Rabu, 24 Agustus 2011

Tinjauan Sosiologis terhadap Mekanisme Pembelanjaan Harta dalam Perspektif Islam

  Pendahuluan
Al-Qur'an bagi kaum Muslimin diyakini bukan hanya kitab suci 'ansich' yang bersifat pasif, tapi merupakan wahyu Allah kepada ummat manusia lewat perantaraan Nabi Muhammad saw dan utusan 'ruh suci' Jibril yang berisi kebenaran-kebenaran absolut dari Rabb al-Alamin Azza wa Jalla.1 Dengan demikian al-Qur'an dijadikan sebagai pedoman hidup bagi ummat Islam dalam melakukan ibadah, muamalah dan pembinaan akhlaq. 
Aspek yang menarik untuk dikaji lebih mendalam ialah bagaimana nilai-nilai Islami (syari'ah) dilaksanakan dalam berbagai sendi kehidupan, salah satunya ialah mengenai pembelanjaan harta. 
Harta sebagai salah satu amanah yang diberikan oleh Allah kepada ummat manusia harus disyukuri dalam parameter nilai-nilai Islami. Pertanyaan yang segera muncul ialah jika berkaitan dengan masalah pembagian harta, bagaimana mekanismenya? Kalau sasarannya ialah 'optimalisasi pembelanjaan harta' sementara secara realitas timbul kesenjangan sosial; salah satunya di Indonesia dengan kondisi masyarakat mayoritas Islam. 
Fenomena distribusi harta merupakan suatu makna yang sangat menarik untuk dikaji sebagai upaya untuk mengarahkan pada solusi dari permasalahan kesenjangan sosial terutama dalam struktur sosial masyarakat Indonesia. 

Metode yang dilakukan dalam penelitian ini adalah metode analisis isi (content analysis)2, yaitu analisis terhadap makna yang terkandung dalam suatu ayat dengan melalui pendekatan sosiologis. 
Prinsip dalam Distribusi Harta
Prinsip utama yang menentukan dalam distribusi harta ialah keadilan dan kasih sayang. Tujuan pendistribusian meliputi:
Pertama, agar kekayaan tidak menumpuk pada sebagian kecil masyartakat, tetapi selalu beredar dalam masyarakat.
Kedua, pelbagai faktor produksi yang perlu mempunyai pembagian yang adil dalam kemakmuran negara. 
Pengertian dari pembersihan jiwa dalam dataran doktrin diimbangi dengan pertimbangan keadilan untuk mewujudkan suatu sistem kehidupan yang sejahtera. Islam menghendaki kesamaan di kalangan manusia di dalam perjuangannya untuk mendapatkan harta tanpa memandang perbedaan kelas, kepercayaan atau warna kulit.3
Tujuan utama Islam ialah memberikan peluang yang sama kepada semua orang dalam perjuangan ekonomi tanpa membedakan status sosialnya, di samping itu Islam tidak membenarkan perbedaan kehidupan lahiriah yang melampaui batas dan berusaha mempertahankannya dalam batasan-batasan yang wajar dan seksama. Dalam rangka mengontrol pertumbuhhan dan penimbunan harta kekayaan, Islam mencegah terjadinya penimbunan dan menolong setiap orang untuk membelanjakannya demi kebaikan masyarakat.4
Pesan al-Qur'an di dalam surat al-Isra ayat 16: "Dan jika Kami hendaki membinasakan suatu negeri, Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya." (Qs.17:16
Firman Allah di atas merupakan hukum Allah terhadap orang-orang yang bermewah-mewahan tanpa memberikan kewajiban kepada yang berhak menerimanya. Pola hidup yang dijalankan atas dasar bermewah-mewahan dalam dataran mencapai tujuannya tidak segan-segan menindas golongan miskin dan lemah untuk maksudnya yang individualistis, oleh karena itu orang hanya kaya bertambah kaya dan orang miskin akan semakin miskin, alur dari problematika tersebut akan memporak-porandakan keutuhan masyarakat. 
Perintah Allah dalam Pembelanjaan Harta
"Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah ialah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh butir, pada tiap-tiap butir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui." (Qs.2:161)
Pesan yang sangat indah dari ayat di atas seharusnya merupakan dorongan bagi ummat Islam untuk menafkahkan hartanya. Dalam dataran sosial, refleksi ayat ini apabila diimplementasikan pada kehidupan masyarakat akan membawa ketenangan dan ketentraman bermasyarakat.
Kontribusi menafkahkan sebahagian harta di jalan Allah mencakup banyak aspek meliputi perhatian terhadap pengentasan kemiskinan, peningkatan kualitas pendidikan, pembangunan rumah sakit dan sarana sosial lainnya. (Selanjutnya lihat al-Qur'an 16:71, 24:22, 25:67, 57:7, 59:9, 64:16, 74:6, 92:17-21, 2:273-274, 2:177, 17:26, 70:19-27, 90:12-16).
Infaq dan shadaqah sebagai suatu anjuran mencakup aspek ubudiyah dalam upaya untuk taqarub illallah (mendekatkan diri kepada Allah) dan aspek sosial untuk meningkatkan kerukunan hidup bermasyarakat. Dalam dataran realitas, menafkahkan harta mampu meningkatkan kualitas sumber daya manusia apabila diimbangi dengan kesadaran dan pengelolaan yang baik. Selain menafkahkan harta (infaq, shadaqah) hal yang terpenting dalam Islam ialah adanya kewajiban zakat yang telah diatur mekanismenya dalam syari'ah. Kesadaran untuk menunaikan zakat serta pengelolaan yang baik merupakan sarana jitu untuk membangun bangsa dalam proses mengentaskan kemiskinan.
Islam menyuruh semua orang yang mampu bekerja dan berusaha untuk mencari rezeki dan menutupi kebutuhan diri dan keluarganya. Hal itu dilakukan dengan niat fi sabilillah. Namun, tidak semua orang mampu bekerja dan berusaha untuk memenuhi kebutuhannya, bagaimana dengan orang-orang yang lemah seperti anak kecil, anak yatim, wanita janda, dan yang sudah uzur? Apa yang dapat dilakukan oleh orang yang mampu bekerja dan berusaha tetapi tidak memperoleh kesempatan? Apa pula yang akan diperbuat oleh orang yang sudah bekerja tetapi penghasilannya tidak memadai? Apakah mereka dibiarkan dalam kemiskinan dan dihimpit kemelaratan? Sementara di sisi lain, di antara masyarakat ada yang berkecukupan bahkan berlebih-lebihan.
Islam menjawab permasalahan tersebut dengan adanya suatu aturan yang sangat teratur, serasi dan seimbang. Salah satu mekanisme pengentasan kemiskinan ialah realisasi zakat dalam pengelolaan yang benar. Secara sangat sistematis al-Qur'an memberikan gambaran dalam surat at-Taubah ayat 60:
"Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana." (Qs.9:60)
Dalam pembahasan ayat di atas, zakat diberikan pada orang-orang yang berhak mendapatkannya meliputi fakir, miskin, amil, muallaf, gharim, ibnu sabil dan fisabilillah. Apabila dikelola secara amanah dan profesional memberikan kontribusi yang tidak sedikit (Selanjutnya lihat al-Qur'an 9:103, 2:26, 6:141-142, 9:34-35, 17:26).
Larangan dalam Pembelanjaan Harta
"Maka terbenamlah Karun beserta rumahnya ke dalam bumi, maka tidak ada baginya suatu golongan pun yang menolongnya terhadap azab Allah dan tiadalah ia termasuk orang-orang (yang dapat) membela (dirinya)." (Qs.28:81)
Ayat di atas merupakan salah satu bukti keserakahan akibat dari terlalu cinta terhadap harta sehingga lupa bahwa harta merupakan amanat Allah dan dari sebagian harta tersebut terdapat kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi. Fenomena Karun, apabila dicermati lebih mendalam merupakan salah satu contoh riil dari kecintaan secara berlebihan terhadap harta yang mengarahkan pada suatu  keyakinan bahwa hartanya dapat mengekalkan kehidupannya.
Secara bijaksana al-Qur'an telah menginformasikan suatu larangan berdimensi sosial untuk kesejahteraan manusia agar harta tidak hanya dimiliki oleh segelintir orang saja. Larangan dalam pembelanjaan harta melingkupi tiga (3) macam, antara lain:
Pertama, larangan bersikap kikir/bakhil dan menumpuk harta. Kesadaran untuk membantu penderitaan yang dialami orang-orang yang kekurangan sangat mendapatkan porsi yang besar di dalam Islam. Keseimbangan yang diciptakan Allah dalam bentuk aturan-aturan yang bersifat komprehensif dan universal yaitu al-Qur'an dalam konteks hubungan sosial, apabila diimplementasikan dengan mengambil suri teladan para Nabi dan Rasul dan orang-orang beriman masa lalu membawa dampak terhadap distribusi pemerataan tingkat kesejahteraan.
Sikap kikir sebagai salah satu sifat-sifat buruk manusia (lihat Qs.70:19) harus dikikis dengan menumbuhkan kesadaran bahwa harta adalah amanah Allah swt yang harus dibelanjakan sebahagian dari harta tersebut kepada orang-orang yang berhak mendapatkannya.
Larangan kikir terhadap harta membuktikan kurangnya nilai kepekaan sosial, padahal manusia sebagai makhluk sosial (homo_homini_lupus) tidak hanya hidup sendiri tetapi membutuhkan pertolongan orang lain walaupun tidak secara langsung terjadi interaksi.
Sikap kikir akan mengarahkan manusia pada kategori orang-orang yang sombong dan membanggakan diri, dengan menganggap harta yang dimiliki hasil dari jerih payah sendiri tanpa sedikitpun bantuan pihak lain, padahal Allah swt sebagai Pemilik semesta alam beserta isinya termasuk harta yang dimiliki manusia. Firman Allah swt di dalam surat al-Hadiid ayat 23-24: "....Dan Allah tidak menyukai orang yang sombong lagi membanggakan diri, (yaitu) orang-orang kikir dan menyuruh manusia berbuat kikir...." (Qs.57:23-24).
Label sombong yang diberikan oleh Allah swt kepada orang-orang yang kikir, kalau ditelaah lebih jauh lagi membawa paradigma baru (pelaksanaan nilai-nilai Islami) menuju pemerataan kesejahteraan dengan meninggalkan paradigma lama (sikap kikir). Selanjutnya lihat Qs. 4:36-37, 3:180, 9:34-35, 70:15-18, 92:8-11, dan 47:36-38).
Sikap kikir tumbuh dari perilaku menumpuk-numpuk harta dan menghitung-hitung harta tersebut serta mempunyai anggapan bahwa harta tersebut dapat mengekalkan hidupnya. Ada sebuah peringatan dalam al-Qur'an yang berbunyi: "Kecelakaan bagi setiap pengumpat lagi pencela, yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya. Dia mengira hartanya itu dapat mengekalkannya. Sekali-kali tidak! Sesungguhnya dia benar-benar akan dilemparkan ke dalam huthanah." (Qs.104:1-4).
Kedua, larangan berlebih-lebihan dan bermewah-mewahan. "Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah setiap (memasuki) mesjid, makan, minumlah, dan jangan berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan." (Qs.7:31)
"Bermegah-megahan telah melalaikan kamu sampai kamu masuk ke dalam kubur." (Qs.102:1-2)
Kedua ayat di atas secara tegas memberikan arahan untuk menghindari sikap berlebih-lebihan dan bermegah-megahan dalam hidup.
Fenomena zaman di tengah badai krisiS yang melanda bangsa Indonesia sangat tepat untuk mengimplementasikan larangan berlebih-lebihan dan bermegah-megahan. Paradigma sikap hidup berlebih-lebihan dan bermegah-megahan di tengah kondisi sosial masyarakat yang serba kekurangan, membawa dampak kecemburuan sosial dan terbentuknya pengkotak-kotakan struktur sosial masyarakat.
Tanpa landasan aqidah yang kuat pada struktur sosial masyarakat, menimbulkan dampak timbulnya kriminalitas disebabkan adanya kesenjangan sosial yang kian menguat. Terjadinya pemborosan-pemborosan di satu sisi sebagai salah satu pengaruh 'pola hidup konsumtif' dan di sisi lain tingkat kemiskinan semakin bertambah besar. Secara realistis fenomena tersebut menimbulkan dua struktur sosial yang saling kontradiktif, apabila tidak dilakukan upaya-upaya penyelesaian akan mengarah pada kekecewaan sosial yang merupakan bentuk lebih jauh dari kecemburuan sosial. Problematika tersebut kian meruncing karena semakin menipisnya tingkat 'kepercayaan' pada pemerintahan dan semua lini kehidupan akan terakumulasi menjadi 'revolusi sosial' yang membawa dampak terhadap kestabilan bangsa dan negara.
Secara tidak langsung al-Qur'an telah mengajak berdialog dalam sebuah ayat antara lain: "Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaithan dan syaithan itu ialah sangat ingkar kepada Tuhannya." (Qs.17:27)
Nasehat tersebut apabila direfleksikan dalam kehidupan modern dewasa ini memberikan kontribusi yang sangat besar dalam upaya menciptakan ketentraman dan keamanan berbangsa dan bernegara. Selanjutnya lihat Qs. 46:20, 3:14, 18:28, 28:77-78, 34:34-37, 57:20, 89:20, 3:10.
Pembahasan mengenai berlebih-lebihan dan bermewahan-mewahan dalam penggunaan harta sangat terkait dengan konsumsi hidup yang mencakup kebutuhan sandang, pangan, papan, secara spesifik al-Qur'an telah memberikan suatu nasehat yang sangat berharga yaitu: "Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezeki yang telah diberikan Allah kepadamu; dan syukurilah nikmat Allah jika hanya kepada-Nya saja kamu menyembah." (Qs.16:114)
Cakupan pembahasan di atas merupakan larangan mengkonsumsi makanan-makanan yang diharamkan termasuk di dalamnya khamr (lihat Qs.5:90-93), larangan mengkonsumsi bangkai, darah, babi, binatang yang disembelih disebut selain nama Allah, hewan yang dicekik, dipukul, jatuh, ditanduk dan jenis makanan lainnya yang telah ditetapkan syari'ah (selanjutnya lihat Qs.5:3-4, 5:96, 2:168, 2:173, 7:32, 5:90).
Ketiga, larangan riba. "Orang yang makan (mengambil riba) tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaithan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya." (Qs.al-Baqarah:275)
Penegasan yang sangat jelas dari ayat di atas memberikan penjelasan mengenai larangan riba dalam realisasi sistem perekonomian. Riba patut mendapatkan porsi pembelanjaan harta karena sangat berkaitan dengan praktek-praktek yang telah berjalan pada penggunaan harta dalam masyarakat. Riba terdiri dari 2 (dua) macam yaitu nasiah dan fadhl. Riba nasiah ialah pembayaran lebih yang disyaratkan oleh orang yang meminjamkan sedangkan riba fadhl adalah penukaran suatu barang dengan barang yang sejenis, tetapi lebih banyak jumlahnya karena yang menukarkan mensyaratkan demikian, seperti penukaran emas dengan emas, padi dengan padi dan sebagainya. Riba yang dimaksud dalam ayat ini adalah riba nasiah yang berlipat ganda dan umum terjadi dalam masyarakat Arab jahiliyah.5 (Selanjutnya lihat Qs.2:276-279, 3:130-131, 30:39, 4:161).
Keempat, yaitu larangan riya. "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan sipenerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir." (Qs.2:264)
Ayat di atas merupakan peringatan dari al-Qur'an agar dalam beramal tidak diiringi dengan riya. Riya merupakan penyakit yang harus segera diobati dengan menghilangkan sikap riya tersebut. Amal orang-orang yang riya akan membawa kerugian karena amalan-amalan tersebut tidak mendapatkan pahala di sisi Allah.
Riya ialah melakukan suatu amalan perbuatan bukan untuk mencari keridhaan Allah tetapi untuk mencari pujian dan kemashuran dalam masyarakat. Dalam dataran pembelanjaan harta, riya sangat merusak keharmonisan hubungan antar manusia (human relation) karena akan menyebabkan dua kerugian yaitu kerugian terhadap penerima harta tersebut dan pemberi itu sendiri. Bagi penerima kerugian yang diterima ialah perasaan 'sakit', sedangkan bagi pemberi akan menyebabkan kerugian berupa hampanya amal dari pemberian harta tersebut. (Selanjutnya lihat Qs.8:47, 4:38, 3:18, 107:6).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar