beberapa contoh penyakit batin (akhlak tercela) adalah :[38]
a) Marah (ghadab)
Dapat dikatakan seperti nyala api yang terpendam di dalam hati, sebagai salah satu hasil godaan setan pada manusia.
b) Dongkol (hiqd)
Perasaan jengkel yang ada di dalam hati, atau buah dari kemasahan yang tidak tersalurkan.
c) Dengki (hasad)
Penyakit hati yang ditimbulkan kebencian, iri, dan ambisi.
d) Sombong (takabur)
Perasaan yang terdapat di dalam hati seseorang, bahwa dirinya hebat dan mempunyai kelebihan.


[1] M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 2000), hlm. 1.
[2] Jalaluddin, Teologi Pendidikan,(Jakarta ; PT. Raja Grafindo Persada, 2001), hlm. 51.
[3] Zuhairini, dkk., Metodologi Pendidikan Agama, (Bandung : Ramadhani, 1993), hlm. 9.
[4] Departemen Agama Republiik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang : PT. Kumudasmoro Grafindo, 1994), hlm. 428.
[5] Frederic J. Mc. Donald, Educational Psychology, (San Francisco, Wadsworth Publishing Company Inc., 1959), hlm. 4.
[6] Nelson B. Henry, Philosophies of Education, (The United States of America : The University, 1962), hlm. 205.
[7] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1994), hlm. 15.
[8] Rahmat Djatnika, Sistem Ethika Islami (Akhlak Mulia), (Jakarta : Balai Pustaka, 1994), hlm. 26.
[9] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1997), hlm. 5.
[10] Elizabeth B. Hurlock, Child Development,Edisi IV, (Kugllehisa, Mc. Grow Hill, 1978), hlm. 386.
[11] Imam Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin Juz III, (Beirut : Dar Ihya al-Kutub al-Ilmiyah, t.th.), hlm. 58.
[12] Muhammad Abul Quasem, Kamil, , Etika Al-Ghazali, “Etika Majemuk Di Dalam Islam, terj. J. Muhyidin, (Bandung : Pustaka, 1975), hlm. 81-82.
[13] Raharjo, dkk., Pemikiran Pendidikan Islam, Kajian Tokoh Klasik dan Kontemporer, (Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 63.
[14] Departemen Agama Republik Indonesia, op.cit., hlm. 670.
[15] Ibid., hlm. 960.
[16] Al Imam Ahmad bin Hambal, Musnad Juz II, (Beirut : Darul Kutub al Ilmiyah, t.th.), hlm. 504.
[17] Barnawy Umari, Materi Akhlak, (Sala : Ramadhani, 1984), hlm. 2.
[18] M. Ali Hasan, Tuntunan Akhlak, (Jakarta : Bulan Bintang, 1988), hlm. 11.
[19] Chabib Thoha, Saifudin Zuhri, dkk., Metodologi Pengajaran Agama, (Fakultas Tarbiyah,Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 136.
[20] Muhammad ‘Athiyyah Al-Abrasyi, Prinsip-Prinsip Dasar Pendidikan, (Bandung : Pustaka Setia, 2003), hlm. 114.
[21] Ahmad Amin, Etika (Ilmu Akhlak), terj. K.H. Farid Ma’ruf, (Jakarta : Bulan Bintang, 1975), hlm. 6-7.
[22] M. Daud Ali, Pendidikan Agama Islam, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2000), hlm. 352.
[23] Abudin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1997), hlm. 148.
[24] Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya,(Semarang : PT. Kumudasmoro Grafindo, 1994), hlm. 862.
[25] Ibid.,hlm. 128.
[26] Ibid., hlm. 526.
[27] Ibid., hlm. 132.
[28] Ibid., hlm. 427.
[29] M.Athiyah al-Abrasyi, Op.Cit., hlm. 136.
[30] Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya,(Semarang : PT. Kumudasmoro Grafindo, 1994), hlm. 157.
[31] Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang : PT. Kumudasmoro Grafindo, 1994), hlm. 192.
[32] Khatib Ahmad Santhut, Daur al-Bait fi Tarbiyah ath-Thifl al-Muslim, terj. Ibnu Burdah, “Menumbuhkan Sikap Sosial, Moral dan Spiritual Anak dalam Keluarga Muslim, (Yogyakarta : Mitra Pustaka, 1998), hlm. 85-95.
[33] Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung : Al-Ma’arif, 1989), hlm. 76-81.
[34] Zahruddin AR dan Hasanuddin Sinaga, Pengantar Studi Akhlak, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 158.
[35] Ibid.,hlm. 159-160.
[36] Ibid., hlm. 155.
[37] Imam Al-Ghazali, Pedoman Amaliah Ibadat,(Semarang : CV.Wicaksana, 1989), hlm.113-117.
[38] Zahruddin AR dan Hasanuddin Sinaga, Op.Cit., hlm. 156-157.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar