Sabtu, 20 Agustus 2011

MEMBANGUN SEKOLAH BERBASIS SPIRITUAL

Era sekarang yang identik dengan ilmu pengetahuan dan teknologi menimbulkan implikasi yang demikian dahsyat bagi kehidupan manusia yang serba tak menentu (turbulen), hal tersebut diindikasikan dengan transformasinya newtonian menjadi quantum dan economical capital menjadi intellectual capital. Perubahan-perubahan ini juga akan mentransformasi realitas konsumtif menuju realitas reinventor bahkan juga mengkonstruk realitas menjadi realitas kompetitif-global. Bahkan diantaranya adalah kompetisi (persaingan) yang semakin tajam dan perubahan di masa yang akan datang tidak hanya konstan, tetapi berubah menjadi pesat, radikal, dan serentak. Oleh sebab itu, pada era globalisasi –era persaingan dan perubahan- kesuksesan tidak dapat dirancang dengan “bagaimana caranya”. Namun, peluang-peluang keberhasilan hanya akan ditentukan dan didapatkan oleh pribadi-pribadi yang mampu menemukan dan mengembangkan kepemimpinan dalam dirinya dalam melakukan perubahan-perubahan yang sejalan dengan alur zaman.
Begitu juga dengan dunia pendidikan tidak akan lepas dari unsur perubahan. Maka sangat wajar, jika filosofis learning oleh Peter M. Senge diartikan dengan study and practice constanly. Karena hal tersebut tidak lepas dari natural law yang akan merongrong pendidikan untuk menapak tangga yang lebih tinggi dan juga harus menempatkan eksistensinya sesuai dengan tuntutan realitas. Tetapi walaupun dalam realitas tersebut terus mengalir perubahan-perubahan yang menuntut hal lain pada dunia pendidikan dan juga pada manusia tetapi curiosity harus tetap menjadi spirit dalam hidup dan eksis dengan eksistensinya sendiri, artinya kedinamisan realitas harus diimbangi dengan gerakan konstruktif-solutif. Meminjam statemen dari Betrand Russel, seperti yang dikutip oleh Abdurrahman Mas’ud (2002), bahwa “it is better to be clearly wrong than vaguely right”, maka sikap seperti itu seharusnya yang dikonstruk dalam tatanan kehidupan pendidikan dan manusia sendiri untuk memunculkan suatu sikap optimistik-selektif dan juga untuk menumbuhkan spirit dalam mencari problem soulving untuk menjawab tuntutan realitas terhadap pendidikan (way of life long education).
Sumber Daya Manusia (SDM) manusia modern adalah manusia yang mempunyai potensi kualitas intelektual yang memadai. Namun terkadang potensi tersebut menjadi kosong karena tidak diimbangi oleh kualitas iman atau emosional yang baik. Lalu, manusia modern mencari “obat” untuk pencapaian potensi spiritualitas dan emosinya. Ia berharap “obat” itu bisa digunakan berulang-ulang. perkembangan masa depan, untuk menjadi SDM yang sukses dalam arti bermanfaat bagi kepentingan masyarakat, bangsa dan negara daripada kepentingan pribadi dan golongannya; maka syarat IQ saja tidak lagi memenuhi kriteria. Diperlukan EQ (Emotional Quotient: tingkat emosional atau kepribadian), CQ (Creativity Quotient: tingkat kreatifitas) dan SQ (Spiritual Quotient), tingkat religiusitas atau keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan.
Dengan adanya statemen ini, maka pendidikan yang merupakan suatu sistem yang dalam perspektif ontologik adalah suatu upaya pemanusiaan manusia (humanisasi) dengan cara yang manusiawi untuk mencapai nilai-nilai kemanusiaan yang tinggi. Hasan Langgulung (1985) memberi makna pada pendidikan secara luas sebagai suatu upaya merubah dan memindahkan nilai kebudayaan kepada setiap individu dalam masyarakat. Akan tetapi, upaya-upaya ke arah terwujudnya konstruksi tersebut ditanggapi secara sinis oleh para ahli, setelah mengamati relevansi pendidikan secaara internal maupun eksternal dengan perubahan yang terjadi. Keabsahan konstruksi pendidikan secara umum, termasuk dalam hal ini juga pendidikan Islam, sebenarnya telah lama dipertanyakan. Seperti sikap pesimis sosok Neil Postman (2002) dalam bukunya “Matinya Pendidikan” yang mengatakan bahwa manusia akan berhasil menata masa depannya tanpa harus “menerima” pendidikan.
Dengan demikian, sistem pendidikan nasional harus mampu memberikan tawaran solutif yang mampu keluar dari lingkaran yang tanpa nilai dan moral yang selama ini terjadi dalam dunia pendidikan Indonesia dengan memunculkan kecerdasan yang mampu mengisi kekosongan itu yaitu dengan mensinergikan dan mengintegrasikan antara kecerdasan intelektua (IQ), Kecerdasan emosional (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ). Tanpa kesinergian antara aspek “vertikal” dan aspek “horizontal” akan memangkas salah satu aspek yang lain.
Artinya, fenomena perkembangan abad mutakhir menghendaki adanya suatu sistem pendidikan integral. Karena perkembangan masyarakat dewasa ini menghendaki adanya pembinaan peserta didik yang dilaksanakan secara seimbang antara nilai dan sikap, pengetahuan, kecerdasan, keterampilan, kemampuan komunikasi , dan kesadaran antara IPTEK (Ilmu Pengetahuan dan Teknologi) dan IMTAQ (Iman dan Takwa) yakni meliputi IQ (Intellectual Quotient), EQ (Emotional Quotient), dan SQ (Spriritual Quotient)
Oleh sebab itu, wilayah Emotional Spiritual Quotient (ESQ) merupakan wilayah kepemimpinan terhadap Sumber Daya Manusia (SDM), Sumber Daya Alam (SDA), Money, dan lain sebagainya. Perfomance dari pemimpin yang dimunculkan merupakan pedoman bagi kehidupan paradigma organisasi kependidikan. Dengan kata lain, apabila Emotional Spriritual Quptient (ESQ) diaplikasikan dalam tataran kepemimpinan kependidikan, ini akan bermanfaat seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan organisasi kependidikan dengan pertumbuhan nilai dan moral. Pada konteks ini Emotional Spiritual Quotient (ESQ) digunakan sebagai kerangka dasar dalam bertindak oleh bawahan, sehingga nilai dan moral kemanusiaan akan mampu menjadi hal yang biasa dilakukan.
Jika ketiga kecerdasan ini yaitu IQ, EQ, dan SQ dikelola dengan baik, maka akan lahir manusia-manusia yang mengetahui untuk apa ia diciptakan; apa tujuan hidupnya; dan hendak kemana kelak ia pergi. Fungsi IQ adalah “what I think” (apa yang saya pikirkan) untuk mengelola kekayaan fisik atau materi (physical capital); fungsi EQ adalah “what I feel” (apa yang saya rasakan) untuk mengelola kekayaan sosial (Social Capital); dan fungsi SQ adalah “who am I” (siapa saya) untuk mengelola kekayaan spiritual (spiritual capital). Inilah makna tertinggi kehidupan (the ultimate meaning) yang menjadi tuntutan yang harus dijawab oleh semua manusia.
Dengan paradigma memadukan antara aspek “horizontal (EQ)” dan “vertikal (SQ)”, khususnya yang berkaitan dengan aspek ESQ Model, yang dipadu sedemikian harmonisnya dalam setiap policy yang muncul di ranah program sekolah, mampu membawa setiap Sumber Daya Manusia (SDM) terhanyut dalam “spiritualisme progresif”. Dikatakan progresif, karena ide-ide program sekolah terbungkus aspek spiritual yang disodorkan oleh kepala sekolah harus mengggugah setiap potensi untuk berkreasi dan berinovasi dalam kehidupan dilingkungan sekolah dengan menghasilkan “pengabdian” terbaik untuk mendapatkan kebahagiaan di akhirat kelak. Ide-ide program sekolah yang terbungkus aspek spiritual yang dikembangkan oleh kepala sekolah tidak membuat Sumber Daya manusia (SDM) di sekolah tersebut menjadi “bersikap mementingkan diri sendiri”, bersikap individualistik ataupun sufistik yang menjauhi duniawi, akan tetapi lingkungan sekolah menjadi lebih kondusif dan menjadikan lebih harmonis dengan tatanan kinerja yang produktif.
Dengan adanya sistem sekolah yang kondusif dan tatanan tenaga pengajar serta karyawan yang produktif, akan menciptakan suatu kondisi yang kondusif pula dalam proses belajar peserta didik. Proses belajar ini merupakan jalan yang harus ditempuh oleh seorang pelajar untuk mengerti suatu hal yang sebelumnya tidak diketahui, dan proses belajar merupakan tujuan dari sistem sekolah. Ketercapaian tujuan sistem sekolah atau pendidikan secara umum sangat bergantung pada kecakapan dan kebijaksanaan kepemimpinan kepala sekolah yang merupakan salah satu pemimpin pendidikan. Hal ini juga disinyalir oleh Wahjosumidjo (2004) yang mengatakan bahwa kepala sekolah yang berhasil apabila mereka memahami keberadaan sekolah sebagai organisasi yang kompleks dan unik, serta mampu melaksanakan peranan kepala sekolah sebagai seorang yang diberi tanggungjawab untuk memimpin sekolah. Artinya keberhasilan kepala sekolah sangat ditentukan oleh keberhasilan tujuan pendidikan yang dicapai oleh sekolah tersebut.
Pemimpin adalah inti dari manajemen, hal ini berarti bahwa manajemen akan tercapai tujuannya jika ada pemimpin. Kepemimpinan hanya dapat dilaksanakan oleh seorang pemimpin. Seorang pemimpin adalah seorang yang mempunyai kemampuan mempengaruhi pendirian atau pendapat orang atau sekelompok orang tanpa menanyakan alasan-alasannya. Seorang pemimpin adalah seseorang yang aktif membuat rencana-rencana, mengkoordinasi, melakukan percobaan dan memimpin pekerjaan untuk mencapai tujuan bersama-sama.
George R. Terry seperti yang dikutip oleh Miftah Thoha (2009) mengartikan kepemimpinan adalah aktivitas untuk mempengaruhi orang-orang supaya diarahkan mencapai tujuan organisasi. Sedangkan Robbins, seperti yang dikutip oleh Sudarwan Danim dan Suparno (2009), mendefinisikan bahwa kepemimpinan adalah kemampuan mempengaruhi kelompok kearah pencapaian tujuan. Owens mendefinisikan kepemimpinan sebagai suatu interaksi antara satu pihak sebagai yang memimpin dengan pihak yang dipimpin. Sedangkan James Lipham, seperti yang diikuti oleh M. Ngalim Purwanto (2007), mendefinisikan kepemimpinan adalah permulaan dari suatu struktur atau prosedur baru untuk mencapai tujuan-tujuan dan sasaran organisasi atau untuk mengubah tujuan-tujuan dan sasaran organisasi. J Salusu (2000) mendefinisikan kepemimpinan sebagai kekuatan dalam mempengaruhi orang lain agar ikut serta dalam mencapai tujuan umum. Dan E. Mulyasa (2004) mendefinisikan kepemimpinan sebagai kegiatan untuk mempengaruhi orang-orang yang diarahkan terhadap pencapain tujuan organisasi.
Dalam tulisan ini, kepemimpinan pendidikan merupakan suatu bentuk aktivitas dalam mempengaruhi dan menggerakkan orang lain dalam mencapai tujuan pendidikan.
Apabila pendidikan saat ini sangat sumbang untuk didengarkan, salah satunya dikarenakan perilaku menyontek (cheating atau academic cheating). Perilaku ini merupakan fenomena yang sudah lama ada dikalangan pelajar. Peserta didik yang melakukan hal tersebut, seperti yang disimpulkan Mujadilah(2008), karena faktor personal yang meliputi kurang percaya diri, sef-esteem, dan need for approval, ketakutan terhadap kegagalan, dan kompetisi dalam memperoleh nilai dan peringkat akademis. Hal ini berarti bahwa secara personal peserta didik kurang memiliki rasa tanggungjawab secara moral kepada sesama manusia bahkan kepada Tuhannya. Faktor ini mengindikasikan bahwa peserta didik tidak memiliki kecerdasan emosional spiritual (Emotional Spiritual quotient (ESQ))
Anita E. Woolfolk mengemukakan bahwa menurut teori-teori lama, inteligensi itu meliputi tiga pengertian, yaitu: 1) Kemampuan untuk belajar; 2) Keseluruhan pengetahuan yang diperoleh; dan 3) Kemampuan untuk beradaptasi secara berhasil dengan situasi baru atau lingkungan pada umumnya. Selanjutnya Woolfolk mengemukakan inteligensi itu merupakan satu atau beberapa kemampuan untuk memperoleh dan menggunakan pengetahuan dalam rangka memecahkan masalah dan beradaptasi dengan lingkungan.
Oleh sebab itu, kecerdasan bukanlah benda yang dapat dilihat atau dihitung. Kecerdasan adalah potensi –bisa dianggap potensi pada level sel- yang dapat atau tidak dapat diaktifkan, tergantung pada nilai dari suatu kebudayaan tertentu, kesempatan yang tersedia dalam kebudayaan itu dan keputusan yang dibuat oleh pribadi dan atau keluarga, guru sekolah dan lain-lain. Begitu juga kecerdasan emosional spiritual merupakan potensi yang ada dalam diri manusia dalam membentuk karakter dirinya dengan sesama mahkluk Tuhan untuk menghadapi dan memecahkan masalah makna dan nilai menempatkan perilaku dan hidup manusia dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya; menilai bahwa tindakan atau jalan hidup hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain.
Dalam kerangka tersebut dapat di tarik kesimpulan bahwa Emotional Spiritual Quotient (ESQ) Model adalah kemampuan akal budi manusia berdasarkan kepekaan hati bahwa keberadaannya selalu bersinggungan dengan sesamanya, mahkluk lain, dan alam sekitar yang didasari oleh kekuatan iman kepada Allah. Ary Ginanjar Agustian (2007) mendefinisikan Emotional Spriritual Quotient (ESQ) Model sebagai sebuah kecrdasan yang meliputi emosi dan spiritual dengan konsep universal yang mampu menghantarkan pada predikat memuaskan bagi dirinya dan orang lain, serta dapat menghambat segala hal yang kontraproduktif terhadap kemajuan umat manusia. Jadi Emotional Spiritual Quotient (ESQ) Model adalah kemampuan manusia yang meliputi kecerdasan emosional dan spiritual yang mampu membangun hal-hal yang konstruktif dan juga mampu menghambat hal-hal yang kontraproduktif bagi dirinya serta bagi orang lain berlandaskan pada kekuatan iman kepada Tuhan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar