Pengembangan pendidikan agama Islam pada sekolah mengacu kepada  Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional  Pendidikan (SNP) terutama pada standar isi, standar proses pembelajaran,  standar pendidik dan tenaga kependidikan, serta sarana dan prasarana  pendidikan. Pengembangan pendidikan agama Islam pada sekolah juga  mengimplementasikan Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 tentang  Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan, bahwa pendidikan Islam dapat  diklasifikasikan ke dalam tiga bentuk, pertama, pendidikan agama  diselenggarakan dalam bentuk pendidikan agama Islam di satuan pendidikan  pada semua jenjang dan jalur pendidikan. Kedua, pendidikan umum berciri  Islam pada satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar,  pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi pada jalur formal dan non  formal, serta informal. Ketiga, pendidikan keagamaan Islam pada berbagai  satuan pendidikan diniyah dan pondok pesantren yang diselenggarakan  pada jalur formal, dan non formal, serta informal. Pengembangan  kurikulum pendidikan agama Islam pada sekolah diarahkan pada peningkatan  mutu dan relevansi pendidikan agama Islam pada sekolah dengan  perkembangan kondisi lingkungan lokal, nasional, dan global, serta  kebutuhan peserta didik. Kegiatan dalam rangka pengembangan kurikulum  adalah pembinaan atas satuan pendidikan dalam pengembangan kurikulum  pendidikan agama Islam tingkat satuan pendidikan.
Pendidikan Agama Islam (PAI) di sekolah yang sedang berlangsung belum  semuanya memenuhi harapan kita sebagai umat Islam mengingat kondisi dan  kendala yang dihadapi, maka diperlukan pedoman dan pegangan dalam  membina pendidikan agama Islam. Ini semua mengacu pada usaha strategis  pada rencana strategis kebijakan umum Direktorat Jendral Pendidikan  Agama Islam Departemen Agama yaitu peningkatan mutu khusus mengenai  pendidikan agama Islam di sekolah, peningkatan mutu itu sendiri terkait  dengan bagaimana kualitas hasil pembelajaran pendidikan agama Islam pada  peserta didik yang mengikuti pendidikan di sekolah. Mutu itu sendiri  sebetulnya sesuatu yang memenuhi harapan-harapan kita. Artinya kalau  pendidikan itu bermutu hasilnya memenuhi harapan-harapan dan  keinginan-keinginan kita. Kita bukan hanya sebagai pengelola, tetapi  juga sebagai pelaksana bersama semua pemangku kepentingan (stakeholder)  termasuk masyarakat, orang tua. Dalam kenyataan pendidikan agama Islam  di sekolah masih banyak hal yang belum memenuhi harapan. Misalnya kalau  guru memberikan pendidikan agama Islam kepada peserta didik, maka tentu  yang kita inginkan adalah peserta didik bukan hanya mengerti tetapi juga  dapat melaksanakan praktek-praktek ajaran Islam baik yang bersifat  pokok untuk dirinya maupun yang bersifat kemasyarakatan. Karena di dalam  pendidikan agama Islam bukan hanya memperhatikan aspek kognitif saja,  tetapi juga sikap dan keterampilan peserta didik. Peserta didik yang  mendapatkan nilai kognitifnya bagus belum bisa dikatakan telah berhasil  jika nikai sikap dan keterampilannya kurang. Begitu pula sebaliknya,  jika sikap dan/atau keterampilannya bagus tetapi kognitifnya kurang,  belum bisa dikatakan pendidikan agama Islam itu berhasil. Inilah yang  belum memenuhi harapan dan keinginan kita. Contoh lainnya, hampir  sebagian besar umat Islam menginginkan peserta didiknya bisa membaca Al  Quran, namun bisakah orang tua mengandalkan kepada sekolah agar peserta  didiknya bisa membaca Al Quran, praktek pendidikan agama Islam di  sekolah, bisa mengerti dan mampu melaksanakan pokok-pokok ajaran agama  atau kewajiban-kewajiban ‘ainiyah seperti syarat dan rukun shalat. Maka  sekolah nampaknya belum bisa memberikan harapan itu karena terbatasnya  waktu alokasi atau jam pelajaran di sekolah.
Penyelenggaraan pendidikan agama Islam di sekolah penuh tantangan,  karena secara formal penyelenggaraan pendidikan Islam di sekolah hanya 2  jam pelajaran per minggu. Jadi apa yang bisa mereka peroleh dalam  pendidikan yang hanya 2 jam pelajaran. Jika sebatas hanya memberikan  pengajaran agama Islam yang lebih menekankan aspek kognitif, mungkin  guru bisa melakukannya, tetapi kalau memberikan pendidikan yang meliputi  tidak hanya kognitif tetapi juga sikap dan keterampilan, guru akan  mengalami kesulitan. Kita tahu bahwa sekarang di kota-kota pada umumnya  mengandalkan pendidikan Islam di sekolah saja, karena orang-orangnya  sibuk dan jarang sekali tempat-tempat yang memungkinan mereka belajar  agama Islam. Jadi guru ini kalau dipercaya untuk mendidik pendidikan  agama Islam di sekolah, keislaman mereka ini adalah tanggung jawab  moral. Oleh karena itu jangan hanya mengandalkan guru-guru yang hanya  mengajar di sekolah saja, akan lebih baik apabila menciptakan berbagai  kegiatan ekstra kurikuler yang memungkinkan mereka bisa belajar agama  Islam lebih banyak lagi.
Pelaksanaan pendidikan agama Islam di sekolah bagi peserta didik  mengandalkan pendidikan agamanya hanya dari sekolah. Namun bagi peserta  didik yang tinggal di daerah yang ada madrasah diniyah atau pesantren  mengikuti pendidikan agama Islam di sekolah tidak terlalu banyak  menghadapi masalah, karena mereka bisa sekolah dan bisa juga belajar  agama Islam di diniyah atau pesantren. Tetapi kondisi semacam ini pada  masa sekarang sudah sulit dijumpai. Ada beberapa kemungkinan yang  dihadapi oleh peserta didik, yaitu peserta didik belajar agama Islam  dari sisa waktu yang dimiliki oleh orang tuanya. Peserta didik belajar  agama Islam dengan mengundang ustadz ke rumahnya. Ada pula peserta didik  yang hanya mengandalkan pendidikan agama Islam dari sekolahnya tanpa  mendapatkan tambahan belajar agama dari tempat lain. Dalam pendidikan  agama Islam banyak yang mesti dikuasai oleh peserta didik, seperti  berkaitan dengan pengetahuan, penanaman akidah, praktek ibadah,  pembinaan perilaku atau yang dalam Undang-Undang disebut pembinaan  akhlak mulia. Kendala dan tantangan dalam pelaksanaan pembelajaran agama  Islam di sekolah antara lain karena waktunya sangat terbatas, yaitu  hanya 2 jam pelajaran per minggu. Menghadapi kendala dan tantangan ini,  maka guru yang menjadi ujung tombak pembelajaran di lapangan/sekolah,  perlu merumuskan model pembelajaran sebagai implementasi Kurikulum  Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), khususnya kurikulum mikro pada  kurikulum agama Islam di sekolah. Cara yang bisa ditempuh guru dalam  menambah pembelajaran pendidikan agama Islam melalui pembelajaran ekstra  kurikuler dan tidak hanya pembelajaran formal di sekolah. Pembelajaran  dilakukan bisa di sekolah, yaitu di kelas atau di mushala. Bisa pula di  rumah atau tempat yang disetujui. Waktu belajarnya tentu diluar jam  pelajaran formal. Cara ini memang membutuhkan tambahan fasilitas, waktu,  dan tenaga guru, tapi itulah tantangan guru yang tidak hanya mengajar  tetapi memiliki semangat dakwah untuk menyebarkan ilmu di mana pun dan  kapan pun. Untuk itu diperlukan koordinasi dan kerja sama yang baik  antara guru dengan orang tua.
Gambaran umum tentang mutu pendikan pendidikan agama Islam di sekolah  belum memenuhi harapan-harapan dalam peningkatan kualitas pendidikan  agama Islam di sekolah yang menjadi agama sebagai benteng moral bangsa.  Kondisi ini dipengaruhi sekurang-kurangnya oleh tiga faktor, yaitu  pertama sumber daya guru, kedua pelaksanaan pendidikan agama Islam, dan  ketiga terkait dengan kegiatan evaluasi dan pengujian tentang pendidikan  agama Islam di sekolah.
1. Sumber daya manusia berupa guru.
Pendidikan mutu guru sebagai pendidik dan tenaga kependikan  dilaksanakan dengan mengacu pada standar pendidik dan tenaga  kependidikan mata pelajaran dalam Standar Nasional Pendidikan (SNP).  Untuk itu dilakukan kegiatan-kegiatan penyediaan guru pendidikan agama  Islam untuk satuan pendidikan peserta didik usia dini, pendidikan dasar,  pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi pada jalur formal dan non  formal, serta informal. Dilakukan pula pendidikan dan pelatihan metode  pembelajaran pendidikan agama Islam, pemberian bea peserta didik Strata 1  (S – 1) untuk guru pendidikan agama Islam, dan juga melakukan  sertifikasi guru pendidikan agama Islam.
Guru pendidikan agama Islam di sekolah dilihat dari segi latar  belakang pendidikan kira-kira 60% khususnya sudah mencapai S – 1 dari  berbagai lembaga pendidikan tinggi. Namun lulusan S1 ini belum mejadikan  guru yang bermutu dalam menyampaikan pendidikan agama Islam. Oleh  karena itu guru perlu dibina dalam bentuk kelompok kerja guru mata  pelajaran yang dikenal dengan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP)  untuk meningkatkan kemampuannya, karena peningkatan kemampuan itu harus  dilakukan secara terus-menerus, belajar sepanjang hayat, minal mahdi  ilallahdi. Apalagi zaman sekarang perkembangan ilmu pengetahuan sangat  pesat yang jika tidak diikuti maka guru akan ketinggalan informasi. Di  MGMP digunakan sebagai forum meningkatkan kemampuan secara internal  melalui upaya diskusi kelompok atau belajar kelompok.
Peningkatan kemampuan guru juga diberikan kepada guru-guru yang belum  mencapai gelar S – 1 sesuai dengan Undang-Undang yaitu memberikan  kesempatan melanjutkan pendidikan tanpa banyak meninggalkan tugas-tugas  di sekolah yaitu dengan merancang suatu program pendidikan dualmode  system. Dualmode system adalah dua modus belajar yaitu menggunakan modul  sebagai bahan belajar mandiri (BBM), kemudian ada kuliah secara tatap  muka di tempat yang sudah ditunjuk dan disepakati antara mahasiswa  dengan dosennya. Dualmode system itu hakekatnya sama dengan Universitas  Terbuka yang melaksanakan belajar jarak jauh, namun berbeda dengan kelas  jauh dari suatu perguruan tinggi. Kalau kelas jauh perguruan tinggi  membuka kelas di luar kampusnya, sehingga menyulitkan untuk mengontrol  kualitas pembelajaran dan kualitas lulusannya. Program belajar jarak  jauh belajarnya menggunakan sarana atau alat, dengan alat utamanya  berupa modul. Jadi yang dipelajari adalah modul sebagai bahan kuliah. Di  dalam modul itu ada tujuan pembelajarannya yang harus dicapai setelah  menyelesaikan satu materi pelajaran, ada materi pelajaran yang  diajarkannya kemudian langsung dilengkapi dengan format evaluasinya.  Mereka belajar sendiri dan mengukur kemampuan sendiri. Tetapi pada  waktu-waktu tertentu mereka diberikan kesempatan untuk berkumpul di  suatu tempat yang ditentukan, kemudian dosennya datang untuk memberikan  respons, tanya jawab, diskusi, dan pengayaan terhadap modul yang sudah  dipelajari tersebut. Begitu pula ujiannya diisi langsung oleh dosen.  Inilah yang disebut dengan belajar jarak jauh plus tatap muka.
Dengan demikian guru-guru tidak terlalu berat meninggalkan waktu  sekolah, tetapi tetap harus datang ke tempat-tempat yang telah ditunjuk  untuk kuliah tatap muka. Secara Undang-Undang pun kegiatan ini legal,  karena ada pasal atau Bab dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional  No. 20 tahun 2003 pasal 31 dan SK Mendiknas No. 107/U/2001 tentang PTJJ  (Perguruan Tinggi Jarak Jauh). Dalam Undang-Undang itu secara lebih  spesifik mengizinkan penyelenggaraan pendidikan di Indonesia untuk  melaksanakan pendidikan melalui cara Perguruan Tinggi Jarak Jauh dengan  memanfaatkan teknologi komunikasi dan informasi, misalnya dengan  memanfaatkan perangkat komputer dengan internetnya seperti e-learning  atau e-mail. Belajar jarak jauh ini tidak boleh diselenggarakan atau  dibuka oleh perguruan tinggi yang tidak ditugasi, jadi harus  dikendalikan atau dikoordinasikan.
Ada dua jalur/cara dalam rangka peningkatan kualitas kemampuan guru,  pertama adanya jalur resmi untuk mengikuti pendidikan S1, kedua yang  rutin mengikuti kegiatan-kegiatan melalui Musyawarah Guru Mata Pelajaran  (MGMP). Dari kedua jalur ini, diharapkan guru pendidikan agama Islam di  sekolah tidak berjalan begitu saja dan kemampuannya juga tidak  meningkat. Sebagai orang Islam kita berpegang kepada suatu kaidah yang  menyatakan bahwa kalau hari ini lebih jelek dari hari kemarin, maka  celaka. Kalau hari ini sama dengan hari kemarin, maka rugi, dan kalau  hari ini lebih bagus dari hari kemarin, maka beruntung. Maka harus ada  upaya-upaya untuk terus menerus belajar minal mahdi ilallahdi. Dalam  salah satu hadits dinyatakan bahwa jadilah kalian orang yang mengajar,  atau jadilah orang-orang belajar atau kalau tidak kedua-duanya  sekurang-kurangnya mendengarkan. Janganlah jadi yang keempat yaitu tidak  mengajar, tidak belajar, dan tidak mendengar. Untuk itulah guru yang  harus selalu meningkatkan kualitas dirinya.
2. Pelaksanaan Pendidikan Agama Islam
Pelaksanaan proses pembelajaran pendidikan agama Islam berorientasi  pada penerapan Standar Nasional Pendidikan. Untuk itu dilakukan  kegiatan-kegiatan seperti pengembangan metode pmbelajaran pendidikan  agama Islam, pengembangan kultur budaya Islami dalam proses  pembelajaran, dan pengembangan kegiatan-kegiatan kerokhanian Islam dan  ekstrakurikuler.
Pelaksanaan pendidikan agama Islam di sekolah masih menunjukkan  keadaan yang memprihatinkan. Banyak faktor yang menyebabkan keprihatinan  itu, antara lain pertama, dari segi jam pelajaran yang disediakan oleh  sekolah secara formal, peserta didik dikalkulasikan waktunya hanya 2 jam  pelajaran per minggu untuk mendidik agama. Coba bandingkan dengan mata  pelajaran lainnya yang bisa mencapai 4 – 6 jam per minggu. Implikasinya  bagi peserta didik adalah hasil belajar yang diperolehnya sangat  terbatas. Sedangkan implikasi bagi guru itu sendiri adalah guru dituntut  untuk melaksanakan kewajiban menyelenggarakan proses pembelajaran  sebanyak 24 jam per minggu. Yang jadi persoalan adalah kalau seorang  guru agama ditugasi mengajar di sekolah, misalnya di sekolah dasar (SD)  ada 6 kelas kemudian di satu kelas guru mengajar 3 jam pelajaran,  sehingga maksimal pembelajaran yang dilaksanakan guru adalah 18 jam  pelajaran. Berarti guru tidak memenuhi kewajiban sesuai dengan tugas  yang diberikan oleh pemerintah. Implikasinya adalah guru tersebut tidak  berhak memperoleh tunjangan-tunjangan sebagai guru karena kewajiban  mengajarnya belum memenuhi syarat yang sudah ditentukan oleh pemerintah.  Tuntutan itu harus benar-benar diperhitungkan karena pemerintah  memberikan dan menaikkan tunjangan-tunjangan bukan hanya gaji kepada  guru yang melaksanakan tugas kewajibannya sesuai dengan jumlah jam  pelajaran yang sudah ditentukan. Mulai tahun 2009 ini sekurang-kurangnya  gaji guru ini bisa memperoleh penghasilan 4 juta rupiah kalau sudah  disertifikasi. Sehingga upaya pemerintah ini cukup bagus yaitu dengan  menaikkan kesejahteraan guru. Kemudian supaya guru-guru memenuhi  tuntutan itu, maka guru dapat menggunakan ekstra kurikuler di dalam  pembinaan agama Islam. Untuk ekstra kurikuler banyak yang bisa  dilakukan. Misalnya membina peserta didik belajar Al Quran, praktek  wudlu maupun praktek sholat dan sebagainya. Kalau tidak melalui  ekstrakurikuler dan dikontrol satu persatu maka tidak akan ketemu orang  yang memang memerlukan pembinaan itu. Jadi yang namanya mengajar itu  jangan hanya cukup di dalam kelas saja, apalagi kelas itu kurang dari  tuntutan minimal wajib mengajar. Jadi seharusnya dilakukan  diskusi-diskusi dengan guru-guru agama untuk memenuhi tuntutan kewajiban  mengajar.
Pelaksanaan pendidikan agama Islam tidak hanya disampaikan secara  formal dalam suatu proses pembelajaran oleh guru agama, namun dapat pula  dilakukan di luar proses pembelajaran dalam kehidupan sehari-hari. Guru  bisa memberikan pendidikan agama ketika menghadapi sikap atau perilaku  peserta didik. Pendidikan agama merupakan tugas dan tanggung jawab  bersama semua guru. Artinya bukan hanya tugas dan tanggung jawab guru  agama saja melainkan juga guru-guru bidang studi lainnya. Guru-guru  bidang studi itu bisa menyisipkan pendidikan agama ketika memberikan  pelajaran bidang studi. Dari hasil pendidikan agama yang dilakukan  secara bersama-sama ini, dapat membentuk pengetahuan, sikap, perilaku,  dan pengalaman keagamaan yang baik dan benar. Peserta didik akan  mempunyai akhlak mulia, perilaku jujur, disiplin, dan semangat keagamaan  sehingga menjadi dasar untuk meningkatkan kualitas dirinya.
3. Melakukan Evaluasi.
Mengenai evaluasi pendidikan agama Islam ini terkadang terjadi  hal-hal yang di luar dugaan. Misalnya ada peserta didik yang jarang  sekolah, malas dan merasa terpaksa mengikuti pelajaran agama, tetapi  ketika dievaluasi dia mendapatkan nilai yang lebih tinggi dibandingkan  dengan peserta didik yang rajin belajar agama. Artinya yang salah itu  adalah evaluasinya karena yang dilakukan hanyalah mengukur unsur  kognitifnya saja. Oleh karena itu evaluasi pendidikan agama Islam jangan  hanya mengandalkan evaluasi kemampuan kognitif saja, tetapi harus  dievaluasi juga sikap, prakteknya atau keterampilan (psikomotor) dan  sikapya (afektif). Guru melakukan pengamatan terhadap perilaku  sehari-hari peserta didik tersebut apakah peserta didik itu shalat?  Kalau dilaksanakan apakah shalatnya benar sesuai tata caranya? Evaluasi  ini sebetulnya menentukan status peserta didik tentang hasil belajarnya  itu apakah sudah mencapai tujuan yang ingin dicapai atau tidak. Kalau  tujuan agama itu adalah supaya peserta didik bisa menjalankan agama  Islam dengan baik maka evaluasinya harus sesuai, dan evaluasinya itu  bukan hanya hafal tentang kaidah-kaidah tentang kemampuan kognitif saja  tetapi juga yang bersifat praktikal. Berkaitan dengan evaluasi  pendidikan agama Islam, ada usulan yang kuat dari berbagai kalangan agar  pendidikan agama Islam sebaiknya masuk pada ujian nasional, sehingga  menjadi bahan untuk dipertimbangkan peserta didik lulus atau tidak lulus  di suatu lembaga pendidikan. Ujiannya jangan sekedar mengukur kemampuan  kognitif melainkan juga kemampuan yang bersifat psikomotor, praktek dan  perilaku, serta sikap peserta didik sebagai orang yang menganut ajaran  agama Islam.
Minimum essential dalam teori kurikulum 
Dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan  Nasional dinyatakan bahwa pendidikan agama dan keagamaan menjadi bagian  dari pendidikan nasional. Pendidikan agama Islam merupakan pendidikan  yang bertujuan memberikan bekal kemampuan yang bersifat kognitif,  afektif, dan psikomotor tentang suatu agama yang dianut peserta didik,  khususnya agama Islam, dengan memberikan kemampuan dalam menjalankan  ajaran-ajaran Islam sebagai seorang muslim. Kendala yang dihadapi dalam  mengajarkan pendidikan agama Islam adalah kurang seimbangnya materi  pelajaran yang diberikan dalam pendidikan agama Islam dengan alokasi  waktu yang diberikan dalam kurikulum sekolah yaitu 2 jam pelajaran per  minggu.
Sungguh berat memang tantangan yang harus dihadapi dan dilaksanakan  guru pendidikan agama Islam. Oleh karena itu, guru perlu menerapkan yang  dalam teori kurikulum disebut minimum essential, yaitu  kemampuan-kemampuan minimal yang harus dikuasai oleh peserta didik  terkait dengan penguasaan agama Islam, atau memberikan bekal kemampuan  yang bersifat minimum tetapi essensial. Misalnya peserta didik lebih  diprioritaskan mempelajari dan memahami pokok-pokok cara mengerjakan  shalat yang meliputi rukun, wajib, atau syarat sahnya shalat. Contoh  lainnya tentang materi zakat. Dalam pemahaman zakat akan berbeda antara  yang pernah mengenyam pendidikan di pesantren dan yang tidak pernah ikut  pesantren. Jika merujuk pada Imam Ghazali yang mengungkapkan “suatu  ilmu itu wajib dipelajari ketika dia akan melaksanakan kewajiban itu.”  Jadi bagi orang yang belum akan berzakat merasa belum perlu memahami  tentang zakat. Namun ketika akan berzakat maka dia wajib meningkatkan  kemampuannya untuk memahami pokok-pokok cara-cara berzakat. Begitu pula  peserta didik yang belum wajib shalat belum wajib mempelajari tata cara  shalat, tetapi ketika peserta didik itu sudah baligh dan memiliki  kewajiban melaksanakan shalat, maka dia harus mempelajari tata cara  shalat. Oleh karena itu dalam merancang pendidikan agama Islam yang  harus dipilih adalah materi-materi yang penting yang minimal harus  dikuasai oleh peserta didik. Itulah pokok dari essensial minimum dalam  pengembangan kurikulum. Sehingga pembelajaran itu benar-benar menjadi  fungsional karena sesuai dengan tujuan dan kebutuhan peserta didik yang  mempelajari materi tersebut. Guru pun harus mencari model-model  pembelajaran yang efektif agar materi pelajaran yang essensial minimum  itu bisa diberikan secara penuh dan dipahami peserta didik. Guru perlu  membuat kriteria-kriteria essensial minimum dari pelajaran pendidikan  agama Islam di sekolah, kemudian dibuat pendalaman atau perluasannya  yang proses pembelajarannya bisa di sekolah atau ekstra kurikuler.  Sehingga ketika peserta didik ini lulus dari jenjang pendidikan  tertentu, minimal bisa menjalankan hal-hal yang minimal dikuasainya.  Jangan sampai materi pelajaran yang seharusnya belum perlu dipahami  peserta didik tetapi sudah dipelajari oleh peserta didik tersebut,  padahal waktu yang tersedia sangat terbatas hanya 2 jam pelajaran per  minggu. Misalnya apakah akan terjadi kesulitan ketika mengajarkan  keimanan agar dipahami secara kuat oleh peserta didik? Apakah cukup  hanya dengan menceramahinya tentang rukun iman? Dalam mengajarkan agama  banyak tantangannya, seperti pikiran peserta didik yang pragmatis,  pengaruh-pengaruh dari luar atau lingkungan, baik lokal maupun global  yang membawa pengaruh negatif.
Orientasi model pembelajaran pendidikan agama Islam perlu  memperhatikan beberapa hal, pertama, mempertimbangkan kurikulum dengan  memperhatikan materi essensial yang memungkinan diberikan kepada peserta  didik dengan tetap mengacu pada standar nasional dalam merancang  kurikulum pendidikan agama Islam di sekolah. Kedua, memperhatikan proses  pembelajaran atau model pembelajaran pendidikan agama Islam di sekolah  baik di dalam kelas (intra kurikuler) maupun ekstra kurikuler. Ketiga,  sikap guru pendidikan agama Islam dalam mengajar. Guru pendidikan agama  Islam tidak hanya memikirkan tuntutan kewajiban formal mengajar di  sekolah. Namun memiliki jiwa dan semangat sebagai muslim yang mempunyai  kewajiban untuk mengajar menyampaikan ilmu pengetahuan dan mendidik  peserta didik sehingga dapat menyiarkan dan melestarikan agama Islam.
Mempertimbangkan kurikulum dengan memperhatikan materi essensial yang  memungkinan diberikan kepada peserta didik perlu memperhatikan materi  pembelajaran. Materi pembelajaran dalam kurikulum pendidikan agama Islam  kurang berorientasi pada kehidupan nyata sehari-hari peserta didik.  Peserta didik lebih banyak dijejali dengan berbagai informasi dan  pengetahuan. Pendidikan agama Islam dilakukan oleh guru dengan cara  seperti mengajarkan mata pelajaran lain yang lebih menekankan aspek  kognitif. Pemahaman terhadap materi pembelajaran akan selesai setelah  mengikuti pelajaran tersebut tanpa ada dampak atau pengaruhnya  (nurturant effect) terhadap peserta didik dalam perilaku kehidupannya  sehari-hari. Sasaran pendidikan agama Islam adalah membentuk perilaku  peserta didik yang sesuai dengan ajaran agama, bukan hanya mengetahui  atau memahami suatu pengetahuan. Inilah yang seharusnya dikembangkan  dalam kurikulum pendidikan agama Islam sehingga mempunyai dampak atau  pengaruh yang nyata dalam kehidupan peserta didik, pada aspek  pengetahuan, sikap, dan keterampilannya. Misalnya jika peserta didik  mempelajari tentang ibadah bukan hanya memahami konsep tentang ibadah  saja namun juga melakukan praktek ibadah tersebut. Begitu pula ketika  mengajarkan zakat, terkadang diajarkan secara tidak realistik. Peserta  didik SD sudah mendapatkan materi pembelajaran tentang zakat yang sangat  banyak dan mendalam sampai menyita waktu banyak dan mengabaikan materi  pembelajaran lainnya, padahal peserta didik usia SD belum sampai pada  kemampuan untuk berzakat. Akhirnya materi pembelajaran tidak menyentuh  pada hal-hal yang penting dari pelajaran itu. Oleh karena itu ruang  lingkup dan urutan materi pendidikan agama Islam perlu diatur dengan  baik dan tepat disesuaikan dengan karakteristik dan usia peserta didik,  kemudian diatur pula alokasi waktunya yang tepat.
Madrasah yang kini sudah menjadi sekolah umum yang bercirikan Islam  saja dengan kurikulum yang 6 jam pelajaran per minggu itu belum tentu  bisa membekali peserta didik memiliki pemahaman yang baik tentang  Pendidikan Agama Isalam kalau tidak mengaji dan melakukan kegiatan  pendukung lainnya yang memadai. Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003  ada hal yang menggembirakan yaitu disamakannya madrasah dengan jenjang  sekolah, tetapi kekhawatirannya juga ada yaitu berkurangnya jam-jam  pelajaran terutama yang berkaitan dengan keagamaan. Sehingga tidak  menutup kemungkinan ke depannya lulusan madrasah yang membaca Al Quran  belum benar, karena mengikuti pendidikan hanya 6 jam pelajaran per  minggu apalagi dengan mengikuti pendidikan formal.
Pengembangan pendidikan agama Islam pada sekolah yang mengacu kepada  Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional  Pendidikan (SNP) khususnya standar sarana dan prasarana pendidikan.  Pengembangan sarana dan prasarana pendidikan dilaksanakan melalui  sejumlah kegiatan seperti penyediaan buku pedoman guru pendidikan agama  Islam, penyediakan buku teks atau buku pelajaran pendidikan agama Islam,  dan penyediaan alat peraga pendidikan agama Islam.
Buku pedoman guru untuk membantu guru mencapai tujuan pengajaran yang  digunakan baik untuk menyusun silabus maupun menyusun buku yang  digunakan oleh guru dalam mengajar, sehingga ketika menyusun silabus  akan terhindar dari kesalahan konsep. Buku pedoman guru sangat penting  sebagai pedoman untuk menentukan standar kompetensi, kompetensi dasar,  dan materi pembelajaran. Materi pembelajaran pada buku kurikulum hanya  pokok-pokok materi pembelajaran, sehingga tugas gurulah untuk aktif dan  kreatif mengembangkan materi pembelajaran tersebut.
Buku teks atau buku pelajaran merupakan sumber bahan rujukan. Buku  teks sebagai sumber bahan belajar utama dalam penyusunan silabus,  sebaiknya tidak satu jenis atau dari satu orang pengarang. Buku teks  yang digunakan hendaknya bervariasi agar mendapatkan materi pembelajaran  yang luas. Bagi guru-guru di sekolah buku pelajaran merupakan faktor  yang sangat penting untuk menunjang keberhasilan pembelajaran. Oleh  karena itu perlu diperhatikan scope (ruang lingkup) dan sequence  (urutan) isi materinya agar mudah memudahkan dipahami baik oleh guru  maupun peserta didik. Buku pelajaran pendidikan agama Islam dalam  penyusunannya hendaknya selalu memperhatikan tujuan pendidikan nasional  yaitu membentuk manusia Indonesia yang bertakwa dan berbudipeketi luhur.  Selain itu, dalam kurikulum pendidikan, perlu menyediakan dukungan  bahan dan sarana pembelajaran seperti kitab suci, buku referensi  keagamaan dan tempat ibadah.
Penyediaan alat peraga pendidikan agama Islam berkaitan dengan media  pembelajaran yang merupakan bagian integral dalam sistem pembelajaran  seperti media cetak, media pembelajaran elektronik, dan sebagainya.  Media cetak seperti buku, bulletin, jurnal, koran, majalah, dan  sebagainya yang berkaitan langsung dengan materi pendidikan agama Islam  atau materi pelajaran yang sifatnya umum. Media elektronik adalah  komputer (seperti internet), film, televisi, VCD/DVD, radio, kaset, dan  sebagainya. Dari media elektronik ini yang dimanfaatkan adalah harda  ware (perangkat keras) dan terutama soft warenya (perangkat keras)  berupa program-programnya yang berkaitan dengan pendidikan agama Islam.
Pendidikan Agama Islam dikembangkan dengan menempatkan nilai-nilai  agama dan budaya luhur bangsa sebagai spirit dalam proses pengelolaan  dan pembelajaran. Hal ini ditunjukan antara lain dengan mengintegrasikan  wawasan keagamaan pada kurikulum pendidikan,
DAFTAR PUSTAKA
An Nahlawi, Abdurrahman, (1996). Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan Masyarakat. Jakarta: Gema Insani Press.
Steenbrink, Karel. A., (1986). Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Modern. Jakarta: LP3ES

Tidak ada komentar:
Posting Komentar