Sabtu, 20 Agustus 2011

PERAN PENDIDIKAN DALAM MENCIPTAKAN SUMBER DAYA MANUSIA YANG BERKUALITAS

Oleh : Subagio,M.Pd

Penyelenggaraan lembaga–lembaga pendidikan di negara manapun di dunia dipandang sebagai suatu program yang bernilai strategis. Hal ini berdasarkan satu asumsi bahwa proses pendidikan merupakan sebuah proses yang dengan sengaja dilaksanakan semata–semata bertujuan untuk mencerdaskan bangsa. Melalui proses pendidikan akan terbentuk sosok–sosok individu sebagai sumber daya manusia yang akan berperan besar dalam proses pembangunan bangsa dan negara. Oleh karena itu peran pendidikan demikian sangat penting sebab pendidikan merupakan kunci utama untuk menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas.
Hubungan antar proses pendidikan dengan terciptanya sumber daya manusia merupakan suatu hubungan logis yang tidak dapat dipisahkan. Hal ini sesuai dengan pengertian pendidikan itu sendiri. Mc. Donald memberikan rumusan tentang pendidikan : “… is a process or an activity which is directed at producing desirable in the behavior of human beings.” Pendidikan adalah suatu proses atau kegiatan yang bertujuan menghasilkan perubahan tingkah laku manusia. Secara sederhana,perubahan tingkah laku yang terjadi disebabkan oleh terjadinya perubahan pada tiga unsur meliputi unsur kognitif, afektif dan psikomotor ( Taksonomi Bloom ).
Pendapat lainnya, yaitu pendapat Mc. Donald yang didalammnya sejalan dengan pendapat Winarno Surakhmad yang mengemukakan bahwa : Pendididkan atau dipersempit dalam pengertian pengajaran, adalah satu usaha yang bersifat sadar tujuan, dengan sistematis terarah pada perubahan tingkah laku. Menuju ke kedewasaan anak didik. Perubahan itu menunjuk pada suatu proses yang harus dilalui. Tanpa proses itu perubahan tidak mungkin terjadi, tanpa proses itu tujuan tak dapat dicapai. Dan proses yang dimaksud di sini adalah proses pendidikan.
Sedangkan pengertian pendidikan dari sudut pandang kebudayaan, Darji Darmodiharjo menjelaskan sebagai berikut : Pendidikan pada dasarnya merupakan sebagaimana dari kebudayaan yang mengarah kepada peradaban. Kebudayaan dalam arti luas adalah wujud perpaduan dari logika (pikiran), etika (kemauan), estetika (perasaan) dan praktika (karya) yang merupakan sistem nilai dan ide vital (gagasan) penting yang dihayati oleh sekelompok manusia (masyarakat) tertentu dalam kurun waktu tertentu pula.
Satu pengertian lain yang cukup esensi untuk dapat memahami pengertian pendidikan, dikemukakan oleh Max Muller sebagai mana dikemukakan kembali oleh B.S. Mardiatmadja, yaitu bahwa “Pendidikan adalah proses yang terorganisir untuk membantu agar seseorang mencapai bentuk dirinya yang benar sebagai manusia.”
Dari beberapa pengertian tentang “pendidikan” sebagaimana dikutif tersebut di atas sangat jelas bahwa pendidikan suatu kegiatan dalam upaya untuk mengubah tingkah laku objek didik ke arah positif. Pendidikan merangkum segi-segi intelektual, afektif dan psikomotorik manusia, juga menyentuh cipta rasa dan karsa. Pendidikan juga merangsang pikiran-pikiran, perasaan dan kehendak manusia untuk bertindak secara bijaksana dengan mempertimbangkan lingkungan.
Sekolah sebagai lembaga pendidikan merupakan suatu organisasi yang di dalam gerakkannya berhubungan erat dengan bidang pendidikan mulai dari jenjang yang paling rendah sampai dengan jenjang yang paling tinggi, yaitu mulai dari Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Lanjutan Pertama, Sekolah Menengah dan Perguruan Tinggi.
Pendidikan tidak saja penting secara individual, tetapi juga penting bagi proses pembangunan bangsa dan negara, apa lagi negara yang sedang membangun seperti halnya Indonesia akan sangat mengharapkan proses pendidikan dapat mencapai hasil yang optimal sehubungan dengan masih sangat diperlukannya sumber daya manusia terdidik; sumber daya manusia yang berkualitas demi mengejar ketertinggalannya dalam pembangunan nasional serta era globalisasi yang penuh tantangan.
Pada era globalisasi, lembaga pendidikan harus dapat mencetak “leader-leader” yang tangguh dan berkualitas. “Leader–leader” pada masa yang akan datang harus dapat mengubah pola pikir untuk menyelesaikan sesuatu dengan kekuatan manusia (manpower) menjadi pola pikir kekuatan otak (mindpower). Konsep pendidikan juga harus dapat menghasilkan out put lembaga pendidikan yang dapat menciptakan “corporate culture”, sehingga dapat menyesuaikan diri dengan norma–norma yang berlaku masa itu dan pada gilirannya tumbuh kreativitas dan inisiatif, sehingga munculah peluang baru (new opportunity). Out put pendidikan dimasa datang juga diharapkan dapat memandang manusia bukan sebagai pekerja tetapi sebagai mitra kerja dengan keunggulan yang berbeda. Dengan demikian, seorang leader yang keluar dari persaingan global, harus dapat memandang manusia sebagai manusia, bukan pekerja.
Sehubungan dengan peranannya itulah, maka penyelenggara pendidikan oleh lembaga–lembaga pendidikan perlu benar–benar mendapat perhatian dan penanganan yang serius dari semua pihak demi optimalisasi pencapaian tujuan yang diinginkan.
Tujuan pendidikan nasional merupakan tujuan ideal yang dalam proses upaya pencapaiannya dilaksanakan secara bertahap sesuai dengan jenjang dan jenis pendidikan. Oleh karena itu, setiap institusional dalam rangka pencapaian tujuan pendidikan nasional telah menetapkan tujuan antara sesuai dengan jenjang dan jenis pendidikannya.
Pada dewasa ini, upaya-upaya pencapaian tujuan pendidikan yang diharapkan telah menjadi bahan wacana dan pemikiran para pakar pendidikan di Indonesia sehubungan dengan masih sangat rendahnya mutu pendidikan pada saat ini. Mutu pendidikan yang diharapkan pada setiap jenjang sekolah, mulai dari Taman Kanak-Kanak (TK), Sekolah Dasar (SD), Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP), Sekolah Menengah Umum/Kejuruan (SMU/SMK), sampai dengan Perguruan Tinggi (PT), minimal dapat mencapai tingkat ketercapaian tujuan pendidikan berdasarkan pada standar-standar tertentu.
Penetapan standar kompetensi siswa sebagai standar pencapaian minimal dari hasil proses pendidikan dilatarbelakangi oleh suatu harapan agar dapat tercipta pemerataan mutu minimal sebagai hasil proses pendidikan pada sekolah menengah umum. Hal ini menunjukkan satu kenyataan bahwa hasil pendidikan di Indonesia setelah lebih setengah abad kemerdekaannya, masih belum mencapai hasil yang diharapkan. Pemerintah melalui Departemen Pendidikan Nasional sangat menyadari tentang kenyataan rendahnya mutu pendidikan di Indonesia, seperti pernyataan berikut ini :
Salah satu permasalahan pendidikan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia adalah rendahnya mutu pendidikan pada setiap jenjang dan satuan pendidikan, khususnya pendidikan dasar dan menengah. Berbagai usaha telah dilakukan untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional. Namun demikian, berbagai indikator mutu pendidikan belum menunjukkan peningkatan yang merata. Sebagian sekolah, terutama di kota-kota, menunjukkan peningkatan mutu pendidikan yang cukup menggembirakan, namun sebagian lainnya masih memprihatinkan.
Berbicara mengenai keterpurukan mutu pendidikan di Indonesia dengan berbagai indikatornya, memang tidak akan habis-habisnya. Tetapi yang lebih penting dari pada itu adalah bagaimana cara mengatasinya dalam hubungannya dengan persoalan pendidikan di Indonesia antara lain mengenai perlunya pemahaman dan pengkajian tentang visi, misi dan tujuan pendidikan nasional.
Banyak hal yang telah dilakukan pemerintah dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan. Tetapi kenyataan hasil yang dicapai masih tetap belum mencapai seperti apa yang diharapkan. Peningkatan mutu pendidikan masih tetap menjadi bahan diskusi yang “up to date” untuk dibahas.
Berdasarkan pengamatan dan anilisis yang dilakukan, Departemen Pendidikan Nasional menyimpulkan sebagai berikut : sedikitnya ada tiga faktor yang menyebabkan mutu pendidikan tidak mengalami peningkatan secara merata. Faktor pertama, kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan nasional menggunakan pendekatan education production function atau input-output analysis yang tidak dilaksanakan secara konsekuen. Faktor kedua, penyelenggaraan pendidikan nasional dilakukan secara sentralistik, sehingga menempatkan sekolah sebagai penyelenggara pendidikan sangat tergantung pada keputusan birokrasi. Faktor ketiga , peran serta masyarakat, khususnya orang tua siswa dalam penyelenggaraan pendidikan selama ini sangat minim.
Sehubungan dengan permasalahan tersebut di atas, langkah yang diambil sebagai satu kebijakan adalah melakukan reorientasi penyelenggaraan pendidikan, yaitu dari manajemen peningkatan mutu berbasis pusat menuju manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah. Konsep ini mengandalkan pemberian otonomi yang luas kepada sekolah dalam menyelenggarkan pendidikan. Partisipasi aktif masyarakat dalam pendidikan dikembalikan kepada kebutuhan masyarakat, orang tua dan pemerintah daerah.
Perubahan paradigma pada dunia pendidikan di Indonesia yang bernuansa reformatif ini menurut analisis Bank Dunia di latar belakangi oleh kondisi : (1) kepala sekolah tidak memiliki kewenangan yang cukup dalam mengelola keuangan sekolah yang dipimpinnya; (2) kemampuan manajemen kepala sekolah pada umumnya rendah terutama di sekolah negeri: (3) pola anggaran tidak memungkinkan bagi guru yang berprestasi baik bisa memperoleh insentif; dan (4) peran serta masyarakat sangat kecil dalam pengelolaan sekolah.
Atas dasar kelemahan–kelemahan tersebut di atas maka tujuan pelaksanan manjememen berbasis sekolah diharapkan dapat menutupi kelemahan–kelemahan selama ini. Sebagaimana tercantum pada buku: Pedoman Implmentasi MBS di Jawa Barat disebutkan bahwa implementasi manjemen berbasis sekolah memiliki tujuan sebagai berikut : (1) meningkatkan mutu pendidikan melalui kemandirian dalam inisiatif sekolah dalam mengelola dan memberdayakan sumber daya yang tersedia: (2) meningkatkan kepedulian warga negara sekolah dan masyarakat dalam penyelenggaran pendidikan melalui pengambilan keputusan bersama; (3) meningkatkan tanggung jawab sekolah kepada orang tua, sekolah dan pemerintah tentang mutu sekolah; (4) meningkatkan kompetisi yang sehat antar – sekolah untuk pencapaian mutu pendidikan yang diharapkan.
Hal yang dapat digaris bawahi dari perubahan manajemen pendidikan yaitu adanya pengurangan peran pemerintah dalam pengelolaan sekolah. Sebaliknya, terjadi peningkatan peran sekolah dan masyarakat yang diyakini bahwa sekolah dan masyarakatlah yang mengetahui “kelemahan dan kekuatan” yang ada. Dalam hubungannya dengan peran dan partisipasi masyarakat terhadap peningkatan kualitas pendidikan, Ridono Aidad menyebutkan sebagai berikut : (1). memberikan bantuan pendidikan melalui sumbangan pendidikan. (2). menyadarkan tentang pentingnya pendidikan, sehingga menyekolahkan anaknya keberbagai lembaga pendidikan. (3). Memberikan pendidikan di rumah sebagai pengganti gurunya di sekolah. (4). Membantu guru mengawasi perilaku siswa di lingkungan lainnya. (5). Memberikan saran dan pendapat positif secara aktif terhadap lembaga pendidikan yang ada, guna peningkatan mutu pendidikan yang lebih baik. (6). Melaporkan keadaan siswa yang dapat menghambat pendidikannya kepada guru (wali kelas) atau kepala sekolah yang bersangkutan. (7). Mengkoordinir para orang tua murid untuk secara bersama-sama memikirkan kemajuan dan cara terbaik untuk peningkatan mutu yang lebih tinggi lagi.
Sebagai bahan yang dapat dipertimbangkan dalam hubungannya dengan upaya peningkatan mutu, dapat kita simak prinsif-prinsif W. Edward Deming sebagai mana dikutif oleh Randall S. Schuler dalam buku “Manajemen Sumber Daya Manusia”, sebagai berikut : (1). Ciptakan konsistensi dan keberlanjutan tujuan. (2). Jangan berikan toleransi pada jenis kesalahan yang akan mengakibatkan penundaan pekerjaan, bahan yang rusak, atau pekerjaan yang buruk. (3). Hilangkan ketergantungan pada pemeriksaan massal.4). Kurangi jumlah pemasok . (5). Lakukan pencarian masalah dalam sistem secara rutin dan lakukan perbaikan. (6). Lembagakan metode pelatihan modern, dengan menggunakan statistik. (7). Pusatkan pekerjaan penyeliaan untuk membantu karyawan melakukan pekerjaan yang lebih baik. Sediakan alat dan teknik supaya karyawan memiliki rasa bangga terhadap pekerjaannya. (8). Hilangkan rasa kuatir. Komunikasi dua arah harus dirangsang. (9). Hancurkan penghalang antar departemen. Lakukan pemecahan masalah melalui kerja kelompok. (10). Hilangkan penggunaan sasaran numerik, slogan, dan poster untuk karyawan. (11). Gunakan metode statistik untuk melanjutkan perbaikan mutu dari produktivitas serta hilangkan semua standar yang menggunakan kuota jumlah. (12). Hilangkan penghalang sehingga karyawan merasa bangga dengan pekerjaan yang dilakukan. (13). Lembagakan program pelatihan dan pendidikan supaya karyawan dapat terus mengikuti perkembangan metode, material, dan teknologi terbaru. (14). Jelaskan komitmen permanen manajemen terhadap mutu produktivitas.
Apa yang dikemukakan Randall secara implisit memang bukan untuk mengatasi permasalahan “mutu” pada dunia pendidikan, tetapi pada dewasa ini kesuksesan manajemen industri telah membuat iri para pengelola pendidikan. Namun upaya peningkatan mutu, baik pada bidang industri maupun pada bidang pendidikan bukanlah pekerjaan yang mudah. Untuk meningkatkan mutu pada bidang pendidikan dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti mutu masukan pendidikan, mutu sumber daya pendidikan, mutu guru dan pengelola pendidikan, mutu proses pembelajaran, sistem ujian dan pengendalian mutu, serta kemampuan pengelola pendidikan untuk mengantisipasi dan menangani berbagai pengaruh lingkungan pendidikan.
Tanpa mengabaikan peranan faktor penting lainnya, mutu guru telah ditemukan oleh berbagai studi sebagai faktor yang paling konsisten dan kuat dalam mempengaruhi mutu pendidikan.¬¬ Bahkan salah satu poin dari hasil Konfrensi Khusus Antar Pemerintah mengenai status guru yang diselenggerakan Oleh UNESCO/ILO pada tahun 1966 di Paris menyebutkan bahwa :
“Harus diakui bahwa kemajuan dalam pendidikan dan sebagian besar bergantung kepada kewenangan dan kemampuan staff pendidikan pada umumnya dan kepada mutu paedagogis serta teknis insani dari guru-guru seorang demi seorang.”
Ungkapan yang sering kita dengar bahwa “guru merupakan tulang punggung bangsa dan negara” atau informasi yang belum diketahui sumber aslinya tentang Jepang sesudah dua kota ( Hirosyima dan Nagasaki ) dijatuhi bom Atom oleh sekutu pada tahun 1945. Konon yang pertama kali ditanyakan oleh Kaisar adalah berapa jumlah guru yang masih hidup, bukan jumlah jenderal atau lainnya. Di sini menunjukkan bahwa guru menduduki tempat yang penting dan terhormat.
Guru yang bermutu adalah mereka yang mampu membelajarkan murid secara efektif, sesuai dengan kendala, sumber daya, dan lingkungannya. Di lain pihak, upaya menghasilkan guru yang bermutu juga merupakan tugas yang tidak mudah. Mutu guru juga berarti tenaga pengajar yang mampu melahirkan lulusan yang bermutu, sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan berbagai jalur, jenis, dan jenjang pendidikan. Di lain pihak, mutu guru sangat berkaitan dengan pengakuan masyarakat akan status guru sebagai jabatan profesional. Dalam hubungannya dengan hal tersebut, D. Sudjana S. menyatakan bahwa profesi guru harus memiliki tiga kompetensi, yaitu kompetensi pribadi, kompetensi profesional, dan kompetensi sosial.
Kompetensi pribadi, mencakup kedewasaan psikis, dedikasi, idealisme, itikad untuk membantu orang lain, menghargai orang lain, keteladanan, kejujuran, ikhlas, terbuka, dan tidak kaku. Kompetensi Profesional, mencakup kemampuan dan kewenangan khusus dalam materi dan proses pembelajaran; memiliki wawasan yang luas dengan memahami berbagai materi dan proses pembelajaran yang berkaitan dengan kemampuan dan kewenangan khusus yang dimiliki; mengembangkan diri untuk menjadi spesialis dalam materi dan proses pembelajaran; memperoleh pengakuan dari masyarakat yang menjadi layanannya; dan mempunyai jaringan profesional dari pihak lain. Kompetensi sosial, … memiliki sikap pengabdian kepada masyarakat; memahami prinsif-prinsif sebagai pembantu, peneliti dan pengembang masyarakat; dan berpartisipasi dalam kegiatan sosial atau pembangunan masyarakat.
Sikap keragu-raguan terhadap mutu profesi guru dewasa ini sering terlontar dikalangan masyarakat, merupakan akibat dari persiapan tenaga guru yang belum memadai. Banyak pihak yang mengungkapkan bahwa mutu profesi guru cenderung belum didasarkan pada konsep yang jelas dan konsisten agar memperoleh pengakuan khusus dari masyarakat. Untuk menjawab tantangan ini, Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) dalam kongresnya yang ke XIII di Jakarta telah menghasilkan keputusan penting bagi peningkatan citra dan mutu guru, yaitu “Kode Etik Guru”. Kode Etik Guru merupakan pedoman dasar bagi guru dalam melaksanakan tugas profesinya. Uraian Kode Etik Guru sebagai berikut : (1). Guru berbakti membimbing peserta didik untuk membentuk manusia Indonesia seutuhnya yang berjiwa Pancasila. (2). Guru memiliki dan melaksanakan kejujuruan profesional. (3). Guru berusaha memperoleh informasi tentang peserta didik sebagai bahan melakukan bimbingan dan pembinaan. (4). Guru menciptakan suasana sekolah sebaik-baiknya yang menunjang berhasilnya proses belajar-mengajar. (5). Guru memelihara hubungan baik dengan orang tua murid masyarakat disekitarnya untuk membina peran serta dan rasa tanggung jawab bersama terhadap pendidikan. (6). Guru secara pribadi dan bersama-sama, mengembangkan dan meningkatkan mutu martabat profesinya. (7). Guru memelihara hubungan seprofesi, semangat kekeluargaan, dan kesetiakawanan sosial. (8). Guru secara bersama-sama memelihara dan meningkatkan mutu organisasi PGRI sebagai sarana perjuangan dan pengabdian. (9). Guru melaksanakan segala kebijaksanaan Pemerintah dalam bidang pendidikan.
Dari pengalaman selama ini dalam meningkatkan kemampuan guru diperoleh kesimpulan bahwa guru yang bermutu ialah mereka yang memiliki kemampuan profesional dengan berbagai kapasitasnya sebagai pendidik. Dalam studi tersebut ditemukan bahwa guru yang bermutu diukur dengan empat faktor utama yaitu : (1) kemampuan profesional; (2) upaya profesional; (3) waktu yang dicurahkan untuk kegiatan profesional; dan (4) kesesuaian antara keahlian dan pekerjaannya.
Keempat faktor utama sebagai ukuran mutu guru, Wardiman Djoyonegoro menguraikan sebagai berikut :
Kemampuan profesional guru terdiri dari kemampuan intelegensi, sikap, dan prestasinya dalam bekerja. Dalam berbagai penelitian, kemampuan profesional guru ditunjukkan dengan tinggi-rendahnya nilai tes yang mengukur kemampuan menguasai materi pelajaran yang diajarkan. Secara sederhana, kemampuan profesional ini bisa ditunjukan dengan kemampuan guru dalam menguasai pengetahuan tentang materi pelajaran yang diajarkan termasuk upaya untuk selalu memperkaya dan meremajakan pengetahuan tersebut.
Upaya profesional guru adalah upaya seorang guru untuk mentransformasikan kemampuan profesionalis yang dimilikinya ke dalam proses belajar-mengajar. Dalam beberapa penelitian, upaya profesional guru tersebut ditunjukkan oleh penguasaan keahlian mengajar baik keahlian dalam menguasai materi pelajaran, penggunaan bahan pengajaran, pengelolaan kegiatan belajar murid, maupun upaya untuk selalu memperkaya serta meremajakan kemampuannya dalam mengembangkan program pengajaran.
Waktu yang dicurahkan untuk kegiatan profesional (Teacher’s Time) menunjukkan intensitas waktu yang dipergunakan oleh seorang guru untuk tugas-tugas profesionalnya. Teacher’s time ini merupakan salah satu indikator penting dari mutu guru, seperti ditunjukkan oleh konsep waktu belajar (Time on Task) yang diukur dari intensitas belajar siswa secara perorangan. Time on Task ini telah ditemukan oleh berbagai penelitian secara konsisten sebagai prediktor terbaik dari mutu hasil belajar peserta didik.
Kesesuaian keahlian dengan pekerjaan profesional merupakan faktor yang mempengaruhi kemampuan profesional seorang guru. Faktor ini penting sesuai dengan prinsip keterkaitan dan kesepadanan yang harus menjadi tantangan bagi LPTK untuk selalu mengaitkan pendidikannya dengan kebutuhan guru, baik dari segi jumlah maupun mutunya.
Dalam hubungannya dengan permasalahan yang diangkat sebagai bahan penelitian, yaitu permasalahan yang berhubungan dengan unsur personil sekolah, yaitu guru. Guru sebagai tenaga kependidikan bertugas menyelenggarakan kegiatan mengajar, melatih, meneliti, mengembangkan, mengelola, dan atau memberikan pelayanan teknis dalam bidang pendidikan. Guru harus secara efektif memberikan dorongan dan bantuan pencarian informasi pendukung tesis moralitas global. Belajar informasi oleh guru, dimaksudkan bukan sebatas penyediaan bahan pengajaran bagi pemenuhan kebutuhan emosi dan kesadaran siswa, tetapi juga membentuk sikap mandiri dan mempengaruhi perilaku kehidupan serta disiplin sekolah mereka.
Guru merupakan unsur penting dan berpengaruh dalam proses pendidikan dan pengajaran. Tenaga guru merupakan tenaga yang penting yang tidak boleh, tidak ada. Bagaiamanapun baiknya unsur lain, tetapi bila tidak didukung oleh unsur guru yang profesional maka pelaksanaan program pendidikan tidak akan berjalan sebagaimana mestinya. Kunci keberhasilan pelaksanaan program pendidikan dan pengajaran sangat ditentukan oleh guru yang melaksanakan proses pembelajaran secara profesional.
Guru yang memiliki profesionalisme tinggi akan tercermin dalam sikap mental sarta komitmennya terhadap perwujudan dan peningkatan kualitas profesional melalui berbagai cara dan strategi. Guru akan selalu mengembangkan dirinya sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman sehingga keberadaannya senantiasa memberikan makna profesional.
Kata “profesi” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diberi arti “bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan keakhlian (keterampilan, kejuruan, dsb.) tertentu.” Profesionalisme adalah sebutan yang mengacu kepada sikap mental dalam bentuk komitmen dari para anggota suatu profesi untuk senantiasa mewujudkan dan meningkatkan profesionalnya. Mohammad Surya menyebutkan bahwa sebagai indikator atau ciri dari profesionalisme adalah :
Pertama, dia selalu bercita-cita untuk berada atau berkinerja mendekati standar ideal. … Kedua, selalu berusaha untuk memperbaiki dirinya melalui pengalaman belajar, … Ketiga, seorang guru yang berprofesionalisme tinggi itu artinya dia memiliki kebanggaan profesi. Dia memiliki kebanggaan pada peran-peran masa lalu, berdedikasi untuk masa sekarang, dan meyakini akan peran-peran dimasa yang akan datang.
Sikap profesional dan perilaku guru akan mewarnai bentuk-bentuk proses pembelajaran yang terjadi. Guru sebagai pengemban tugas langsung bertatap muka dengan siswa dapat membimbing aktivitas belajar siswa, dan harus mampu menciptakan suasana belajar yang dapat mendorong siswa belajar dengan baik.
Sikap guru pada proses pembelajaran cenderung mempengaruhi perilaku guru dalam mengajar, sedangkan perilaku guru dalam mengajar akan mempengaruhi siswa dalam belajar. Tingkah laku guru akan mempengaruhi tingkah laku siswa. Siswa secara terus menerus mereaksi sikap, nilai dan kepribadian guru. Bila sikap guru terhadap pengajaran negatif, guru cenderung melakukan tugas mengajar menjadi sekedarnya dan tidak serius. Hal ini akan mempengaruhi pula kepada suasana belajar siswa di kelas. Siswa menjadi kehilangan motivasi untuk belajar. Akibatnya hasil belajar siswa menjadi tidak memuaskan. Lain halnya dengan keadaan sikap positif pada proses pembelajaran, guru akan cenderung melakukan tugas mengajar dengan baik sesuai dengan tugas dan tanggung jawab yang diembannya. Dampaknya sangat positif bagi situasi belajar siswa sehingga diharapkan akan berdampak positif bagi hasil belajarnya.
Hubungan guru-siswa merupakan hal yang tidak dapat dihindari dari kegiatan pengajaran. Keduanya berada pada satu situasi dan kondisi yang sama dengan tujuan mengubah (guru) dan berubah (siswa). Antara guru dengan siswa harus terjadi interaktif yang harmonis dan serasi. Dari sudut pandang guru, sebagai subjek yang melaksanakan pengajaran, Winarno Surakhmad menyimpulkan ada tiga fase pelaksanaan pengajaran, yaitu :
Fase pertama merupakan tindakan-tindakan pendahuluan, misalnya tindakan untuk meniadakan pengaruh negatif … Fase kedua berpusat pada proses mengajar secara aktual. Untuk mencegah terjadinya proses yang mekanik, dalam fase ini guru harus waspada terhadap faktor-faktor yang membutuhkan perhatian khusus, baik dari pihak murid maupun dari pihak luar. Perhatian guru sekaligus harus tertuju pada bermacam-macam hal, baik mengenai penguasaan dan pengendalian di kelas, maupun mengenai dirinya sendiri. Pada suatu saat proses interaksi yang khusus itu mendekati penyelesaian; pada saat ini guru memasuki fase ketiga.
Upaya pemerintah dalam meningkatkan profesionalisme guru sudah banyak dilakukan melalui berbagai hal, seperti penataran-penataran, lokakarya, Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP), dan lain sebagainya, tetapi kualitas hasil belajar masaih saja merupakan persoalan. Salah satu penyebabnya bisa jadi adalah karena sikap guru pada proses pembelajaran yang belum menunjukkan sikap positif. Keadaan seperti ini memang tidak boleh dibiarkan berlarut-larut, dan harus segera dicari jalan keluarnya sehingga proses pencapaian tujuan pendidikan dapat dilaksanakan dengan optimal.
Sikap guru terhadap pelaksanaan tugas profesional dalam kegiatan pengajaran dapat dipengaruhi oleh banyak faktor, baik faktor dari dalam maupun faktor dari luar. Faktor dari luar yang dapat mempengaruhi dan membentuk sikap guru pada proses pembelajaran, diantaranya adalah bagaimana persepsi guru terhadap kepemimpinan kepala sekolah dan bagaimana persepsi guru terhadap kondisi lingkungan kerja ditempat ia bertugas. Kedua unsur tersebut berkemungkinan sangat besar pengaruhnya terhadap pelaksanaan tugas profesional dalam kegiatan pembelajaran sebab kepala sekolah merupakan pimpinan sekolah dan atasan langsung daru guru-guru. Demikian pula dengan kondisi lingkungan kerja, berkemungkinan besar dapat mempengaruhi pelaksanaan tugas profesional dalam kegiatan pembelajaran sebab lingkungan kerja merupakan tempat keseharian guru-guru bekerja.
Hal inilah yang mendorong untuk dilakukan pengkajian dengan harapan pengetahuan tentang hal tersebut dapat mendorong terciptanya sikap positif guru terhadap proses pembelajaran. Dengan demikian diharapkan sikap positif guru terhadp proses pembelajaran dapat mendorong pula terciptanya iklim proses pendidikan dan pengajaran di kelas yang dapat memperlacar pencapaian tujuan yang diharapkan, yaitu out put yang bermutu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar