Selasa, 11 September 2012

Qasasul Quran

Latar Belakang Masalah
Alquran adalah kitab istimewa, kandungannya adalah mutiara, memiliki banyak faidah, tergantung dari sudut mana pembaca mau mengambil hidayah dan manfaatnya, dokter dapat menjadikan alquran sebagai landasan, filosof mengambil dasar-dasar pemikiran dari nash-nash alquran.
Miniatur kandungan Alquran tergambar dalam surah Alfatihah yakni aqidah, syariah, dan akhlak. Walaupun begitu Alquran tidak menutup pintu-pintu informasi lain jika digali lebih dalam. Dalam Alquran juga terdapat fakta sejarah, iptek, dan filsafat. Mahmud Syaltut, membagi pokok ajaran Alquran menjadi dua pokok ajaran, yaitu Akidah dan Syariah.[1] Pendapat Mahmud Syaltut ini tidak menafikan kandungan Alquran yang lain seperti sejarah, IPTEK, hanya saja tujuan akhir diturunkannya Alquran adalah aqidah dan syariat.
Aspek sejarah  atau kisah dalam disebut dengan istilah Qishashul Quran, bahkan ayat-ayat yang berbicara tentang kisah jauh lebih banyak ketimbang ayat-ayat hukum. Hal ini memberikan isyarat bahwa Alquran sangat perhatian terhadap masalah kisah, yang memang di dalamnya banyak mengandung pelajaran (ibrah). Sesuai firman Allah yang artinya: “Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal.”.
Oleh karena itu kisah/sejarah dalam Alquran memiliki makna tersendiri bila dibandingkan isi kandungan yang lain. Maka perlu kiranya kita sebagai umat Islam untuk mengetahui sejarah yang ada dalam Alquran sehingga kita dapat mengambil pelajaran dari kisah-kisah umat terdahulu.

Pengertian Qishasil Qur’an
Secara etimologis, kata Qashash merupakan bentuk jama’ dari lafadz Qishah yang mempunyai makna penjelasan[2]. Ada makna lain yakni mengikuti jejak atau menelusuri bekas, atau cerita atau kisah.[3]
Menurut al-Azhary, al-Qashash adalah mashdar dari kata kerja Qashasha yang artinya mengisahkan[4], jadi suatu kisah adalah cerita dari suatu kejadian yang sudah diketahui sebelumnya. Sementara dalam kitab-kitab tafsir, para mufassirin dalam mendefinisikannya tidak berhenti pada pendekatan etimologis saja, mereka melakukan pendekatan dua arah yakni pendekatan etimologis dan pendekatan religious, yaitu mengaitkan dengan maksud dan tujuan kisah-kisah al-Quran tersebut.[5] Dalam Al-Quran, lafadz Qashash mempunyai tiga arti, sebagaimana yang terdapat dalam ayat-ayat tersebut dibawah ini :

Pada ayat 64 surat al-Kahfi :
tA$s% y7Ï9ºsŒ $tB $¨Zä. Æ÷ö7tR 4 #£s?ö$$sù #n?tã $yJÏdÍ$rO#uä $TÁ|Ás% ÇÏÍÈ  
Musa berkata: "Itulah (tempat) yang kita cari". lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula.

Pada ayat diatas, lafadz Qashash mempunyai arti mengikuti jejak yakni sama dengan menelusuri bekas.
Kemudian disebutkan pada surat al-Qashash ayat 11 :
ôMs9$s%ur ¾ÏmÏG÷zT{ ÏmÅ_Áè% ( ôNuŽÝÇt7sù ¾ÏmÎ/ `tã 5=ãZã_ öNèdur Ÿw šcrããèô±o ÇÊÊÈ  
dan berkatalah ibu Musa kepada saudara Musa yang perempuan: "Ikutilah dia" Maka kelihatanlah olehnya Musa dari jauh, sedang mereka tidak mengetahuinya.

Pada ayat 11 dari surat al-Qashash ini, lafadz Qashash mempunyai arti mengikuti.

Disebutkan juga pada ayat 62 surat Ali-Imran yang berbunyi :
¨bÎ) #x»yd uqßgs9 ßÈ|Ás)ø9$# ,ysø9$# 4 $tBur ô`ÏB >m»s9Î) žwÎ) ª!$# 4 žcÎ)ur ©!$# uqßgs9 âƒÍyèø9$# ÞOŠÅ3ysø9$# ÇÏËÈ  
Sesungguhnya ini adalah kisah yang benar, dan tak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Allah; dan Sesungguhnya Allah, Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana .

Pada ayat ini lafadz Qashash mempunyai arti kisah.
Adapun secara terminologis, Qashashul Quran adalah kabar-kabar dalam Al Quran tentang keadaan-keadaan umat yang telah lalu dan kenabian masa dahulu, serta peristiwa-peristiwa yang telah terjadi.[6] Manna al-Khalil al-Qaththan mendefinisikan Qashashul quran sebagai pemberitaan Al Quran tentang hal ihwal umat-umat terdahulu dan para nabi, serta peristiwa-peristiwa yang terjadi secara empiris. Dan sesungguhnya Al quran banyak memuat peristiwa-peristiwa masa lalu, sejarah umat-umat terdahulu, negara, perkampungan dan mengisahkan setiap kaum dengan cara shuratan nathiqah.[7]

Macam-Macam Qashashil Qur’an
Kisah-kisah dalam Al Quran dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu:
  1. Kisah para Nabi yang memuat dakwah mereka kepada kaumnya, mukjizat-mukjizat yang ada pada mereka, sikap para penentang, perkembangan dakwah dan akibat-akibat yang diterima orang-orang yang mendustakan para Nabi[8].
  2. Kisah-kisah yang berkaitan dengan kejadian-kejadian umat-umat terdahulu dan tentang orang-orang yang tidak dapat dipastikan kenabiaanya, seperti kisah Thalut, Jalut, dua putra Adam, Ashahab al-Kahfi, Zulqarnai, Ashabul Ukhdud dsb.
  3. Kisah-kisah yang berkaitan dengan peristiwa yang terjadi di zaman Rasulullah seperti perang badar, uhud, tabuk dan lain sebagainya.
Adapun unsur-unsur yang terdapat dalam kisah Al-quran adalah:
  1. Pelaku (al-Syakhs). Dalam Al Quran para actor dari kisah tersebut tidak hanya manusia, tetapi juga malaikat, jin dan bahkan hewan seperti semut dan burung hud-hud.
  2. Peristiwa (al-Haditsah). Unsur peristiwa merupakan unsur pokok dalam suatu cerita, sebab tidak mungkin, ada suatu kisah tanpa ada peristiwanya. Berkaitan peristiwa, sebagian ahli membagi menjadi tiga, yaitu :
a)      Peristiwa yang merupakan akibat dari suatu pendustaan dan campur tangan qadla-qadar Allah dalam suatu kisah.
b)      Peristiwa yang dianggap luar biasa atau yang disebut mukjizat sebagai tanda bukti kebenaran, lalu datanglah ayat-ayat Allah, namun mereka tetap mendustakannya lalu turunlah adzab.
c)      Peristiwa biasa yang dilakukan oleh orang-orang yang dikenal sebagai tokoh yang baik atau buruk, baik merupakan rasul maupun manusia biasa.
  1. Percakapan (Hiwar). Biasanya percakapan ini terdapat pada kisah yang banyak pelakunya, seperti kisah Nabi Yusuf, kisah Musa dsb. Isi percakapan dalam Al Quran pada umumnya adalah soal-soal agama, misalnya masalah kebangkitan manusia, keesaan Allah, pendidikan dsb. Dalam hal ini Al Quran menempuh model percakapan langsung. Jadi Alquran menceritakan pelaku dalam bentuk aslinya.[9]

Tujuan Qashasil Qur’an
Adapun tujuan kisah Al Quran adalah untuk memberikan pengertian tentang sesuatu yang terjadi dengan sebenarnya dan agar dijadikan ibrah (pelajaran) untuk memperkokoh keimanan dan membimbing ke arah perbuatan yang baik dan benar.[10]
Apa sebenarnya tujuan dan fungsi kisah dalam Al Quran? Kisah-kisah dalam Al Quran merupakan salah satu cara yang dipakai Al Quran untuk mewujudkan tujuan yang bersifat agama. Sebab Al Quran itu juga sebagai kitab dakwah agama dan kisah menjadi salah satu medianya untuk menyampaikan dan memantapkan dakwah tersebut.
Bahkan lebih jauh menurut Sayid Qutb kisah-kisah Al Quran ada hanya khusus untuk tujuan agama saja.[11] Meskipun tunduk secara mutlak terhadap tujuan agama bukan berarti ciri-ciri kesusasteraan pada kisah-kisah tersebut sudah menghilang, terutama dalam penggambarannya. Bahkan dapat dikatakan bahwa tujuan agama dan kesusasteraan dapat terkumpul pada pengungkapan Alquran.[12] Jadi dapat disimpulkan bahwa tujuan kisah dalam Al Quran adalah untuk tujuan agama, meskipun demikian, tidak mengabaikan segi-segi sastranya karena keindahan sastra sudah merupakan karakter dasar Al Quran.
Adapun tujuan dan fungsi Qashash dalam Al Quran antara lain adalah:
  1. Untuk menunjukkan bukti kerasulan Muhammad saw. Sebab beliau meskipun tidak pernah belajar tentang sejarah umat-umat terdahulu, tapi beliau dapat tahu tentang kisah tersebut. Semua itu tidak lain berasal dari wahyu Allah.
  2. Untuk menjadikan uswatun hasanah suritauladan bagi kita semua, yaitu dengan mencontoh akhlak terpuji dari para Nabi dan orang-orang salih yang disebutkan dalam Al Quran.[13]
  3. Untuk mengokohkan hati Nabi Muhammad saw dan umatnya dalam beragama Islam dan menguatkan kepercayaan orang-orang mukmin tentang datangnya pertolongan Allah dan hancurnya kebatilan.[14]
  4. Mengungkap kebohongan ahli kitab yang telah menyembunyikan isi kitab mereka yang masih murni.
  5. Untuk menarik perhatian para pendengar dan menggugah kesadaran diri mereka melalui penuturan kisah.
  6. Menjelaskan prinsip-prinsip dakwah agama Allah, yaitu bahwa semua ajaran para Rasul intinya adalah tauhid.[15]
  7. Menjelaskan Sunnah Allah[16].

Pengulangan Kisah dan Hikmahnya
Dalam al-Quran banyak kisah yang disebutkan berulang-ulang, kisah nabi Musa misalnya, bahkan sampai disebutkan 126 kali, kisah nabi Ismail yang disebutkan sebanyak 12 kali, kisah nabi Dawud sebanyak 16 kali, nabi Ishaq 17 kali, nabi Luth 27 kali, nabi Ibrahim 99 kali, hanya saja pengulangan itu dalam bentuk kalimat yang berbeda-beda, kadang secara singkat, sedang atau panjang.[17]
Adapun hikmah pengulangan sebagian kisah yang terdapat dalam al-Quran adalah sebagai berikut :
1. Menjelaskan ketinggian tingkat balaghoh al-Quran, hal ini terbukti dengan pengulangan kisah sampai beberapa kali, namun menggunakan ungkapan yang berbeda sehingga tidak membosankan, bahkan mengasyikkan.
2. Membuktikan ketinggian mukjizat al Quran, yakni mampu menjelaskan satu makna dalam satu kisah dalam berbagai macam kalimat yang bermacam-macam sehingga orang arab tidak mampu untuk menandinginya.
3. Untuk lebih memperhatikan kepada pentingnya kisah-kisah al Quran, sehingga perlu disebutkan dengan berulang-ulang agar lebih meresap dalam lubuk sanubari serta terpatri dan terukir dalam jiwa, karena pengulangan adalah salah satu cara memperkuat peresapan dalam hati dan salah satu bukti meningkatkan perhatian.
4. Menunjukkan perbedaan tujuan dari tiap-tiap penyebutan kisah, sehingga banyaknya penyebutan suatu kisah menunjukkan banyaknya tujuan penyebutan tersebut, sebab penyebutan suatu kisah yang pertama berbeda tujuannya dengan penyebutan kisah yang kedua, ketiga dan seterusnya.[18]
Para orientalis berpendapat bahwa adanya pengulangan-pengulangan dalam kisah menunjukkan bahwa susunan Al Quran tidak sistematis dan terkesan terjadi pemborosan yang pada akhirnya menjadikan Al Quran cacat, mengenai Hal ini Quraish Shihab menjelaskan bahwa Al Quran berbeda dengan kitab-kitab lain, dalam Al Quran terjadi banyak pengulangan karena dia adalah kitab dakwah, dan dakwah harus dilakukan terus menerus dan berulang-ulang.

Bantahan Terhadap Tuduhan Kaum Orientalis

Ada beberapa orientalis yang berpendapat bahwa kisah-kisah masa lampau yang dikemukakan Al Quran diketahui Nabi Muhammad SAW dari seorang pendeta atau beliau menjiplak dari kitab Perjanjian Lama. Pendapat ini jelas tidak benar dari banyak segi.
Pertama, Nabi Muhammad SAW tidak  pernah belajar pada siapapun. Memang pada masa kanak-kanak beliau pernah ikut berdagang pamanya ke Syam dan bertemu dengan rahib yang bernama Buhaira yang meminta pamannya agar memberi perhatian serius pada nabi karena dia melihat tanda-tanda kenabian pada beliau. Namun pertemuan ini pun hanya terjadi beberapa saat. Di sini kita bertanya, “kalau remaja kecil (Muhammad saw) belajar pada rahib itu, apakah logis dalam pertemuan singkat itu beliau memperoleh banyak informasi yang mendetail, bahkan sangat akurat?” tentu saja tidak.
Seorang orientalis yang bernama Montgomery Watt yang berkata bahwa  Nabi Muhammad saw belajar pada Waraqah bin Naufal. Menurutnya, Khadijah merupakan anak paman Waraqah bin Naufal, sedangkan ia merupakan agamawan yang akhirnya menganut agama Kristen. Tidak dapat disangkal Khadijah berada di bawah pengaruhnya dan boleh jadi Muhammad telah menimba sesuatu dari semangat dan pendapat-pendapatnya.
Kita mengakui kalau Waraqah beragama Kristen, tapi bahwa Muhammad datang belajar kepadanya adalah sesuatu yang tidak dapat diterima. Hal ini karena menurut berbagai riwayat, kedatangan beliau menemui Waraqah adalah setelah beliau menerima wahyu dan bukan sebelumnya. Di sisi lain, Waraqah berpendapat bahwa yang datang pada Nabi Muhammad saw di gua Hira’ itu adalah malaikat yang pernah datang pada Nabi Musa dan Isa a.s., dan beliau menyatakan bahwa seandainya hidup saat Muhammad dimusuhi kaumnya, niscaya dia akan membelanya. Jika demikian, logiskah jika Nabi Muhammad saw belajar kepadanya setelah Waraqah mengakui kenabiannya?[19]
Tidaklah tepat jika dikatakan bahwa Nabi Muhammad saw mempelajari Kitab Perjanjian Lama, karena disamping beliau tidak dapat membaca dan menulis, juga karena terdapat sekian banyak informasi yang dikemukakan dalam Al-Quran yang tidak termaktub dalam kitab Perjanjian Lama ataupun kitab Perjanjian Baru, misalnya kisah Ash hab Al-Kahfi. Kalaupun ada yang sama, seperti beberapa kisah nabi-nabi, namun dalam rincian atau rumusannya terdapat perbedaaan-perbedaan yang signifikan.
Walaupun terjadi persamaan kisah dalam garis besarnya, bukan lalu merupakan bukti penjiplakan. Apakah jika seseorang pada puluhan tahun yang lalu melukis candi Borobudur, kemudian kini datang pula  pelukis lain yang melukisnya dan ternyata lukisan itu sama atau mirip dengan yang sebelumnya  apakah Anda berkata bahwa pelukis kedua menjiplak dari pelukis pertama?
Nabi Muhammad saw sejak dini telah mengakui bahwa beliau adalah pelanjut dari risalah para nabi. Beliau mengibaratkan diri beliau dengan para nabi sebelumnya bagaikan seorang yang membangun rumah, maka dibangunnya dengan sangat baik dan indah, kecuali satu bata di pojok rumah itu. Orang-orang berkeliling di rumah tersebut dan mengaguminya sambil berkata, “Seandainya diletakkan bata di pojok rumah ini, maka Akulah (pembawa) bata itu dan Akulah penutup para nabi.” Demikian sabda Beliau yang diriwayatkan oleh Bukhari melalui Jabir bin ‘Abdillah.[20]
Relevansi Kisah dengan Sejarah
Belakangan ini gencar ide ide dari kalangan sarjana islam barat yang mempertanyakan tentang historisitas kisah-kisah dalam Alquran, Ulil Abshar Abdallah adalah salah satu contohnya, di blog pribadinya dia menulis keterangan sebagai berikut:
Selama ini kita memahami mukjizat secara fantastis sebagai peristiwa-peristiwa besar seperti Musa membelah dan menyeberangi Laut Merah dengan tongkatnya, atau banjir bandang pada masa Nuh yang menelan seluruh manusia di bumi, atau Yesus yang menghidupkan orang mati, atau Muhammad yang mengendarai hewan “buraq” dan melesat terbang ke langit tujuh dalam peristiwa Isra’-Mi’raj, dsb.”.
“ Kita tak pernah benar-benar bisa tahu bahwa kejadian-kejadian fantastis di masa lampau itu benar-benar faktual pernah tejadi. Boleh jadi itu hanya dongeng yang dipungut oleh Quran dari khazanah folklore Yahudi yang tersebar di kawasan Timur Tengah saat itu sekedar untuk medium penyampaian pesan dakwah. Yang penting bukanlah mukjizat fantastis itu. Tetapi pesan apa yang hendak disampaikan oleh dongeng mukjizat itu “[21].
Sebenarnya akar pandangan yang mempertanyakan keabsahan kisah dalam Alquran ini sudah mengemuka sejak terbitnya “ al fanni al qishashi fi al quran al karim “ , sebuah judul untuk desertasi yang diajukan Muhammad Ahmad Kholfullah pada tahun 1927 yang berakhir dengan ditolaknya desertasi tersebut[22].
Salah satu inti dari desertasi tersebut adalah tentang warna kisah dalam alquran, ada yang memiliki realitas sejarah, ada yang hanya sebagai majas tamsiliyah dan ada yang berbentuk folklore[23].
Menurut Muhammad Ahmad Kholfullah sendiri unsur-unsur kisah dalam Al quran seperti peristiwa, dan karakter atau pemeran adalah unsur yang bisa terjadi dalam sejarah atau kadang hayalan atau bentuk imajinasi pikiran saja[24].
Ahmad Kholfullah dan Ulil Abshar tidak menampik jika dalam Al quran ada unsur fiksi, dalam fiksi ada kebebasan tanpa batas. Penulis bisa pergi ke mana saja, melanglang buana semaunya, menghentikan waktu dan menjalankannya kembali, semua itu bisa dilakukan kapan saja. Penulis fiksi juga bisa menciptakan makhluk-makhluk aneh yang belum sempat tuhan ciptakan, membangun sebuah pulau yang tak pernah tercatat dalam sejarah, mematikan tokoh protagonis, memberi penghargaan kepada tokoh antagonis, membalik segalanya, merusak segalanya, mendekonstruksi realita sehari-hari dengan imajinasi. Ya, dengan menulis fiksi, penulis bisa melakukan apa saja.
Menurut mereka tidak penting Apakah kisah “ajaib” Musa, para nabi atau Muhammad sungguh-sungguh nyata atau hanya fiktif belaka, yang terpenting adalah pesan Alquran tersampaikan, seperti keterangan Ulil sebagai berikut:
 “ pelajaran yang penting dari suatu mukjizat dan keajaiban bukanlah soal apakah kejadian itu faktual atau tidak. Bagi saya, tak terlalu penting apakah Musa benar-benar membelah laut dan menyeberangkan ribuan orang Israel dari Mesir untuk menghindar dari perbudakan yang mereka derita di sana[25].

Historisitas atau ahistorisitas kisah dalam Al quran menjadi diskusi panjang, seperti Abdul Karim Khotib dalam “ Al Qishah Al Qurany fi Mantuqihi wa Mafhumihi “ memberikan porsi yang banyak dari buku tersebut demi mengkritik buku karangan Ahmad Kholfullah sebagai bentuk caunter attack terhadap pandangan yang menyatakan adanya unsure fiksi dalam Al quran.
Khotib menyatakan bahwa kisah dalam Al quran adalah nyata seperti dalam Al quran QS. 3:62  “إِنَّ هَذَا لَهُوَ الْقَصَصُ الْحَقُّ وَمَا مِنْ إِلَهٍ إِلا اللَّهُ وَإِنَّ اللَّهَ لَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
“ Sesungguhnya ini adalah kisah yang benar, dan tak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Allah; dan sesungguhnya Allah, Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.
Menurut As-Suyuthi, kisah dalam al-Qur’an sama sekali tidak dimaksudkan untuk mengingkari sejarah, lantaran sejarah dianggap salah dan membahayakan Al-Qur’an. Kisah-kisah dalam Al-Qur’an merupakan petikan-petikan dari sejarah sebagai pelajaran kepada umat manusia dan bagaimana mereka menarik manfaat dari peristiwa-peristiwa sejarah. Hal ini dapat dilihat bagaimana Al-Qur’an secara eksplisit berbicara tentang pentingnya sejarah, sebagaimana tercantum dalam surat Ali Imran ayat 140 :
“Dan masa( kejayaan dan kehancuran) itu, Kami pergilirkan diantara manusia (agar mereka mendapat pelajaran).”

Kisah-kisah yang ada dalam Al-Qur’an tentu saja tidak dapat dianggap semata-mata sebagai dongeng, apalagi Al-Qur’an adalah kitab suci yang berbeda dengan bacaan lainnya. Memang sering timbul perdebatan, apakah kisah-kisah tersebut benar-benar memiliki landasan historis atau sebaliknya ?, sebagai kisah yang historis, sejauh manakah posisi Al-Qur’an dalam memandang sejarah sebagai suatu realitas ?
Sebagai kitab suci, Al-Qur’an bukanlah kitab sejarah, sehingga tidak adil jika Al-Qur’an dianggap mandul hanya karena kisah-kisah yang ada didalamnya tidak dipaparkan secara gamblang.
Melalui studi yang mendalam, diantaranya kisahnya dapat ditelusuri akar sejarahnya, misalnya situs-situs sejarah bangsa Iran yang diidentifikasikan sebagai bangsa ‘Ad  dalam kisah Al-Qur’an, Al-Mu’tafikat yang diidentifikasikan sebagai kota-kota Palin, penemuan tentang adanya kemungkinan laut bisa terbelah sebagaimana terjadi pada zaman musa, dan baru-baru ini ditemukan kerangka perahu yang disinyalir adalah perahu nabi Nuh.
Kemudian berdasarkan penemuan-penemuan modern, mummi Ramses II di sinyalir sebagai Fir’aun yang dikisahkan dalam Al-Qur’an. Disamping itu memang terdapat kisah-kisah yang tampaknya sulit untuk dideteksi dari sisi historisnya, misalnya peristiwa Isra’ Mi’raj dan kisah Ratu Saba. Karena itu sering di sinyalir bahwa kisah-kisah dalam Al-Qur’an itu ada yang historis ada juga yang a-historis.
Meskipun demikian, pengetahuan sejarah adalah sangat kabur dan penemuan-penemuan arkeologi sangat sedikit untuk dijadikan bahan penyelidikan menurut kacamata pengetahuan modern, misalnya mengenai raja-raja Israil yang dinyatakan dalam Al-Qur’an.
Mohammad Ghozali Al Quran adalah kitab dakwah dan sejarahnya, dengan adanya pemaparan sejarah manusia-manusia zaman dahulu menjadi lebih jelaslah dakwah Al Quran[26]. Pesan yang disertai dengan bukti sejarah akan lebih menancap ke dalam hati dan akal manusia. Lengkap sudah keindahan dan keagungan Al Quran, memiliki gaya bahasa dan kata-kata indah sekaligus menyuguhkan sejarah hidup tepat dihadapan pembaca.
    KISAH AL QURAN DALAM PENDIDIKAN ANAK USIA DINI
Cerita dapat digunakan orang tua dan guru sebagai sarana mendidik dan membentuk kepribadian anak usia dini melalui pendekatan transmisi budaya. Menurut Scott Russel Sanders sebagaimana dikutib Tadkiroatun, ada sepuluh alasan penting mengapa anak perlu menyimak cerita. Kesepuluh alas an tersebut antara lain:
  1. Menyimak cerita merupakan sesuatu yang menyenangkan anak;
  2. Cerita dapat mempengaruhi masyarakat;
  3. Cerita membantu anak melihat melalui mata orang lain;
  4. Cerita memperlihatkan kepada anak konsekuensi suat tindakan;
  5. Cerita mendidik hasrat anak;
  6. Cerita membantu anak memahami tempat/lokasi;
  7. Cerita membantu anak memanfaatkan waktu;
  8. Cerita membantu anak mengenal penderitaan, kehilangan, dan kematian;
  9. Cerita mengajarkan anak bagaimana menjadi manusia; dan
  10. Cerita menjawab rasa ingin tahu dan misteri kreasi.
Pendapat Scott di atas memberikan gambaran global nilai penting cerita untuk pendidikan anak usia dini. Sedangkan kisah-kisah dalam al-Qur’an memberikan sumbangsih nyata selama berabad-abad dalam mendidik karakter generasi terbaik. Melalui cerita anak bisa terhubung dengan situasi dan karakter tokoh-tokoh terbaik masa lalu, sehingga diharapkan tumbuh kecintaan pada “idola” yang tepat guna membangun karakter mereka. RUA. Zainal Fanani memberikan pendapatnya terkait fungsi penting cerita/kisah Islami (salah satunya dalam al-Qur’an) bagi pendidikan anak-anak. Menurut Fanani sebagaimana dikutip Katri, ada sepuluh fungsi penting kisah, antara lain:
  1. Sebagai sarana kontak batin antara guru/ustadz atau orang tua dengan anak-anak,
  2. Sebagai media penyampai pesan-pesan moral atau nilai-nilai ajaran tertentu,
  3. Sebagai metode untuk memberikan bekal kepada anak didik agar mampu melakukan proses identifikasi diri maupun identifikasi perbuatan (akhlaq),
  4. Sebagai sarana pendidikan emosi (perasaan) anak didik,
  5. Sebagai sarana pendidikan fantasi/imajinasi/kreativitas (daya cipta) anak,
  6. Sebagai sarana pengembangan kemampuan berbahasa anak,
  7. Sebagai sarana pendidikan daya pikir anak,
  8. Sebagai sarana memperkaya pengalaman batin dan khasanah pengetahuan anak,
  9. Sebagai salah satu metode untuk memberikan terapi bagi anak-anak yang mengalami masalah psikologis, dan
  10. Sebagai sarana hiburan dan pencegah kejenuhan.
Dr. Murti Bunanta menambahkan manfaat kisah bagi anak-anak adalah membangkitkan minat baca dan sekaligus sebagai “obat” penenang, karena bagaimanapun nakalnya anak, ia bisa duduk tenang hanya untuk mendengarkan cerita/kisah.

Kesimpulan
Dari uraian makalah di atas kita dapat mengambil beberapa kesimpulan diantaranya:
  1. Al Quran merupakan kitab suci umat Islam dan manusia seluruh alam yang tidak dapat diragukan kebenarannya dan berlaku sepanjang zaman, baik masa lalu, masa sekarang maupun masa yang akan datang.
  2. Sebagian isi kandungan dalam Al quran mayoritas memuat tentang Qashash (sejarah) umat-umat terdahulu sebagai bahan pelajaran bagi umat sekarang (umat Islam).
  3. Qashashul quran dapat dipahami sebagai kabar-kabar dalam Al Quran tentang keadaan-keadaan umat yang telah lalu dan kenabian masa dahulu, serta peristiwa-peristiwa yang telah terjadi.
  4. Tujuan kisah Al Quran adalah untuk memberikan pengertian tentang sesuatu yang terjadi dengan sebenarnya dan agar dijadikan ibrah untuk memperkokoh keimanan dan membimbing ke arah perbuatan yang lebih baik dan benar.
  5. Kisah dalam Al Quran dibedakan menjadi tiga macam, yaitu: kisah dakwah para nabi, kejadian umat terdahulu dan kejadian di zaman Rasulullah Muhammad saw.
  6. Unsur kisah Al Quran juga ada tiga, yakni: adanya Pelaku, kejadian atau peristiwa dan percakapan.
  7. Inti dari fungsi kisah dalam Al Quran adalah untuk dakwah menegakkan kalimat tauhid, membantah kebohongan kaum kafir serta menjadikannya sebagai pelajaran yang amat berharga bagi umat Islam.
  8. Beberapa kaum orientalis ada yang meragukan keaslian kisah-kisah dalam Al Quran. Namun anggapan mereka terbantahkan dengan bukti-bukti yang telah dipaparkan di atas. Juga terdapat kesesuaian antara kisah dalam al Quran dan bukti sejarah.
  9. Al quran tidak hanya mempunyai sisi artistik ketika menyuguhkan cerita sehingga membuat pembaca semakin tertarik, bahkan memberikan kenyataan sehingga pesan-pesannya benar-benar tertanam dalam hati dan akal pembaca.
  10. Kisah dalam Al quran bisa menjadi sebuah media pembelajaran untuk pendidikan anak

DAFTAR PUSTAKA

         1          A.Hanafi, Segi-Segi Kesusasteraan Pada Kisah-Kisah Quran. Jakarta : Pustaka Al-Husna, 1983
         2          Jalal Abdul, Ulumul Quran, Surabaya : Dunia Ilmu, 2008
        3         Abu Ishaq Ahmad bin Muhammad Ibn Ibrahim an-Naisaburi. Qishash Anbiya’. Beirut : Dar al-Fikr, tt
          4          Al-Biqa’i. Badzl An-Nushah wa Asy-Syafaqah li At-Ta’rif bi Shuhbah as-Sayyid Waraqah.
          5          DEPAG RI, Ulumul Quran III, Jakarta : DEPAG RI, 2001
          6          Munawir , Fajrul dkk. Al-Quran. Yogyakarta : Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2005
          7          Shihab , M. Quraish. Mukjizat Al-Quran. Bandung: Mizan, 1998
          8          Syaltut Mahmud, al-Islam Aqidah wa al-Syariah, Beirut : Dar al-Qalam, 1966
          9          Qaththan (al), Manna’ Khalil, Mabahits fi Ulumil Quran, tt, Masyurah al-Asyr, 1073
        10        Khalafullah, Muhammad, Al-Quran Bukan Kitab Sejarah,  Jakarta : Paramadina, 2002
        11        Qutb, Sayyid. Al Tashwir al-Fannai fil Quran, Kairo: Darul Ma’arif. 1975
        12        Shiddieqy (al), Hasbi. Ilmu-Ilmu Al Quran. Jakarta : Bulan Bintang, 1972
        13        Nuqroh, At Tahami, sikulujiyyatul qishah fi Al Quran, jamiatul Jazair, 1971
        14        Khalfullah, Muhammad Ahmad, Al fann Al qisahshi fi Al Quran Al karim, Kairo: Maktabah Anjalu almishriyyah, 1965
        15        Ghozali (al), Muhammad, Nadhorot fi Al Quran, (Kairo: Nahdlotu misr, 2005).
        16        Zaidan, Abdul Karim, Al mustafad min qishshil quran, (Beirut: Muassasatur risalah), juz 1





[1] Mahmud Syaltut, al-Islam Aqidah wa al-Syariah, (Beirut : Dar al-Qalam, 1966), 11
[2] . Ibnul Mandzur, Lisanul Arab, (Beirut: dar al fikr, 1990), juz 7, 73
[3] DEPAG RI, Ulumul Quran III, (Jakarta : DEPAG RI, 2001), 52
[4] .Mandzur, Lisanul Arab, 74.
[5] Muhammad Khalafullah, Al-Quran Bukan Kitab Sejarah,  (Jakarta : Paramadina, 2002), 100
[6] T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy. Ilmu-Ilmu Al Quran. (Jakarta : Bulan Bintang, 1972), 176
[7] Yang dimaksud dengan shuratan nathiqah adalah seolah-olah pembaca kisah tersebut menjadi pelaku sendiri yang menyaksikan peristiwa itu. Manna’ Khalil al-Qaththan, Mabahits fi Ulumul Quran, (tt Masyurah al-Asyr, 1973), 306
[8] . Ibid.,  306
[9] Fajrul Munawir dkk. Al-Quran. (Yogyakarta : Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2005), 108-109
[10] Ibid, 107
[11] Sayyid Qutb. Al Tashwir al-Fannai fil Quran. (Kairo: Dar al Ma’arif,tt).120
[12] A.Hanafi, Segi-Segi Kesusasteraan Pada Kisah-Kisah Quran. (Jakarta : Pustaka Al-Husna, 1983), 68
[13] Abu Ishaq Ahmad bin Muhammad Ibn Ibrahim an-Naisaburi. Qishah  Al-anbiya’. (Beirut : Dar al-Fikr, tt), 12
[14] Q.S. 11:120
[15] Al-Qaththan, Ulumul Quran, 307.
[16] . Abdul Karim Zaidan, Al mustafad min qishshil quran, (Beirut: Muassasatur risalah, tt), 7.
[17] Abdul Jalal, Ulumul Quran, (Surabaya : Dunia Ilmu, 2008), 303-304
[18] Ibid.
[19] Al-Biqa’i. Badzl An-Nushah wa Asy-Syafaqah li At-Ta’rif bi Shuhbah as-Sayyid Waraqah.
[20] M. Quraish Shihab. Mukjizat Al-Quran. (Bandung: Mizan, 1998), 206-212
[21] . Ulil Abshar Abdallah, “Mukjizat Bertebaran Di Sekeliling Anda”, dalam http://ulil.net/2008/06/15/mujizat-bertebaran-di-sekeliling-anda/, (12 Desember 2011).
[22] .  Tahami Nuqroh, “sikulugiyatul qishah fi alquran”, (Desertasi—Jamiatul jazair, 1971), 35.
[23] . Ibid., 36
[24] . Muhammad Ahmad Kholfullah, al fanni al qishashi fi al quran al karim, (Kairo: maktaba anggelo, 1965), 260.
[25] Ulil Abshar Abdallah, “Mukjizat Bertebaran Di Sekeliling Anda”, dalam http://ulil.net/2008/06/15/mujizat-bertebaran-di-sekeliling-anda/, (12 Desember 2011).
[26] . Muhammad Al Ghozali, Nadhorot fi Al Quran, (Kairo: Nahdlotu misr, 2005), 95

Tidak ada komentar:

Posting Komentar