Senin, 27 Agustus 2012

KECERDASAN SPIRITUAL KEPEMIMPINAN PENDIDIKAN INDONESIA

BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Pendidikan di Indonesia ini masih berorientasi pada pragmatism, yakni diarahkan untuk penyediaan sumber daya manusia berkualitas. Sehingga dengan hal tersebut, pembangunan dapat dilaksanakan secara cepat. Oleh karena itu, konsep pendidikan indonesiabelum mampu menyentuh dimensi humanity dimana manusia hanya dianggap menjadi produk capital dan sebagai alat untuk mengembangkan modal dengan berdasarkan dari materialistik. Berdasarkan hal tersebut, keberhasilan pendidikan yang didasarkan pada teori human capital diukur dari seberapa besar rate of return pendidikan terhadap pembangunan ekonomi.
Pada dasarnya, manusia merupakan makhluk social dan spiritual. Dan menurut Paulo freire, hakikatnya manusia mampu melakukan transendensi dengan semua realitas yang melingkupinya. Dengan hal itu, manusia akan mengkonstruksi kesadaran integral tanpa merduksi konsep “kesatuan mistik universum” dalam dirinya. Sehingga dengan kesatuan tersebut dapat menimbulkan sifat humanity dan menuju insan kamil. Sebagaimana hakikat dari tujuan pendidikan Indonesia adalah untuk membentuk insane paripurna, baik  di dunia maupun di akhirat.
Maka, untuk mewujudkan perubahan pendidikan Indonesia  secara menyeluruh, maka perlu memprioritaskan manajemen pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidiakan. Dalam hal ini, yang paling berperan aktif adalah educational leadership yang mengatur, mengorganisasikan, menggerakkan dan mengontrol pola pergerakan pendidikan. Dan untuk itu, seorang pemimpin perlu memiliki dan mengintegralkan serta mnyeimbangkan Intelligence Quotient, Emotional Quotient, dan Spiritual Quotient. Dan dalam makalah ini akan membahas tentang spiritual educational leadership.
BAB II
PEMBAHASAN
A.      Hakikat Kecerdasan Spiritual, Kepemimpinan Pendidikan dan Kepemimpinan Spiritual
Istilah “spiritual” berasal dari kata dasar bahasa Inggris yakni “spirit” yang memiliki cakupan makna: jiwa,  arwah / roh, semangat, hantu, moral dan tujuan atau makna  yang hakiki.  Sedangkan dalam Bahasa Arab, istilah spiritual terkait dengan yang ruhani dan ma’nawi dari segala sesuatu.
Makna inti dari kata spirit bermuara kepada kehakikian, keabadian dan  ruh, bukan yang bersifat sementara dan  tiruan. Dalam perspektif Islam, dimensi spiritualitas senantiasa berkaitan secara langsung dengan realitas Ilahi, Tuhan Yang Maha Esa (tauhid). Spiritualitas bukan sesuatu yang asing bagi manusia, karena spiritualitas merupakan inti dari kemanusiaan itu sendiri. Manusia terdisi dari unsur material dan spiritual atau unsur jasmani dan ruhani. Sedangkan perilaku manusia merupakan produk tarik-menarik antara energi spiritual dan material atau antara dimensi ruhaniah dan jasmaniah. Dorongan spiritual senantiasa membuat kemungkinan membawa dimensi material manusia kepada dimensi spiritualnya (ruh, keilahian).[1]
Spiritual Quotient (SQ) merupakan kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan persoalan makna dan nilai hidup, menempatkan perilaku dalam konteks makna secara lebih luas.[2] Menurut Zohar (dalam Abd. Wahab:2011) SQ merupakan syarat mutlak bagi berfungsinya IQ dan EQ secara efektif. SQ telah ada dalam diri manusia sejak lahir. Hal ini ditujukan untuk membantu manusia dalam membangun dirinya secara utuh. Dalam perjalanan kehidupan manusia, tidak hanya berdasarkan pada rasio saja, melainkan juga menggunakan hati nurani sebagai pusat SQ. Karena kebenaran sejati sebenarnya lebih terletak pada hati nurani bahkan menurut N. Dyakarya secara ekstrim berpendapat bahwa suara nurani merupakan suara Tuhan.
Sedangkan hakikat dari kepemimpinan adalah suatu kegiatan memengaruhi orang lain agar orang tersebut dapat bekerjasama untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.  Disini pemimpin merupakan factor penentu dalam keberhasilan suatu organisasi atau usaha. Sebab seorang pemimpin dituntut untuk mampu mengelola organisasi, memengaruhi secara konstruktif orang lain, dan menunjukan perilakubenar yang harus dikerjakan bersama-sama serta memengaruhi semangat kerja kelompok.[3]
Pendidikan secara umum merupakan usaha atau proses yang dilakukan secara sadar oleh orang dewasa untuk mendidik dan mengajar anak didik agar mereka dapat mencapai kedewasaan.[4] Maka dari uraian tersebut kepemimpinan pendidikan adalah suatu kesiapan, kemampuan yang dimiliki oleh seseorang dalam proses mempengaruhi, mendorong, membimbing, mengarahkan  dan menggerakkan orang lain yang ada hubungannya dengan pelaksanaan dan pengembangan pendidikan dan pengajaran agar segenap kegiatan dapat berjalan secara efektif dan efisien, yang pada gilirannya dapat mencapai tujuan pendidikan dan pengajaran yang telah ditetapkan.
Kepemimpinan spiritual adalah kepemimpinan yang membawa dimensi keduniawian kepada dimensi spiritual (keilahian). Kepemimpinan yang mampu mengilhami, membangkitkan, mempengaruhi dan menggerakkan melalui keteladanan, pelayanan, kasih sayang dan implementasi nilai dan sifat-sifat ketuhanan lainnya dalam tujuan, proses, budaya dan perilaku kepemimpinan.[5]
B.       Karakteristik kepemimpinan Spiritual
Seiring dengan ditemukannya konsep kecerdasan spiritual yang justru dianggap sebagai the ultimate intelligence dan sebagai pondasi yang diperlukan bagi keefektifan dua kecerdasan yang lain yakni IQ dan EQ. Sebagaimana yang diuraikan diatas, kepemimpinan spiritual adalah kepemimpinan yang berbasis pada etika religius, kepemimpinan atas nama Tuhan,  yaitu kepemimpinan yang terilhami oleh perilaku etis Tuhan dalam memimpin makhluk-makhluk-Nya.
Adapun karakteristik dari kepemimpinan sepiritual sebagaimana yang disampaikan oleh prof. Dr. Tobroni dalam makalahnya Spiritual Leadership  The Probem Solver Krisis Kepemimpinan Dalam Pendidikan Islam berikut ini:
1.      Kejujuran sejati.
Rahasia sukses para pemimpin besar dalam mengemban misinya adalah memegang teguh kejujuran. Berlaku jujur senantiasa membawa kepada keberhasilan dan kebahagiaan pada akhirnya, walaupun mungkin pada boleh jadi terasa pahit.
2.      Fairness
Pemimpin spiritual mengemban misi sosial untuk menegakkan keadilan di muka bumi, baik adil terhadap diri sendiri, keluarga dan orang lain. Bagi para pemimpin spiritual, menegakkan keadilan bukan sekedar kewajiban moral religius dan tujuan akhir dari sebuah tatanan sosial yang adil,  melainkan sekaligus dalam proses dan prosedurnya untuk keberhasilan kepemimpinannya.
3.      Semangat amal shaleh
Kebanyakan pemimpin suatu lembaga, mereka sebenarnya bekerja bukan untuk orang dan  lembaga yang dipimpin, melainkan untuk “keamanan”, “kemapanan” dan “kejayaan” dirinya. Tetapi kepemimpinan spiritual bersikap berbeda, yakni bekerja karena panggilan dari hati nurani yang ditujukan semata-mata untuk mengharap ridho Tuhan.
4.      Membenci formalitas dan organized religion
Bagi seorang spiritualis, formalitas tanpa isi bagaikan pepesan kosong.  Organized religion biasanya hanya mengedepankan dogma, peraturan, perilaku dan hubungan sosial yang terstruktur yang berpotensi memecah belah.. Tindakan formalitas perlu dilakukan untuk memperkokoh makna dari substansi tindakan itu sendiri dan dalam rangka merayakan sebuah kesuksesan, kemenangan. Pemimpin spiritual lebih mengedepankan tindakan yang genuine dan substantive.
5.      Sedikit bicara banyak kerja dan santai
Banyak bicara banyak salahnya, banyak musuhnya, banyak dosanya serta sedikit kontemplasinya dan sedikit karyanya. Seorang pemimpin spiritual  adalah pemimpin yang sedikit bicara banyak kerja. Ia lebih mnegedepankan pekerjaan secara efisien dan efektif.
6.      Membangkitkan yang terbaik bagi diri sendiri dan orang lain.
Sebagaimana dikemukakan di muka, pemimpin spiritual berupaya mengenali jati dirinya dengan sebaik-baiknya. Upaya mengenali jati diri itu juga dilakukan terhadap orang lain. Dengan mengenali jati diri ia dapat membangkitkan segala potensinya dan dapat bersikap secara arif dan bijaksana dalam berbagai situasi.
7.      Keterbukaan menerima perubahan.
“Perubahan” adalah kata yang paling disukai bagi kelompok tertindas dan sebaliknya paling ditakuti oleh kelompok mapan. Pimpinan biasanya dikategorikan sebagai kelompok mapan dan pada umumnya berusaha menikmati kemapanannya dengan menolak perubahan. Kalaupun ia gencar mengadakan perubahan  adalah dalam rangka mempertahankan atau mengamankan posisinya.
Pemimpin spiritual berbeda dengan pemimpin pada umumnya. Ia tidak alergi dengan perubahan dan juga bukan penikmat kemapanan. Pemimpin spiritual memiliki rasa hormat bahkan rasa senang dengan perubahan yang menyentuh diri mereka yang paling dalam sekalipun
8.      Pemimpin yang dicintai.
Pemimpin pada umumnya sering tidak perduli apakah mereka dicintai para karyawannya atau tidak. Bagi mereka dicintai atau dibenci itu  tidak penting, yang penting dihormati dan memperoleh legitimasi sebagai pemimpin. Bahkan sebagian diantara mereka merasa tidak perlu dicintai karena hal itu akan menghalangi dalam mengambil keputusan yang sulit yang menyangkut persoalan karyawannya. Pernyataan ini mungkin  ada benarnya, akan tetapi bagi pemimpin spiritual, kasih sayang sesama justru merupakan ruh (élan vital, spirit) sebuah organisasi. Cinta kasih bagi pemimpin spiritual bukanlah cinta kasih dalam pengertian sempit yang dapat mempengaruhi obyektifitas dalam pengambilan keputusan dan memperdayakan kinerja lembaga, tetapi cinta-kasih yang memberdayakan, cinta kasih yang tidak semata-mata bersifat perorangan, tetapi cita kasih struktural yaitu cinta terhadap ribuan orang yang dipimpinnya.
9.      Think Globally and act locally
Statemen di atas merupakan visi seorang pemimpin spiritual. Memiliki visi jauh ke depan dengan fokus perhatian kekinian dan kedisinian. Dalam hal yang paling abstrak (spirit, soul, ruh) saja ia dapat meyakini, memahami dan menghayati, maka dalam kehidupan nyata ia tentu lebih dapat memahami dan menjelaskan lagi walaupun kenyataan itu merupakan cita-cita masa depan. Ia memiliki kelebihan  untuk menggambarkan idealita masa depan secara mendetail dan bagaimana mencapainya kepada orang lain seakan-akan gambaran masa depan itu sebuah realitas yang ada di depan mata. Disiplin Tetapi Fleksibel dan Tetap Cerdas dan Penuh Gairah
Kedisiplinan  pemimpin spiritual tidak didasarkan pada sistem kerja otoritarian yang menimbulkan kekakuan dan ketakutan, melainkan didasarkan pada komitmen dan kesadaran yaitu kesadaran spiritual yang oleh Percy dianggap sebagai bentuk komitmen yang paling tinggi setelah komitmen politik, komitmen intelektual dan komitmen emosional. Pemimpin spiritual adalah orang yang berhasil mendisiplinkan diri sendiri dari keinginan, godaan dan tindakan destruktif atau sekedar kurang bermanfaat atau kurang patut. Kebiasaan mendisiplinkan diri ini menjadikan pemimpin spiritual sebagai orang yang teguh memegang prinsip, memiliki disiplin yang tinggi tetapi tetap fleksibel, cerdas, bergairah dan mampu melahirkan energi yang seakan tiada habisnya.
10.  Kerendahan Hati
Seorang pemimpin spiritual menyadari sepenuhnya bahwa semua kedudukan, prestasi, sanjungan dan kehormatan itu bukan karena dia dan bukan untuk dia, melainkan karena dan untuk Dzat Yang Maha Terpuji
C.      Spiritual Leader Sebagai Pemecah Masalah Pendidikan Indonesia
Sebagaimana yang diuraikan diatas, bahwa masalah-masalah pendidikan di Indonesia sekarang ini dapat diatasai melalui spiritual leadership. Dengan kata lain pemimpin spiritual adalah faktor utama terjadinya perubahan dari suatu lembaga pendidikan untuk meraih prestasi. Implementasi puncak etika religius dalam kehidupan sehari-hari akan melahirkan orang  yang memiliki komitmen (kepedulian) dan dedikasi (pengabdian), sabar, rela berkorban, berjuang tanpa kenal lelah dan ihlas. Inilah orang yang memiliki spiritualitas, orang yang mampu menjadi soko guru tegaknya lembaga pendidikan.[6]
Bagaimana pemimpin spiritual dalam mengembangkan pendidikan Islam? Dan peran apa saja yang dilakukan dalam mengembangkan pendidikan Islam? Untuk masalah itu Prof. Dr. Tobroni mengungkapkan dalam makalahnya Spiritual Leadership The Probem Solver Krisis Kepemimpinan Dalam Pendidikan Islam sebagaimana berikut:
1.       Sebagai pembaharu.
Keberhasilan pemimpin spiritual dalam mengembangkan pendidikan tidak lepas dari perannya sebagai pembaharu. Gagasan-gagasan  atau ide-ide baru senantiasa keluar dari hasil kontemplasi, penjelajahan  dan pengembaraan intelektualnya yang luas.
2.      Pemimpin Spiritual Sebagai Pemimpin Organisasi Pendidikan.
Sebagaimana dikemukakan dalam pembahasan sebelumnya,  lembaga pendidikan merupakan industry yang mulia yang merupakan gabungan dari lembaga yang bersifat profit seperti perusahaan, industri dan jasa dan lembaga non profit seperti lembaga sosial kemasyarakatan, dan lembaga dakwah lainnya. Karena itu dari sisi kelembagaan, kekuatan-kekuatan kepemimpinan spiritual sangat cocok untuk memimpin lembaga pendidikan.  Pemimpin spiritual mampu memerankan diri sebagai seorang entrepreneur, corporate dan pembisnis yang handal sehingga mampu mengefektifkan budaya dan proses organisasi dan mengembangkan usaha dan memperbesar laba. Di sisi lain,  pemimpin spiritual juga mampu berperan sebagai seorang tokoh pergerakan, seorang ruhaniawan, relawan dan volunteer yang pandai menarik simpati dan menggerakkan massa, tokoh spiritual dan seorang pekerja sosial. Itulah sebabnya, lembaga pendidikan yang memiliki dimensi sebagai organisasi profit dan organisasi sosial dan dakwah sangat tepat dipimpin oleh orang yang mengembangkan kepemimpinan spiritual.
3.      Pemimpin spiritual sebagai administrator proses pembelajaran.
Kepala sekolah selama ini lebih banyak berperan hanya  sebagai administrator pembelajaran. Tugas mereka seakan sudah selesai apabila proses pembelajaran dapat berlangsung dengan lancar dan tertib. Pemimpin spiritual  memandang tugas sebagai administrator sebagai tugas rutin dan karena itu diserahkan pelaksanaannya kepada masing-masing pimpinan bidang atau unit. Ini tidak berarti tugas sebagai administrator tidak penting, melainkan secara organisatoris telah ada pembagian tugas dan sekaligus sebagai bentuk pengkaderan. Posisi pemimpin spiritual dalam hal ini berperan sebagai pengilham, pencerah dan pembangkit.
4.      Pemimpin Spiritual Sebagai Pendidik.
Salah satu kekuatan yang menyebabkan pemimpin spiritual berhasil dalam mengembangkan pendidikan adalah karena perannya sebagai pendidik (murabbi). Di depan muridnya ia tetap seorang guru yang mau menyapa dan  peduli sehingga memiliki hubungan yang harmoni, dekat, akrab dan  khurmah. Di depan guru dan karyawan ia adalah seorang teman sesama guru yang senasip dan seperjuangan. Dengan sesama guru ia tetap egaliter, dekat dan  akrap disamping juga peduli. Bukan hanya dengan sesama guru, dengan muridpun pemimpin spiritual dapat bergurau dengan renyah dan riang.
Dilihat dari proses pembelajaran di lembaga pendidikan, pemimpin spiritual terbukti mampu mengefektifkan proses pembelajaran dan melakukan berbagai inovasi. Sedang apabila dilihat dari substansi dan esensi pendidikan, pemimpin spiritual terbukti mampu mengembangkan pemikiran dan ide-ide baru yang brillian, mencerahkan dan memberdayakan sehingga pendidikan benar-benar mampu memerankan fungsi pokoknya, bukan sekedar fungsi formalnya.
BAB III
PENUTUPAN
Kesimpulan
Spiritual Quotient (SQ) merupakan kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan persoalan makna dan nilai hidup, menempatkan perilaku dalam konteks makna secara lebih luas. Kepemimpinan pendidikan adalah suatu kesiapan, kemampuan yang dimiliki oleh seseorang dalam proses mempengaruhi, mendorong, membimbing, mengarahkan  dan menggerakkan orang lain yang ada hubungannya dengan pelaksanaan dan pengembangan pendidikan dan pengajaran agar segenap kegiatan dapat berjalan secara efektif dan efisien, yang pada gilirannya dapat mencapai tujuan pendidikan dan pengajaran yang telah ditetapkan. Kepemimpinan spiritual adalah kepemimpinan yang membawa dimensi keduniawian kepada dimensi spiritual (keilahian).
Adapun karakteristik pemimpin spiritual yakni kejujuran sejati, adil, Semangat amal shaleh, membenci formalitas dan organized religion, Sedikit bicara banyak kerja dan santai, Membangkitkan yang terbaik bagi diri sendiri dan orang lain, Keterbukaan menerima perubahan, Pemimpin yang dicintai, Think Globally and act locally, disiplin tetapi fleksibel dan tetap cerdas dan penuh gairah, dan Kerendahan Hati.
Dan peran pemimpin spiritual  dalam memecahkan permasalahan pendidikan dapat ditinjau dari beberapa aspek yang diantaranya adalah sebagai pembaharu, sebagai pemimpin organisasi pendidikan, sebagai administrator proses pembelajaran, pemimpin spiritual sebagai pendidik.
DAFTAR PUSTAKA
Asmani, Jamal Ma’mur. 2009.Manajemen Pengelolaan dan Kepemimpinan Pendidikan Profesional. Yogyakarta. Diva Press
Burhanudin. 1994. Analisis Administrasi Manajemen dan Kepemimpinan Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara
Busro dan Dirawat. 1983. Pengantar Kepemimpinan Pendidikan. Surabaya: Usaha Nasional
Tobroni. Spiritual Leadership The Probem Solver Krisis Kepemimpinan Dalam Pendidikan Islam.
Wahab dan Umiarso. 2011. Kepemimpinan Pendidikan dan Kecerdasan Spiritual. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.


[1] Tobroni, 2010, makalah Spiritual Leadership The Proble Solver Krisis Kepemimpinan Dalam Pendidikan Islam.
[2] Abd. Wahab dan Umiarso, 2011, Kepemimpinan Pendidikan dan Kecerdasan Spiritual, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, hal.51
[3] Ibid,.
[4] Burhanuudin, 1994, Analisis Administrasi manajemen dan kepemimpinan pendidikan, Jakarta: Bumi Aksara, hal. 64
[5] Ibid, Tobroni,.
[6] Ibid,..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar