Senin, 03 Oktober 2011

Strategi Pembelajaran Inovatif untuk Peningkatan Mutu Pendidikan: Suatu Tinjauan Konseptual dengan Pendekatan Teknologi Pendidikan

I. Pendahuluan
A. Latar Belakang
Pendidikan yang di selenggarakan dalam rangka memenuhi amanat UUD 1945, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa, adalah proses yang sangat kompleks. Sebagai suatu sub sistem dalam pembangunan bangsa, di dalamnya terintegrasi komponen siswa, pengajar, kurikulum dan pembelajaran, sarana dan prasarana, tata kelola penyelenggaraan, dan keuangan. Keberhasilan mewujudkan amanat tersebut tidak dapat berdiri sendiri, tetapi perlu dukungan secara integratif dari sub sistem lain. Amanat yang sekaligus merupakan cita-cita luhur mencerdaskan kehidupan bangsa itu sulit dicapai bila fenomena yang berlawanan dengan praktek pendidikan terus mengemuka di dalam masyarakat. Perilaku politik yang mengatasnamakan demokrasi namun menampilkan kekerasan dan kekasaran, perilaku ekonomi yang belum mensejahterakan tetapi masih menampilkan kemiskinan, perilaku hukum yang menampilkan ketidakadilan dan tidak mampu melindungi masyarakat dari penganiayaan, pertahanan negara yang menampilkan ketidak mampuan melindungi wilayah, dan praktek-praktek lain yang secara keseluruhan tidak mampu mengangkat citra dan harga diri bangsa, adalah contoh fenomena yang berlawanan tersebut. Dengan fenomena seperti itu pendidikan acapkali ditempatkan sebagai tumpuan harapan untuk mengatasi masalah kehidupan bangsa tersebut.
Di dunia internasional pendidikan nasional kita dipandang masih ketinggalan dan tidak mampu bersaing. Besarnya jumlah masyarakat yang masih buta huruf dan tidak menamatkan pendidikan dasar 9 tahun, masih rendahnya daya tampung perguruan tinggi dan masih sedikitnya perguruan tinggi Indonesia yang mencapai kelas dunia adalah ungkapan yang mengemuka baik di media massa maupun seminar-seminar pendidikan. Prestasi belajar sekelompok siswa dan mahasiswa kita di berbagai ajang lomba internasional masih belum mampu mengangkat citra rendahnya kualitas pendidikan di tanah air, karena masih sedemikian besarnya jumlah peserta didik, jumlah sekolah, jumlah perguruan tinggi yang masih disebut berkualitas rendah. Oleh karena itu perlu dicari strategi yang dapat mengangkat kualitas pendidikan kita secara nasional.

B. Masalah Mutu dan Relevansi Pendidikan
Setiap kita membahas permasalahan pendidikan tampaknya kita sepakat pada dua fokus utama yaitu pertama kualitas atau mutu dan relevansi, kedua kuantitas dan daya jangkau yang mengarah pada pemerataan.
Berdasarkan perspektif penulis, mutu dan relevansi pendidikan berfokus pada empat hal sebagai berikut.
1. kurikulum dan Strategi pembelajaran;
2. kompetensi lulusan;
3. kesesuaian 1 dan 2 dengan kebutuhan tenaga kerja;
4.kesesuaian pendidikan tinggi dengan tantangan pengembangan terakhir ilmu pengetahuan dan teknologi.
Namun, bahasan dalam makalah ini dibatasi pada fokus kurikulum dan strategi pembelajaran saja.
II. Mencari Kurikulum dan Strategi Pembelajaran
A. Pengalaman dari Waktu ke Waktu
Dari masa kemasa pemecahan masalah mutu dan relevansi pendidikan dilakukan dengan perbaikan dan penambahan seluruh komponen seperti: sarana prasarana sekolah; kualitas, kuantitas, kesejahteraan, dan sebaran penempatan pendidik dan tenaga ke pendidikan; kurikulum dan pembelajaran; serta penilaian hasil belajar. Namun kontroversi tentang ketepatan pemecahan masalah itu selalu mencuat dan membuahkan pomeo ganti pejabat ganti kurikulum, ganti pejabat ganti kebijakan. Kontroversi itu seolah merefleksikan ketidakpercayaan publik terhadap pendekatan yang sedang diberlakukan, padahal semua aspek dalam sistem pendidikan telah dipikirkan, direncanakan, dan dilaksanakan.
Secara singkat berikut ini berbagai perubahan pendekatan yang pernah kita laksanakan untuk mencari strategi pembelajaran dan pendidikan yang tepat:
1. Program Pengembangan Sistem Instruksional ( PPSI )
Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI) adalah salah satu pendekatan dalam mendesain suatu program pembelajaran khususnya berguna sebagai acuan untuk menyusun Rencana Pembelajaran atau Satuan Pembelajaran oleh guru (Hamalik, 2005). Nama PPSI mulai popular seiring dengan pemberlakuan kurikulum 1975. Pendekatan yang digunakan dalam penerapan kurikulum 1975 memang berorientasi pada tujuan. Sistem ini senantiasa mengarah kepada tercapainya tujuan yang khusus, dapat diukur, dan dirumuskan dalam bentuk perilaku peserta didik. Kata “Sistem Instruksional” dalam PPSI merujuk pada suatu sistem, yang terdiri dari komponen-komponen yang berhubungan satu dengan yang lain dalam rangka mencapai tujuan yang diinginkan. Pembelajaran sebagai sebuah sistem terdiri dari berbagai komponen, seperti bahan atau materi, kegiatan pembelajaran, dan alat evaluasi, merupakan beberapa komponen yang saling berpengaruh untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan (Harjanto, 1997). Harapannya, dengan diterapkannya PPSI, guru dapat mencapai tujuan pembelajaran yang efektif dan efisien. Beberapa langkah pengembangan dari PPSI yang digunakan guru sebagai kerangka pikir dalam menyusun sebuah Rencana atau Satuan Pembelajaran adalah Perumusan Tujuan Pembelajaran, Pengembangan alat Evaluasi, Perencanaan Kegiatan Pembelajaran, Pengembangan Program kegiatan, dan Pelaksanaan Program.
Terdapat kritik terhadap implementasi PPSI dikalangan para guru. Prosedur ini membawa konsekuensi terhadap beban kerja guru dan juga Kepala Sekolah bertambah di bidang pengadministrasian dokumen seperti penyusunan satuan pembelajaran yang detil, termasuk penyusunan alat evaluasi yang harus dapat mengukur tujuan pembelajaran. Sehingga bukannya tidak mungkin, guru harus merevisi rancangan atau satuan pembelajarannya agar seluruh komponen sesuai dan yakin dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien. Pada saat itu, hal tersebut dirasakan cukup berat dikaitkan dengan pendapatan yang tidak seimbang (Hamalik, 2005). Juga yang dikemukakan oleh Soedijarto dalam penerapan PPSI saat pelaksanaan kurikulum 1975, yang terlalu menaruh harapan tinggi terhadap guru yang menerapkan PPSI yang sebenarnya harus dilakukan oleh tenaga profesional, sehingga dibutuhkan peningkatan kompetensi dan keahlian yang mendasar dari profesi guru (http://www.jakartateachers.com/4429.htm).
2. Cara Belajar Siswa Aktif ( CBSA )
Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) atau dalam bahasa Inggris disebut student active learning adalah satu pendekatan belajar yang memfokuskan pembelajaran pada siswa. Pendekatan ini mulai dikenal pada pertengahan tahun 80an sebagai jawaban terhadap keluhan masyarakat bahwa pembelajaran di kelas lebih teacher oriented dengan banyak menggunakan metode ceramah sehingga siswa cenderung pasif. Dalam CBSA, siswa terlibat aktif baik secara fisik, mental, intelektual, dan emosional guna memperoleh hasil belajar yang optimal. Dengan adanya keterlibatan mental, intelektual, dan emosional memungkinkan terjadinya proses asimilasi dan akomodasi kognitif dalam mencapai pengetahuan. Dengan menerapkan CBSA, pembelajaran diarahkan kepada proses yang mampu memberikan siswa pengetahuan dan kemampuan berfikir kritis, logis, dan sistematis, serta keterampilan dalam menerapkan hasil-hasil ilmu pengetahuan; mampu memupuk kemauan dan kebiasaan untuk terus menerus belajar; serta memberikan keterampilan menerapkan hasil belajar untuk kepentingan orang lain atau masyarakat. Karyadi (2005) menjelaskan bahwa terdapat empat prinsip CBSA yang harus dipehatikan dalam menerapkannya. Keempat prinsip tersebut adalah keterlibatan siswa dan keterlibatan guru dalam proses pembelajaran, bahan kajian yang diajarkan, serta situasi pembelajaran. Keterlibatan siswa dapat dilihat dari keberanian mewujudkan minat, keinginan, dan gagasan, peran serta siswa dalam persiapan proses pembelajaran, kemampuan dan kreativitas dalam melaksanakan kegiatan belajar, rasa aman dan bebas melakukan sesuatu, serta rasa ingin tahu. Sementara itu, keterlibatan guru dapat dilihat dari cara guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan berbagai macam kegiatan belajar, menciptakan berbagai situasi belajar, mendorong siswa menjadi peserta aktif dalam proses belajar, mendorong siswa agar lebih banyak berinteraksi di kelas, mendorong siswa menjadi kreatif, memberikan pelayanan kepada perbedaan individu, menggunakan berbagai sumber belajar, memberikan balikan, serta menilai hasil belajar siswa dengan berbagai cara. Tujuan pembelajaran dn bahan kajian, serta program pendidikan yang tidak kaku merupakan prinsip CBSA yang dilihat dari bahan kajian yang diajarakan, sedangkan situasi belajar yang menrapkan prinsip CBSA terlihat pada adanya interaksi yang hangat dan adanya kegembiraan dan kegairahan belajar.
3. Kurikulum Berbasis Kompetensi ( KBK )
Kurikulum 2004 yang dikembangkan untuk memperbaiki dan memperbaharui kurikulum 1994 dikenal sebagai Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Munculnya KBK sebagai pendekatan belajar adalah sebagai implikasi diterapkannya Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) atau School Based Management (SBM) adalah model pengelolaan yang memberikan otonomi atau kemandirian kepada sekolah dan mendorong pengambilan keputusan partisipatif yang melibatkan seluruh masyarakat sekolah secara langsung sesuai dengan standar yang telah ditetapkan (Susilana, 2009). MBS mendorong sekolah untuk berinovasi, mendesain kembali organisasi sekolah, serta menciptakan perubahan dalam proses pembelajaran. Sesuai amanat MBS yakni mencipatakan perubahan dalam proses pembelajaran, KBK merupakan jawaban untuk perubahan tersebut. Dengan pendekatan ini, kurikulum lebih menekankan pada kompetensi yang diharapkan dapat dikuasai siswa. Artinya, yang diperlukan bukanlah banyaknya bahan materi yang diajarkan seperti pada kurikulum berbasis isi, namun lebih pada kompetensinya. KBK berisi kompetensi atau kemampuan dasar yang harus dicapai oleh peserta didik melalui materi pokok dan indikator pencapaian hasil belajar yang telah ditetapkan. Kompetensi dasar ini terdiri dari empat kompetensi yakni kompetensi akademik, kompetensi okupasional, kompetensi kultural, dan kompetensi temporal. Selanjutnya, KBK memiliki karakteristik sebagai pendekatan yang menitikberatkan pada pencapaian target kompetensi, mengakomodasi beragam kebutuhan dan sumber daya pendidikan yang tersedia, dan memberikan kebebasan yang lebih luas kepada pelaksana pendidikan di lapangan untuk mengembangkan dan melaksanakan program-program pembelajaran sesuai dengan kebutuhan.
4. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan ( KTSP )
Sejarah KTSP dimulai dari lahirnya kurikulum 2004 yang disebut juga Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Kurikulum 2004 sendiri hadir seiring dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang menyiratkan semangat desentralisasi penyelenggaraan pendidikan. Dalam perjalanannya dan disesuaikan dengan tuntutan perkembangan dari kebijakan desentralisasi, otonomi, fleksibilitas, dan keluwesan penyelenggaraan pendidikan, Pemerintah melakukan penyempurnaan KBK melalui pengembangan Kurikulum Tingkat satuan Pendidikan (KTSP). Penyusunan KTSP di setiap satuan pendidikan tetap mengacu pada standar nasional pendidikan yang mencakup standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan. Dua dari kedelapan standar itu yaitu standar isi dan standar kompetensi lulusan merupakan acuan utama bagi satuan pendidikan dalam mengembangkan kurikulum. Menurut E. Mulyasa ( 2006 : 22 ), secara umum tujuan diterapkannya KTSP adalah untuk memandirikan dan memberdayakan satuan pendidikan melalui pemberian otonomi kepada lembaga pendidikan dan mendorong sekolah untuk melakukan pengambilan keputusan secara partisipatif dalam pengembangan kurikulum. Di balik semangat mendorong kreativitas pengajar untuk melakukan inovasi dalam pengembangan pembelajaran, terdapat kritik terhadap implementasi KTSP. Kande (2008) menguraikan apabila dikaitkan antara standar isi dengan standar kelulusan, seharusnya keduanya berjalan serasi. Namun ketika kompetensi yang ditetapkan tersebut hanya diukur dari satu sudut pandang saja melalui Ujian Nasional dengan sangat mengecilkan arti dari ketentuan dalam PP Nomor 19 tahun 2005 Pasal 27 Ayat 1 bahwa peserta didik dinyatakan lulus tidak hanya diukur dari hasil Ujian nasional saja, maka implementasi KTSP masih tidak sesuai dengan aturan. http://re-searchengines.com/frederik0608.html
Bila kecenderungan membuat kebijakan yang mewajibkan pengajar menerapkan srategi pembelajaran tertentu akan terus berlanjut pada masa yang akan datang maka pengajar akan pasif dan tidak inovatif. Sementara itu pembuat kebijakan akan terus disibukkan mencari dan menginstruksikan penerapan kebijakan baru dari waktu ke waktu agar disebut inovatif. Di sisi lain para guru tidak pernah mendapat kesempatan mengaplikasikan kebijakan tersebut karena keterbatasan waktu dan sumberdaya pendukung di sekolah masing–masing.
B. Adakah yang Salah ?
Jawabnya mungkin tidak ada yang salah, namun ketidakpuasan pemangku kepentingan selalu muncul dan mengemuka. Satu pendekatan masih belum diterapkan secara mantap oleh seluruh sekolah sudah datang pendekatan baru lagi. Siklus yang sama dilakukan lagi, yaitu penataran tentang pendekatan baru, pelaksanaan oleh sekolah–sekolah. Kemudian, muncul ketidakpuasan baru serta dikenalkan pendekatan yang lebih baru. Sementara itu kurikulum pada lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) harus terus disesuaikan agar tidak ketinggalan jaman dari kebijakan tentang pendekatan baru. LPTK seolah tidak punya pilihan yang lebih akademis (baca ilmiah) dari pada sekedar mengajarkan pendekatan yang ditentukan oleh penentu kebijakan (Pemerintah). Fungsi LPTK yang seharusnya sebagai penghasil ilmu pendidikan termasuk penemu pendekatan baru dalam pembelajaran tidak sempat hadir. Tidak ada pendekatan yang bermula dari hasil/temuan penelitian LPTK yang kemudian digunakan sebagai kebijakan pendidikan atau setidaknya mampu memberikan inspirasi untuk digunakan secara nasional. Berbagai pakar pendidikan yang cukup vokal menyebutnya sebagai tanda–tanda meredupnya sinar ilmu pendidikan di tanah air. Mereka mengajukan berbagai pertanyaan–pertanyaan kritis. Sampai kapan LPTK harus tetap begini tanpa berdaya ikut menentukan arah perubahan pendidikan ? Mereka risau dengan proses instruktif dan top down dari pemerintah ke sekolah–sekolah, dalam penggunaan pendekatan pembelajaran di tanah air. Mereka mendambakan timbulnya ruang yang luas untuk munculnya kreativitas guru dalam pembelajaran. Mereka tidak rela membiarkan para guru bernyanyi seperti paduan suara tentang keseragaman pendekatan pembelajaran di ruang kelas mereka pada hal sumberdaya pendukung mereka tidak setara antara satu dengan yang lain.
Salahkah pembuat kebijakan ? Mungkin tidak sepenuhnya salah, tetapi LPTK tentu tidak boleh mengelak dari posisinya sebagai penyebab keadaan tersebut. LPTK tidak berani inovatif, sehingga tidak mampu memberikan perubahan dalam skala nasional.
C. Konsep Dasar Teknologi Pembelajaran: Kemana ?
Teknologi pembelajaran dikenal sebagai cara – cara yang sistemik dan sistematik dalam memecahkan masalah pembelajaran secara efektif dan efisien. Kalau definisi ini disimak di dalamnya ada beberapa pengertian: Pertama, teknologi pembelajaran menawarkan berbagai cara, bukan satu cara. Kedua, teknologi pembelajaran menawarkan cara yang sistemik ( bersistem ) bukan parsial, tetapi menyeluruh dan integratif dengan melibatkan semua komponen pembelajaran. Seperti uraian Suparman (2004) bahwa suatu sistem lebih sekedar gabungan dari bagian-bagian; ia harus mempunyai tujuan tertentu yang tidak dapat dicapai oleh fungsi dari satu atau beberapa bagian darinya. Ketiga, teknologi pembelajaran menawarkan cara yang runtut atau sistematik, tidak acak–acakan. Keempat, teknologi pembelajaran menawarkan cara yang terbukti efektif dan efisien, melalui uji coba dalam skala terbatas sebelum digunakan dalam skala nasional. Kelima cara–cara itu terfokus pada rangkaian interaksi antara peserta didik dengan sumber belajar dalam skala luas, termasuk pengajar dan berbagai media sehingga tujuan pembelajaran yang telah ditentukan sebelumnya tercapai. Dengan pemanfaatan media televisi atau program video, situasi pembelajaran dapat berlangsung lebih efisien serta pengendaliannya akan lebih efektif. Cara seperti ini dapat memelihara minat, pemahaman, serta pengayaan semua pengalaman siswa (Sujana dan Rivai, 1989)
Definisi itu menjanjikan terjadinya solusi dalam memecahkan masalah pembelajaran melalui lima konsep dasar yang sangat indah.
Kalau janji itu benar, kemana teknologi pendidikan itu berjalan selama ini ? Mengapa rekam jejaknya tidak pernah mengemuka sebagai suatu ilmu terapan yang diakui secara luas tentang keterandalannya di tanah air?
Pertanyaan–pertanyaan seperti ini menggugat keberadaan (eksistensi) teknologi pendidikan sebagai ilmu terapan dan sekaligus mempertanyakan keberadaan para pemikir, peneliti dan praktisi profesional dalam bidang teknologi pembelajaran. Berapa tebalkah tembok ruang kuliah, ruang kelas dan ruang kerja mereka sehingga kinerjanya terkurung rapat dalam ruang kedap suara sehingga nyaris tak terdengar ? Di tanah air sudah ada ribuan lulusan S1, S2 dan S3 Teknologi Pendidikan, baik hasil pendidikan di dalam maupun luar negeri. Kemana saja mereka itu sehingga kiprahnya ibarat lenyap ditelan bumi Nusantara dan bersembunyi di balik lebatnya hutan pendidikan nasional kita ? Jawabnya mungkin ada, hanya saja mereka pendiam dan tidak sempat menjadi pusat perhatian masyarakat pendidikan.
III. Srategi Pembelajaran yang Inovatif
Pembelajaran disebut efektif bila dapat memfasilitasi peserta didik untuk mencapai tujuan pembelajaran yang ditentukan. Untuk itu pengajar perlu menyusun strategi yang sesuai dengan karakteristik peserta didik dan mampu membuatnya mencapai kompetensi yang di tentukan dalam tujuan pembelajaran. Suparman (2004) menjelaskan tentang pengembangan strategi instruksional yang dapat dilakukan oleh pengajar untuk menciptakan situasi pembelajaran yang mendukung pencapaian kompetensi yang telah ditetapkan. Berikut langkah-langkah pengembangan strategi instruksional.
URUTAN KEGIATAN INSTRUKSIONAL METODE MEDIA WAKTU
PENDAHULUAN DESKRIPSI SINGKAT:
RELEVANSI:
TIK:
PENYAJIAN URAIAN:
CONTOH:
LATIHAN:
PENUTUP TES FORMATIF:
UMPAN BALIK:
TINDAK LANJUT:
A. Visi Pembelajaran : Melihat Makna Kompetensi Masa Depan dan Bebas Berkreasi.
Hal yang penting harus diyakini bersama oleh pengajar dan peserta didik adalah makna kompetensi yang terkandung dalam tujuan pembelajaran. Kompetensi dalam tujuan pembelajaran itu bukan saja perlu dipahami artinya tetapi juga diyakini manfaatnya oleh peserta didik bagi kehidupannya sekarang dan terutama masa datang. yang Dalam memahami dan menghayati makna tersebut peserta didik harus sampai pada taraf mendapatkan harapan baru, cita–cita baru, dalam hidupnya pada masa depan. Bagi pengajar itulah visi dalam sistem pembelajaran yang menjadi tanggung jawabnya, yaitu pembelajaran yang mampu menciptakan impian ke masa depan bagi peserta didiknya. Penjelasan dari pengajar tentang visi pembelajaran itu bukan sekedar verbalistik, tetapi harus mampu membawa peserta didik ke angan–angan yang indah dan penuh harapan. Disinilah diperlukan pengajar profesional yang inovatif, sabar, dan selalu berorientasi ke depan, ke arah masa depan yang lebih baik, lebih cerah, lebih bersemangat, lebih positif, bukan sebaliknya, menciptakan peserta didik yang pesimis, negatifis, skeptis, rendah diri, dan tidak mampu melihat masa depannya. Caranya ? Pengajar bebas berkreasi, bebas mengekspresikan pikiran dan perasaannya menurut situasi saat pembelajaran terjadi. Pengajar tidak perlu diharuskan mematuhi buku pintar tentang satu–satunya bimbingan teknis yang mengikat dan membelenggu kreativitasnya. Biarkan pengajar mencari sendiri cara yang dipandang terbaik dalam menyampaikan visi pembelajaran tersebut dan menguasai berbagai cara yang dipilihnya setiap saat. Yang harus tetap hidup dalam dada peserta didik adalah dicapainya keyakinan tentang makna kompetensi yang akan dicapainya bagi kehidupannya yang lebih baik saat ini dan terutama masa depan.
Apa modal penting bagi pengajar agar ia mampu menciptakan pembelajaran seperti itu ? Jawabnya kuasai pendekatan sistem dan perkaya keterampilan mengajar.
B. Pendekatan Sistem : Sumber Belajar yang Konsisten dengan visi.
Yang perlu dikuasai pengajar adalah digunakannya pendekatan sistem dalam melaksanakan pembelajaran. Pengajar perlu mempunyai dan menerapkan wawasan bersistem, bahwa untuk mewujudkan visi pembelajaran itu diperlukan cara-cara tentang mendayagunakan semua sumber belajar yang sudah ada dan bila perlu yang harus diadakan olehnya agar interaksi peserta didik dengan sumber belajar tersebut dapat berlangsung dengan aktif, lancar, menarik, menyenangkan, menantang, dan akhirnya menghasilkan kompetensi yang telah ditentukan. Cara-cara itu dapat diciptakan secara bebas oleh pengajar dan dapat diubah-ubah sewaktu-waktu sesuai dengan daya cipta, keinginan, perasaan yang ada padanya. Disamping penguasaan materi yang di ajarkan, perbendaharaan tentang pengetahuan dan keterampilan menggunakan berbagai metode, dan media yang diperoleh dari berbagai pelatihan, diperkaya dengan pengalamannya dalam menggunakan berbagai urutan kegiatan penyajian, metode dan media pembelajaran, dan manajemen waktu dalam pembelajaran merupakan referensi bagi pengajar dalam menciptakan cara-cara tersebut agar sesuai dengan karakteristik peserta didik, yang dihadapinya dan visi pembelajaran yang ditentukan. Cara-cara itu disebut strategi pembelajaran. Melalui pengalaman secara kumulatif, setiap pengajar akan kaya strategi bahkan setiap saat dapat menciptakan strategi baru yang semuanya membuat peserta didik berinteraksi dengan sumber belajar secara efektif dan efisien dalam mewujudkan visi pembelajaran. Dengan kata lain pengajar dimungkinkan menemukan strategi yang paling efektif dan efisien serta disenangi untuk mewujudkan visi pembelajaran yang di cita-citakan. Inovasi dalam strategi pembelajaran dapat terjadi setiap saat oleh setiap pengajar. Modal awalnya adalah pengetahuan dan keterampilan menggunakan berbagai metode dan media yang diperolehnya dari berbagai pelatihan yang diselenggarakan oleh pemerintah atau yayasan pengelola pendidikan.
C. Keberhasilan Mewujudkan Visi : Pengukuran yang Valid dan Reliabel oleh Siapa?
Dari uraian butir A dan B tersebut di atas, pengajar boleh bahkan bebas seluas-luasnya untuk berkreasi selama proses pembelajaran, tidak harus mengikuti satu strategi sepanjang waktu. Pengajar dapat mengubah strategi pembelajaran dari waktu ke waktu agar ia tidak jenuh, peserta didik tidak bosan tetapi senang, dan muncul gagasan-gagasan baru dalam strategi pembelajaran. Yang tidak boleh berubah-ubah adalah visi pembelajaran saja yaitu: kompetensi yang diharapkan dicapai setelah pembelajaran, karena kompetensi itu telah dirumuskan dan ditetapkan sejak awal. Visi inilah yang menjadi panduan dan fokus bagi pengajar dan peserta didik. Visi yang semula merupakan impian bagi peserta didik, berkat kemampuan pengajar dalam meyakinkannya diikuti dengan strategi pembelajaran yang berfokus kepada visi tersebut. Impian indah itu pada akhirnya harus berwujud kompetensi yang dikuasai peserta didik. Bagaimana kita tahu bahwa visi itu sudah terwujud? Untuk menjawabnya tentu perlu pengukuran. Apa yang harus diukur? Yang harus diukur adalah setinggi apa kompetensi yang dikuasai peserta didik? Dalam pengukuran ini muncul berbagai pertanyaan:
1. Perlukah pengukuran itu? Untuk apa?
2. Bagaimana bentuk alat ukurnya?
3. Siapa yang punya kewenangan melaksanakan pengukuran?
Pertama, perlu tidaknya pengukuran terhadap pencapaian visi. Para pemikir dan praktisi pendidikan tidak selalu sepakat dalam menjawab pertanyaan ini. Yang menjawab perlu dilakukan pengukuran mempunyai argumentasi bahwa visi yang berupa cita-cita dan impian itu bukanlah sekedar alat untuk memicu dan memacu proses pembelajaran tetapi juga untuk memberikan kepuasan dan kepastian terhadap tercapai tidaknya impian itu. Lebih dari itu, derajat ketercapaian tersebut merupakan akuntabilitas proses pembelajaran kepada para pemangku kepentingan pendidikan. Pada akhir proses pembelajaran harus ada bentuk kongkrit dari impian itu, yaitu biasa disebut prestasi belajar. Tanpa pengukuran, peserta didik dan pengajar tidak punya dasar untuk mengaku berhasil atau gagal dalam memberi makna dalam proses pembelajaran.
Yang menjawab tidak perlu dilakukan pengukuran mempunyai argumentasi bahwa sepanjang proses pembelajaran sudah terjadi sesuai rencana maka biarlah semuanya dianggap selesai dan dianggap sukses. Bukankah yang paling penting dalam pembelajaran itu terjadinya proses yang dilakukan dengan sebaik-baiknya?
Tentang derajat ketercapaian tidak dapat dibebankan kepada pengajar sebab faktor-faktor lain seperti ketersediaan sarana dan prasarana, ketercukupan penghasilan pengajar, ketersediaan kesempatan pengajar untuk mengembangkan diri, dan sebagainya. Bagi pihak yang menganggap perlu dilakukan pengukuran, masih ada pertanyaan lanjutan yaitu: bagaimana alat ukurnya? Buku-buku pintar tentang cara membuat alat ukur yang berkenaan dengan kompetensi kognitif dan psikomotor sudah banyak dan dapat dijadikan pedoman oleh pengajar dalam mengembangkan alat ukur yang valid dan reliable. Yang sangat sulit adalah mengukur kompetensi yang berkenaan dengan kompetensi afektif atau karakter setiap peserta didik. Cheklist yang dikombinasikan dengan skala sikap dapat digunakan sebagai alat observasi dan penilaian sikap atau karakter setiap peserta didik. Namun keberatan terhadap alat dan cara pengukuran terhadap kompetensi afektif ini adalah akurasinya. Walau digunakan melalui observasi jangka panjang masih besar kemungkinan meleset. Peserta didik yang tampak sebagai manusia yang berkarakter baik acapkali terbukti sebaliknya, yaitu menjadi penipu, pembunuh dan penjahat bahkan kadang-kadang sangat ulung dan kejam. Pengukuran karakter dari setiap peserta didik ini tidak cukup hanya dilakukan oleh pengajar selama berada di depan kelas. Keterbatasan dalam melaksanakan pengukuran seperti itu benar-benar membuat pengajar acapkali tidak sanggup melakukannya.
Untuk memenuhi kebutuhan peserta didik dan pengajar, pengukuran keberhasilan pembelajaran dilakukan oleh pengajar secara otonom. Pengukuran secara otonom dan mandiri sudah dapat memenuhi rasa ingin tahu tentang efektivitas pembelajaran dan sekaligus sebagai bentuk pertanggungjawaban pengajar secara internal baik kepada sekolah maupun kepada peserta didik. Namun untuk memenuhi kepentingan yang lebih besar yaitu tanggung jawab terhadap masyarakat luas dan Pemerintah, pengukuran keberhasilan perlu dilakukan oleh pihak luar, tidak cukup hanya oleh pengajar yang bersangkutan. Disinilah letak perlunya ada ujian akhir nasional (UAN ) yang diselenggarakan oleh Pemerintah. Pemerintah dalam hal ini adalah pihak luar ditinjau dari pihak pengajar, siswa dan sekolah.
Melalui penyelenggaraan UAN baik peserta didik maupun pengajar diukur keberhasilan mewujudkan visi pembelajarannya secara lebih independen. Bagi Pemerintah kepentingan penyelenggaraan UAN sekaligus sebagai cara untuk memotivasi peserta didik, pengajar, dan pimpinan sekolah untuk menyelenggarakan strategi pembelajaran yang paling sesuai dengan memperhitungkan karakteristik peserta didik dan ketersediaan sumberdaya pendukung. Hasil UAN ini dapat digunakan pula sebagai dasar oleh Pemerintah atau lembaga pendidikan yang diselenggarakan masyarakat untuk mengadakan sumber daya yang ideal di setiap sekolah, seperti sarana prasarana, kesejahteraan pendidik dan tenaga kependidikan, dan peningkatan kualitas tenaga pendidik dan kependidikan. Dengan demikian penyelenggara UAN mempunyai dampak positif walaupun melalui pemberian tekanan kepada semua pihak baik guru, peserta didik, sekolah, pemerintah dan masyarakat untuk berperan dan bertanggungjawab di bidang masing-masing dalam penyelenggaraan pendidikan. Semua pihak itu harus berupaya mengelola tekanan yang acapkali berwujud stress sebaik-baiknya agar visi pembelajaran tercapai.
IV. Relevansi Pendidikan
Membahas kualitas pendidikan tanpa menyentuh relevansinya tampaknya ibarat makan sayur tanpa garam. Pendidikan berkualitas namun tidak relevan dengan kebutuhan tenaga kerja menjadikan pendidikan itu kehilangan makna. Bagi pendidikan tinggi, pendidikan itu harus relevan pula dengan kebutuhan pengembangan ilmu dan teknologi agar para lulusanya dapat berkiprah sebagai ilmuan.
A. Kurikulum dan Pembelajaran yang Bagaimana? Segi Tiga Pengaman?
Fenomena yang muncul menjadi bahan perdebatan adalah kompetensi lulusan tidak sesuai dengan kebutuhan tenaga kerja dan dikaitkan dengan besarnya jumlah pengangguran terdidik. Debat itu acapkali terus melompat ke arah dugaan tidak relevannya kurikulum, karena lulusan sarjana suatu program studi tidak mampu bekerja dibidang yang dipelajarinya. Mereka harus dilatih lebih dahulu dengan kompetensi yang lebih spesifik agar siap bekerja.
Untuk menjamin relevansi kurikulum dengan kebutuhan dunia kerja sebenarnya ada cara yang sistematik dalam disain pembelajaran (sebagai bagian dari teknologi pembelajaran). Tiga pihak pemangku kepentingan dalam program studi harus terlibat dalam merancang kurikulum dan pembelajaran. Ketiganya adalah pengguna lulusan (masyarakat dan pemerintah) peserta didik atau lulusan yang sudah bekerja sesuai dengan bidang studi yang pernah ditempuhnya, dan penyelenggara pendidikan. Mereka harus duduk bersama sepanjang proses pengembangan kurikulum mulai dari penentuan visi atau tujuan program studi, tujuan setiap matapelajaran/matakuliah, dan strategi pembelajaran. Harles dalam Suparman (2004) menggambarkan hubungan ketiga pihak antara masyarakat, peserta didik, dan pengajar sebagai hubungan segitiga yang saling terkait yang semuanya untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Hubungan tersebut dideskripsikan melalui gambar berikut.
Gambar 2.
Hubungan kerjasama dan partisipasi ketiga pihak dalam mengidentifikasi kebutuhan instruksional
Tiga pihak tersebut adalah kunci utama pada tahap awal program pendidikan agar relevan dengan kebutuhan. Ketiganya ibarat segitiga pengaman. Namun apa yang terjadi dalam praktek? Penyelenggara pendidikan mengerjakan sendiri semua yang berhubungan dengan pengembangan kurikulum, bahan ajar, media lain dan cara penilaiannya. Pada tahap berikutnya, pada saat pendidikan itu dilaksanakan diperlukan pula keterlibatan masyarakat pengguna lulusan dalam bentuk bantuan tenaga pengajar dan atau kesempatan berpraktek/praktikum di dalam lingkungan masyarakat pengguna. Disinilah letak terwujudnya relevansi pengetahuan, keterampilan dan sikap lulusan dengan kebutuhan masyarakat pengguna. Namun sekali lagi apa yang biasa terjadi? Penyelenggara pendidikan bertindak sendiri karena merasa paling tahu dan paling mempunyai kewenangan dalam proses pendidikan dan bahkan satu-satunya pihak yang berhak melakukan penilaian hasilnya. Sikap otoriterian ini pula yang menyebabkan pengguna lulusan tidak percaya kepada kualitas lulusan.
Topik diskusi menarik terkait dengan relevansi pendidikan adalah ketidak siapan lulusan sarjana untuk langsung bekerja di tempat yang sesuai dengan bidang studi yang telah diselesaikannya. Mereka harus diberi pelatihan dulu di tempat kerja tersebut. Kelompok yang mengkritik habis keadaan tersebut mempersalahkan perguruan tinggi yang menghasilkan sarjana siap pakai, pada hal perguruan tinggi manapun di dunia, yang terbaik sekalipun, tidak akan dapat menghasilkan sarjana siap pakai manakala terkait dengan kultur atau sistem dan prosedur kerja pada organisasi tempatnya bekerja. Sarjana baru itu harus diadaptasikan dulu dengan budaya organisasi tempatnya bekerja, apalagi bila menyangkut penggunaan teknologi yang berbeda dengan yang dipelajarinya selama belajar.
Hal lain yang sering dikaitkan dengan relevansi adalah munculnya fenomena besarnya jumlah pengangguran terdidik. Pendapat sekelompok orang menyatakan bahwa karena kompetensi lulusan itu kurang relevan dengan kebutuhan tenaga kerja maka mereka menganggur. Mungkin pernyataan ini ada benarnya. Kemungkinan lain adalah rekrutmen dan penempatan tenaga kerja acapkali melalui seleksi yang kurang akurat. Para manajer sumberdaya manusia (SDM) atau kepegawaian yang bertugas merekrut pegawai baru acapkali menerima pegawai dari hasil seleksi tertulis dan wawancara yang fokusnya pada psikotes khususnya intelegensi dan motivasi. Penguasaan bidang studinya acapkali kurang diperhatikan atau bahkan ditinggalkan dengan asumsi hal tersebut dapat dilatihkan dalam beberapa bulan sebelum mulai bekerja. Pendekatan seperti ini mengabaikan pentingnya penghayatan terhadap bidang “ ilmu “ yang sebenarnya menjadi basis pembentukan pribadi yang diakhiri darah filosofis bidang ilmu.
Salah satu contoh kongkrit ada rekrutmen tenaga pendidik yang tidak mempunyai darah keguruan tetapi cukup dengan penguasaan bidang studi ditambah penguasaan cara mengajar. Dengan lain perkataan cukup dengan kompetensi profesional saja, tidak perlu kompetensi kepribadian.
V. Catatan Akhir
1. Upaya peningkatan kualitas pembelajaran selalu menjadi kepedulian Pemerintah. Dari waktu ke waktu diterbitkan berbagai kebijakan dan proyek-proyek yang menyentuh semua komponen yang terkait dalam sistem pembelajaran, seperti peningkatan kualitas tenaga pendidik dan kependidikan, penyediaan sarana dan prasarana pendidikan, pendayagunaan pendekatan pendidikan baru, peningkatan kesejahteraan guru, tata kelola pendidikan baru, dan sebagainya. Namun kebijakan-kebijakan baru tersebut acapkali diwarnai dengan nuansa menyalahkan pendekatan lama dan ingin mengganti dengan pendekatan baru. Pada hal pendekatan baru mungkin lebih bernuansa alternatif lain yang menambah khasanah pendekatan pembelajaran yang sudah ada. Ketidakpuasan pengajar, para pemikir, dan pengelola sekolah terhadap setiap pendekatan baru selalu muncul sedangkan kualitas pembelajaran yang diimpikan seolah-olah tidak muncul.
2. Teori apapun yang menjadi landasan setiap pendekatan akan lebih mantap dan berkelanjutan bila:
a. Visi pembelajaran yang mengarah pada terujudnya tujuan pembelajaran dipahami dan diyakini manfaatnya oleh peserta didik dan pengajar sejak awal pembelajaran. Pengajar haruslah visioner.
b. Menggunakan pendekatan sistem dengan menempatkan kegiatan pembelajaran sebagai titik sentralnya sedangkan komponen lain menjadi pendukungnya sehingga harus relevan dengan titik sentral tersebut. Pendekatan Sistem ( system approach ) adalah salah satu konsep dasar teknologi pendidikan.
c. Pengajar perlu di beri kebebasan seluas-luasnya untuk menciptakan strategi pembelajaran yang dipandang baik sepanjang mengarah pada tercapainya visi pembelajaran dengan menggunakan sumber belajar yang tersedia dan dapat disediakan ditempatnya mengajar. Untuk ini, modal utama yang diperlukan pengajar adalah penguasaan pengetahuan dan ketrampilan tentang berbagai metode dan media pembelajaran yang dapat diperoleh melalui pelatihan-pelatihan yang diselenggarakan oleh pemerintah atau yayasan pendidikan tempatnya bekerja. Penggunaan sumber belajar seluas–luasnya adalah konsep dasar yang lain dalam teknologi pendidikan.
3. Pengukuran terhadap ketercapaian visi pembelajaran diperlukan, baik yang secara intensif oleh pengajar dan sekolah maupun pada saat akhir program yang disebut UAN, oleh Pemerintah, sebagai bentuk akuntabilitas pengajar dan sekolah kepada peserta didik, masyarakat, dan Pemerintah. Pengukuran terhadap hasil belajar bukan saja hak setiap pengajar tetapi juga hak pemangku kepentingan untuk mengetahui hasilnya. Untuk itu pengajar mempunyai kewajiban untuk mempublikasikan hasilnya.
4. Relevansi pendidikan ditentukan oleh keterlibatan tiga mitra yaitu, pengguna lulusan, penyelenggara pendidikan dan peserta didik atau lulusan yang sudah bekerja dalam bidangnya. Mereka adalah segitiga pengaman yang mewakili pemangku kepentingan dalam menentukan tingkat relevansi pendidikan.
Pustaka
Drost, J. (2005). Dari KBK sampai MBS. Jakarta:Kompas
Hamalik, Oemar. (2005). Perencanaan Pengajaran Berdasarkan Pendekatan Sistem. Jakarta:PT Bumi Aksara
Harjanto. (1997). Perencanaan Pengajaran. Jakarta:PT Rineka Cipta
Kande, Fredrik (2008). Membedah Kekuatan dan Kelemahan KTSP, diambil 17 Oktober 2009 dari http://re-searchengines.com/frederik0608.html
Karyadi, Benny. (2005). Penerapan Konsep CBSA di Sekolah Dasar. Dalam IGAK Wardani, dkk., Kurikulum dan Pembelajaran (Buku Materi Pokok Universitas Terbuka). Jakarta:Universitas Terbuka
Mulyasa, E. (2006). Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Bandung: Remaja Rosda Karya.
Soedijarto (2008). Kemampuan Profesional Guru Yang Sesuai Dengan Upaya Peningkatan Relevansi Dan Mutu Pendidikan Nasional Serta Jaminan Kesejahteraan Dan Perlindungan Yang Diperlukan Pendidik Profesional (Makalah yang disajikan dalam Seminar Nasional Tentang Perlindungan Bagi Profesi Guru), diambil 17 Oktober 2009 dari http://www.jakartateachers.com/4429.htm
Sudjana, Nana, dan Rivai, Ahmad. (1989). Teknologi Pengajaran. Bandung:CV Sinar Baru
Suparman, Atwi. (2004). Desain Instruksional. Jakarta:Universitas Terbuka
Susilana, Rudi (2009). Kurikulum Berbasis Kompetensi. Dalam Asep H. Hernawan, dkk.,Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran (Buku Materi Pokok Universitas Terbuka). Jakarta:Universitas Terbuka
Wijaya, Cece, Djadjuri, Djadja, dan Rusyan, A. Tabrani (1991). Upaya Pembaharuan dalam Pendidikan dan Pengajaran. Bandung:PT Remaja Rosda Karya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar