Selasa, 11 September 2012

Metodologi Penafsiran al-Thabari

Sebelum Nabi Muhammad wafat, sumber penafsiran ada pada nabi. namun, setelah wafat, semakin bertambahnya hari dan permasalahan yang semakin kompleks membuat penafsiran Alquran mengalami perkembangan. Oleh karena itu, sumber penafsirannya adalah dari sahabat, sebab para sahabat ini menerima langsung penjelasan dari nabi.

Namun, dikarenakan para sahabat tidak selalu berada di samping nabi, dan nabi juga bertemu dengan sahabat yang berbeda-beda setiap harinya, maka tidak dapat dihindarkan dalam perbedaan penafsiran suatu ayat Alquran. Para sahabat pada masa ini adalah seperti khalifah rasyidin, Abdullah ibn Abbas, Abdullah Ibn Masud dan lain-lain. Pada masa sahabat tafsir belum dibukukan menjadi satu kitab tafsir yang khusus, walaupun terdapat beberapa sahabat yang mempunyai penafsiran yang dibukukan dalam satu mushaf.
Setelah masa sahabat berakhir dengan wafatnya semua sahabat, maka mulailah tabiin yang merupakan murid-murid sahabat menafsirkan Alquran. Jika para sahabat menerima tafsir dari nabi, maka para tabiin menerima tafsir dari para sahabat. Salah satu tabiin adalah al-Thabari yang konon tafsirnya jami’ al-bayan adalah tafsir pertama dari abad ke-3 Hijriah dalam sejarah penulisan kitab-kitab tafsir dan kitab tafsir tertua yang sampai kepada kita.
Karena itulah kami sebagai penulis akan membahas tafsir karya al-Thabari dalam makalah ini sebagai wacana dalam mengetahui mengenai kitab tafsir pada abad pertengahan tiga Hijriah.


METODOLOGI PENAFSIRAN AL-THABARI DALAM JAMIUL BAYAN
A. Biografi al-Thabari
Nama lengkap dari al-Thabari adalah Abu Ja’far Muhammad ibn Jarir ibn Yazid ibn Katsir ibn Ghalib al-Thabari al-Amuli, beliau dilahirkan di kota Amul yang merupakan ibukota Thabaristan, di negara Iran. Beliau lahir pada akhir tahun 224 Hijriah awal tahun 225 Hijriah (al-Dzahabi, 20041:147).
Al-dzahabi (20041:148) menjelaskan bahwa pada waktu kecil al-Thabari sudah hafal Alquran pada umur tujuh tahun dan mendapatkan kepercayaan untuk menjadi imam sholat pada masa itu. Beliau juga menulis hadis pada umur sembilan tahun.
Al-Dzahabi (20041:148) menyatakan bahwa al-Thabari mengetahui berbagai macam cara baca Alquran, memahami makna yang terkandung di dalamnya serta memiliki pengetahuan yang mendalam tentang hukum-hukum di dalam Alquran.
Beliau tumbuh dan berkembang di lingkungan keluarga yang memberikan cukup perhatian terhadap pendidikan, terutama bidang keagamaan. Beliau sangat bersungguh-sungguh dalam mencari ilmu. Hal itu tampak pada saat beliau mencari ilmu keliling pada tiap kota untuk memperkaya pengetahuan dalam berbagai disiplin ilmu. Menurut al-Dzahabi (20041:148), al-Thabari dikirim oleh ayahnya ke Rayy, Basrah, Kufah, Mesir, Syiria. di Rayy beliau belajar pada Ibn Humayd, Abu Abdillah Muhammad ibn Humayyad al-Razi, beliau juga pernah pergi ke Baghdad untuk menimba ilmu kepada Ahmad ibn Hanbal, tetapi sesampainya di sana Ahmad ibn Hanbal telah wafat.
Menurut al-Dzahabi (20041:148), al-Thabari menghabiskan waktunya untuk mempelajari ilmu ke-Islaman dan tradisi-tradisi Arab. Selain ahli fiqih beliau juga ahli sejarah, tafsir, sastra, tata bahasa, logika, matematika dan kedokteran. Beliau merupakan salah satu tokoh terkemuka yang menguasai benar berbagai disiplin ilmu, beliau meninggalkan warisan cukup besar yang mendapatkan sambutan besar di setiap masa dan generasi yaitu karya beliau yang masyhur Jami’ al-Bayan fi tafsir al-Qur’an. Karya tafsirnya tersebut merupakan rujukan utama bagi para mufasir yang menaruh perhatian terhadap tafsir bi al-ma’tsur. Beliau meninggal pada tahun 310 Hijriah.
Nama lengkap tafsir ini adalah Jami’ al-Bayan Fi Tafsir al-Qur’an. Al-Dzahabi (20041:149) berpendapat bahwa kitab tafsir tersebut ditulis pada Tahun 306 Hijriah dan terdiri dari dua belas jilid. Mulanya tafsir ini hilang tetapi kemudian terdapat satu manuskrip yang di simpan oleh Amir Mahmud ibn Abd al-Rasyid seorang pengusaha Naj, dari manuskrip ini kemudian diterbitkan dan beredar luas serta menjadi sebuah ensiklopedi tafsir bi al-Ma’tsur.

B. Metode Penafsiran
Al-dzahabi (20041:148) beranggapan bahwa Ibn Jarir al-Thabari dipandang sebagai tokoh terpenting dalam tradisi keilmuan Islam klasik, yaitu dalam ilmu fiqih, hadis, bahasa, sejarah dan termasuk dalam bidang tafsir Alquran, seperti pada dua buah karya besarnya yaitu tarikh al- Umam wa al-Mulk, yang berbicara tentang sejarah dan al-bayan Fi tafsir Alquran, sehingga berhasil mengangkat popularitas beliau pada saat itu dan sampai saat ini pun karya beliau masih dikenal oleh banyak kalangan.
Tafsir ini dikenal dengan tafsir bi al-ma’tsur, walaupun demikian al-Thabari dalam menentukan makna yang paling tepat pada sebuah lafad juga menggunakan ra’yu. Tafsir ini menggunakan metode tahlili, sebab penafsirannya berdasarkan pada susunan ayat dan surat sebagaimana dalam urutan mushaf (al-Dzahabi, 20041:149).
Di samping sebagai mufasir, beliau juga pakar sejarah yang mana dalam penafsirannya yang berkenaan dengan historis beliau jelaskan panjang lebar dengan dukungan cerita-cerita israiliyat (al-Dzahabi, 20041:147). Dengan pendekatan sejarah yang beliau gunakan tampak kecenderungannya yang independen. Beliau menyatakan bahwa ada dua konsep sejarah menurutnya: pertama, menekankan esensi ketauhidan dari misi kenabian dan yang kedua, pentingnya pengalaman-pengalaman dari umat dan pengalaman konsisten sepanjang zaman (al-Dzahabi, 20041:149).
Berikut merupakan metode yang digunakan oleh al-Thabari dalam tafsirnya (al-Dzahabi,20041:151):
1. Menempuh jalan tafsir dan atau takwil.
Menurut al-Dzahabi (20041:151), ketika al-Thabari akan menafsirkan suatu ayat, al-Thabari selalu mengawali dengan kalimat القول فى تأويل قوله تعالى. Kemudian, barulah menafsirkan ayat tersebut.
2. Menafsirkan Alquran dengan sunah/hadis (bi al-ma’tsur).
Al-Dzahabi (20041:151) menyatakan bahwa al-Thabari dalam menafsirkan suatu ayat selalu menyebutkan riwayat-riwayat dari para sahabat beserta sanadnya.
3. Melakukan kompromi antar pendapat bila dimungkinkan, sejauh tidak kontradiktif dari berbagai aspek termasuk kesepadanan kualitas sanad (al-Dzahabi, 20041:153).
4. Pemaparan ragam qiraat dalam rangka mengungkap makna ayat.
Al-Dzahabi (20041:153) berpendapat bahwa al-Thabari juga menyebutkan berbagai macam qiraat dan menjelaskan penafsiran dari masing-masing qiraat tersebut serta menjelaskan hujjah dari ulama qiraat tersebut.
5. Menggunakan cerita-cerita israiliyat untuk menjelaskan penafsirannya yang berkenaan dengan historis.
Al-Dzahabi (20041:154) menerangkan bahwa al-Thabari dalam penafsirannya yang berkenaan dengan sejarah menggunakan cerita-cerita israiliyat yang diriwayatkan dari Ka’ab al-Ahbar, Wahab ibn Manbah, Ibn Juraij dan lain-lain.
6. Mengeksplorasi syair dan prosa Arab lama ketika menjelaskan makna kata dan kalimat.
Menurut al-Dzahabi (20041:156) metode ini tidak hanya digunakan oleh al-Thabari saja, tetapi juga dipergunakan oleh mufasir lain seperti Ibn Juraij ketika menafsirkan ayat dengan riwayat yang diperoleh dari Ibn Abbas.
7. Berdasarkan pada analisis bahasa bagi kata yang riwayatnya diperselisihkan.
Al-Dzahabi (20041:156) menuturkan bahwa ketika al-Thabari mendapati kata dalam suatu ayat ada perselisihan antar ulama nahwu, al-Thabari menjelaskan kedudukan kata tersebut menurut tiap-tiap mazhab degan memperhatikan aspek i’rab dengan proses pemikiran analogis untuk ditashih dan ditarjih serta menjelaskan penafsirannya.
8. Menjelaskan perdebatan di bidang fiqih dan teori hukum Islam untuk kepentingan analisis dan istinbath (penggalian dan penetapan) hukum.
Menurut pejelasan al-Dzahabi (20041:157), al-Thabari selalu menjelaskan perbedaan pendapat antar mazhab fikih tanpa mentarjih salah satu pendapat dengan pendekatan ilmiah yang kritis.


9. Menjelaskan perdebatan di bidang akidah.
Al-Dzahabi (20041:158) menuturkan bahwa dalam ayat-ayat yang berhubungan dengan masalah akidah al-Thabari menjelaskan perbedaan pendapat antar golongan.

C. Contoh Penafsiran
Ketika menafsirkan Surat al-Maidah ayat 89 yang berbunyi :
لايوأخذكم الله باالغوفي ايمانكم ولكن يوأخذكم بما عقد تم الايمان فكفارته إطعام عشرة مساكين من أوسط ماتطعمون أهليكم أوكسوتهم أوتحريررقبه
Yang dicermati al-Thabari adalah kalimat من أوسط ماتطعمون أهليكم yang mana potongan ayat ini ditafsirkan oleh sebagian sahabat nabi dengan pendapat yang berbeda-beda. Ibn Abbas (Al-Thabari, 20018:616) menafsirkan ayat tersebut dengan : من أوسط ماتطعمون أهليكم من عسرهم يسرهم , yaitu jenis makanan yang di konsumsi sehari-hari oleh keluarga (pembayar denda) secara moderat tidak terlalu mahal dan tidak terlalu murah, tidak terlalu sulit dan tidak terlalu mudah.
Sementara Sa’id ibn Jubair dan Ikrimah (Al-Thabari, 20018:616) menafsirkan dengan : اي من اعدل ماتطعمون اهليكم (atau makanan dari jenis yang sederhana yang di konsumsi keluarga).
Di samping penafsiran para sahabat yang beliau jadikan rujukan penafsirannya, beliau juga menjadikan hadits yang berkaitan dengan penafsirannya sebagai rujukan juga. Seperti yang di riwayatkan oleh Ibn Sirin dari Ibn Umar, Rasulullah bersabda : والخيروالتمر, ومن افضل مااهليكم, الخبزواللحم, الخبزوالسمن, والخبزواللبن,والخبزوالزيت (Al-Thabari, 20018:616).
Setelah ditopang oleh sejumlah refrensi yang cukup akurat, kemudian al-Thabari menyatakan, bahwa yang dimaksud dari ayat di atas adalah dalam hal kuantitas, moderat, tidak sedikit dan tidak pula banyak. (Al-Thabari, 20018:616).

D. Penilaian Ulama’ Tentang Al-Thabari
Abu Hamid al-Isfarayini (wafat 1015 Hijriah) (Dosen TH UIN Sunan Kalijaga, 2004:39) menyatakan bahwa semua informasi yang diberikan oleh al-Tabari diperoleh secara berantai dari para periwayat. Mata rantai ini dipelajari oleh Dr. H. Horst, yang menghitung ada 13.026 mata rantai yang berbeda dalam tiga jilid tafsir al-Thabari. Dua puluh satu dari 13.026 ini termasuk di dalamnya 15.700 dari 35.400 macam bentuk informasi, hadis-hadis, yang menjadi jaminan bagi kebenaran atas berbagai mata rantai peristiwa.
Di pihak lain, Dr. F. Sezgin (Dosen TH UIN Sunan Kalijaga, 2004:40) membandingkan kutipan-kutipan al-Thabari dengan sumber-sumber aslinya, pada akhirnya beliau berkesimpulan bahwa tafsir al-Tabari sangat luas dan ensiklopedis. Isinya sangat bervariasi dengan subyek pembahasan yang sangat kaya.
Dalam suatu kesempatan Muhammad Abduh (Dosen TH UIN Sunan Kalijaga, 2004:40) mengomentari tafsir   al-Thabari dengan menyatakan bahwa kitab-kitab terpercaya di kalangan penunut ilmu, karena pengarang-pengarangnya telah melepaskan diri dari belenggu taklid dan berusaha untuk menjelaskan ajaran-ajaran Islam tanpa melibatkan diri dalam perselisihan dan perbedaan paham yang dapat menimbulkan perpecahan.
Berdasarkan penelitian Taufik Adnan Amal (Dosen TH UIN Sunan Kalijaga, 2004:39-40) menyatakan bahwa Ibn Jarir al-Thabari adalah mufasir “tradisional” paling terkemuka, menyusun suatu kitab yang menghimpun lebih dari dua puluh sistem bacaan (qiraat).
Penulis tafsir Ayat-ayat Ahkam Muhammad Ali al-Sabuni (1990:57) berkomentar bahwa kitab tafsir Ibn Jarir termasuk tafsir bi al-ma’tsur yang paling agung, paling benar dan paling banyak mencakup pendapat sahabat dan tabiin serta dianggap sebagai pedoman pertama bagi para mufasir. Hal itu senada dengan apa yang dinyatakan oleh Manna’ al-Qattan (Tanpa Tahun 386), yakni kitab tafsir al-Tabari merupakan tafsir paling besar dan utama serta menjadi rujukan penting bagi para mufasir bi al-ma’tsur.
Tak ketinggalan pula dedengkot orientalis, Ignaz Goldziher (Dosen TH UIN Sunan Kalijaga, 2004:40) secara jujur mengakui kapasitas kitab tafsir Al-Thabari dengan mengatakan bahwa karya sejarahnya pernah menjadi  mahakarya, karena kelengkapan informasi dan kompleksitas materi kajiannya, banyak di antara para ilmuwan dan sejarawan yang menggunakan data-data darinya sebagai rujukan.

E. Analisis
Setelah melihat dari penjelasan di atas, maka dapat dianalisis bahwa Al-Tabari dipandang sebagai tokoh penting dalam jajaran mufasir klasik setelah masa tabi’ al-tabiin, karena lewat karya monumentalnya jami’ al-bayan fi tafsir Alquran mampu memberikan inspirasi baru bagi mufasir sesudahnya. Struktur penafsiran yang selama ini monolitik sejak zaman sahabat sampai abad 3 Hijriyah. Kehadiran tafsir ini memberikan aroma dan corak baru dalam bidang tafsir. Eksplorasi dan kekayaan sumber yang beraneka ragam terutama dalam hal makna kata dan penggunaan bahasa Arab yang telah dikenal secara luas di kalangan masyarakat. Di sisi lain, tafsir ini sangat kental dengan riwayat-riwayat sebagai sumber penafsiran (ma’tsur) yang disandarkan pada pendapat dan pandangan para sahabat, tabi tabiin melalui hadis yang mereka riwayatkan.
Penerapan metode secara konsisten beliau tetapkan dengan tahlili menurut perspepsi sekarang. Metode ini memungkinkan terjadinya dialog antara pembaca dengan teks-teks Alquran dan diharapkan adanya kemampuan untuk menangkap pesan-pesan yang didasarkan atas konteks kesejarahan yang kuat.
Itulah sebabnya tafsir ini memiliki karakteristik tersendiri dibanding dengan tafsir-tafsir lainnya. Paling tidak analisis bahasa yang sarat dengan syair dan prosa Arab kuno, varian qiraat, perdebatan isu-isu bidang kalam, dan diskusi seputar kasus-kasus hukum tanpa harus melakukan klaim kebenaran subyektifnya, sehingga al-Thabari tidak menunjukkan sikap fanatisme mazhab atau alirannya. Kekritisannya mengantarkan pada satu kesimpulan bahwa al-Thabari termasuk mufasir professional dan konsisten dengan bidang sejarah yang beliau kuasai.

Simpulan
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa nama lengkap dari al-Thabari adalah Abu Ja’far Muhammad ibn Jarir ibn Yazid ibn Ghalib al-Thabari al-Amuli, beliau dilahirkan di kota Amul yang merupakan ibukota Thabaristan, di negara Iran. Beliau lahir pada tahun akhir tahun 224 Hijriah awal tahun 225 Hijriah dan nama lengkap dari karya al-Thabary adalah Jami’ al-Bayan Fi Tafsir Alquran. Ditulis pada tahun 306 Hijriah dan terdiri dari dua belas jilid.
Kitab tafsir ini sangat kental dengan riwayat-riwayat sebagai sumber penafsiran (ma’tsur) yang disandarkan pada pendapat dan pandangan para sahabat, tabiin, tabi tabiin melalui hadis yang mereka riwayatkan, maupun riwayat-riwayat yang muktabar dari kalangan Yahudi dan Nasrani yang telah setia memeluk Islam. Kitab ini juga didukung dengan nalar kritis untuk membangun pemahaman-pemahaman objektifnya.
Metode penafsirannya adalah (1) Menempuh jalan tafsir dan atau takwil, (2) Melakukan penafsiran ayat yang berhubungan dengan sejarah dengan penjelasan kisah-kisah israiliyat, (3) Menafsirkan Alquran dengan sunah/hadis (bi al-ma’tsur), (4) Berdasarkan pada analisis bahasa bagi kata yang riwayatnya diperselisihkan, (5) Mengeksplorasi syair dan menggali prosa Arab lama ketika menjelaskan makna kata dan kalimat, (6) Memperhatikan aspek i’rab dengan proses pemikiran analogis untuk ditashih dan ditarjih, (7) Pemaparan ragam qiraat dalam rangka mengungkap makan ayat, (8) Menjelaskan perdebatan di bidang fiqih dan teori hukum Islam untuk kepentingan analisis dan istinbath (penggalian dan penetapan) hukum, (9) Melakukan kompromi antar pendapat bila dimungkinkan, sejauh tidak kontradiktif dari berbagai aspek termasuk kesepadanan kualitas sanad.


DAFTAR PUSTAKA

Al-Dzahabi, Muhammad Husain. 1976. Al-Tafsir Wa al-Mufasirun. Jilid I. Beirut: Dar al-Fikr.
Al-Shabuni, Muhammad Ali. 1990. Al-Tibyan fi ‘Ulum al-Qur’an. Beirut: Dar al-Iftikar.
Al-Thabari, Abu ja’far ibn Muhammad Jarir. 2001. Jami’ al-bayan fi Tafsir Alquran. Jilid VIII. Tanpa Tempat: Hijr
Al-Qattan, Manna’. 1973. Mabahis fi ‘Ulum al-Qur’an. Beirut: Masyurat al-‘Ashr al-Hadits.
Dosen TH UIN Sunan Kalijaga. 2004. Studi Kitab Tafsir. Yogyakarta: Teras.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar