Selasa, 07 Juni 2011

MAHSANAH-MAHSANAH SYARI’AT ISLAM

A. Pendahuluan
Di balik hukum-hukum dan kewajiban-kewajiban syari’at yang telah ditetapkan oleh Allah SWT kepada kita, terkandung rahasia-rahasia yang mendalam dan hikmah-hikmah yang menakjubkan, yang semuanya mencengangkan akal pikiran dan memuaskan batin manusia.
Syari’at Islam mempunyai beberapa mahsanah (keindahan) yang menyebabkan hukum Islam menjadi hukum yang paling kaya, dan dapat memenuhi hajat manusia serta menjamin ketenangan dan kebahagiaan masyarakat.
Syari’at Tuhan Yang Mahatinggi lagi Mahakuasa itu tidak hanya seperangkat aturan yang menjadi sarana untuk ber-ubudiah semata, yang kita hanya diwajibkan untuk menjalankannya dengan sebaik-baiknya tanpa harus mencari hikmah yang terkandung di dalamnya. Ia adalah kumpulan semua kebajikan yang sangat banyak pintunya dan amat beragam jenisnya, di samping memiliki kaifiyat-kaifiyat tersendiri dalam menunaikannya.

B. Subtansi Kajian
Hukum Islam mempunyai beberapa mahsanah (keindahan) yang menyebabkan hukum Islam menjadi hukum yang paling kaya, dan dapat memenuhi hajat manusia serta menjamin ketenangan dan kebahagiaan masyarakat.
Syariat Islam yang mulia ini telah diturunkan oleh Allah sesuai dengan fitrah manusia. Tidak ada satu pun manusia di muka bumi ini yang tidak dapat menjalankan syariat Islam. Sedangkan keindahan itu apabila dipraktekkan bersama ajaran-ajaran Islam lain nicaya akan membentuk suatu umat yang ideal yang padanya terkumpul segala unsur kekuatan yang adil, keteguhan dan kehidupan yang baik serta kemajuan yang utama.
Di antara bukti bahwa indahnya syariat Islam adalah bahwa tidak adanya bahaya dalam syariat Islam dan Islam mengatur para pemeluknya untuk tidak menimbulkan bahaya pada orang lain. Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh Rasulullah SAW bahwa beliau bersabda yang artinya, “Tidak ada bahaya (Dhororo) dalam syariat Islam dan tidak menimbulkan bahaya (Dhirooro).” (HR. Ibnu Majah, Daruquthni, Malik dan Hakim, Shohih). Di antara mahsanah-mahsanah tersebut adalah:

a) Hukum Keseimbangan
Dalam hukum Islam terdapat keseimbangan atau perimbangan dimana keseimbangan itu dapat menggugah jiwa manusia untuk melaksanakan hukum itu. Dalam Surat Ar-Rahman ayat 7-9 Allah SWT berfirman
Surat Ar-Rahman:7-9
             
Artinya: “Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca itu (keadilan), supaya kamu jangan melampaui batas tentang neraca itu, dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu.” (QS. Ar-Rahman: 7-9)

Pada ayat tersebut, hukum keseimbangan tidak hanya berlaku pada hukum alam (sunnatullah), tetapi juga terjadi pada hukum Islam. Adapun keseimbangan dalam hukum Islam adalah sebagai berikut:
1. Keseimbangan dalam ahkamul khamsah (hukum yang lima). Rasulullah SAW bersabda, yang artinya:
“Sesungguhnya yang halal itu jelas dan harampun juga jelas.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Abdillah an-Nu’man).
2. Hukum keseimbangan dalam rukhshah dan azimah. Menurut az-Zuhaili, ditetapkan hukum rukhshah adalah sebagai keseimbangan atau perbandingan dengan kaum azimah.
3. Hukum Islam tidak hanya memprioritaskan formalitas (syari’ah) tetapi juga memprioritaskan subtansial (haqiqah).
Ahmad al-Khamsyakhanuwi an-Nakhsyabandi berkata “syari’ah itu apa yang diperintahkan dan hakekat itu apa yang dipahami syari’ah terpilih menjadi satu dengan hakekat, dan hakekat menjadi satu dengan syari’at.” Sedang Anas bin Malik berkata “Barang siapa berfiqh tanpa tasawuf maka ia termasuk fasiq tetapi barang siapa bertasawuf tanpa fiqh maka ia zindiq dan barang siapa memilih kedua-duanya dialah yang dinamakan mutahaqqih (ahli hakekat).”
4. Tuntutan kewajiban dalam hukum Islam seimbang dengan tuntutan hak yang diperoleh, sehingga Allah SWT tidak menyia-nyiakan semua amalan manusia. Allah SWT berfirman:

Surat Al-Fatihah : 5
   
Artinya:“Hanya kepada Engkaulah kami menyembah, dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan.” (QS. Al-Fatihah: 5)

Dan firman allah SWT:
Surat Az-Zalzalah: 7-8
           
Artinya:“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya. Dan Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan seberat dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya pula.” (QS. Az Zalzalah:7-8)
5. Tuntutan taklif seimbang dengan kemampuan mukallaf. Allah SWT berfirman dalam :
Surat Al-Baqarah: 286
                                            •          
Artinya: “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (mereka berdoa): ‘Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau hukum Kami jika Kami lupa atau Kami tersalah. Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau bebankan kepada Kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau pikulkan kepada Kami apa yang tak sanggup Kami memikulnya. beri ma'aflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah penolong Kami, Maka tolonglah Kami terhadap kaum yang kafir.” (QS. Al-Baqarah: 286)
6. Kelapangan dalam kesempitan hukum Islam seimbang dengan kesempitan dalam kelapangannya.

Sebagaimana yang telah kita ketahui bersama, syariat Islam merupakan syariat yang paling sempurna, mulia dan merupakan petunjuk yang paling komprehensif. Ia merupakan syariat Allah yang menjadi penutup terhadap syariat-syariat langit sebelumnya. Oleh karena itu, syariat Islam bersifat abadi sehingga Allah mewariskan bumi dan isinya. Syariat Islam akan berlaku terus menerus, kuat dan kokoh sistemnya. Syariat Islam mampu memenuhi tuntutan kehidupan manusia, baik secara personal-individual maupun kolektif sosial.

b) Hukum kausalitas (sebab akibat)
Setiap perbuatan manusia tidak lepas dari khitap taklifi, baik yang bernilai positif maupun yang berniali negatif. Hukum kausalitas dalam hukum Islam bertujuan untuk memberikan motivasi dan penghargaan bagi mukallaf yang melaksanakan taklif dan memberikan peringtan bagi mukallaf yang melanggarnya. Allah SWT berfirman:
Surat Fusshilat :46
•            
Artinya: “Barangsiapa yang mengerjakan amal yang saleh Maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri dan Barangsiapa mengerjakan perbuatan jahat, Maka (dosanya) untuk dirinya sendiri; dan sekali-kali tidaklah Tuhanmu Menganiaya hamba-hambaNya.” (QS. Fusshilat : 46)
Di antara kausalitas dalam hukum Islam adalah sebagai berikut:
7. Pelanggaran terhadap memelihara agama seperti murtad, maka dikenakan hukum bunuh. Hadits Nabi SAW yang artinya:
“Tidak halal darah seorang muslim kecuali disebabkan salah satu dari tiga ini, pezina yang sudah pernah nikah, jiwa dengan jiwa, dan orang yang meninggalkan agamanya yang menyendiri dari orang banyak.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Ibnu Mas’ud).
8. Pelanggaran terhadap memelihara jiwa dikenakan hukum bunuh, yakni qishash.
9. Pelanggaran terhadap memelihara akal seperti minum khamr, narkoba, dan sejenisnya dikenakan hukum cambuk. Hadits Nabi SAW yang artinya:
“Nabi SAW didatangkan seorang laki-laki yang minum khamr maka ia dicambuk dengan dua pelepah kurma sebanyak empat puluh kali.” (HR. Anas bin Malik).
10. Pelanggaran terhadap memelihara keluarga, seperti zina maka dikenakan hukum cambuk atau rajam. Firman Allah SWT :
Surat An-Nuur: 2
• •  •     ……
Artinya: “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera….” (QS. An-Nuur: 2)
11. Pelanggaran terhadap memelihara kehormatan atau harta benda maka diberikan dosa besar, seperti aplikasi harta riba.
12. Banyak tidaknya karunia Tuhan ditentukan oleh kreativitas manusia. Allah SWT berfirman:
Surat An-Najm: 39-40
      •   
Artinya: “Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya. Dan bahwasanya usaha itu kelak akan diperlihat (kepadanya).” (QS. An Najm: 39-40)
Karena itu Allah SWT tidak menyia-nyiakan amalan manusia, semakin banyak amalan manusia semakin banyak pula penghargaan dari Allah SWT.

c) Hukum Proporsional (ADIL)
Maksud hukum proporsinal adalah meletakkan hukum sebagaimana hirarkinya tanpa membolak-balikkannya. Hukum ini diterapkan pada hukum Islam karena pada hukum Islam terdapat susunan kewajiban atau larangan menurut kepentingan, kemashlahatan serta keadilan yang dituju. Seorang mukallaf dituntut untuk meletakkan kepentingan hukum menurut kemashlahatan yang tertinggi atau menghilangkan kerusakan yang terendah.
Sumber hukum Islam sesungguhnya bagaikan mata air yang tak pernah kering bahkan memiliki deposit yang mampu menyirami setiap perkembangan hukum yang memenuhi tuntutan keadilan dan kepentingan/mashlahat umat sepanjang masa yang berbeda dan seputar tempat yang berlainan budaya. Semua kaum muslimin dapat mengikuti perkembangan peradaban dan peningkatan kepentingan/kemashlahatan dan mereka tidak menemui hambatan dalam mencari hukumnya, asal saja mereka menemukan dan memanfaatkan cahaya yang menunjukkan hukumnya, cahaya yang mampu menembus batas ruang dan waktu. Asal saja perkembangan dan peningkatan itu memang sesuatu yang menerima cahaya.
Proporsional dalam hukum Islam adalah sebagai berikut:
1. Pada umumnya, kewajiban mencari nafkah kaum laki-laki lebih berat dari pada kaum wanita. Sehingga hukum waris laki-laki mendapatkan dua persatu dari wanita. Laki-laki mendapatkan hak waris melebihi bagian wanita karena laki-laki bekerja keras dengan susah payah mencari rezeki guna menafkahi keluarganya dan orang-orang yang wajib ia nafkahi.
Firman Allah SWT:
Surat An-Nisa’: 11
        …….
Artinya: “Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan” (QS. An Nisa’:11)
2. Mengingat ibadah haji memerlukan banyak biaya serta sulit dilaksanakan dibanding rukun Islam lainnya, maka kewajiban haji diperuntukkan bagi mukallaf yang mempunyai syarat “Isthatho’a” (kemampuan) dan hanya sekali seumur hidup. Allah SWT berfirman:
Surat Ali Imran: 97
  ••       …..
Artimya:“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, Yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.” (Q.S. Ali Imran: 97)
3. Kebutuhan-kebutuhan yang dlaruriyah, hajjiyah maupun tahsiniyah harus diletakkan sesuai dengan hirarkinya, demikian juga hirarki kebutuhan dlaruri harus ditempatkan pada yang lebih penting, yang mendahulukan memelihara agama dari pada memelihara jiwa, akal maupun kehormatan.

d). Hukum Prioritas
Menyadari tabi’at manusia yang tidak menyukai beban yang membatasi kemerdekaannya, maka Allah menurunkan syari’at Islam untuk memelihara dan mengusahakan agar ketentuan yang dibebankan kepada manusia dapat dengan mudah dilaksanakan serta dapat menghilangkan kesulitan dan kesempitan. Yang dimaksud menghilangkan kesulitan dan kesempitan adalah menghilangkan hal-hal yang menyulitkan masyarakat yang berlebih-lebihan, dan dapat menghabiskan daya manusia dalam melaksanakannya.
Meskipun demikian tidaklah berarti bahwa syari’at Islam menghilangkan sama sekali kesulitan yang mungkin dialami oleh manusia dalam kehidupannya. Hanya saja diharapkan ketentuan yang terdapat pada syari’at Islam dapat mengurangi kesulitan bagi manusia. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT:
Surat An Nisa’: 28
        
Artinya: “Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah.”(QS. An Nisaa’: 28)

Selanjutnya adalah menyedikitkan beban (qillat al-taklif). Artinya Allah tidak memperbanyak beban yang diberikan kepada para hamba-Nya, sehingga beban yang berupa perintah dan larangan dapat dijalankan tanpa menimbulkan kesulitan.
Hal ini berdasarkan firman Allah SWT:
Surat Al-Maidah: 101
               •          
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan di waktu Al Quran itu diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu, Allah memaafkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.”(QS. Al maaidah: 101)

Sejalan dengan prinsip dan asas hukum Islam, maka hukum Islam prioritas ditetapkan untuk memelihara kelestarian eksistensi hukum Islam, sehingga dalam keadaan apapun hukum Islam tetap dapat dilaksanakan oleh mukallaf. Hukum prioritas sejalan dengan hukum rukhshoh, yakni suatu hukum yang memberikan prioritas keringanan dalam melakukan taklif, walaupun amalan itu tidak sesuai dengan syarat maupun rukunnya yang lazim bagi orang sehat. Untuk mewujudkan hukum prioritas, maka dalam hukum Islam ditetapkan hukum wajib mukhoyyar, yaitu tuntutan mengerjakan sesuatu yang diperbolehkan memilih. Misalnya kafarat sumpah diperbolehkan memilih memerdekakan budak, atau memberi makan 10 orang miskin atau pakaiannya, atau juga berpuasa selama 3 hari. (Muhammad Abu Zahrah, 1958: 33).
Hukum Islam memprioritaskan prinsip kemanusiaan dari pada status manusia. Misalnya hukum perbudakan harus dihapus karena hal itu mengingkari martabat manusia sebagai makhluk yang dilahirkan dalam keadaan merdeka. Cara untuk meningkatkan status budak dalam Islam adalah memperbolehkan nikahnya sehingga ia menjadi merdeka. Allah berfirman:
Surat An-Nisa’: 24-25
            •  •                            •     .           •                                                      
Artinya: “Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. dan Dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan Tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. Dan Barangsiapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki. Allah mengetahui keimananmu; sebahagian kamu adalah dari sebahagian yang lain, karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka, dan berilah maskawin mereka menurut yang patut, sedang merekapun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya; dan apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka melakukan perbuatan yang keji (zina), Maka atas mereka separo hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami. (Kebolehan mengawini budak) itu, adalah bagi orang-orang yang takut kepada kemasyakatan menjaga diri (dari perbuatan zina) di antara kamu, dan kesabaran itu lebih baik bagimu. dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.(QS. An-Nisa’: 24-25)
Islam datang sebagai penyelamat budak dari musibah, bencana dan perlakuan sewenang-wenang Allah SWT telah mewasiatkan kepada kaum muslimin untuk memperlakukan budak dengan baik dan menyetarakan mereka dalam berbagai hak dan kewajiban hukum. Allah SWT berfirman:
Surat An-Nisa’:36
                        
Artinya:“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, Ibnu sabil dan hamba sahayamu.”(QS. An Nisaa’: 36)
Demikian juga, hukum Islam memprioritaskan kafir dlimmah (orang kafir yang dalam perlindungan orang atau aturan Islam) dari pada kafir-kafir yang lain. Di samping kemerdekaan beragama mereka jamin, hukum Islam memberikan hak yang sama pada mereka sebagai anggota warga negara pada umumnya. Hal itu terjadi karena kafir dlimi telah membayar jizyah yang tidak memberatkan.

e). Hukum Rasionalitas (MA’QULI)
Islam tidak hanya bersumber dari yang manquli, tapi juga yang ma’quli. Karena itu, bilamana ditemukan suatu hadist yang isinya tidak sesuai dengan akal maka hadist tersebut masih ditangguhkan dan menghindari kemungkinan hadist-hadist palsu. Ar Razi dalam Al-Mausul mengatakan:
“Tiap-tiap hadits yang engkau dapati menyalahi akal, menyalahi aqidah dan berlainan dengan yang dinukilkan dari nabi, ketahuilah bahwa hadits yangmaudlu’ (palsu).”
Di antara hadist-hadist palsu adalah hadist yang terlalu banyak menerangkan pahala amalan sunah, atau juga hadist yang dibuat untuk menguatkan madzhab tertentu. Misalnya:
“Barang siapa shalat dluha begini rakaat maka baginya pahala tujuhpuluh nabi.”
“Barang siapa yang mengangkat dua tangan pada ruku’ maka tidak sah shalatnya.”
Syari’at Islam tidak hanya bersifat ta’abudi, tetapi juga ta’aqquli (ma’qul bil makna), karena itu hukum Islam membuka diri atas segala penafsiran yang ma’quli, karena dengan penafsiran model itu akan ditemukan rahasia yang tinggi hikmah, manfaat serta ruh nash. Syariat Islam secara langsung berasal dari perintah Allah. Namun demikian, di dalam memahami syariat ada sebagian campur tangan yang diberikan kepada manusia untuk menafsirkan dan menjabarkan perintah wahyu Allah itu. Hukum Islam yang tidak jelas ketentuannya maka dapat dikembangkan dengan ra’yu manusia, artinya ketentuan yang kongkrit diserahkan sepenuhnya pada hasil ijtihad ulama’ melalui ra’yu tersebut. Karena pada dasarnya hukum Islam selaras dengan hukum hukum manusia selama akal manusia belum dikendalikan hawa nafsu.
“Allah dan Rasul-Nya tiada menetapkan suatu hukum tang diyakini kebathilannya baik pada panca indera maupun akal. Allah tidak menetapkan hukum yang akal mengatakan alangkah lebih baiknya jika Allah tidak menetapkan hukum seperti itu. Sebenarnya hukum-hukum Allah adalah adalah hukum-hukum yang diakui oleh akal dan nadhar tentang kebaikannya, dan terjadinya hukum itu dengan cara yang lebih baik.”
Harus diakui bahwa penerapan norma-norma hukum Islam pada hakekatnya merupakan hak otoritas Allah dan Rasul-Nya. Akan tetapi persoalan-persoalan baru selalu muncul mengikuti dinamika kehidupan manusia sehingga para ulama, sebagai pewaris, penerus, pengemban tugas mulia yang pernah dilakukan oleh Rasulullah, dituntut untuk melakukan ijtihad lewat studi dan penelaahan yang intens. Oleh karena itu, saat ini norma-norma hukum tidak hanya tersebar di dalam dua sumber ajaran, al-Qur’an dan as-Sunah, namun juga dalam kitab-kitab fiqh dan putusan-putusan peradilan.
Jika ditemukan suatu hukum yang bertentangan dengan hukum akal, kemungkinan yang terjadi adalah akal belum dapat menjangkau rahasia hukum itu atau juga sumber hukum Islam yang diambil itu merupakan sumber hukum yang lemah atau palsu sehingga hukum akal dengan hukum Islam tidak menemukan titik temu. Oleh karena itu, Allah SWT sangat menghargai semua aktifitas akal yang diinstitusikan melalui ijtihad, barang siapa yang berijtihad dan terjadi kesalahan maka baginya satu pahala, tetapi jika benar maka baginya dua pahala. Nabi Muhammad SAW bersabda yang artinya:
“Apabila hakim menetapkan hukum kemudian ia berijtihad dan ijtihadnya benar baginya dua pahala, tetapi jika salah baginya satu pahala.” (H.R. Bukhari dan Muslim dari Amr bin Ash).

f). Hukum Ketergantungan
Suatu bukti yang tidak dapat disangkal lagi bahwa Islam memang benar-benar potensial dan mampu menghadapi segala persoalan hidup dan kehidupan manusia. Terbukti bahwa ajaran Islam memiliki tingkat fleksibilitas untuk segala zaman, dan dapat diterima oleh semua pihak. Sehingga Islam menjadi agama universal.
Syari’at Islam pada hakikatnya mengatur kehidupan manusia untuk menuju kesejahteraan, keharmonisan dan keselarasan hidup antara rohani dan jasmani. Islam juga mengatur tata cara hubungan antara manusia dengan Tuhannya sebagai hubungan vertical dan hubungan manusia dengan manusia sebagai hubungan horizontal. Islam bukan hanya mengatur masalah individu dan kaitannya dengan Tuhannya, melainkan juga mengatur dan menghubungkan kehidupan masyarakat sebagai kehidupan yang tak terpisahkan dalam kehidupan Islam.
Keselamatan manusia itu tidak saja tergantung pada harmonisasi hubungan antara manusia dengan Tuhannya, tetapi harus juga sesuai hubungan antara manusia dengan manusia yang lain untuk mewujudkan keselarasan, keserasian dan keharmonisan hidup dalam arti integral. Dari dua aspek yang bergantung dan terkaip itulah merupakan inti kehidupan manusia yang fundamental.
Hukum ini ditetapkan agar tujuan ibadah manusia tepat pada sasarannya dan sesuai dengan tujuan hukum diciptakan. Hukum ketergantungan dapat diwujudkan dengan cara sebagai berikut:
1. Baik tidaknya atau sah tidaknya suatu ibadah ditentukan oleh niatnya, karena niat merupakan pangkal dari segala amalan. Rasulullah SAW bersabda:
“Sesungguhnya segala amalan tergantung kepada niatnya.” (H.R. Perawi lima dari Umar bin Khattab).
Sedang kaidah fiqhiyah dinyatakan:
“Setiap urusan tergantung kepada tujuannya.”
2. Setiap hukum Islam digantungkan pada menarik kebaikan dan menolak kerusakan.
Karena itu jika terjadi suatu kasus di mana seorang mukallaf disuruh memilihnya maka pemilihan itu digantungkan kepada kerusakan yang paling ringan atau kemashlahatann yang paling tinggi atau juga mendahulukan menolak kerusakan daripada menarik kebaikan. Kaidah fiqhiyah dinyatakan:
“Menolak kerusakan lebih didahulukan daripada menarik kebaikan, apabila berlawanan antara yang mafsadah dan yanf mashlahah, maka didahulukan yang mafsadah.”
“Apabila dua mafsadah berlawanan mak dipelihara yang lebih ringan kerusakannya dengan dikerjakan yang lebih ringan madlaratnya.”

g). Hukum Emansipasi
Hukum Islam tidak mendiskriminasikan laki-laki dengan wanita, semua mempunyai peluang sama dalam menjalankan kewajiban dan menuntut hak-haknya. Penuntutan hak dalam hukum Islam tidak berarti sama, tetapi penuntutan itu disesuaikan dengan proporsi yang ada. Firman Allah SWT:
Surat An Nisaa’: 32
        
Artinya: “Bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi Para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan.”( QS. An Nisaa’: 32)
Dalam soal mencari nafkah dan memimpin laki-laki lebih berperan daripada wanita, tetapi dalam memelihara keluarga wanita lebih dominan dari laki-laki. Islam hadir untuk mengatur tugas masing-masing jenis manusia. Allah SWT berfirman:
Surat An Nisaa’: 34
             
Artinya: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka”. (QS. An Nisaa’: 34)

Rasulullah SAW bersabda yang artinya:
“Dan laki-laki memimpin keluarganya dan ia bertanggung jawab atas pimpinannya, sedang wanita memimpin dalam rumah suaminya dan ia dimintai pertanggungjawaban atas pimpinannya.” (H.R. Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar).

Hukum Islam mempunyai hukum khas manusiawi, sehingga hukum-hukumnya didasarkan atas kodrat manusia, karena itu ada perbedaan khusus antara wanita dan laki-laki dalam pertaklifan. Misalnya:
1. Hukum waris laki-laki dilebihkan dari wanita, walaupun tidak menutup kemungkinan pembagian waris itu sama.
2. Karena wanita mengalami haid dan nifas maka baginya diberikan kelonggaran meninggalkan shalat atau puasa, sedang laki-laki tidak ada udzur seperti itu.
3. Wanita tidak diperintahkan shalat jum’at tetapi laki-laki diwajibkan.
4. Wanita diperbolehkan memakai perhiasan emas, perak atau sutera, karena wanita itupun juga perhiasan (QS Ali Imran: 14) sedangkan laki-laki diharamkan, sebagaian ulama’ ada yang menyatakan dimakruhkan.
5. Wanita tidak diwajibkan khitan tetapi laki-laki sebaliknya.
6. Diwajibkan bagi wanita untuk menggunakan wali dalam nikah sedangkan laki-laki tidak.
7. Wanita diharuskan beriddah setelah dithalak suaminya tetapi laki-laki tidak demikian.
8. Hak thalak ditangan laki-laki, sedang wanita hanya dapat mengajukan khulu’ (takal tebus).
9. Kewajiban menerima taklif wanita relatif lebih mudah daripada laki-laki.
10. Bila keluar rumah diharuskan wanita untuk membawa mahramnya sehingga tidak memungkinkan terjadinya perbuatan keji, sedang laki-laki tidak.
11. Kewajiban mencari nafkah dipihak laki-laki sedang wanita hanya membantu saja.
12. Aurat wanita seluruh tubuhnya kecuali muka dan kedua telapak tangan sedang laki-laki antara pusar sampai lutut.
13. Laki-laki diperbolehkan berpoligami sedangkan wanita tidak.
14. Laki-laki diwajibkan berperang (jihad) tetapi wanita hanya dianjurkan membantu.
Perbedaan-perbedaan itu bukan berarti mendiskriminasikan wanita tetapi meletakkan hukum Islam pada proporsi yang sebenarnya yaitu sesuai dengan kodrat manusia. Peletakan taklif yang tidak sesuai dengan kodrat manusia mengakibatkan penyelewengan hukum emansipasi yang tidak sehat, pelanggaran terhadap hukum-hukum Allah, dan penkhianatan terhadap tugas hidup manusia sebagai hamba dan khalifah Allah SWT.


C. KESIMPULAN
Syariat Islam yang mulia ini telah diturunkan oleh Allah sesuai dengan fitrah manusia. Tidak ada satu pun manusia di muka bumi ini yang tidak dapat menjalankan syariat Islam. Di antara bukti bahwa indahnya syariat Islam adalah bahwa tidak adanya bahaya dalam syariat Islam dan Islam mengatur para pemeluknya untuk tidak menimbulkan bahaya pada orang lain.
Syari’at Islam mempunyai beberapa mahsanah (keindahan) yang menyebabkan hukum Islam menjadi hukum yang paling kaya, dan dapat memenuhi hajat manusia serta menjamin ketenangan dan kebahagiaan masyarakat. Sedangkan keindahan itu apabila dipraktekkan bersama ajaran-ajaran Islam lain nicaya akan membentuk suatu umat yang ideal yang padanya terkumpul segala unsur kekuatan yang adil, keteguhan dan kehidupan yang baik serta kemajuan yang utama.
Di antara mahsanah-mahsanah tersebut adalah:
1. Hukum Keseimbangan
2. Hukum Kausalitas (sebab akibat)
3. Hukum Proporsional (Adil)
4. Hukum Prioritas
5. Hukum Rasionalitas (Ma’quli)
6. Hukum Ketergantungan
7. Hukum Emansipasi.
Syari’at Tuhan Yang Mahatinggi lagi Mahakuasa itu tidak hanya seperangkat aturan yang menjadi sarana untuk ber-ubudiah semata, yang kita hanya diwajibkan untuk menjalankannya dengan sebaik-baiknya tanpa harus mencari hikmah yang terkandung di dalamnya. Ia adalah kumpulan semua kebajikan yang sangat banyak pintunya dan amat beragam jenisnya, di samping memiliki kaifiyat-kaifiyat tersendiri dalam menunaikannya.

Daftar Pustaka

Abdullah, Sulaiman,1995. Sumber Hukum Islam: Permasalahan dan Fleksibilitasnya. Jakarta: Sinar Grafika.
Al-Jarjawi, Syekh Ali Ahmad. 2006. Indahnya Syari’at Islam. Jakarta: Gema Insani.
Al-Malik Fahd, Mujamma’.1422 H. Al-Qur’an dan terjemahnya, Madinah: li thiba’at al-Mushaf asy Syarif.
Doi, A. Rahman I. 2002. Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah (Syariah). Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Khatimah, Husnul. 2007. Penerapan Syari’ah Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Lajnah Min Ulama al-Azhar,2004. Hikmah dan Filosofi Ajaran Islam, terj. Hikmat al-Tasyri’ wa Falsafatuh. Pasuruan: OMIM-ATM PP. Sidogiri.
Mustaqim, Abdul. 2003.Syariat Islam: Pergumulan Teks dan Realitas, terj. Ar-Risalah Al-Islamiyah: Kamaluha wa khuluduha wa ‘alamiyyatuha. Yogyakarta: eLSAQ Press.
Rohadi dan Sudarsono.2005. Ilmu dan Teknologi dalam Islam. Jakarta: Departemen Agama RI Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam.
Syafe’I, Rachmat. 2007. Ilmu Ushul Fiqh untuk UIN, STAIN, PTAIS. Bandung: Pustaka Setia.
Syaltut, Syekh Mahmud. 1985. Akidah dan Syari’ah Islam jilid 2. Jakarta: Bina Aksara.
Umar, M. Hasbi. 2007. Nalar Fiqih Kontemporer. Jakarta: Gaung Persada Press.
Usman, Mukhlis. Hikmatus Syar’i (Sebuah Konsepsi Dasar Filsafat Hukum Islam). Unit Penerbitan dan Percetakan LBB Yan’s, Malang: tt.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar