Senin, 06 Juni 2011

ULUMUL QUR’AN

BAB I
PENDAHULUAN
Ulumul Qur’an di Perguruan Tinggi Agama Islam, merupakan salah satu mata kuliah dasar khusus (MKDK) bagi semua komponen fakultas dan jurusan. Dengan ditawarkannya mata kuliah ini, maka mahasiswa diharapkan mampu menguasai dan menerapkannya dalam upaya mengkaji Al-Qur’an (Bahts Al-Qur’an).
Atas dasar itu, maka kami akan membahas beberapa persoalan yang terkait dengan hal-hal sebagaimana tersebut diatas, guna mempermudah pemahaman sekaligus sebagai pendekatan ilmu dalam studi Al-Qur’an ini, yang akan kami rumuskan pada pembahasan dibawah ini.
Ulumul Qur’an adalah segala informasi, pengetahuan dan penbahasan yang berkaitan dengan Al-Qur’an beserta segala aspeknya. Maka, Dari pembahasan yang telah diuraikan tersebut (sebelumnya), dapatlah kita mengambil suatu pemahaman yang kemudian dapat disimpulkan, bahwa Ulumul Qur’an yang mencakup berbagai disiplin ilmu yang berhubungan dengan Al-Qur’an sangat penting dan dibutuhkan sekali, guna menafsirkan, menterjemahkan dan memahami Al-Qur’an sekaligus kandungan yang terdapat didalamnya. Dengan ilmu ini, seseorang dapat menunjukkan dan mempertahankan kebenaran dan kesucian Al-Qur’an. Sehingga siapa saja orang yang tidak benar-benar memiliki dan menguasai ilmu-ilmu yang tercakup dalam Ulumul Qur’an ini, maka ia tidak akan mampu dan sanggup dalam menafsirkan, menterjemahkan dan memahami Al-Qur’an beserta seluruh kandungan yang terdapat didalamnya.

SUBSTABSI KAJIAN
1. Ta’rif / Pengertian
Ta’rif atau pengertian Ulumul Qur’an dapat dibagi menjadi dua segi, yakni : a. Dari Bahasa (Etimologis)
Ulumul Qur’an berasal dari bahasa Arab, yang terdiri dari dua kata, yaitu “ulum” dan ”Al-Qur’an”. Kata “ulum”adalah bentuk jamak dari kata ”ilm” yang berarti ilmu-ilmu atau pengetahuan. Sementara “ Al-Qur’an ” sendiri adalah kitab suci umat Islam yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, sebagai pedoman hidup manusia. Jadi dapat disimpulkan Ulumul Qur’an ialah ilmu-ilmu Al-Qur’an, dengan pengertian bahwa ilmu ini merupakan kumpulan sejumlah ilmu yang berhubungan dengan Al-Qur’an, baik dari sudut pandang keberadaannya sebagai kitab suci, maupun pemahamannya terhadap petunjuk yang terkandung didalamnya. Ungkapan Ulumul Qur’an sendiri telah menjadi nama bagi suatu disiplin ilmu dalam kajian islam.
b. Dari Istilah (Terminologis)
Istilah Ulumul Qur’an yang dikemukakan oleh beberapa para ahli / ulama, antara lain adalah sebagai berikut :
  1. Imam Al-Zarqoni, menyatakan bahwa :
Ulumul Qur’an adalah ilmu-ilmu yang membicarakan hal-hal yang berhubungan dengan Al-Qur’anul Karim, yaitu dari aspek turun, susunan, pengempulan, tulisan, bacaan, penjelasan (tafsir), mukjizat, nasikh, mansukhnya, serta menolak terhadap hal-hal yang dapat mendatangkan keraguan terhadapnya (Al-Qur’an).” [1]
  1. Imam As-Suyuti, menyatakan bahwa :
Ulumul Qur’an merupakan Ilmu yang membahas seluk-beluk Al-Qur’an. Diantaranya, yaitu yang membicarakan aspek turunnya, sanadnya, bacaannya, lafaznya, maknanya yang berhubungan dengan hukum, dan lain sebagainya.”[2]
  1. Muhammad Ali Ash-Sobuni, menyatakan bahwa :
Ulumul Qur’an ialah Ilmu-ilmu yang membahas tentang turunnya Al-Qur’an, pengumpulannya, susunannya, pembukuannya, sebab-sebab turunnya, makkiyah dan madaniyahnya, serta mengenai nasikh dan mansukhnya, muhkam dan mutasyabihnya, dan lain-lain sehubngan dengan Al-Qur’an.” [3]
  1. Abu Bakar Ibnu ‘Arabi, menyatakan bahwa :
Ulumul Qur’an itu ada 77.450 macam,yang demikian itu dihitung berdasarkan jumlah kalimat-kalimat yang ada di dalam Al-Qur’an, dan masing-masing kalimat dapat dikalikan 4, karena makna-makna yang terkandung dalam setiap kalimat memiliki arti secara lahir, bathin, dan had (tertentu), serta mathla’ (yang diharapkan).” [4]
  1. Manna Al-Qaththan, menyatakan bahwa :
Ulumul Qur’an adalah ilmu yang mencakup pembahasan-pembahasan yang berhubungan dengan Al-Qur’an, dari segi pengetahuan tentang sebab–sebab turunnya, pengumpulan Al-Qur’an dan urutan-urutannya, pengetahuan mengenai ayat-ayat Makkiyah dan Madaniah, serta hal-hal lain yang ada huibungannya dengan Al-Qur’an.” [5]
Dari pengertian di atas ada dua hal penting yang dapat ditangkap. Pertama, bahwa pembicara mengenai Ulumul Qur’an banyak aspek yang dilihat, yaitu seluruh aspek yang berhubungan dengan Al-Qur’anul Karim. Kedua, jika diperhatikan dengan teliti dari konsep-konsep di atas,kelihatan bahwa Ulumul Qur’an dapat diketahui dengan berpegang pada dua hal, yaitu Riwayat dan Rasional (Naqal dan Akal; Riwayah dan Dirayah).
Jika dicermati konsep-konsep tersebut, maka terlihatlah bahwa munculnya ilmu-ilmu Al-Qur’an bersumber pada dua hal:
  1. Naqal (Riwayat).
  2. Tafakkur dan Ta’ammul (Dirayat; Rasional).
Jadi, Ulumul Qur’an adalah ilmu-ilmu yang berhubungan dengan berbagai aspek yang terkait dengan keperluan membahas Al-Qur’an. Karena aspek yang dapat dilihat dari Al-Qur’an sangat luas maka ilmu ini ada berbagai macam dan menurut ahli cabang-cabangnya itu sampai puluhan jumlahnya.
Diantara sekian banyak cabang Ulumul Qur’an tersebut, kami akan menjelaskan beberapa diantaranya, yakni
1. Ilmu Asbab Al-Nuzul, yaitu ilmu yang menerangkan sebab-sebab yang melatar belakangi turunnya ayat. Dengan mengetahui Ilmu Asbabun-Nuzul ini, maka akan memberikan dampak yang besar dalam membantu memahami ayat-ayat Al-Qur’an dan akan lebih dapat mengetahui rahasia-rahasia dibalik cara pengungkapan Al-Qur’an dalam menjelaskan peristiwa yang terjadi. Karena cara penyampaian dalam Al-Qur’an selalu disesuaikan dengan penyebab tertentu turunnya ayat tersebut. Maka siapa saja yang tidak mengetahui asbabun-nuzul, akan dapat dipastikan ia tidak mampu mengetahui rahasia yang terkandung dibalik cara al-qur’an mengungkapkan ayat-ayatnya.
2. Ilmu Nasikh-Mansukh, yaitu ilmu yang mengkaji mengenai batalnya suatu hukum pada suatu ayat disebabkan adanya hukum yang datang kemudian. Dengan mengetahui Ilmu Nasikh-Mansukh ini, maka berguna untuk menunjukkan bahwa syariat Islam merupakan syariat paling sempurna yang menasakhkan syariat-syariat yang datang sebelumnya. Karena syariat Islam berlaku untuk setiap situasi dan kondisi, maka adanya nasakh-mansukh ini berfungsi menjaga kemaslahatan ummat. [6]
3. Ilmu Qira’ah, yaitu ilmu yang menerangkan mengenai jenis-jenis bacaan Al-Qur’an, mana yang shahih (baik) dan mana yang tidak shahih (buruk). Dengan mengetahui ilmu Qira’ah ini, maka berguna untuk memberi kemudahan bagi umat Islam. Dalam masyarakat terdapat bahasa yang mempunyai intonasi dan dialek yang banyak.. Dengan demikian sudah barang tentu berpengaruh besar terhadap macam-macam qira’ah atau bacaan. Jadi, dengan adanya Ilmu Qira’ah, diharapkan mampu untuk memberikan pengetahuan mana yang baik ataupun yang buruk dalam jenis bacaan. Selain itu juga dapat membantu kita dalam merasakan bukti kemu’jizatan Al-Qur’an, baik dari segi lafazh maupun maknanya.
4. Ilmu Ma’rifah Al-Muhkam Wa Al-Mutasyabih, yaitu ilmu yang membahas tentang ayat-ayat yang dipandang muhkam dan ayat-ayat yang dianggap mutasyabih. Dengan mengetahui Ilmu Ma’rifah Al-Muhkam Wa Al-Mutasyabih ini, maka dapat memudahkan manusia mengetahui maksud ayat tersebut dan menghayatinya untuk diamalkan dalam kehidupan, kemudian mampu memberikan motivasi kepada ummat islam untuk terus menerus menggali berbagai kandungan Al-Qur’an, sehingga mereka dapat terhindar dari pada taklid, juga memotivasi manusia untuk senantiasa menggunakan dalil akal disamping dalil naqal sendiri.
Diskursus muhkam dan mutasyabih dalam Ulumul Qur’an termaktub dalam Q.S. Ali-Imran (7) :
uqèd üÏ%©!$# tAtRr& y7øn=tã |=»tGÅ3ø9$# çm÷ZÏB ×M»tƒ#uä ìM»yJs3øtC £`èd Pé& É=»tGÅ3ø9$# ãyzé&ur ×M»ygÎ7»t±tFãB ( $¨Br'sù tûïÏ%©!$# Îû óOÎgÎ/qè=è% Ô÷÷ƒy tbqãèÎ6®KuŠsù $tB tmt7»t±s? çm÷ZÏB uä!$tóÏGö/$# ÏpuZ÷GÏÿø9$# uä!$tóÏGö/$#ur ¾Ï&Î#ƒÍrù's? 3 $tBur ãNn=÷ètƒ ÿ¼ã&s#ƒÍrù's? žwÎ) ª!$# 3 tbqãź§9$#ur Îû ÉOù=Ïèø9$# tbqä9qà)tƒ $¨ZtB#uä ¾ÏmÎ/ @@ä. ô`ÏiB ÏZÏã $uZÎn/u 3 $tBur ㍩.¤tƒ HwÎ) (#qä9'ré& É=»t6ø9F{$# ÇÐÈ
Artinya:
Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada kamu. di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, Itulah pokok-pokok isi Al qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat, adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, Maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal. (Q.S. Ali-Imran 7)
5. Ilmu Makky wal Madany, yaitu ilmu yang menerangkan wilayah atau daerah diturunkannya ayat-ayat Al-Qur’an, Makkah Madinah ataupun sekitarnya, baik sebelum maupun sesudah hijrah, baik dalam perjalanan ataupun tidak, pada waktu pagi, siang bahkan malam. Dengan mengetahui Ilmu Makky Wal Madany ini, maka dapat membantu dalam mengetahui perbedaan ayat yang Mansukh hukumnya dan ayat-ayat yang nasakh. Misalnya, hukum ayat-ayat Madaniyah bisa menasakh hukum ayat-ayat Makkiyah, sehingga hukum yang terdapat pada ayat Makkiyah tersebut tidak lagi digunakan untuk menentukan hukum pada masalah yang ada, kemudian juga memudahkan untuk mengetahui sejarah hukum Islam dan perkembangannya, bahkan dapat mengetahui pula kebijaksanaan penerapan hukum Islam terhadap umat dengan adanya tahapan dalam setiap pemberlakuan hukum tersebut, serta dapat meningkatkan keyakinan menusia (khususnya umat Islam) terhadap kebesaran dan kesucian Al-Qur’an.
الفوئدالعلم بالمكي والمدني:
وللعلم بالمكي والمدني فوائد أهمما:
أ. الاستعانة به في تفسير القرآن : فإن معرفة مواقع النزل تساعد على فهم الآية وتفسيراً صحيحاً، وإن كانت العبرة بعموم اللِّفظ لا بخصوص السبب. ويستطيع المفسِّراً في ضوْ ذلك عند تعارض المعني قي آيتين أن يميّر بين الناسخ والمنسخ، فإن الأمتأخر يكون نا سخاً للمتقدم
ب. تزروق أساليب القرآن واللاستفادة منها قي أسلوب الدعوةإلى الله،فإن لكل مقام مقالاً، ومراعاة مقتضى الحال من أخص معان البلاغة، وخصائص أسلوب المكى في القرآن والمداني منه تعطى الارس منهجاً لطرائق الخطاب في الدعوة إلى الله بما يلائم نفسية المخاطب، ويمتلك عليه لُبٌّه ومشاعره، ويعالج فيه دخلته بالحكمة البالغة، ولكل مراحلة من مراحل الدعوة موضوعاتها وأساليب الخطاب فيها، كما يختليب الخطاب باختلاف أنماط الناس ومعتقداتهم واحوال بيئتهم، ويبدو هذا واضحاً جلياً بأساليب القرآن المختلفة في مخاطبةالمؤمنين والمشركين والمنا فقين
الوقوف على سيرة النبوية من خلال الآيات القرآنيهز.[7] ج.
Ilmu-ilmu yang demikian banyaknya, amat sangat penting sekali dalam memahami dan menafsirkan Al-Qur’an, sehingga sebagian ulama memnyebutkan Ulumul Qur’an dengan istilah Ushul Al-Tafsir[8], dan juga nama ilmu-ilmu tafsir[9].
2. Fungsi Ulumul Qur’an Dalam Pemahaman dan Penafsiran Al-Qur’an
Ulumul Qur’an berfungsi sebagai kunci pembuka untuk dapat memahami Al-Qur’an sesuai dengan maksud dan tujuan yang terkandung didalamnya. Apabila dilihat dari segi lain, maka Ulumul Qur’an juga merupakan ukuran atau standard dalam penafsiran terhadap Al-Qur’an. Artinya, semakin tinggi dan mendalam Ulumul Qur’an dikuasai oleh seseorang (Mufassir), maka penafsiran yang diberikannya juga akan semakin mendekati kebenarannya.
Oleh karena itu, maka selain berfungsi sebagai dasar, Ulumul Qur’an juga dapat berfungsi sebagai ukuran terhadap tafsir yang dibuatnya. Fungsi yang kedua ini (sebagai standard), maka dengan Ulumul Qur’an akan dapat dibedakan antara tafsir yang shahih dengan tafsir yang tidak shahih.
وقد وردت آثار كثيرة في فضا ئل القرآن وعلومه، منها ما هو متعلق بفضل التعليم والتعليم، ومنها هو متعلق بالقراءة والترتيل، ومنها ما له علاقه بحفظه وترجيعه. كما وردت آيات عديده في كتابالله عز وجل، تدعو المؤمنين الى تدبره وتطبيق احكامه، والى الاستماع والإنصات عند تلاوته، نذكر بعض هذه الآيات الكريمة والأحادي[10]
3. Urgensi Ulumul Qur’an Dalam Pemahaman dan Penafsiran Al-Qur’an
Ulumul Qur’an memiliki hubungan yang sangat erat sekali terhadap penafsiran dan pemahaman Al-Qur’an. Ulumul Qur’an juga amat menentukan bagi seseorang yang ingin membuat syarah atau menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an secara tepat, dan dapat dipertanggung jawabkan.
Bagi seorang Mufassir, maka Ulumul Qur’an secara mutlak, yang mana ia merupakan (sebagai) alat yang harus terlebih dahulu dikuasai, sebelum memberikan Tafsiran atau Ta’wil terhadap ayat-ayat Al-Qur’an. Seperti halnya dalam bidang Hadits, maka seorang Muhadist yang akan menerangkan Hadist, diperlukan juga ilmi-ilmu yang berhubungan Dengan Hadist, baik ilmu Hadist Riwayah ataupun ilmu Hadist Dirayah. Demikian juga dalam Tafsir, maka untuk mengawali penafsiran maupun pemahaman Al-Qur’an, seorang Mufassir haruslah memiliki dan menguasai ilmu-ilmu yang bersinggungan dengan Tafsir, baik secara langsung maupun tidak. Ilmu-ilmu yang terhimpun inilah yang kemudian lazim dikenal dengan istilah sebutan popularnya yakni Ulumul Qur’an
Sudah barang tentu, disamping Ulumul Qur’an sebagai pokok atau dasar, maka diperlukan ilmu-ilmu pendukung lain sebagai pembantu yang juga hendaknya dikuasai oleh seorang Mufassir, diantaranya ialah :
a. Ilmu-ilmu Bahasa Arab, seperti Nahwu, Saraf, Balaghah dan sebagainya
b. Ilmu Hadist,
c. Ilmu Ushul Fiqh dan
d. Ilmu Kalam
Seperti sudah dikemukakan di muka, bahwa menafsirkan Al-Qur’an bearti memberi syarah atau menerangkan ayat-ayatnya, Seorang Mufassir baru dapat memeberikan uraian dan keterangan sesuai dengan maksud ayat tersebut. Secara tepat dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya, apabila ia sebelumnya menguasai Ulumul Qur’an tersebut. Dengan kata lain,setelah ia memeahami dan mengusa Ulumul Qur’an, ia baru akan mampu memberikan Tafsir atau Takwil terhadap sesuatu atau beberapa ayat-ayat Al-Qur’an. Dengan Uluml Qur’an seseorang baru bisa membuka dan menyelami apa yang terkandung di dalam Al-Qur’an. Jadi dapat ditarik kesimpulan bahwasanya Ulumul Qur’an adalah pokok atau dasar dalam menafsirkan dan memahami Al-Qur’an, dengan kata lain, apabila seseorang (Mufassir) tidak memiliki dan menguasai Ulumul Qur’an maka tidak akan mampu untuk dapat memahami dan menafsirkan Al-Qur’an dengan baik dan benar.
Adapun manfaat yang diperoleh dari pada mempelajari Ulumul Qur’an diantaranya adalah kita akan memiliki ilmu pengetahuan yang luas tentang Al-Qur’an, mulai dari nuzul wahyu pertama kepada Nabi Muhammad SAW, sampai masa dibukukannya. Disamping itu, dapat ketahui berapa banyak orang-orang Islam yang memiliki perhatian terhadap kitab sucinya dalam setiap masa serta upaya-upaya mereka dalam memilihara, menafsirkan dan mengambil hukum-hukum dari Al-Qur’an dan sebagainya.[11]
Di samping itu, orang yang mempelajari Ulumul Qur’an dapat mengetahui cara dan gaya yang dipergunakan oleh para Mufasir dalam menafsirkan Al-Qur’an, termasuk mengetahui persyaratan-persyaratn yang harus dipenuhi dalam menafsirkan Al-Qur’an, Bahkan, ilmu ilmu ini dapat dijadikan penangkal (senjata) yang empuh untuk membantah serangan-serangan orang-orang non-muslim, khususnya kaum orientalis yang senantiasa menyudutkan dan menodai Al-Qur’an serta menimbulkan keragu-raguan keyakinan umat Islam terhadap kesucian dan kebenaran Al-Qur’an.[12]
‘Ali Al-Sabuni dalam Al-Tibyan Fi Ulumul Qur’an menambahkan bahwa manfaat mempelajari Ulmul Qur’an agar seseorang dapat memahami tujuan dan kandungan Al-Qur’an sesuai dengan penjelasan dan ajaran Nabi Muhammad SAW. serta interpretasi para Sahabat dan Tabi’in terhadap ayat-ayat Al-Qur’an.[13]
SKEMATIK
KRITIK DAN KOMENTAR
Pada ilmu makky dan madany berdasarkan rumusan diatas dijelaskan bahwasannya para ulama menyatakan bahwa setiap ayat atau surat yang dimulai dengan redaksi (يآايهاالناس ) dikatagorikan Makiyyah, dan sedangkan ayat yang dimulai dengan (يآايهاالذين آمنوا ) dikatagorikan Madaniyyah akan tetapi rumusan kedua ini mempunyai kelemahan-kelemahan karena tidak mengandung unsur jami’ dan mani’karena tidak semua ayat yang dimulai oleh redaksi (يآايهاالناس) atau (يبنى آدم) maksudnya tidak selalu menjadi sasaran surat atau ayat penduduk Mekkah atau Madinah. Karena keduanya tidak ditujukan oleh penduduk Mekkah begitu juga penduduk Madinah. Khithob kedua ayat tersebut tertuju kepada kenabia Muhammad. Kenabian sendiri bukanlah sebagai bukti bahwa belia penduduk Mekkah atau penduduk Madinah dan bukan pula monopoli Mekkah dan Madinah, akan tetapi untuk seluruh ummat Islam.[14]
Menurut Taufiq Adnan Amal dan Syamsu Rizal, maka Nansakh yang menjadi landasan teori Nasikh dan Manuskh bisa mengandung salah satu dari dua makna yang digunakan pada periode Mekkah diatas. Jika Nansakh dalam kontek ini bermakna “merekam secara tertulis”, maka ayat ini mengemukakan jika Tuhan secara pasti mewahyukan ayat untuk direkam secara tertulis, maka yang diwahyukan itu adalah yang terbaik. Dan kalaupun menunda pewahyuan, maka yang pewahyuannya ditunda itupun setara dengan yang telah diwahyukan. Pengertian ini didukung oleh kontek ayat sebelumnya yang mengemukakan orang-orang kafir dari ahl al-Kitab dan orang-orang musrik yang tidak menghendaki diturunkannya wahyu kepada Nabi Muhammad.[15]
Jika makna “menghapuskan” digunakan, majka pengertian ayat ini jika Tuhan menghapuskan atau menjadikan ayat terlupakan, maka Dia akan mendatangkan yang lebih baik setara dengannya. Tetapi jika dihubungkan dengan konteks sebelum dan sesudahnya, kata ayat berarti bukti kenabian. Dengan kata lain, orang- orang kafir dari kalangan ahli kitab dan kaum musrukin minta bukti kenabian nabi muhammad sebagai yang di minta kaum nabi musa. Jadi kedua makna itu secara kontekstual tidak berkaitan dengan teori nasikh dan mansukh sebagai mana berlaku dalam fiqih jika merujuk kepada ayat sebelum dan sesudahnya maka alternatif kedua lebih tepat. [16]
KESIMPULAN
Ulumul Qur’an adalah segala informasi, pengetahuan dan penbahasan yang berkaitan dengan Al-Qur’an beserta segala aspeknya. Maka, Dari pembahasan yang telah diuraikan tersebut (sebelumnya), dapatlah kita mengambil suatu pemahaman yang kemudian dapat disimpulkan, bahwa Ulumul Qur’an yang mencakup berbagai disiplin ilmu yang berhubungan dengan Al-Qur’an sangat penting dan dibutuhkan sekali, guna menafsirkan, menterjemahkan dan memahami Al-Qur’an sekaligus kandungan yang terdapat didalamnya. Dengan ilmu ini, seseorang dapat menunjukkan dan mempertahankan kebenaran dan kesucian Al-Qur’an. Sehingga siapa saja orang yang tidak benar-benar memiliki dan menguasai ilmu-ilmu yang tercakup dalam Ulumul Qur’an ini, maka ia tidak akan mampu dan sanggup dalam menafsirkan, menterjemahkan dan memahami Al-Qur’an beserta seluruh kandungan yang terdapat didalamnya.
Al-Qur’an adalah ‘buku’ bukan sembarang buku. Ia adalah firman Alloh swt yang kemudian di hafal di catat di bukukan dan akhirnya di sebar luaskan kepada pemeluk-pemeluknya di seluruh dunia, petunjuk-petunjuk yang diberikannya di yakini oleh kaum muslimin sebagai kebenaran mutlak yang tidak pernah ragu untuk mengamalkannya.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qattan, Manna Khalil. 2004. Studi Ilmu-ilmu Qur’an. Bogor: Pustaka Lentera
Al-Qattan, Manna Khalil. 2000. Mubahits Fi ‘Ulumil Qur’an. Riyadh: Maktabah Al-Ma’arif Linasri Watawari’i
Al-Munawar, Said Agil Husin. 2002. Al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki. Jakarta: Ciputat Press
Anwar, Abu. 2001. Ulumul Qur’an. Jakarta: Amzah
As Sahabuni, Muhammad Ali. At Tibyan fi Ulumil Qur’an. Beirut: Al-Mazroah Binayatul Yamani
As Syuyuti, Jalaluddin. Al-Itqon fi Ulumil Qur’an. Talkis: Al-Kitabaku
Ash-Shabunie, Ali. 1987. Pengantar Ilmu-ilmu Al-Quran. Surabaya:Al-Ikhlas
Djalal, Abdul. 1997. Ulumul Qur’an. Surabaya: Dunia Ilmu
Hakim, Baqir. 2006. Ulumul Qur’an. Jakarta: Al-Huda
Supiana. 2002. Ulumul Qur’an. Bandung : Pustaka Islamika
Syadali, Ahmad. 2000. Ulumul Qur’an. Bandung: Pustaka Setia

[1] Az-Zarqoni, Manahil Al-Irfan, jilid I, (Beirut: dar Al-fikr) hal, 79.
[2] As-Sayuti, Itmam Al-Dirayah (Mesir: Isa Al-Bab Al-Halabi) hal, 47.
[3] Muhammad Aly As-Shobuny, At-Tibyan Fi Ulumil Qur’an, (Beirut: Al-Mazro’atu Binayatul Yaman, 2003) hal, 8.
[4] Abu Bakar Ibnu ‘Arabi, Qanunut Ta’wil
[5] Manna Al-Qaththan, Mabahis Fi Ulum Al-Qur’an (Beirut: Al-Syarikah Al-Muttahidah Li Al-Tauzi, 1973) hal, 15-16.
[6] Ahmad Mushthafa Al-Maraghiy, Tafsir Al- Maraghiy, Juz I (Beirut: Dar Al-Turast Al-Arabiy,t.t) ha1, 87.
[7] Manna Al-Qaththan, Mabahis Fi Ulum Al-Qur’an (Beirut: Al-Syarikah Al-Muttahidah Li Al-Tauzi, 1973) hal, 59.
[8] Abd. Al-mun’in al-Namir, ilm al-tafsir, kayf nasya’a wa tatawur hatta asruna al-hadhir ( Kairo: Dar Al-Kutub Al-Misriy, 1985 / 1405 ) cet. I, hal, 158.
[9] Hasbi ash-shiddieqi, sejarah dan pengantar Ilmu al-qur’an / tafsir, hal, 112.
[10] Muhammad Aly As-Shobuny, op. cit, hal, 9.
[11] Muhammad bin Muhammad Abu syuhbah,…op. cit, hal, 26.
[12] Ibid., hal, 74.
[13] Muhammad ‘Ali al-Shabuni,…op. cit, hal, 5.
[14] Supiana,
[15] Taufik Adnan Amal dan Syamsu Rizal Panggabean, Tafsir Kontekstual Al-Qur’an (Bandung: Mizan,1990) hal, 29.
[16] Ibid., hal, 40.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar