Senin, 06 Juni 2011

Dalil-Dalil Naqli Filsafat Pendidikan Islam

Salah satu cabang ilmu filsafat diantaranya adalah Filsafat Pendidikan Islam. Tidak dipungkiri bahwa filsafat sebagai pandangan hidup erat kaitannya dengan nilai sesuatu yang dianggap benar. Jika filsafat itu dijadikan pandangan hidup oleh suatu masyarakat atau bangsa, maka mereka berusaha untuk mewujudkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan yang nyata. Di sinilah filsafat sebagai pandangan hidup difungsikan sebagai tolak ukur bagi nilai-nilai tentang kebenaran yang harus dicapai.
Terdapat hubungan timbal balik antara sistem pendidikan dengan falsafat hidup. Falsafat hidup yang diyakini sebagai sesuatu yang dianggap benar, pada tahap awal dan pada dasarnya merupakan suatu konsep pemikiran yang menjadi dasar dan tujuan yang dicita-citakan. Adapun Islam, sebagai suatu konsep ajaran yang diyakini memiliki nilai-nilai tentang kebenaran oleh penganutnya pada dasarnya merupakan filsafat dan pandangan hidup mereka. Lebih jauh sebagai konsep ilahiyat ajaran Islam menurut pandangan muslim mengandung kebenaran yang hakiki.

Sistem pendidikan Islam baru dapat dinilai Islami, hanyalah kalau secara serasi dan konsisten dapat diwujudkan sesuai dengan konsep ajaran al-Qur’an dan al-Hadits yang menjadi dasar dan tujuan hidup muslim. Adanya hubungan timbal ini menyebabkan sistem pendidikan Islam tak mungkin dipisahkan dengan filsafat dan pandangan hidup muslim itu sendiri. Dengan demikian sistem pendidikan sebagai bagian dari tatanan kehidupan yang dicita-citakan itu, pada hakikatnya tak mungkin lepas dari keterkaitannya dengan ajaran Islam.
Kajian filsafat pendidikan yang penting untuk dipahami adalah mengenai perbedaan antara filsafat pendidikan Islam dan filsafat pendidikan lainnya. Setidaknya terdapat 11 perbedaan antara filsafat pendidikan Islam dengan filsafat pendidikan lainnya (barat). Sebagaimana yang kita ketahui bahwasanya filsafat pendidikan Islam bersumber dari al-Qur’an, al-Hadits dan juga perkataan para ulama yang berdasarkan al-Qur’an maupun al-Hadits. Dengan begitu ke sebelas perbedaan antara filsafat pendidikan Islam dan filsafat pendidikan barat tentulah tidak lepas dari dalil-dalil naqli (khususnya filsafat pendidikan Islam).
Berikut ini adalah dalil-dalil naqli dari 11 perbedaan tersebut, ditinjau dari filsafat pendidikan Islam sebagai berikut:
1. Bersifat theosentris (berkisar sekitar Tuhan)
Kita belajar atau mengajar itu harus lillahi ta’ala dengan niat yang ikhlas. Thalabul ilmi lil’ibadah yang mana implikasinya adalah surga dan neraka. Dalam filsafat pendidikan islam ini dipercayai adanya barokah.
“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar”. (Q.S. Luqman: 13)
2. Berdasarkan wahyu (al Qur’an, Hadits dan pemikiran ulama yang didasarkan pada al Qur’an dan Hadits)
Sebagaimana firman Allah:
“Kitab (Al Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa”(Q.S.al-Baqoroh:2)
Al-Qur’an adalah suatu formula, di dalamnya terdapat sains yang perlu dipikirkan oleh manusia. Sebagaimana firman Allah:
“Kalau Sekiranya Kami turunkan Al-Quran ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan ketakutannya kepada Allah. dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia supaya mereka berfikir.” (Q.S. Al-Hasyr: 21)
3. Meyakini adanya yang ghoib
Bukan hanya sekedar mengajarkan yang ghoib, tetapi juga bagaimana cara meyakininya, begitu juga kontekstualisasi materi yang tidak ghoib dengan nilai-nilai ghaibiyah-Nya (nilai-nilai ke-Esa-an Allah).
“Berkata Sulaiman: “Hai pembesar-pembesar, siapakah di antara kamu sekalian yang sanggup membawa singgasananya kepadaku sebelum mereka datang kepadaku sebagai orang-orang yang berserah diri”.
Berkata ‘Ifrit (yang cerdik) dari golongan jin: “Aku akan datang kepadamu dengan membawa singgsana itu kepadamu sebelum kamu berdiri dari tempat dudukmu; Sesungguhnya aku benar-benar kuat untuk membawanya lagi dapat dipercaya”.
Berkatalah seorang yang mempunyai ilmu dari AI Kitab: “Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip”. Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana itu terletak di hadapannya, ia pun berkata: “Ini Termasuk kurnia Tuhanku untuk mencoba aku Apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan nikmat-Nya). dan Barangsiapa yang bersyukur Maka Sesungguhnya Dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan Barangsiapa yang ingkar, Maka Sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia”.” (Q.S. An-Naml: 38 – 40)
Pekerjaan memindahkan singgasana dari satu negeri ke negeri yang lain dalam waktu lebih cepat dari sekejap mata disebutkan oleh Al-Qur’an bukan sebagai suatu perbuatan sihir, kekuatan Jin, atau mukjizat seorang Nabi, melainkan perbuatan seseorang karena ilmu yang dimilikinya. Ini merupakan bukti bahwa dengan ilmu manusia mampu menundukkan banyak kekuatan alam.
Ilmu modern pun telah mampu memindahkan suara melalui gelombang, lalu berkembang sehingga mampu memindahkan gambar visual. Dan Al-Qur’an Al-Karim cukup memotivasi orang untuk berpikir. Al-Qur’an tidak perlu mengemukakan teori, cara atau sarananya. Al-Qur’an cukup hanya menunjukkan kunci-kunci ma’rifah dan rahasia alam, serta mendorong kita untuk terus menerus meneliti serta mengkajinya.
4. Belajar mengajar adalah sama dengan ibadah, dan selalu dikaitkan dengan pengabdian kepada Tuhan
Belajar haruslah jisman, ruhan dan do’a. Dengan kata lain dia adalah orang yang benar-benar khidmad dalam beribadah kepada Allah.
“Katakanlah: “Berjalanlah di (muka) bumi, Maka perhatikanlah bagaimana Allah menciptakan (manusia) dari permulaannya, kemudian Allah menjadikannya sekali lagi. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (Q.S. Ankabut: 20)
Dari ayat di atas, dapat dikatahui bahwa jika kita belajar dengan sungguh-sungguh maka bisa mendekatkan diri kita pada Allah. Allah memerintahkan untuk:
a. Melakukan perjalanan, dengannya seseorang akan menemukan banyak pelajaran berharga baik melalui ciptaan Allah yang terhampar dan beraneka ragam, maupun dari peninggalan lama yang masih tersisa puing-puingnya.
b. Melakukan pembelajaran, penelitian, dan percobaan (eksperimen) dengan menggunakan akalnya untuk sampai kepada kesimpulan bahwa tidak ada yang kekal di dunia ini, dan bahwa di balik peristiwa dan ciptaan itu, wujud satu kekuatan dan kekuasaan Yang Maha Besar.
5. Meyakini adanya kehidupan sebelum dan sesudah mati.
Belajar tidak hanya untuk kehidupan ketika hidup saja, tetapi juga untuk kehidupan sesudah mati.
“(yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka.
Dan mereka yang beriman kepada kitab (Al Quran) yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-Kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat.
Mereka Itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhan mereka, dan merekalah orang-orang yang beruntung.” (Q.S. Al-Baqarah: 3 – 5)
6. Di dalam pendidikan terdapat pahala dan dosa
Segala sesuatu yang dilakukan oleh manusia pasti mendapat balasan dari Allah. Begitu juga dalam proses belajar mengajar, segala sesuatunya akan dibalas baik berupa pahala maupun dosa. Sesuai dengan firman Allah:
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (Q.S. Al-Israa’: 36)
7. Akal dan ilmu manusia terbatas, yang tidak terbatas ialah ilmu Tuhan
Akal dan ilmu manusia bisa berkembang tetapi tetap ada batasnya.
Allah berfirman:
“Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: “Roh itu Termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit”.(Q.S.Al-Isra’:85)
Sedangkan ilmunya Allah tiada terbatas dan merupakan kebenaran yang hakiki. Hal tersebut tertuang dalam al-Qur’an:
“Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu Termasuk orang-orang yang ragu.”(Q.S.al-Baqoroh:147)
“Sesungguhnya aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan?”(Q.S.al-Baqoroh:33)
8. Akal dan ilmu terikat oleh norma dan nilai
Tegaknya dakwah kepada keimanan berdasarkan kepuasan (kemantapan) akal. Artinya, keimanan tidak berarti mematikan akal, bahkan Islam menyuruh akal untuk beramal pada bidangnya sehingga mendukung kekuatan iman dan tidak ada ajaran manapun yang memuliakan akal sebagaimana Islam memuliakannya, tidak menyepelekan dan tidak pula berlebihan. Sedangkan yang dilakukan para pengkultus akal yang mereka beritikad memuliakan akal, pada hakikatnya mereka justru menghinakan akal serta menyiksanya karena mambebani akal dengan sesuatu yang tidak mampu.
Walaupun akal dimuliakan tapi kita menyadari bahwa akal adalah sesuatu yang berada dalam jasmani makhluk. Maka ia sebagaimana makhluk yang lain, memiliki sifat lemah dan keterbatasan. Al Imam As-Safarini rahimahullah berkata: “Allah Ta’ala menciptakan akal dan memberinya kekuatan adalah untuk berpikir dan Allah Ta’ala menjadikan padanya batas yang ia harus berhenti padanya dari sisi berfikirnya bukan dari sisi ia menerima karunia Ilahi. Jika akal menggunakan daya pikirnya pada lingkup dan batasnya serta memaksimalkan pengkajiannya, ia akan tepat (menentukan) dengan ijin Allah. Tetapi jika ia menggunakan akalnya di luar lingkup dan batasnya yang Allah Ta’ala telah tetapkan maka ia akan membabi buta…” (Lawami’ul Anwar Al-Bahiyyah, hal. 1105)
Untuk itu kita perlu mengetahui di mana sesungguhnya bidangnya akal. Intinya bahwa akal tidak mampu menjangkau perkara-perkara ghaib di balik alam nyata yang kita saksikan ini, seperti pengetahuan tentang Allah Ta’ala dan sifat-sifat-Nya, arwah, surga dan neraka yang semua itu hanya dapat diketahui melalui wahyu.
Nabi SAW bersabda:
رُوْا فِيْ اللهِ عَزَّ وَجَلَّتَفَكَّرُوْا فِيْ أَلاَءِ اللهِ وَلاَ تَفَكَّ
“Berpikirlah pada makhluk-makhluk Allah dan jangan berpikir pada Dzat Allah.” (HR. Ath-Thabrani, Al-Lalikai dan Al-Baihaqi dari Ibnu ‘Umar, lihat Ash-Shahihah no. 1788 dan Asy-Syaikh Al-Albani menghasankannya)
               
“Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: “Roh itu Termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit”. (Q.S. Al-Israa’: 85)
Oleh karenanya, akal diperintahkan untuk pasrah dan mengamalkan perintah syariat meskipun ia tidak mengetahui hikmah di balik perintah itu. Karena, tidak semua hikmah dan sebab di balik hukum syariat bisa manusia ketahui. Yang terjadi, justru terlalu banyak hal yang tidak manusia ketahui sehingga akal wajib tunduk kepada syariat.
Diumpamakan oleh para ulama bahwa kedudukan antara akal dengan syariat bagaikan kedudukan seorang awam dengan seorang mujtahid. Ketika ada seseorang yang ingin meminta fatwa dan tidak tahu mujtahid yang berfatwa (tidak tahu harus ke mana minta fatwa), maka orang awam itu pun menunjukkannya kepada mujtahid. Setelah mendapat fatwa, terjadi perbedaan pendapat antara mujtahid yang berfatwa dengan orang awam yang tadi menunjuki orang tersebut. Tentunya bagi yang meminta fatwa harus mengambil pendapat sang mujtahid yang berfatwa dan tidak mengambil pendapat orang awam tersebut karena orang awam itu telah mengakui keilmuan sang mujtahid dan bahwa dia (mujtahid) lebih tahu (lebih berilmu). (Lihat Syarh Aqidah Ath-Thahawiyah hal. 201)
Al-Imam Az-Zuhri rahimahullah mengatakan: “Risalah datang dari Allah, kewajiban Rasul menyampaikan dan kewajiban kita menerima.” (Syarh Al-’Aqidah Ath-Thahawiyah hal. 201)
Orang yang menggunakan akal tidak pada tempatnya, berarti ia telah menyalahgunakan dan melakukan kezaliman terhadap akalnya. Sesungguhnya madzhab filasafat dan ahli kalam yang ingin memuliakan akal dan mengangkatnya –demikian perkataan mereka– belum dan sama sekali tidak akan mencapai sepersepuluh dari sepersepuluh apa yang telah dicapai Islam dalam memuliakan akal -ini jika kita tidak mengatakan mereka telah berbuat jahat dengan sejahat-jahatnya terhadap akal. Di mana ia memaksakan akal masuk ke tempat yang tidak mungkin mendapatkan jalan ke sana. (Minhajul Istidlal, dinukil dari Al-’Aqlaniyyun hal. 21)
9. Terdapat hak-hak Tuhan dan manusia lainnya terhadap ilmu yang dimiliki oleh seseorang
Ilmu yang berhubungan dengan hak Tuhan yaitu ilmu untuk diterangkan , sedangkan yang berhubungan dengan hak manusia yaitu untuk mendapatkan manfaat dari ilmu itu. Firman Allah:


“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (Q.S.at-Tahrim:6)
“Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.”(Q.S.at-Taubah:122)
Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ اَرَادَ الدَّ نْيَا فَعَلَيْهِ بِالْعِلْمِ وَ مَنْ اَرَادَ الأَخِرَةَ فَعَلَيْهِ بِالْعِلْمِ وَ مَنْ اَرَادَ هُمَا فَعَلَيْهِ بِالْعِلْمِ
“Barangsiapa menghendaki hidup (kebaikan) di dunia maka kepadanya dengan ilmu dan barangsiapa menghendaki kehidupan (baik) di akherat maka dengan ilmu dan barangsiap menghendaki keduanya maka juga dengan ilmu” (HR. Bukhari dan Muslim)
10. Tujuan pendidikan adalah terbentuknya Insan Kamil
Insan kamil adalah manusia yang faham dan bisa mengaplikasikan hablum minalllah dan hablum minannas. Sehingga mendapatkan kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Sebagimana firman Allah:
“Dan di antara mereka ada orang yang bendoa: “Ya Tuhan Kami, berilah Kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah Kami dari siksa neraka” (Q.S.al-Baqoroh:201)
Tujuan akhir ini hanya mungkin dapat tercapai bila tahap sebelumnya dapat diterapkan, yaitu menempatkan manusia dalam kehidupannya sebagai pengabdi yang setia kepada Allah. Sebagaimana firman Allah:
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepadaKu”.(Q.S. Adz-Dzariyaat:56)
Dan juga melalui tahap penempatan dirinya sebagai khalifah Allah dimuka bumi sesuai dengan fitrah kejadiannya. Firman Allah:
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: “Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”(Q.S.al-Baqoroh:30)
“Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia.”(Q.S.Ali Imron:112)
11. Evaluasi oleh diri sendiri dan Tuhan.
Rangkaian akhir dari komponen suatu sistem pendidikan yang penting adalah penilaian (evaluasi). Filsafat pendidikan Islam meyakini bahwa evaluasi suatu pendidikan dilaksanakan oleh pribadi dan Allah.
“Dan Dia mengajarkan kepada Adam Nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada Para Malaikat lalu berfirman: “Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang benar orang-orang yang benar!” (Q.S. Al-Baqarah: 31)
Proses pendidikan terhadap manusia terjadi pertama kali ketika Allah SWT selesai menciptakan Nabi Adam as, lalu Allah SWT mengumpulkan tiga golongan makhluk yang diciptakan-Nya untuk diadakan Proses Belajar Mengajar (PBM). Tiga golongan mahluk ciptaan Allah dimaksud yaitu Jin, Malaikat, dan Manusia (Adam as) sebagai ‘peserta didik’, sedangkan Allah SWT bertindak sebagai ‘pendidik’. Setelah selesai PBM maka Allah SWT mengadakan evaluasi kepada seluruh jin, malaikat, dan manusia dengan cara bertanya dan menyuruh menjelaskan seluruh materi pelajaran yang diberikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar