Senin, 20 Agustus 2012

Hakikat Manusia dalam Perspektif Al-Qur’an

A. PENDAHULUAN

Kajian tentang manusia telah banyak dilakukan para ahli yang selanjutnya dikaitkan dengan berbagai kegiatan, seperti politik, ekonomi, social, budaya, pendidikan, agama dan lain sebagainya. Hal tersebut dilakukan karena manusia selain sebagai subjek (pelaku), juga sebagai objek (sasaran) dari berbagai kegiatan tersebut. Termasuk dalam kajian Ilmu Pendidikan Islam. Pemahaman terhadap manusia menjadi penting agar proses pendidikan tersebut dapat beerjalan dengan efektif dan efisien.1

Pengetahuan tentang asal kejadian manusia adalah amat penting dalam merumuskan tujuan pendidikan bagi manusia. Asal kejadian ini justru harus dijadikan pangkal tolak dalam menetapkan pandangan hidup bagi orang Islam. Pandangan tentang kemakhlukan manusia cukup menggambarkan hakikat manusia. Manusia adalah makhluk (ciptaan) Allah adalah salah satu hakikat wujud manusia.2

Quraish Syihab dalam bukunya Wawasan Al-Qur‟an mengungkapkan pendapat Alexis Carrel tentang kesukaran yang dihadapi untuk mengetahui hakikat manusia bahwa Sebenarnya manusia telah mencurahkan perhatian dan usaha yang sangat besar untuk mengetahui dirinya, kendatipun kita memiliki perbendaharaan yang cukup banyak dari hasil penelitian para ilmuwan, filosof, sastrawan dan para ahli bidang keruhanian sepanjang masa ini. Tapi kita (manusia) hanya mampu mengetahui beberapa segi tertentu dari diri kita. Kita tidak mengetahui manusia secara utuh. Yang kita ketahui hanyalah bahwa manusia terdiri dari bagian-bagian tertentu, dan ini pun pada hakikatnya dibagi lagi menurut tata cara kita sendiri. Pada hakikatnya, kebanyakan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh mereka yang mempelajari manusia -kepada diri mereka- hingga kini masih tetap tanpa jawaban.”3

Satu-satunya jalan untuk mengenal dengan baik siapa manusia, adalah merujuk kepada wahyu Illahi (Al-Qur‟an) dan As-Sunnah (Hadits Rosulullah SAW), agar kita dapat menemukan jawabannya. Bagaimanakah perspektif Al-Qur‟an dan As-Sunnah tentang hakikat dan fitrah manusia? Makalah ini berusaha mengungkapkan Hakikat dan Fitrah manusia dalam perspektif Al-Qur‟an dan As-Sunnah.

B. PEMBAHASAN

1. Hakikat Manusia dalam Perspektif Al-Qur’an
Apa Hakikat manusia dalam perspektif Al-Qur‟an? Di dalam Al-Qur‟an, manusia merupakan salah satu subjek yang dibicarakan, terutama yang menyangkut asal-usul dengan konsep penciptaannya, kedudukan manusia dan tujuan hidupnya. Hal tersebut merupakan sesuatu yang wajar karena al-Qur‟an memang diyakini oleh kaum muslimin sebagai firman Allah SWT yang ditujukan kepada dan untuk manusia.

Ada tiga kata yang digunakan Al-Qur‟an untuk menunjuk kepada manusia,4 yaitu:
a. Menggunakan kata yang terdiri dari huruf alif, nun dan sin semacam insan, ins, nas atau unas.
b. Menggunakan kata basyar.
c. Menggunakan kata Bani adam dan Dzuriyat Adam.
Sementara Ramayulis dalam bukunya Ilmu Pendidikan Islam mengatakan bahwa istilah manusia dalam Al-Qur‟an dikenal tiga kata, yakni kata al-insân, al-basyâr dan al-nâs.5

Walaupun ketiga kata di atas menunjukkan arti pada manusia, tetapi secara khusus memiliki pengertian yang berbeda:

1) Al-Insân
Al-Insân terbentuk dari kata نسي – ينسَ yang berarti lupa. Kata al-insân dinyatakan dalam al-Qur‟an sebanyak 73 kali yang disebut dalam 43 surat. Penggunaan kata al-insân pada umumnya digunakan pada keistimewaan manusia penyandang predikat khalifah di muka bumi, sekaligus dihubungkan dengan proses penciptaannya. Keistimewaan tersebut karena manusia merupakan makhluk psikis disamping makhluk pisik yang memiliki potensi dasar, yaitu fitrah akal dan kalbu. Potensi ini menempatkan manusia sebagai makhluk Allah SWT yang mulia dan tertinggi dibandingkan makhluk-Nya yang lain.6

Nilai psikis manusia sebagai al-insân yang dipadu wahyu Ilahiyah akan membantu manusia dalam membentuk dirinya sesuai dengan nilai-nilai insaniah yang terwujud dalam perpaduan iman dan amalnya. Sebagaimana firman Allah SWT Artinya:
“kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh; Maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya.” (QS. At-Thiin: 6)

Dengan pengembangan nilai-nilai tersebut, akhirnya manusia mampu mengemban amanah Allah SWT di muka bumi. Quraish Syihab dalam bukunya Wawasan Al-Qur‟an mengatakan bahwa kata insan terambil dari akar kata uns yang berarti jinak, harmonis dan tampak. Menurutnya pendapat ini jika ditinjau dari sudut pandang Al-Qur‟an lebih tepat dari yang berpendapat bahwa ia terambil dari kata nasiya (lupa), atau nasa-yanusu yang berarti (berguncang). Kata insan, digunakan Al-Qur‟an untuk menunjuk kepada manusia dengan seluruh totalitasnya, jiwa dan raga. Manusia yang berbeda antara seseorang dengan yang lain, akibat perbedaan fisik, mental dan kecerdasan.7

Kata al-insân juga menunjukkan pada proses kejadian manusia, baik proses penciptaan Adam maupun proses manusia pasca Adam di alam rahim yang berlangsung secara utuh dan berproses. Firman Allah:
Artinya:

71. (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada Malaikat: “Sesungguhnya aku akan menciptakan manusia dari tanah”.

72. Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya roh (ciptaan)Ku; Maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadaNya”. (QS. Shaad: 71-72)
Artinya:

12. dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah.
13. kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim) (QS. Al-Mukminûn: 12-13)

2) Al-Basyar
Al-Basyar terambil dari akar kata yang pada mulanya berarti penampakan sesuatu dengan baik dan indah. Dari akar kata yang sama lahir kata basyarah yang berarti kulit. Manusia dinamai basyar karena kulitnya tampak jelas, dan berbeda dengan kulit binatang yang lain.8

Kata Al-Basyar dinyatakan dalam al-Qur‟an sebanyak 36 kali yang tersebut dalam 26 surat.9 Kata-kata tersebut diungkap dalam bentuk tunggal dan sekali dalam bentuk mutsanna (dual) untuk menunjukkan manusia dari sudut lahiriahnya serta persamaannya dengan manusia seluruhnya.10

Pemaknaan manusia dengan Al-Basyar memberikan pengertian bahwa manusia adalah makhluk biologis serta memiliki sifat-sifat yang ada di dalamnya, seperti makan, minum, perlu hiburan, seks dan lain sebagainya. Karena kata Al-Basyar ditunjukkan kepada seluruh manusia tanpa terkecuali, ini berarti nabi dan rasul pun memiliki dimensi Al-Basyar seperti yang diungkapkan firman Allah SWT dalam Al-Qur‟an Surat Al-Kahfi ayat 110: Artinya:
Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku… (QS. Al-Kahfi 110)

Dengan demikian penggunaan kata al-basyar pada manusia menunjukkan persamaan dengan makhluk Allah SWT lainnya pada aspek material atau dimensi jasmaniahnya.

3) Al-nâs
Kata al-nâs menunjukkan pada hakikat manusia sebagai makhluk social dan ditunjukkan kepada seluruh manusia secara umum tanpa melihat statusnya apakah beriman atau kafir.11 Penggunaan kata al-nâs lebih bersifat umum dalam mendefinisikan hakikat manusia dibanding dengan kata al-insân.12
Kata al-nâs juga dipakai dalam Al-Qur‟an untuk menunjukkan bahwa karakteristik manusia senantiasa berada dalam keadaan labil. Meskipun telah dianugerahkan Allah SWT dengan berbagai potensi yang bisa digunakan manusia untuk mengenal Tuhannya, namun hanya sebagian manusia saja yang mau mempergunakannya, sementara sebagian yang lain tidak, justru mempergunakan potensi tersebut untuk menentang ke-Mahakuasa-an Tuhan. Dari sini terlihat bahwa manusia mempunya dimensi ganda, yaitu sebagai makhluk yang mulia dam yang tercela.

Dari uraian di atas, bahwa pendefinisian manusia yang diungkap dalam Al-Qur‟an dengan istilah Al-Insân, Al-Basyar dan al-nâs menggambarkan tentang keunikan dan kesempurnaan manusia sebagai makhluk ciptaan Allah SWT. Hal ini memperlihatkan bahwa manusia merupakan satu kesatuan yang utuh, antara aspek material (fisik/jasmani), dan immaterial (psikis/ruhani) yang dipandu oleh ruh Ilahiah. Kedua aspek tersebut saling berhubungan.

Dengan kelengkapan dua aspek material dan immaterial di atas, manusia dapat melaksanakan tugas-tugasnya. Disini manusia memerlukan bimbingan,binaan dan pendidikan yang seimbang, harmonis dan integral, agar kedua aspek tersebut dapat berfungsi dengan baik dan produktif.

Produksi dan Reproduksi Manusia

Manusia adalah makhluk Allah. Ia bukan terjadi dengan sendirinya, tetapi dijadikan oleh Allah SWT. Sebagaimana firman Allah dalam Al Qur‟an Surat Ar-Rum ayat 40, yang berbunyi:
Artinya:
“Allah-lah yang menciptakan kamu, kemudian memberimu rezki, kemudian mematikanmu, kemudian menghidupkanmu (kembali)” (QS. Ar-Rum : 40)

Manusia adalah satu-satunya makhluk yang unsur penciptaannya terdapat ruh Illahi sedang manusia tidak diberi pengetahuan tentang ruh kecuali sedikit.
Artinya:
Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: “Roh itu Termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit”. (QS. Al-Israa : 85)

Proses penciptaan manusia seperti yang dimuat pada Al-Qur‟an Surat Ash-Shaad ayat 71-72 dan Al-Mukminûn ayat 12-13 di atas, penggunaan kata al-insân mengandung dua dimensi, Pertama; dimensi tubuh/materiil (dengan berbagai unsurnya). Kedua; dimensi spiritual (ditiupkan-Nya ruh-Nya kepada manusia).13
Quraish Syihab dalam Wawasan Al-Qur‟an menjelaskan bahwa Al-Qur‟an ketika berbicara tentang penciptaan manusia pertama, menunjuk kepada sang Pencipta dengan menggunakan pengganti nama berbentuk tunggal :14
Artinya:
(ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada Malaikat: “Sesungguhnya aku akan menciptakan manusia dari tanah”.
(QS. Shâd: 71)
Artinya:
Allah berfirman: “Hai iblis, Apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku. Apakah

kamu menyombongkan diri ataukah kamu (merasa) Termasuk orang-orang yang (lebih) tinggi?”. (QS. Shâd: 75)
Tetapi ketika berbicara tentang reproduksi manusia secara umum, Yang Maha Pencipta ditunjuk dengan menggunakan bentuk jamak.

Artinya:

Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: “Sesungguhnya aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk,
Maka apabila aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniup kan kedalamnya ruh (ciptaan)-Ku, Maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud.(QS. Al-Hijr: 28-29)

Seperti telah disebutkan di atas bahwa Al-Qur‟an juga menggunakan kata ath-thin untuk unsur materiil asal manusia. Salah satunya menggunakan kata sulâlatin min thîn, dalam konteks kejadian manusia pada umumnya. Di bagian lain diungkap menggunakan kata thînin lâzib seperti yang termuat dalam Al-Qur‟an Surat Ash-Shâffât ayat 11:

Maka Tanyakanlah kepada mereka (musyrik Mekah): “Apakah mereka yang lebih kukuh kejadiannya ataukah apa yang telah Kami ciptakan itu?” Sesungguhnya Kami telah menciptakan mereka dari tanah liat. (QS. Ash-Shâffât : 11)

Selain menggunakan kedua kata di atas (sulâlatin min thîn dan thînin lâzib), dalam Al-Qur‟an juga terdapat kata shalshâl yang dirangkai dengan ungkapan min hama‟in masnûn seperti yang disebut dalam Surat Al-Hijr ayat 26:

Artinya:
Dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia (Adam) dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk.

Artinya:
Dia menciptakan manusia dari tanah kering seperti tembikar (QS. Ar-Rahmân ; 14)
Dari uraian di atas, kata-kata yang digunakan untuk menjelaskan unsur materiil asal-usul manusia adalah
  • Sulâlah artinya bagian yang ditarik dari sesuatu dengan pelan dan tersembunyi. Bagian yang ditarik tersebut menurut Ath-thabarsyi disebut sebagai sari sesuatu yang dikeluarkan darinya (shafwatusy-syay‟I al-latî yakhruju minhâ).16
  • Shalshâl yang berarti tanah lempung, berasal dari kata shalshalah yang artinya berbunyi, tanah lempung disebut dengan shalshalah karena ia mengeluarkan bunyi bila sudah kering seperti tembikar (al-fakhkhâr) yang mengeluarkan bunyi seperti suara besi bila berantukan.17
  • Lâzib, para mufassir sering mengartikan thînun lâzib dengan thînun lâshiq yang maksudnya tanah yang lengket.
  • Hama‟un masnûn, kata hama‟ adalah kata lain yang menunjuk pada jenis tanah asal manusia. Kata hama‟un pada dasarnya berarti tanah hitam yang berbau busuk. Arti tersebut tidak jauh berbeda dengan arti yang dikemukakan ath-Thabary sebagai tanah yang berubah menjadi hitam.18
Kata turâb disebutkan sebagai unsur materiil asal manusia yang berarti juga „tanah‟ atau „debu‟. Semua kata tersebut menjelaskan unsur materiil dari ciptaan manusia yang terdiri dari bermacam-macam jenis tanah yang boleh jadi melambangkan komponen-komponen kimiawi pembentuk fisik manusia, dan inti tanah yang berupa tanah lempung dan berbau, menggambarkan suatu unsur materiil yang amat sederhana dan rendah. Unsur inilah yang digabungkan dengan unsur yang amat sempurna dan mulia yakni ruh Tuhan.

Ruh Tuhan yang ditiupkan ke dalam unsur materi manusia itu merupakan ruh kehidupan yang suci. Ungkapan yang digunakan Al-Qur‟an adalah rûhiy (ruh-Ku) dan rûhih (ruh-Nya).
Artinya:

Maka apabila aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniup kan kedalamnya ruh (ciptaan)-Ku, Maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud.19(QS. Al-Hijr : 29)

Artinya:
Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalamnya ruh (ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur.(QS. As-Sajdah: 9)
Perpaduan antara dua unsur di atas (unsur materiil dan unsur ruh) menunjukkan suatu perpaduan unsur yang bersih dan baik, namun mempunyai karakter yang berlawanan, yaitu unsur yang rendah dan hina dengan unsur yang suci dan mulia.20

Disamping dua unsur di atas, akal adalah salah satu aspek penting dalam hakikat manusia. Banyak ayat Al-Qur‟an yang menjelaskan tentang akal. Akal adalah alat untuk berpikir. Jadi salah satu hakikat manusia ialah ia ingin, ia mampu dan ia berpikir.

Ahmad Tafsir dalam bukunya Filsafat Pendidikan Islam mengatakan bahwa menurut Harun Nasution ada tujuh kata yang digunakan al-Qur‟an untuk mewakili konsep akal; yaitu21

Pertama; kata nazara.
Artinya:
Maka Apakah mereka tidak melihat akan langit yang ada di atas mereka, bagaimana Kami meninggikannya dan menghiasinya dan langit itu tidak mempunyai retak-retak sedikitpun ? (QS. Qaaf: 6)
Kedua; kata tadabbara

Artinya:
Kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu). dari perut lebah itu ke luar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang memikirkan. (QS. Al-Nahl : 29)
Keempat; kata faqiha. Kelima; kata tadzakkara. Keenam; kata fahima. dan Ketujuh; kata „aqala.
Kata „aqala dalam Al-Qur‟an kebanyakan digunakan dalam bentuk fi‟il (kata kerja), hanya sedikit dalam bentuk ism (kata benda).

Ini menunjukkan bahwa pada akal yang penting ialah berpikir bukan akal sebagai otak yang berupa benda.22
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa hakikat manusia adalah terdiri atas unsur jasmani, ruhani dan akal.

2. Fitrah Manusia dalam Perspektif Al-Qur’an dan As-sunnah

Manusia insan secara kodrati, sebagai ciptaan Allah SWT yang sempurna bentuknya dibandingkan dengan ciptaan Allah lainnya. Manusia juga sudah dilengkapi dengan kemampuan mengenal dan memahami kebenaran dan kebaikan yang terpancar dari ciptaan-Nya.

Kemampuan lebih yang dimiliki manusia itu adalah kemampuan akalnya. Untuk itulah manusia sering disebut sebagai animal rationale, hayawan al-nâtiq, yaitu binatang yang dapat berpikir. Melalui akalnya, manusia berusaha memahami realitas hidupnya, memahami dirinya serta segala sesuatu yang ada di sekitarnya.23

Yang banyak dibicarakan oleh Al Qur‟an tentang manusia adalah sifat-sifatnya dan potensinya. Potensi manusia dijelaskan oleh Al-Qur‟an antara lain melalui kisah Adam dan Hawa dalam Surat Al-Baqarah ayat 30-39. Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa sebelum kejadian Adam, Allah telah merencanakan agar manusia memikul tanggung jawab kekhalifahan di bumi. Untuk maksud tersebut di samping tanah (jasmani) dan ruh Ilahi (akal dan ruhani), manusia dianugrahi pula:

Manusia
(1) Potensi untuk mengetahui nama dan fungsi benda-benda alam

Dengan potensi ini manusia adalah makhluk yang berkemampuan untuk menyusun konsep-konsep, mencipta, mengembangkan dan mengemukakan gagasan/ide serta melaksanakannya. Potensi ini adalah bukti yang membungkamkan malaikat, yang tadinya merasa wajar untuk dijadikan khalifah di muka bumi, dan karenanya malaikat bersedia sujud (penghormatan) kepada Adam.24

(2) Pengalaman hidup di surga, baik yang berkaitan dengan kecukupan dan kenikmatannya, maupun rayuan Iblis dan akabat buruknya.
Pengalaman di surga adalah arah yang harus dituju dalam membangun dunia ini, kecukupan sandang, pangan dan papan serta rasa aman terpenuhi, sekaligus arah terakhir bagi kehidupannya di akhirat kelak. Sedangkan godaan iblis, dengan akibat yang sangat fatal itu, adalah pengalaman yang amat berharga dalam menghadapi rayuan iblis di dunia.25

(3) Petunjuk-petunjuk keagamaan
Secara tegas Al-Qur‟an mengemukakan bahwa manusia pertama diciptakan dari tanah dan ruh Ilahi melalui proses yang tidak dijelaskan rinciannya, sedangkan reproduksi manusia walaupun dikemukakan tahapan-tahapannya, namun tahapan tersebut lebih banyak berkaitan dengan unsur tanahnya.

Isyarat yang menyangkut unsur immaterial ditemukan antara lain dalam uraian tentang sifat-sifat manusia dan dari uraian tentang fitrah, nafs, qalb dan ruh yang menghiasi manusia.

Al-Qur‟an menjelaskan bahwa manusia memiliki fitrah. Fitrah di sini adalah potensi.26 Manusia lahir membawa kemampuan-kemampuan; kemampuan itulah yang disebut pembawaan. Sabda Rosulullah SAW:
24 Quraish Shihab, Wawasan Al-qur’an, op. cit, h.283
25 ibid
26 Ahmad Tafsir. Filsafat Pendidikan Islam, op. cit, h. 23
كل ه لٌ دٌ ي لٌذ عل الفطزة فاب اٌه يي دٌانو ا ينصزانو ا يوجسانو
)ر اًه البخار هسلن(
Artinya:
“Tiap-tiap orang dilahirkan membawa fitrah; ayah dan ibunyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi (HR Bukhori dan Muslim).

Fitrah yang disebut dalam hadits di atas adalah potensi. Potensi adalah kemampuan; jadi fitrah yang dimaksud disini adalah pembawaan. Ayah dan ibu dalam hadits ini adalah lingkungan sebagaimana yang dimaksud oleh para ahli pendidikan. Kedua-duanya (pembawaan dan lingkungan) itulah, menurut hadits tersebut yang menentukan perkembangan seseorang.27

Pengaruh itu terjadi baik pada aspek jasmani, akal maupun aspek rohani. Aspek jasmani banyak dipengaruhi oleh alam fisik (selain oleh pembawaan), aspek akal banyak dipengaruhi oleh lingkungan budaya (selain oleh pembawaan), dan aspek rohani dipengaruhi oleh kedua lingkungan itu (selain oleh pembawaan). Pengaruh-pengaruh itu berbeda tingkat dan kadar pengaruhnya antara seseorang dengan orang lain.

Lalu apa sebenarnya yang dimaksud fitrah itu? Dari segi bahasa, kata fitrah terambil dari akar kata al-fathr yang berarti belahan, dan dari makna ini lahir makna-makna lain antara lain “penciptaan” atau “kejadian”. 28 Jadi fitrah manusia adalah kejadiannya sejak semula atau bawaan sejak lahir. Di dalam Al-Qur‟an diungkapkan:

Artinya:
Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.29

Merujuk kepada fitrah yang di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa manusia sejak asal kejadiaannya membawa potensi beragama yang lurus, dan dipahami oleh para ulama sebagai tauhid.
Muncul pertanyaan, apakah fitrah manusia hanya terbatas pada keagamaan? Jelas tidak. Masih ada ayat-ayat lain yang membicarakan tentang penciptaan potensi manusia, walaupun tidak menggunakan kata fitrah, seperti:
Artinya:

Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, Yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak30 dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga). (QS. Ali „Imrân: 14)

Manusia berjalan dengan kakinya adalah contoh fitrah jasadiyah, sementara menarik kesimpulan melalui premis-premis adalah fitrah aqliyah. Senang menerima nikmat, dan sedih bila ditimpa musibah adalah juga fitrah. Jadi fitrah adalah:
الفطزة ى النظام الذ ا جًذه الله ف كل هخل قٌ اًلفطزة الت تخص ن عٌ الانساى
ى ها خلقو الله عليو جسذا عًقلا
29Fitrah Allah: Maksudnya ciptaan Allah. manusia diciptakan Allah mempunyai naluri beragama Yaitu agama tauhid. kalau ada manusia tidak beragama tauhid, Maka hal itu tidaklah wajar. mereka tidak beragama tauhid itu hanyalah lantaran pengaruh lingkungan.

30 Yang dimaksud dengan binatang ternak di sini ialah binatang-binatang yang Termasuk jenis unta, lembu, kambing dan biri-biri.

Fitrah adalah bentuk dan sistem yang diwujudkan Allah pada setiap makhluk. Fitrah yang berkaitan dengan manusia adalah apa yang diciptakan Allah pada manusia yang berkaitan dengan jasmani, akal dan ruhnya.31
Ahmad Tafsir menjelaskan bahwa Fitrah (potensi) yang dijelaskan oleh Al-Qur‟an antara lain;32

1) Manusia sebagai makhluk sosial, artinya manusia itu membawa sifat ingin bermasyarakat. (QS. Al-Hujurât 13)

2) Manusia sebagai makhluk yang ingin beragama (QS Al-Mâidah 3; Al-A‟râf 172), karena itu pendidikan agama dan lingkungan beragama perlu disediakan bagi manusia.

3) Manusia itu mencintai wanita dan anak-anak, harta benda yang banyak, emas dan perak, kuda-kuda pilihan (kendaraan sekarang), ternak dan sawah lading (QS. Ali „Imrân: 14)

Nafs
Kata nafs dalam Al-qur‟an mempunyai aneka makna, sekali diartikan sebagai totalitas manusia. Secara umum dapat dikatakan bahwa nafs dalam konteks pembicaraan manusia, menunjuk kepada sisi dalam manusia yang berpotensi baik dan buruk.

Dalam pandangan Al-Qur‟an, nafs diciptakan Allah dalam keadaan sempurna untuk berfungsi menampung serta mendorong manusia berbuat kebaikan dan keburukan, dan karena itu sisi dalam manusia oleh Al-Qur‟an untuk diberi perhatian lebih besar.33

in Asyur dalam tafsirnya tentang surat A-Rum ayat 30, yang dikutip Quraish Shihab dalam Wawasan Al Qur’an, op. cit, h. 285

Artinya:
Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. (QS. Al-Syams: 7-8)

Quraish Shihab menjelaskan bahwa terdapat perbedaan pengertian kata menurut Al-Qur‟an dengan terminology kaum sufi, yang oleh Al-Qusyairi dalam risalahnya dinyatakan bahwa nafs dalam pengertian kaum sufi adalah sesuatu yang melahirkan sifat tercela dan perilaku buruk. Pengertian kaum sufi ini sama dengan penjelasan Kamus Besar Bahasa Indonesia yang antara lain menjelaskan arti kata sufi sebagai dorongan hati yang kuat untuk berbuat kurang baik.34

Walaupun Al-Qur‟an menegaskan bahwa nafs berpotensi positif dan negatif, namun diperoleh isyarat bahwa pada hakikatnya potensi positif manusia lebih kuat dari potensi negatifnya, hanya saja daya tarik keburukan lebih kuat dari daya tarik kebaikan. Karena itu manusia dituntut agar memelihara kesucian nafs dan tidak mengotorinya.

“Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (Qs. Al-syam 9-10)

Al-Qur‟an juga mengisyaratkan keanekaragaman nafs serta peringkat-peringkatnya yakni al-nafs al-lawamah, ammarah dan muthma‟innah. Nafs menampung gagasan dan kemauan serta banyak hal lainnya bahkan boleh jadi hal-hal yang sudah hilang dari ingatan pemiliknya.

Apa yang ada dalam nafs dapat juga muncul dalam mimpi, yang dalam Al-qur‟an pada garis besarnya terbagi dalam dua bagian pokok. Pertama; dinamainya ru‟ya, dan kedua; dinamainya adhghatsu ahlam. Yang pertama dipahami sebagai gambaran atau symbol dari peristiwa yang telah, sedang atau akan dialami dan yang belum atau tidak terlintas dalam benak yang memimpikannya. Yang kedua lahir dari keresahan atau perhatian manusia terhadap sesuatu dan hal-hal yang telah berada di bawah sadarnya.35

Qalb
Kata qalb berasal dari akar kata yang bermakna membalik karena seringkali ia berbolak-balik. Qalb amat pberpotensi untuk tidak konsisten. Al-Qur‟an menggambarkan hal tersebut seperti;

“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai akal atau yang menggunakan pendengarannya, sedang Dia menyaksikannya.” (QS. Qâf: 37)
Pada ayat lain terdapat;

“Allah menjadikan kamu ‘cinta’ kepada keimanan dan menjadikan keimanan itu indah di dalam hatimu” (QS. Al-Hujurât 7)

Dari ayat-ayat di atas terlihat bahwa qalb adalah wadah dari pengajaran, kasih sayang, takut dan keimanan. Qalb menampung hal-hal yang disadari oleh pemiliknya. Ini salah satu perbedaan dengan nafs yang menampung apa yang berada di bawah sadar atau yang tidak diingat lagi. Membersihkan qalb adalah salah satu cara untuk memperoleh pengetahuan.

“ketahuilah bahwa Sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya”36 (QS. Al-Anfâl 24)
Ayat di atas menjelaskan bahwa Allah menguasai qalb manusia, sehingga mereka yang merasakan kegundahan dan kesulitan dapat bermohon kepada-Nya untuk menghilangkan kerisauan dan penyakit qalb yang dideritanya.

“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram. (QS. Al-Ra‟d 28)

3. Kedudukan Manusia
Kesatuan wujud manusia antara fisik dan psikis serta didukung oleh potensi-potensi yang ada membuktikan bahwa manusia sebagai ahsan al-taqwim. Dalam hubungannya dengan Pendidikan Islam, menempatkan manusia pada posisi yang strategis, yaitu:
a. Manusia sebagai makhluk yang mulia
b. Manusia sebagai Khalifah Allah di muka bumi
c. Manusia sebagai makhluk paedagogik

a. Manusia sebagai makhluk yang mulia
Manusia adalah makhluk yang memiliki potensi untuk beragama sesuai dengan fitrahnya. Manusia adalah hamba Allah („abd Allah). Esensi dari ketaatan seorang hamba adalah ketaatan, ketundukan dan kepatuhan terhadap Tuhannya. Sebagai hamba Allah manusia tidak bisa lepas dari kekuasaan-Nya karena fitrah untuk beragama.

“Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”
(QS. Al-Ruum 30)

Berdasarkan ayat di atas, menjelaskan bahwa bagaiamana pun primitifnya suku bangsa manusia, mereka akan mengakui adanya Zat Yang Maha Kuasa di luar dirinya.37 Dengan demikian, rasa tunduk dan kepatuhan manusia kepada Zat Yang Maha Agung, merupakan tabiat asli (fitrah) manusia yang dimiliki oleh setiap manusia sebagai nilai ubudiyah kepada-Nya.

“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku” (QS. Adz-Dzâriyât 56)

Ayat tersebut menjelaskan bahwa tugas manusia dalam hidup ini berakumulasi pada tanggung jawab mengabdi (beribadah) kepada Allah SWT.

b. Manusia sebagai Khalifah Allah di muka bumi

Fungsi kekhalifahan manusia di muka bumi ini, dijelaskan oleh Al-Qur‟an berikut;
Artinya:
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: “Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” (QS. Al-Baqarah 30)
Artinya:
Dan Dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat” (QS Al-An‟am 165)

Ayat-ayat di atas disamping menjelaskan kedudukan manusia di alam raya ini sebagai khalifah, juga memberi isyarat tentang perlunya sikap moral atau etika yang harus ditegakkan dalam melaksanakan fungsi kekhalifahannya.

Untuk melaksanakan tugasnya sebagai khalifah, Allah telah memberikan kepada manusia seperangkat potensi (fitrah) berupa aql, qalb dan nafs. Namun demikian, aktualisasi fitrah itu tidaklah otomatis berkembang melainkan tergantung pada manusia itu sendiri. Untuk itu, Allah SWt menurunkan wahyu-Nya kepada para Nabi dan Rosul, agar menjadi pedoman bagi manusia dalam mengaktualisasikan fitrahnya secara utuh, selaras dengan tujuan penciptaanya, sehingga manusia dapat tampil sebagai makhluk Allah yang tinggi martabatnya.38
Ahmad Hasan Firhat membedakan kedudukan kekhalifahan manusia pada dua bentuk:39

Pertama, khalifah kauniyah. Dimensi ini mencakup wewenang manusia secara umum yang telah dianugerahkan Allah SWT untuk mengatur dan memanfaatkan alam semesta beserta isinya bagi kelangsungan umat manusia di muka bumi. Dalam konteks ini, wewenang manusia meliputi pemaknaan yang bersifat umum, tanpa dibatasi oleh agama apa yang mereka yakini. Artinya label kekhalifahan yang dimaksud diberikan kepada semua manusia sebagai penguasa alam semesta.

Jika dimensi ini yang dijadikan standar dalam melihat predikat manusia sebaga khalifah Allah fi al-ardh, maka akan berdampak negatif bagi kelangsungan kehidupan manusia dan alam semesta. Manusia dengan kekuatannya akan mempergunakan alam semesta sebagai konsekuensi kekhalifahannya tanpa control dan melakukan penyimpangan-penyimpangan dari nilai Ilahiah. Akibatnya keberadaannya di muka bumi, bukan lagi sebagai pembawa kemakmuran, namun cenderung berbuat kerusakan dan merugikan makhluk Allah lainnya.

Kedua, khalifah Syar’iyat; Dimensi ini wewenang Allah yang diberikan kepada manusia untuk memakmurkan alam semesta. Hanya saja untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawab ini, predikat khalifah secara khusus ditujukan kepada orang-orang mukmin. Hal ini dimaksudkan agar dengan keimanan yang dimilikinya, mampu menjadi pilar dan control dalam mengatur mekanisme alam semesta, sesuai dengan nilai-nilai ilahiyah yang telah digariskan Allah lewat ajaran-Nya. Dengan prinsip ini, manusia akan senantiasa berbuat kebaikan dan memanfaatkan alam semesta ini demi kemaslahatan umat manusia.

c. Manusia sebagai makhluk paedagogik
Makhluk paedagogik ialah makhluk Allah yang dilahirkan membawa potensi dapat dididik dan dapat mendidik.40 Manusia adalah makhluk paedagogik, karena memiliki potensi dapat dididik dan mendidik sehingga mampu menjadi khalifah di bumi. Manusia dilengkapi dengan fitrah Allah, berupa bentuk atau wadah yang dapat diisi dengan berbagai kecakapan dan keterampilan yang dapat berkembang, sesuai dengan kedudukannya sebagai makhluk yang mulia. Pikiran, perasaan dan kemampuannya berbuat merupakan komponen dari fitrah itu.

“(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah.” (QS. Al-Rum 30)

Manusia adalah makhluk yang dapat berpikir, merasa dan bertindak dan terus berkembang. Fitrah inilah yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya. Dari sinilah semakin jelas bahwa manusia adalah makhluk paedagogik. Meskipun demikian, jika potensi itu tidak dikembangkan, niscaya ia akan kurang bermakna dalam kehidupan. Oleh karena itu perlu dikembangkan dan pengembangan itu senantiasa dilakukan dalam usaha dan kegiatan pendidikan. Teori nativis dan empiris yang dipertemukan oleh Kerschenteiner dengan teori konvergensinya, telah ikut membuktikan bahwa manusia itu adalah makhluk yang dapat dididik dan mendidik (paedagogik).41
DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, Abu dan Nur Uhbiyati. 1991. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta : Rineka Cipta.

Al-Ghazali. 1990. Ihya Ulumuddin, (Seluk-Beluk Pendidikan al-Ghazali). Jakarta

Al-Syaibany, Omar Mohammad Al-Toumy. 1979. Falsafah Pendidikan Islam. Jakarta: Bulan Bintang. Cet. IV

Arifin, M. 1989. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta : Bumi Aksara

Daradjat, Zakiah. 1996. Peranan Agama dalam Kesehatan Mental. Jakarta: Gunung Agung. Cet. XV

_____________. et. al. 1992. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta : Ditjen Binbaga Islam, Depag.

_____________. 1996. Kesehatan Mental. Jakarta: Gunung Agung. Cet. XXIII

_____________. 1970. Ilmu Djiwa Agama. Djakarta: Bulan Bintang

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka

Fahmi, Asma Hasan. 1979. Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam. Terjemahan Ibrahim Husen, Jakarta : Bulan Bintang.

Muhammad Ibn Jarîr ath-Thabary. 1954. Jami‟al-Bayân „an Ta‟wil Ay Al-Qur‟ân, XII. Kairo: Mushthâfâ al-Bâbiy al-Halabiy

Munzir Hitami. 2009. Revolusi Sejarah Manusia. Yogyakarta : LKIS Pelangi Aksara.

Nata, Abuddin. 2009. Perspektif Islam tentang Strategi Pembelajaran. Jakarta : Prenada Media Group.

Nurcholis Majid. 1991. Islam Kemodern dan Keindonesiaan. (Bandung : Mizan

Shihab, Quraish M. 1998. Wawasan Al-Qur‟an, Tafsir Maudhu‟I atas Pelbagai Persoalan Umat. Bandung : Mizan, Cet. VII

___________. 1994. Membumikan Al-Qur‟an. Bandung: Mizan

Ramayulis. 2010. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta : Kalam Mulia. Cet. VIII

Tafsir, Ahmad. 2007. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam. Bandung: Remaja Rosdakarya,cet. VII

___________. 2010. Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: Remaja RosdaKarya. Cet. IV

___________. 1996. Metodologi Pendidikan Agama Islam. Bandung : Remaja Rosdakarya. Cet. III

___________. 1990. Metodik Khusus Pendidikan Agama Islam. Bandung: Remaja Rosdakarya.
==============
1 Abuddin Nata. Perspektif Islam tentang Strategi Pembelajaran. Jakarta : Prenada Media Group.2009. h. 27

2Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya,cet. VII 2007), h. 34
3 Quraish Shihab. Wawasan Al-Qur’an, Tafsir Maudhu’I atas Pelbagai Persoalan Umat. (Bandung : Mizan, Cet. VII, 1998) h. 277

4 Ibid, h. 278
5 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam. (Jakarta : Kalam Mulia, 2010, cet. VIII). h. 3

6 Ibid

7 Quraish Shihab. Wawasan Al-Qur’an, op. cit. h. 280

8 Ibid, h. 279
9 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, op.cit, h.4

10 Quraish Shihab, Wawasan Al-qur’an, op. cit, h. 279

11 Nurcholis Majid, Islam Kemodern dan Keindonesiaan, (Bandung : Mizan, 1991) h. 63

12 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, op.cit h.6
13 Ibid, h. 4

14 Quraish Shihab, Wawasan Al-qur’an, op. cit, h.280
15 Ibid, h. 281
16 Munzir Hitami. Revolusi Sejarah Manusia. (Yogyakarta : LKIS Pelangi Aksara. 2009) h. 36

17 ibid

18 Muhammad Ibn Jarîr ath-Thabary, Jami’al-Bayân ‘an Ta’wil Ay Al-Qur’ân, XII (Kairo: Mushthâfâ al-Bâbiy al-Halabiy, 1954), h. 28
19 Dimaksud dengan sujud di sini bukan menyembah, tetapi sebagai penghormatan.

20 Munzir Hitami. Revolusi Sejarah Manusia, op. cit, h. 37

21 Ahmad Tafsir. Filsafat Pendidikan Islam. (Bandung: Remaja RosdaKarya, 2010) Cet. IV h.17
22 Ibid

23 Abuddin Nata, Perspektif Islam….., op. cit. h. 34
27Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, op. cit, h. 35

28Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, op.cit, h. 283

32 Ahmad Tafsir. Filsafat Pendidikan Islam, op. cit, h. 23

33 Quraish Shihab, Wawasan Al Qur’an, op. cit, h. 286
34 Ibid
35 Ibid, h. 288
36 Maksudnya: Allah-lah yang menguasai hati manusia
37 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam. Op.cit. h. 8
38 Ibid, h. 10

39 Ibid, h. 11
40 Zakiah Darajat, Ilnu Pendidikan Islam (Jakarta: Ditjen Binbaga Islam Depag, 1992), h.16
41 Ibid, h. 17

Tidak ada komentar:

Posting Komentar