Selasa, 19 Februari 2013

KINERJA GURU DAN FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA

BAB I
Penyelenggaraan pendidikan di Indonesia merupakan suatu sistem pendidikan nasional yang diatur secara sistematis. Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (UU No. 20 Tahun 2003).
Fungsi pendidikan harus betul-betul diperhatikan dalam rangka mencapai tujuan pendidikan nasional sebab tujuan berfungsi sebagai pemberi arah yang jelas terhadap kegiatan penyelenggaraan pendidikan sehingga penyelenggaraan pendidikan harus diarahkan kepada (1) pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa, (2) pendidikan diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang sistemik dengan sistem terbuka dan multimakna, (3) pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat, (4) pendidikan diselenggarakan dengan memberi keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran, (5) pendidikan diselenggarakan dengan mengembangkan budaya membaca, menulis, dan berhitung bagi segenap warga masyarakat, (6) pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan.
Peningkatan mutu pendidikan ditentukan oleh kesiapan sumber daya manusia yang terlibat dalam proses pendidikan. Guru merupakan salah satu faktor penentu tinggi rendahnya mutu hasil pendidikan mempunyai posisi strategis maka setiap usaha peningkatan mutu pendidikan perlu memberikan perhatian besar kepada peningkatan guru baik dalam segi jumlah maupun mutunya.
Guru adalah figur manusia sumber yang menempati posisi dan memegang peran penting dalam pendidikan. Ketika semua orang mempersoalkan masalah dunia pendidikan figur guru mesti terlibat dalam agenda pembicaraan terutama yang menyangkut persoalan pendidikan formal di sekolah. Pendidik atau guru merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi. Hal tersebut tidak dapat disangkal kerana lembaga pendidikan formal adalah dunia kehidupan guru. sebagai besar waktu guru ada di sekolah, sisanya ada di rumah dan di masyarakat (Djamarah, 2000).

Guru merupakan faktor yang sangat dominan dan paling penting dalam pendidikan formal pada umumnya karena bagi siswa guru sering dijadikan tokoh teladan bahkan menjadi tokoh identifikasi diri. Di sekolah guru merupakan unsur yang sangat mempengaruhi tercapainya tujuan pendidikan selain unsur murid dan fasilitas lainnya. Keberhasilan penyelenggaraan pendidikan sangat ditentukan kesiapan guru dalam mempersiapkan peserta didiknya melalui kegiatan belajar mengajar. Namun demikian posisi strategis guru untuk meningkatkan mutu hasil pendidikan sangat dipengaruhi oleh kemampuan profesional guru dan mutu kinerjanya. 
Guru merupakan ujung tombak pendidikan sebab secara langsung berupaya mempengaruhi, membina dan mengembangkan peserta didik, sebagai ujung tombak, guru dituntut untuk memiliki kemampuan dasar yang diperlukan sebagai pendidik, pembimbing dan pengajar dan kemampuan tersebut tercermin pada kompetensi guru. Berkualitas tidaknya proses pendidikan sangat tergantung pada kreativitas dan inovasi yang dimiliki guru. Gunawan (1996) mengemukakan bahwa Guru merupakan perencana, pelaksana sekaligus sebagai evaluator pembelajaran di kelas, maka peserta didik merupakan subjek yang terlibat langsung dalam proses untuk mencapai tujuan pendidikan.
Kehadiran guru dalam proses pembelajaran di sekolah masih tetap memegang peranan yang penting. Peran tersebut belum dapat diganti dan diambil alih oleh apapun. Hal ini disebabkan karena masih banyak unsur-unsur manusiawi yang tidak dapat diganti oleh unsur lain. Guru merupakan faktor yang sangat dominan dan paling penting dalam pendidikan formal pada umumnya karena bagi siswa guru sering dijadikan tokoh teladan bahkan menjadi tokoh identifikasi diri. (Wijaya dan Rusyan, 1994).
Guru dituntut memiliki kinerja yang mampu memberikan dan merealisasikan harapan dan keinginan semua pihak terutama masyarakat umum yang telah mempercayai sekolah dan guru dalam membina anak didik. Dalam meraih mutu pendidikan yang baik sangat dipengaruhi oleh kinerja guru dalam melaksanakan tugasnya sehingga kinerja guru menjadi tuntutan penting untuk mencapai keberhasilan pendidikan. Secara umum mutu pendidikan yang baik menjadi tolok ukur bagi keberhasilan kinerja yang ditunjukkan guru. 
Guru sebagai pekerja harus berkemampuan yang meliputi penguasaan materi pelajaran, penguasaan profesional keguruan dan pendidikan, penguasaan cara-cara menyesuaikan diri dan berkepribadian untuk melaksanakan tugasnya, disamping itu guru harus merupakan pribadi yang berkembang dan bersifat dinamis. Hal ini sesuai dengan yang tertuang dalam Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bahwa pendidik dan tenaga kependidikan berkewajiban (1) menciptakan suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis, dan dialogis, (2) mempunyai komitmen secara profesional untuk meningkatkan mutu pendidikan dan (3) memberi teladan dan menjaga nama baik lembaga, profesi, dan kedudukan sesuai dengan kepercayaan yang diberikan kepadanya. Harapan dalam Undang-Undang tersebut menunjukkan adanya perubahan paradigma pola mengajar guru yang pada mulanya sebagai sumber informasi bagi siswa dan selalu mendominasi kegiatan dalam kelas berubah menuju paradigma yang memposisikan guru sebagai fasilitator dalam proses pembelajaran dan selalu terjadi interaksi antara guru dengan siswa maupun siswa dengan siswa dalam kelas. Kenyataan ini mengharuskan guru untuk selalu meningkatkan kemampuannya terutama memberikan keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran.
Menurut Pidarta (1999) bahwa setiap guru adalah merupakan pribadi yang berkembang. Bila perkembangan ini dilayani, sudah tentu dapat lebih terarah dan mempercepat laju perkembangan itu sendiri, yang pada akhirnya memberikan kepuasan kepada guru-guru dalam bekerja di sekolah sehingga sebagai pekerja, guru harus berkemampuan yang meliputi unjuk kerja, penguasaan materi pelajaran, penguasaan profesional keguruan dan pendidikan, penguasaan cara-cara menyesuaikan diri dan berkepribadian untuk melaksanakan tugasnya.
Guru pada prinsipnya memiliki potensi yang cukup tinggi untuk berkreasi guna meningkatkan kinerjanya. Namun potensi yang dimiliki guru untuk berkreasi sebagai upaya meningkatkan kinerjanya tidak selalu berkembang secara wajar dan lancar disebabkan adanya pengaruh dari berbagai faktor baik yang muncul dalam pribadi guru itu sendiri maupun yang terdapat diluar pribadi guru. Tidak dapat dipungkiri bahwa kondisi dilapangan mencerminkan keadaan guru yang tidak sesuai dengan harapan seperti adanya guru yang bekerja sambilan baik yang sesuai dengan profesinya maupun diluar profesi mereka, terkadang ada sebagian guru yang secara totalitas lebih menekuni kegiatan sambilan dari pada kegiatan utamanya sebagai guru di sekolah. Kenyataan ini sangat memprihatinkan dan mengundang berbagai pertanyaan tentang konsistensi guru terhadap profesinya. Disisi lain kinerja guru pun dipersoalkan ketika memperbicangkan masalah peningkatan mutu pendidikan. Kontroversi antara kondisi ideal yang harus dijalani guru sesuai harapan Undang-undang tentang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 dengan kenyataan yang terjadi dilapangan merupakan suatu hal yang perlu dan patut untuk dicermati secara mendalam tentang faktor penyebab munculnya dilema tersebut, sebab hanya dengan memahami faktor yang berpengaruh terhadap kinerja guru maka dapat dicarikan alternatif pemecahannya sehingga faktor tersebut bukan menjadi hambatan bagi peningkatan kinerja guru melainkan mampu meningkatkan dan mendorong kinerja guru kearah yang lebih baik sebab kinerja sebagai suatu sikap dan perilaku dapat meningkat dari waktu ke waktu.
Untuk itu, faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja guru dipandang perlu untuk dipelajari, ditelaah dan dikaji secara mendalam agar dapat memberikan gambaran yang jelas faktor yang lebih berperan dan urgen yang mempengaruhi kinerja guru.


BAB II
KINERJA GURU DAN FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA

A.   PROFESI GURU
1.     Konsep Profesi Guru
Menurut Dedi Supriyadi (1999) menyatakan bahwa guru sebagai suatu profesi di Indonedia baru dalam taraf sedang tumbuh (emerging profession) yang tingkat kematangannya belum sampai pada yang telah dicapai oleh profesi-profesi lainnya, sehingga guru dikatakan sebagai profesi yang setengah-setengah atau semi profesional.
Pekerjaan profesional berbeda dengan pekerja non profesional karena suatu profesi memerlukan kemampuan dan keahlian khusus dalam melaksanakan profesinya dengan kata lain pekerjaan yang bersifat profesional adalah pekerjaan yang hanya dapat dilakukan oleh mereka yang khususnya dipersiapkan untuk itu.
Pengembangan profesional guru harus diakui sebagai suatu hal yang sangat fundamental dan penting guna meningkatkan mutu pendidikan. Perkembangan profesional adalah proses dimana guru dan kepala sekolah belajar, meningkatkan dan menggunakan pengetahuan, keterampilan dan nilai secara tepat.
      Profesi guru memiliki tugas melayani masyarakat dalam bidang pendidikan. Tuntutan profesi ini memberikan layanan yang optimal dalam bidang pendidikan kepada msyarakat. Secara khusus guru di tuntut untuk memberikan layanan professional kepada peserta didik agar tujuan pembelajaran tercapai. Sehingga guru yang dikatakan profesional adalah orang yang memeiliki kemamapuan dan keahlian khusus dalam bidang keguruan sehingga ia mampu melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai guru dengan kemampuan maksimal.
Ornstein dsn Levine, 1984 (dalam Soetjipto dan Raflis Kosasi, 1999) menyatakan bahwa profesi itu adalah jabatan yang sesuai dengan pengertian profesi di bawah ini sebagai berikut :
a.      Melayani masyarakat, merupakan karier yang akan dilaksanakan sepanjang hayat ( tidak berganti-ganti pekerjaan )
b.     Memerlukan bidang ilmu dan keterampilan tertentu diluar jangkauan khalayak ramai ( tidak setiap orang dapat melakukan )
c.      Menggunakan hasil penelitian dan aplikasi dari teori ke praktek ( teori baru di kembangkan dari hasil penelitian )
d.     Memerlukan pelatihan khusus dengan waktu yang panjang
e.      Terkendali berdasarkan lisensi buku dan atau mempunyai persyaratan masuk ( untuk menduduki jabatan tersebut memerlukan izin tertentu atau ada persyaratan khusus yang ditentukan untuk dapat mendudukinya ).
f.       Otonomi dalam membuat keputusan tentang ruang lingkup kerja tertentu (tidak diatur oleh orang lain)
g.      Menerima tanggung jawab terhadap keputusan yang diabil dan unjuk kerja yang ditampilkan yang berhubung dengan layanan yang diberikan ( langsung bertanggung jawab terhadap apa yang diputuskan, tidak dipindahkan ke atasan atau instansi yang lain lebih tinggi ). Mempunyai sekumpulan unjuk kerja yang baku.
h.     Mempunyai komitmen terhadap jabatan dan klien dengan penekanan terhadap layanan yang akan diberikan.
i.       Menggunakan administrator untuk memudahkan profesinya relatif bebas dari supervisi dalam jabatan ( misalnya dokter memakai tenaga adminstrasi untuk mendata klien, sementara tidak ada supervisi dari luar terhadap pekerjaan dokter sendiri )
j.        Mempunyai organisasi yang diatur oleh anggota profesi sendiri.
k.     Mempunyai asosiasi profesi atau kelompok ‘elit’ untuk mengetahui dan mengakui keberhasilan anggotanya ( keberhasilan tugas dokter dievaluasi dan dihargai oleh organisasi Ikatan Dokter Indonesia (IDI), bukan oleh Departemen Kesehatan).
l.       Mempunyai kode etik untuk mejelaskan hal-hal yang meragukan atau menyangsikan yang berubungan dengan layanan yang diberikan.
m.   Mempunyai kadar kepercayaan yang tinggin dari publik dan kepercayaan diri sendiri anggotanya ( anggota masyarakat selalu meyakini dokter lebih tahu tentang penyakit pasien yang dilayaninya).
n.     Mempunyai status sosial dan ekonomi yang tinggi ( bila dibandingkan dengan jabatan lain ).
Tidak jauh berbeda dengan ciri-ciri di atas, Sanusi et al (1991), mengutarakan ciri-ciri umum suatu profesi itu sebagai berikut:
a.      Suatu jabatan yang memiliki fungsi dan signifikansi sosisal yang menentukan (crusial).
b.     Jabatan yang menuntut keterampilan/keahlian tertentu.
c.      Keterampilan / keahlian yang dituntut jabatan itu dapat melalui pemecahan masalah dengan menggunakan teori dan metode ilmiah.
d.     Jabatan itu berdasarkan pada batang tubuh disiplin ilmu yang jelas, sistimatik, eksplisit, yang bukan hanya sekedar pendapat khalayak umum.
e.      Jabatan itu memerlukan pendidikan tingkat perguruan tinggi dengan waktu yang cukup lama.
f.       Proses pendidikan untuk jabatan itu juga merupakan aplikasi dan sosialisasi nilai-nilai profesional itu sendiri.
g.      Dalam memberikan layanan kepada masyarakat, anggota profesi itu berpegang teguh pada kode etik yang dikontrol oleh organisasi profesi.
h.     Tiap anggota profesi mempunyai kebebasan dan memberikan judgement terhadap permasalahan profesi yang di hadapinya.
i.       Dalam prakteknya melayani masyarakat, anggota profesi otonom dan bebas dari campur tanggan orang lain,
j.        Jabatan ini menpunyai prestise yang tinggi dalam masyarakat,dan oleh karenanya memperoleh imbalan yang tinggi pula. (Soetjipto dan Raflis Kosasi, 1999).
Khusus untuk jabatan guru,sebenarnya juga sudah ada yang mencoba menyusun kriterianya. Misalnya Nasional Education Asociation ( NEA ) ( 1948 ) menyarankan kriteria berikut.
a.      Jabatan yang melibatkan kegiatan itelektual.
b.     Jabatan yang menggeluti suetu batang tubuh ilmu yang khusus.
c.      Jabatan yang memerlukan persiapan profesional yang lama ( bandingakan dengan pekerjaan yang memerlukan latihan umum belaka ).
d.     Jabatan yang memerlukan “latihan dalam jabatan “ yang bersinambungan.
e.      Jabatan yang menjanjikan karir hidup dan keanggotaan yang permanen.
f.       Jabatan yang menentukan baku ( standarnya ) sedndiri.
g.      Jabatan yang mementingkan layanan diatas keuntungan pribadi.
h.     Jabatan yang mempunyai organisasi profesional yang kuat dan terjalin erat.
Untuk melaksanakan tugas dan fungsinya dengan baik agar dapat meningkatkan mutu pendidikan maka guru harus memiliki kompetensi yang harus dikuasai sebagai suatu jabatan profesional. Kompetensi guru tersebut meliputi :
a.      Menguasai bahan ajar.
b.     Menguasai landasan-landasan kependidikan.
c.      Mampu mengelola program belajar mengajar.
d.     Mampu mengelola kelas.
e.      Mampu menggunakan media/sumber belajar.
f.       Mampu menilaik prestasi peserta didik untuk kepentingan pengajaran.
g.      Mengenal fungsi dan program pelayanan bimbingan dan penyuluhan.
h.     Mengenal penyelenggaraan administrasi sekolah.
i.       Memahami prinsip-prinsip dan menafsirkan hasil-hasil penelitian pendidikan guna keperluan pengejaran.

2.   Syarat-syarat Profesi Guru
Suatu pekerjaan dapat menjadi profesi harus memenuhi kriteria atau persyaratan tertentu yang melekat dalam pribadinya sebagai tuntutan melaksanakan profesi tersebut. Menurut Dr. Wirawan, Sp.A (dalam Dirjenbagais Depag RI, 2003) menyatakan persyaratan profesi antara lain :
a.     Pekerjaan Penuh
Suatu profesi merupakan pekerjan penuh dalam pengertian pekerjaan yang diperlukan oleh masyarakat atau perorangan. Tanpa pekerjaan tersebut masyarakat akan menghadapi kesulitan. Profesi merupakan pekerjaan yang mencakup tugas, fungsi, kebutuhan, aspek atau bidang tertentu dari anggota masyarakat secara keseluruhan. Profesi guru mencakup khusus aspek pendidikan dan pengajaran di sekolah.
b.     Ilmu pengetahuan
Untuk melaksanakan suatu profesi diperlukan ilmu pengetahuan. Tanpa menggunakan ilmu tersebut profesi tidak dapat dilaksanakan.
Ilmu pengetahuan yang diperlukan untuk melaksanakan profesi terdiri dari cabang ilmu utama dan cabang ilmu pembantu. Cabang ilmu utama adalah cabang ilmu yang menentukan esensi suatu profesi. Contohnya profesi guru cabang ilmu utamanya adalah ilmu pendidikan dan cabang ilmu pembantunya masalah psikologi.
Salah satu persyaratan ilmu pengetahuan adalah adanya teori, bukan hanya kumpulan pengetahuan dan pengalaman. Fungsi dari suatu teori adalah untuk menjelaskan dan meramalkan fenomena. Dengan mempergunakan teopri ilmu pengetahuan, profesional dapat menjelaskan apanyang dihadapinya dan apa yang akan terjadi jika tidak dilakukan intervensi. Teori ilmu pengetahuan juga mengarahkan profesional dalam mengambil langkah-langkah yang diperlukan dalam melaksanakan profesi.
c.      Aplikasi Ilmu Pengetahuan
Ilmu pengetahuan pada dasarnya mempunyai dua aspek yaitu aspek teori dan aspek aplikasi. Aspek aplikasi ilmu pengetahuan adalah penerapan teori-teori ilmu pengetahuan untuk membuat sesuatu, mengerjakan sesuatu atau memecahkan sesuatu yang diperlukan. Profesi merupakan penerapan ilmu pengetahuan untuk mengerjakan, menyelesaikan atau membuat sesuatu.
Kaitan dengan profesi, guru tidak hanya ilmu pengetahuan yang harus dikuasai oleh guru tetapi juga pola penerapan ilmu pengetahuan tersebut sehingga guru dituntut untuk mengusai keterampilan mengajar.
d.     Lembaga pendidikan Profesi
Ilmu pengetahuan yang diperlukan oleh guru untuk melaksanakan profesinya harus dipelajari dari lembaga pendidikan tinggi yang khusus mengajarkan, menerapkan dan meneliti serta mengembangkan ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan ilmu keguruan. Sehingga peran lembaga pendidikan tinggi sebagai pencetak sumber daya manusia harus betul-betul memberikan pemahaman dan pengetahuan yang mantap pada calon pendidik. 
e.      Prilaku profesi
Perilaku profesional yaitu perilaku yang memenuhi persyaratan tertentu, bukan perilaku pribadi yang dipengaruhi oleh sifat-sifat atau kebiasaan pribadi. Prilaku profesional merupakan perilaku yang harus dilaksanakan oleh profesional ketika melakukan profesinya.
Menurut Benard Barber (1985) (dalam Depag RI, 2003), perilaku profesional harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :
1)     Mengacu kepada ilmu pengetahuan
2)     Berorientasi kepada insterest masyarakat (klien) buka interest pribadi.
3)     Pengendalian prilaku diri sendiri dengan mepergunakan kode etik.
4)     Imbalan atau kompensasi uang atau kehormatan merupakan simbol prestasi kerja bukan tujuan dari profesi.
5)     Salah satu aspek dari perilaku profesional adalah otonomi atau kemandirian dalam melaksanakan profesinya.
f.       Standar profesi
Standar profesi adalah prosedur dan norma-norma serta prinsip-prinsip yang digunakan sebagai pedoman agar keluaran (out put) kuantitas dan kualitas pelaksanaan profesi tinggi sehingga kebutuhan orang dan masyarakat ketika diperlukan dapat dipenuhi.
Dibeberapa negara telah memperkenalkan “Standar Profesional untuk guru dan Kepala sekolah”, misalnya di USA dimana National Board of Professional teacher Standards telah mengembangkan standar dan prosedur penilaian berdasarkan pada 5 (lima) prinsip dasar (Depdiknas, 2005) yaitu :
1)     Guru bertanggung jawab (committed to) terhadap siswa dan belajarnya.
2)     Guru mengetahui materi ajar yang mereka ajarkan dan bagaimana mengajar materi tersebut kepada siswa.
3)     Guru bertanggung jawab untuk mengelola dan memonitor belajar siswa.
4)     Guru berfikir secara sistematik tentang apa-apa yang mereka kerjakan dan pelajari dari pengalaman.
5)     Guru adalah anggota dari masyarakat belajar
Standar di atas menunjukkan bahwa profesi guru merupakan profesi yang membutuhkan pengetahuan dan keterampilan yang memadai seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sebab guru akan selalu berhadap dengan siswa yang memiliki karakteritik dan pengetahuan yang berbeda-beda maka untuk membimbing peserta didik untuk berkembang dan mengarungi dunia ilmu pengetahuan dan teknologi yang secara tepat berubah sebagai ciri dari masyarat abad 21 sehingga tuntutan ini mengharuskan guru untuk memenuhi standar penilaian yang ditetapkan. 
g.      Kode etik profesi
Suatu profesi dilaksanakan oleh profesional dengan mempergunakan perilaku yang memenuhi norma-norma etik profesi. Kode etik adalah kumpulan norma-norma yang merupakan pedoman prilaku profesional dalam melaksanakan profesi.Kode etik guru adalah suatu norma atau aturan tata susila yang mengatur tingkah laku guru, dan oleh karena itu haruslah ditatati oleh guru dengan tujaun antara lain :
1)     Agar guru-guru mempunyai rambu-rambu yang dapat dijadikan sebagai pedoman dalam bertingkah laku sehari-hari sebagai pendidik.
2)     Agar guru-guru dapat bercermin diri mengenai tingkah lakunya, apakah sudah sesuai dengan profesi pendidik yang disandangnya ataukah belum.
3)     Agar guru-guru dapat menjaga (mengambil langkah prefentif), jangan sampai tingkah lakunya dapat menurunkan martabatnya sebagai seorang profesional yang bertugas utama sebagai pendidik.
4)     Agar guru selekasnya dapat kembali (mengambil langkah kuratif), jika ternyata apa yang mereka lakukan selama ini bertentangan atau tidak sesuai dengan norma-norma yang telah dirumuskan dan disepakati sebagai kode etik guru.
5)     Agar segala tingkah laku guru, senantiasa selaras atau paling tidak, tidak bertentangan dengan profesi yang disandangnya, ialah sebagai seorang pendidik. Lebih lanjut dapat diteladani oleh anak didiknya dan oleh masyarakat umum.
Kode etik guru ditetapkan dalam suatu kongres yang dihadiri oleh seluruh utusan cabang dan pengurus daerah PGRI se Indonesia dalam kongres k XIII di Jakarta tahun 1973, yang kemudian disempurnakan dalam kongres PGRI ke XVI tahun 1989 juga di Jakarta yang berbunyi sebagai berikut :
1)     Guru berbakti membimbing siswa untuk membentuk manusia seutuhnya yang berjiwa Pancasila.
2)     Guru memiliki dan melaksanakan kejujuran profesional.
3)     Guru berusaha memperoleh informasi tentang siswa sebagai bahan melakukan bimbingan dan pembinaan.
4)     Guru menciptakan suasana sekolah sebaik-baiknya yang menunjang berhasilnya proses belajar-mengajar.
5)     Guru memelihara hubungan baik dengan orang tua murid dan masyarakat sekitarnya untuk membina peran serta dan rasa tanggung jawab bersama terhadap pendidikan.
6)     Guru secara pribadi dan bersama-sama mengembangkan dan meningkatkan mutu dan martabat profesinya.
7)     Guru memelihara hubungan seprofesi, semangat kekeluargaan, dan kesetiakawanan sosial.
8)     Guru secara bersama-sama memelihara dan meningkatkan mutu organisasi PGRI sebagai sarana perjuangan dan pengabdian.
9)     Guru melaksanakan segala kebijaksanaan Pemerintah dalam bidang pendidikan.
Selain kode etik guru Indonesia, sebagai pernyataan kebulatan tekad guru Indonesia, maka pada kongres PGRI XVI yang diselenggarakan tanggal, 3 sampai dengan 8 Juli 1989 di Jakarta telah ditetapkan adanya Ikrar Guru Indonesia dengan rumusan sebagai berikut :
IKRAR GURU INDONESIA
1)     Kami Guru Indonesia, adalah insan pendidik bangsa yang beriman dan taqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
2)     Kami Guru Indonesia, adalah pengemban dan pelaksana cita-cita Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, pembela dan pengamal Pancasila yang setia pada Undang-undang Dasar 1945.
3)     Kami Guru Indonesia, bertekad bulat mewujudkan tujuan nasional dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.
4)     Kami Guru Indonesia, bersatu dalam wadah organisasi perjuangan Persatuan Guru Republik Indonesia, membina persatuan dan kesatuan bangsa yang berwatak kekeluargaan.
5)     Kami Guru Indonesia, menjunjung tinggi Kode Etik Guru Indonesia sebagai pedoman tingkah laku profesi dalam pengabdiannya terhadap bangsa, negara, dan kemanusiaan.

3.  Ciri-ciri guru yang efektif
Guru yang efektif pada suatu tingkat tertentu mungkin tidak efektif pada tingkat yang lain, hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan-perbedaan dalam tingkat perkembangan mental dan emosional siswa. Dengan kata lain para siswa memiliki respons yang berbeda-beda terhadap pola-pola prilaku guru yang sama. Guru yang baik digambar dengan ciri-ciri sebagai berikut :
a.      Guru yang baik adalah guru yang waspada secara profesional. Ia terus berusaha untuk menjadikan masyarakat sekolah menjadi tempat yang paling baik bagi anak-anak muda.
b.     Mereka yakin akan nilai atau manfaat pekerjaannya. Mereka terus berusaha memperbaiki dan meningkatkan mutu pekerjaannya.
c.      Mereka tidak lekas tersinggung oleh larangan-larangan dalam hubungannya dengan kebebasan pribadi yang dikemukakan oleh beberapa orang untuk menggambarkan profesi keguruan. Mereka secara psikologi lebih matang sehingga rangsangan-rangsangan terhadap dirinya dapat ditaksir.
d.     Mereka memiliki seni dalam hubungan-hubungan manusiawi yang diperolehnya dari pengamatannya tentang bekerjanya psikologi, biologi dan antropologi kultural di dalam kelas.
e.      Mereka berkeinginan untuk terus tumbuh. Mereka sadar bahwa dibawah pengaruhnya, sumber-sumber manusia dapat berubah nasibnya.
Karakteristik atau sifat-sifat guru yang baik dalam pandangan siswa meliputi : (1). Demokratis, (2). Suka bekerja sama (kooperatif), (3). Baik hati, (4). Sabar, (5). Adil, (6). Konsisten, (7). Bersifat terbuka, (8). Suka menolong, (9). Ramah tamah, (10). Suka humor, (11). Memiliki bermacam ragam minat, (12). Menguasai bahan pelajaran, (13). Fleksibel, (14). Menaruh minat yang maik terhadap siswa. (Oemar Hamalik, 2002).
Menurut Cooper mengutip pendapat B.O. Smith (dalam Suparlan, 2004) yang telah menyarankan bahwa seorang guru yang terlatih harus disiapkan dengan empat bidang kompetensi agar ia menjadi guru yang efektif yaitu :
a.      Command of theoretical knowledge about learning and human behavior.
b.     Display of attitudes that fostter learning and genuine human realtionship.
c.      Cammand of knowledge in the subject matter to be taught.
d.     Control of technical skills of teaching that facilitate student learning.
Dengan kata lain guru yang efektif harus memiliki kemampuan :
a.      Menguasai pengetahuan teoritis tentang belajar dan tingkah laku manusia
b.     Menunjukkan sikap yang menunjang proses belajar dan hubungan antar manusia secara murni.
c.      menguasai pengetahuan dalam mata pelajaran yang diajarkan dan
d.     Memiliki kemapuan kecakapan teknis tentang pembelajaran yang mempermudah siswa untuk belajar.
Sedangkan Leo R. Sandy (dalam Suparlan, 2004) menguraikan beberapa dimensi kemampuan dan sikap yang membentuk karakteristik guru efektif. Setidaknya ada 12 karakteristik guru efektif sebagai berikut :
a.      Menjadi a learner (pembelajar)
b.     Menjadi a leader (pemimpin)
c.      Menjadi a provocateur (provokator dalam arti positif).
d.     Menjadi a stranger (pengelana)
e.      Menjadi an innovator (inovator).
f.       Menjadi a comedian/entertainment (pelawak/penghibur).
g.      Menjadi a coach or guide (pelatih atau pembimbing).
h.     Menjadi a genuine human being or humanist (manusia sejati atau seorang humanis).
i.       Menjadi a sentinel
j.        Menjadi optimist or idealist (orang yang optimis atau idealis).
k.     Menjadi a collaborator (kolaborator atau orang yang suka bekerja sama)
l.       Menjadi a revolusionar (berfikiran maju atau revolusioner).
Guru yang efektif memiliki kualitas kemampuan dan sikap yang sanggup memberikan yang terbaik bagi peserta didik dan menyenangkan peserta didik dalam proses belajar mengajarnya.
Tokoh lain yang mengemukakan tentang guru efektif menyebutkan karakterisik guru efektif sebagai berikut :
a.      Senantiasa memberikan bantuan dalam kerja sekolah pelajar.
b.     Periang, gembira dan berperawakan menarik.
c.      Berprikemanusiaan, pengasih.
d.     Berminat terhadap dan memahami pelajarnya.
e.      Boleh menjadikan suasana pembelajaran menyeronokkan.
f.       Tegas dan cekap mengawal kelasnya.
g.      Adil, tidak pilih kasih.
h.     Tidak pemanas, pendedam. Perungut dan pemerli.
i.       Berpribadi yang menyenangkan.
Sementara National Commision for Excellenece in Teacher Education (USA), mengungkapkan karakteristik guru efektif adalah sebagai berikut :
a.      Berketrampilan dalam bidangnya.
b.     Berkemahirandalam pengajaran.
c.      Memaklumkan kepada pelajar perkembangan diri masing-masing.
d.     Berpengalaman tentang psikologi kognitif.
e.      Mahir dalam teknologi.
Berdasarkan model karakteristik guru efektif yang dikemukakan beberapa ahli maka berbagai indikator guru efektif yang dikemukakan Suparlan (2004) sebagai berikut :
1.     Adil dalam tindakan dan perlakuannya.
2.     Menjaga perawakan dan cara berpakaian.
3.     Menunjukkan rasa simpati kepada setiap pelajar.
4.     Mengajar mengikuti kemampuan pelajar.
5.     Penyayang.
6.     Berkerja secara berpasukan
7.     Memuki dab menggalakkan pelajar.
8.     Menggunakan perbagai kaedah dan pendekatan dalam pengajarannya.
9.     Taat kepada etika profesionslismenya.
10. Cerdas dan cejap.
11. Mampu berhubungan secara efektif.
12. Tidak garang, pemarah, suka membadel, membesarkan diri, sombong, angkuh dan susah menerima pelajaran orang lain.
13. Memiliki sifat kejenakaan dan boleh menerima jenaka dari pada pelajr-pelajarnya, dan
14. Berpengetahuan serta senantiasa berusaha menambah pengetahuannya mengenai perkembangan terbaharu terutamanya dalam bidang teknologi pendidikan.




4.   Peran dan tugas guru
Guru memegang peranan yang sangat strategis terutama dalam membentuk watak bangsa serta mengembangkan potensi siswa. Kehadiran guru tidak tergantikan oleh unsur yang lain, lebih-lebih dalam masyarakat kita yang multikultural dan multidimensional, dimana peranan teknologi untuk menggantikan tugas-tugas guru sangat minim.
Guru memiliki perana yang sangat penting dalam menentukan keberhasilan pendidikan. Guru yang profesional diharapkan menghasilkan lulusan yang berkualitas. Profesionalisme guru sebagai ujung tombak di dalam implementasi kurikulum di kelas yang perlu mendapat perhatian (Depdiknas, 2005).
Dalam proses belajar mengajar, guru mempunyai tugas untuk mendorong, membimbing, dan memberi fasilitas belajar bagi siswa untuk mencapai tujuan. Guru mempunyai tanggung jawab uuntuk melihat segala sesuatu yang terjadi dalam kelas untuk membantu proses perkembangan siswa. Penyampaian materi pelajaran hanyalah merupakan salah satu dari berbagai kegiatan dalam belajar sebagai suatu proses yang dinamis dalam segala fase dan proses perkembangan siswa. Secara lebih terperinci tugas guru berpusat pada:
a.      Mendidik dengan titik berat memberikan arah dan motifasi pencapaian tujuan baik jangka pendek maupun jangka panjang.
b.     Memberi fasilitas pencapaian tujuan melalui pengalaman belajar yang memadai.
c.      Membantu perkembangan aspek – aspek pribadi seperti sikap, nilai-nilai, dan penyusuaian diri, demikianlah dalam proses belajar mengajar guru tidak terbatas sebagai penyampai ilmu pengetahuan akan tetapi lebih dari itu ia bertanggung jawab akan keseluruhan perkembangan kepribadian siswa ia harus mampu menciptakan proses belajar yang sedemikian rupa sehingga dapat merangsang siswa muntuk belajar aktif dan dinamis dalam memenuhi kebutuhan dan menciptakan tujuan. (Slameto, 2002)
Begitu pentinya peranan guru dalam keberhasilan peserta didik maka hendaknya guru mampu beradaptasi dengan berbagai perkembangan yang ada dan meningkatkan kompetensinya sebab guru pada saat ini bukan saja sebagai pengajar tetapi juga sebagai pengelola proses belajar mengajar. Sebagai orang yang mengelola proses belajar mengajar tentunya harus mampu meningkatkan kemampuan dalam membuat perencanaan pelajaran, pelaksanaan dan pengelolaan pengajaran yang efektif, penilain hasil belajar yang objektif, sekaligus memberikan motivasi pada peserta didik dan juga membimbing peserta didik terutama ketika peserta didik sedang mengalami kesulitan belajar.
Salah satu tugas yang dilaksanakan guru disekolah adalah memberikan pelayanan kepada siswa agar mereka menjadi peserta didik yang selaras dengan tujuan sekolah. Guru mempengaruhi berbagai aspek kehidupan baik sosial, budaya maupun ekonomi. Dalam keseluruhan proses pendidikan, guru merupakan faktor utama yang bertugas sebagai pendidik. Guru harus bertanggung jawab atas hasil kegiatan belajar anak melalui interaksi belajar mengajar. Guru merupakan faktor yang mempengaruhi berhasil tidaknya proses belajar dan karenya guru harus menguasai prinsip-prinsip belajar di samping menguasai materi yang disampaikan dengan kata lain guru harus menciptakan suatu konidisi belajar yang sebagik-baiknya bagi poeserta didik, inilah yang tergolong kategori peran guru sebagai pengajar.
Disamping peran sebagai pengajar, guru juga berperan sebagai pembimbing artinya memberikan bantuan kepada setiap individu untuk mencapai pemahaman dan pengarahan diri yang dibutuhkan untuk melakukan penyesuan diri secara maksimal terhadap sekolah. Hal ini sesuai dengan pendapat Oemar H (2002) yang mengatakan bimbingan adalah proses pemberian bantuan terhadap individu untuk mencapai pemahaman diri dan pengarahan diri yang dibutuhkan untuk melakukan penyesuaian diri secara maksimal terhadap sekolah, keluarga serta masyarakat.
Sehubungan dengan perananya sebagai pembimbing, seorang guru harus :
a.      Mengumpulkan data tentang siswa.
b.     Mengamati tingkah laku siswa dalam situasi sehariu-hari.
c.      Mengenal para siswa yang memerlukan bantuan khusus.
d.     Mengadakan pertemuan atau hubungan dengan orang tua siswa, baik secara individu maupun secara kelompok, untuk memperoleh saling pengertian tentang pendidikan anak.
e.      Bekerjasama dengan masyarakat dan lembaga-lembaga lainya untuk membantu memecahkan masalah siswa.
f.       Membuat catatan pribadi siswa serta menyiapkannya dengan baik.
g.      Menyelenggarakan bimbingan kelompok atau individu.
h.     Bekerjasama dengan petugas-petugas bimbingan lainnya untuk membantu memecahkan masalah siswa.
i.       Menyusun program bimbingan sekolah bersama-sama dengan petugas bimbingan lainnya.
j.        Meneliti kemajuan siswa, baik di sekolah maupun di luar sekolah.
Peran guru sebagai pengajar dan sebagai pembing memiliki keterkaitan yang sangat erat dan keduanya dilaksanakan secara berkesinambungan dan sekaligus berinterpenetrasi dan merupakan keterpaduan antara keduanya.





B.     KINERJA GURU
1.     Konsep Kinerja Guru
Setiap individu yang diberi tugas atau kepercayaan untuk bekerja pada suatu organisasi tertentu diharapkan mampu menunjukkan kinerja yang memuaskan dan memberikan konstribusi yang maksimal terhadap pencapaian tujuan organisasi tersebut.
Kinerja adalah tingkat keberhasilan seseorang atau kelompok orang dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya serta kemampuan untuk mencapai tujuan dan standar yang telah ditetapkan (Sulistyorini, 2001). Sedangkan Ahli lain berpendapat bahwa Kinerja merupakan hasil dari fungsi pekerjaan atau kegiatan tertentu yang di dalamnya terdiri dari tiga aspek yaitu: Kejelasan tugas atau pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya; Kejelasan hasil yang diharapkan dari suatu pekerjaan atau fungsi; Kejelasan waktu yang diperlukan untuk menyelesikan suatu pekerjaan agar hasil yang diharapkan dapat terwujud (Tempe, A Dale, 1992).
Fatah (1996) Menegaskan bahwa kinerja diartikan sebagai ungkapan kemajuan yang didasari oleh pengetahuan, sikap dan motivasi dalam menghasilkan sesuatu pekerjaan.
Dari beberapa penjelasan tentang pengertian kinerja di atas dapat disimpulkan bahwa Kinerja guru adalah kemampuan yang ditunjukkan oleh guru dalam melaksanakan tugas atau pekerjaannya. Kinerja dikatakan baik dan memuaskan apabila tujuan yang dicapai sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. 

2.     Indikator-Indikator Kinerja Guru
      Kinerja merefleksikan kesuksesan suatu organisasi, maka dipandang penting untuk mengukur karakteristik tenaga kerjanya. Kinerja guru merupakan kulminasi dari tiga elemen yang saling berkaitan yakni keterampilan, upaya sifat keadaan dan kondisi eksternal (Sulistyorini, 2001). Tingkat keterampilan merupakan bahan mentah yang dibawa seseorang ke tempat kerja seperti pengalaman, kemampuan, kecakapan-kecakapan antar pribadi serta kecakapan tehknik. Upaya tersebut diungkap sebagai motivasi yang diperlihatkan karyawan untuk menyelesaikan tugas pekerjaannya. Sedangkan kondisi eksternal adalah tingkat sejauh mana kondisi eksternal mendukung produktivitas kerja.
      Kinerja dapat dilihat dari beberapa kriteria, menurut Castetter (dalam Mulyasa, 2003) mengemukakan ada empat kriteria kinerja yaitu: (1). Karakteristik individu, (2). Proses, (3). Hasil dan (4) Kombinasi antara karakter individu, proses dan hasil.
      Kinerja seseorang dapat ditingkatkan bila ada kesesuaian antara pekerjaan dengan keahliannya, begitu pula halnya dengan penempatan guru pada bidang tugasnya. Menempatkan guru sesuai dengan keahliannya secara mutlak harus dilakukan. Bila guru diberikan tugas tidak sesuai dengan keahliannya akan berakibat menurunnya cara kerja dan hasil pekerjaan mereka, juga akan menimbulkan rasa tidak puas pada diri mereka. Rasa kecewa akan menghambat perkembangan moral kerja guru. Menurut Pidarta (1999) bahwa moral kerja positif ialah suasana bekerja yang gembira, bekerja bukan dirasakan sebagai sesuatu yang dipaksakan melainkan sebagai sesuatu yang menyenangkan. Moral kerja yang positif adalah mampu mencintai tugas sebagai suatu yang memiliki nilai keindahan di dalamnya. Jadi kinerja dapat ditingkatkan dengan cara memberikan pekerjaan seseorang sesuai dengan bidang kemampuannya. Hal ini dipertegas oleh Munandar (1992) yang mengatakan bahwa kemampuan bersama-sama dengan bakat merupakan salah satu faktor yang menentukan prestasi individu, sedangkan prestasi ditentukan oleh banyak faktor diantaranya kecerdasan.
Kemampuan terdiri dari berbagai macam, namun secara konkrit dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu :
a.      Kemampuan intelektual merupakan kemampuan yang dibutuhkan seseorang untuk menjalankan kegiatan mental, terutama dalam penguasaan sejumlah materi yang akan diajarkan kepada siswa yang sesuai dengan kurikulum, cara dan metode dalam menyampaikannya dan cara berkomunikasi maupun tehknik mengevaluasinya.
b.     Kemampuan fisik adalah kapabilitas fisik yang dimiliki seseorang terutama dalam mengerjakan tugas dan kewajibannya. (Daryanto, 2001).
Kinerja dipengaruhi juga oleh kepuasan kerja yaitu perasaan individu terhadap pekerjaan yang memberikan kepuasan bathin kepada seseorang sehingga pekerjaan itu disenangi dan digeluti dengan baik. Untuk mengetahui keberhasilan kinerja perlu dilakukan evaluasi atau penilaian kinerja dengan berpedoman pada parameter dan indikator yang ditetapkan yang diukur secara efektif dan efisien seperti produktivitasnya, efektivitas menggunakan waktu, dana yang dipakai serta bahan yang tidak terpakai. Sedangkan evaluasi kerja melalui perilaku dilakukan dengan cara membandingkan dan mengukur perilaku seseorang dengan teman sekerja atau mengamati tindakan seseorang dalam menjalankan perintah atau tugas yang diberikan, cara mengkomunikasikan tugas dan pekerjaan dengan orang lain. Hal ini diperkuat oleh pendapat As’ad (1995) dan Robbins (1996) yang menyatakan bahwa dalam melakukan evaluasi kinerja seseorang dapat dilakukan dengan menggunakan tiga macam kriteria yaitu: (1). Hasil tugas, (2). Perilaku dan (3). Ciri individu. Evaluasi hasil tugas adalah mengevaluasi hasil pelaksanaan kerja individu dengan beberapa kriteria (indikator) yang dapat diukur. Evaluasi perilaku dapat dilakukan dengan cara membandingkan perilakunya dengan rekan kerja yang lain dan evaluasi ciri individu adalah mengamati karaktistik individu dalam berprilaku maupun berkerja, cara berkomunikasi dengan orang lain sehingga dapat dikategorikan cirinya dengan ciri orang lain. Evaluasi atau Penilaian kinerja menjadi penting sebagai feed back sekaligus sebagai follow up bagi perbaikan kinerja selanjutnya.
Menilai kualitas kinerja dapat ditinjau dari beberapa indikator yang meliputi : (1). Unjuk kerja, (2). Penguasaan Materi, (3). Penguasaan profesional keguruan dan pendidikan, (4). Penguasaan cara-cara penyesuaian diri, (5). Kepribadian untuk melaksanakan tugasnya dengan baik (Sulistyorini, 2001).
  Kinerja guru sangat penting untuk diperhatikan dan dievaluasi karena guru mengemban tugas profesional artinya tugas-tugas hanya dapat dikerjakan dengan kompetensi khusus yang diperoleh melalui program pendidikan. Guru memiliki tanggung jawab yang secara garis besar dapat dikelompokkan yaitu: (1). Guru sebagai pengajar, (2). Guru sebagai pembimbing dan (3). Guru sebagai administrator kelas. (Danim S, 2002).
      Dari uraian diatas dapat disimpulkan indikator kinerja guru antara lain :
a.      Kemampuan membuat perencanaan dan persiapan mengajar.
b.     Penguasaan materi yang akan diajarkan kepada siswa
c.      Penguasaan metode dan strategi mengajar
d.     Pemberian tugas-tugas kepada siswa
e.      Kemampuan mengelola kelas
f.       Kemampuan melakukan penilaian dan evaluasi.




C.  FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KINERJA GURU
Guru merupakan ujung tombak keberhasilan pendidikan dan dianggap sebagai orang yang berperanan penting dalam pencapaian tujuan pendidikan yang merupakan percerminan mutu pendidikan. Keberadaan guru dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya tidak lepas dari pengaruh faktor internal maupun faktor eksternal yang membawa dampak pada perubahan kinerja guru. Beberapa faktor yang mempengaruhi kinerja guru yang dapat diungkap tersebut antara lain :
1.     Kepribadian dan dedikasi
Setiap guru memiliki pribadi masing-masing sesuai ciri-ciri pribadi yang mereka miliki. Ciri-ciri inilah yang membedakan seorang guru dari guru lainnya. Kepribadian sebenarnya adalah suatu masalah abstrak, yang hanya dapat dilihat dari penampilan, tindakan, ucapan, cara berpakaian dan dalam menghadapi setiap persoalan. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Zakiah Darajat (dalam Djamarah SB, 1994) bahwa kepribadian yang sesungguhnya adalah abstrak, sukar dilihat atau diketahui secara nyata, yang dapat diketahui adalah penampilan atau bekasnya dalam segala segi dan aspek kehidupan misalnya dalam tindakannya, ucapan, caranya bergaul, berpakaian dan dalam menghadapi setiap persoalan atau masalah, baik yang ringan maupun yang berat.
Kepribadian adalah keseluruhan dari individu yang terdiri dari unsur psikis dan fisik, artinya seluruh sikap dan perbuatan seseorang merupakan suatu gambaran dari kepribadian orang itu, dengan kata lain baik tidaknya citra seseorang ditentukan oleh kepribadiannya. Lebih lanjut Zakiah Darajat (dalam Djamarah SB, 1994) mengemukakan bahwa faktor terpenting bagi seorang guru adalah kepribadiannya. Kepribadian inilah yang akan menentukan apakah ia menjadi pendidik dan pembina yang baik bagi anak didiknya ataukah akan menjadi perusak atau penghancur bagi hari depan anak didik, terutama bagi anak didik yang masih kecil dan mereka yang sedang mengalami kegoncangan jiwa. Kepribadian adalah suatu cerminan dari citra seorang guru dan akan mempengaruhi interaksi antara guru dan anak didik. Oleh karena itu kepribadian merupakan faktor yang menentukan tinggi rendahnya martabat guru.
Kepribadian guru akan tercermin dalam sikap dan perbuatannya dalam membina dan membimbing anak didik. Semakin baik kepribadian guru, semakin baik dedikasinya dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya sebagai guru, ini berarti tercermin suatu dedikasi yang tinggi dari guru dalam melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai pendidik. Hal tersebut dipertegas oleh Drosat (1998) bahwa salah satu dasar pembentukan kepribadian adalah sukses yang merupakan sebuah hasil dari kepribadian, dari citra umum, dari sikap, dari keterampilan karena ini semua melumasi proses interaksi-interaksi manusia
Kloges (dalam Suryabrata, 2001) mengemukakan bahwa ada tiga aspek kepribadian yaitu : (1). Materi atau bahan yaitu semua kemampuan (daya) pembawaan beserta talent-talentnya (keistimewaan-keistimewaan nya), (2). Struktur yaitu sifat-sifat bentuknya atau sifat-sifat normalnya. (3). Kualitas atau sifat yaitu sistem dorongan-dorongan. Sedangkan Menurut Freud (1950), kepribadian terdiri tiga aspek yaitu :
(1). Das Es (the id) yaitu aspek biologis, aspek ini merupakan sistem yang original dalam kepribadian sehingga aspek ini merupakan dunia bathin subyektif manusia dan tidak mempunyai hubungan langsung dengan dunia obyektif. (2). Das Ich (the ego) yaitu aspek psikologis, aspek ini timbul karena kebutuhan individu untuk berhubungan dengan dunia nyata, (3). Das Ueber Ich (the super ego) yaitu aspek sosiologis kepribadian merupakan wakil dari nilai-nilai tradisional serta cita-cita masyarakat sebagaimana ditafsirkan orang tua kepada anak-anaknya, yang dimasukkan dengan berbagai perintah dan larangan.
Aspek-aspek tersebut di atas merupakan potensi kepribadian sebagai syarat mutlak  yang harus dimiliki oleh seorang guru dalam  melaksanakan profesinya. Karena tanpa aspek tersebut sangat tidak mungkin guru dapat melaksanakan tugas sesuai dengan harapan. Kepribadian dan dedikasi yang tinggi dapat meningkatkan kesadaran akan pekerjaan dan mampu menunjukkan kinerja yang memuaskan seseorang atau kelompok dalam suatu organisasi. Guru yang memiliki kepribadian yang baik dapat membangkitkan kemauan untuk giat memajukan profesinya dan meningkatkan dedikasi dalam melakukan pekerjaan mendidik sehingga dapat dikatakan guru tersebut memiliki akuntabilitas yang baik dengan kata lain prilaku akuntabilitas meminta agar pekerjaan itu berakhir dengan hasil baik yang dapat memuaskan atasan yang memberi tugas itu dan pihak-pihak lain yang berkepentingan atau segala pekerjaan yang dilaksanakan baik secara kualitatif maupun kuantitatif sesuai dengan standar yang ditetapkan dan tidak asal-asalan.
2.     Pengembangan Profesi
Profesi guru kian hari menjadi perhatian seiring dengan perubahan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang menuntut kesiapan agar tidak ketinggalan. Menurut Pidarta (1999) bahwa Profesi ialah suatu jabatan atau pekerjaan biasa seperti halnya dengan pekerjaan-pekerjaan lain. Tetapi pekerjaan itu harus diterapkan kepada masyarakat untuk kepentingan masyarakat umum, bukan untuk kepentingan individual, kelompok, atau golongan tertentu. Dalam melaksanakan pekerjaan itu harus memenuhi norma-norma itu. Orang yang melakukan pekerjaan profesi itu harus ahli, orang yang sudah memiliki daya pikir, ilmu dan keterampilan yang tinggi. Disamping itu ia juga dituntut dapat mempertanggung jawabkan segala tindakan dan hasil karyanya yang menyangkut profesi itu.
Lebih lanjut Pidarta (1997) mengemukakan ciri-ciri profesi sebagai berikut :
(1). Pilihan jabatan itu didasari oleh motivasi yang kuat dan merupakan panggilan hidup orang bersangkutan, (2). Telah memiliki ilmu, pengetahuan, dan keterampilan khusus, yang bersifat dinamis dan berkembang terus. (3). Ilmu pengetahuan, dan keterampilan khusus tersebut di atas diperoleh melalui studi dalam jangka waktu lama di perguruan tinggi. (4). Punya otonomi dalam bertindak ketika melayani klien, (5). Mengabdi kepada masyarakat atau berorientasi kepada layanan sosial, bukan untuk mendapatkan keuntungan finansial. (6).Tidak mengadvertensikan keahlian-nya untuk mendapatkan klien. (7). Menjadi anggota profesi. (8).Organisasi profesi tersebut menetukan persyaratan penerimaan para anggota, membina profesi anggota, mengawasi perilaku anggota, memberikan sanksi, dan memperjuangkan kesejahteraan anggota.
Bila diperhatikan ciri-ciri profesi tersebut di atas nampaknya bahwa profesi guru tidak mungkin dikenakan pada sembarang orang yang dipandang oleh masyarakat umum sebagai pendidik. Pekerjaan profesi harus berorientasi pada layanan sosial. Seorang profesional ialah orang yang melayani kebutuhan anggota masyarakat baik secara perorangan maupun kelompok. Sebagai orang yang memberikan pelayanan sudah tentu membutuhkan sikap rendah hati dan budi halus. Sikap dan budi halus ini menjadi sarana bagi terjalinnya hubungan yang baik yang ikut menentukan keberhasilan profesi.
Pengembangan profesi guru merupakan hal penting untuk diperhatikan guna mengantisipasi perubahan dan beratnya tuntutan terhadap profesi guru. Pengembangan profesionalisme guru menekankan kepada penguasaan ilmu pengetahuan atau kemampuan manajemen beserta strategi penerapannya. Maister (1997) mengemukakan bahwa profesionalisme bukan sekadar memiliki pengetahuan, teknologi dan manajemen tetapi memiliki keterampilan tinggi, memiliki tingkah laku yang dipersyaratkan.
Pengembangan profesional guru harus memenuhi standar sebagaimana yang dikemukakan Stiles dan Horsley (1998) bahwa ada empat standar pengembangan profesi guru yaitu:
(1). Standar pengembangan profesi A adalah pengembangan profesi untuk para guru sains memerlukan pembelajaran isi sains yang diperlukan melalui perspektif-perspektif dan metode-metode inquiri.; (2) Standar pengembangan profesi B adalah pengembangan profesi untuk guru sains memerlukan pengintegrasian pengetahuan sains, pembelajaran, pendidikan, dan siswa, juga menerapkan pengetahuan tersebut ke pengajaran sains; (3) Standar pengembangan profesi C adalah pengembangan profesi untuk para guru sains memerlukan pembentukan pemahaman dan kemampuan untuk pembelajaran sepanjang masa.; (4) Standar pengembangan profesi D adalah program-program profesi untuk guru sains harus koheren (berkaitan) dan terpadu.
Standar ini dimaksudkan untuk menangkal kecenderungan kesempatan pengembangan profesi terfragmentasi dan tidak berkelanjutan. Apabila guru di Indonesia telah memenuhi standar profesional guru sebagaimana yang berlaku di Amerika Serikat maka kualitas Sumber Daya Manusia Indonesia semakin baik. Tuntutan memenuhi standar profesionalisme bagi guru sebagai wujud dari keinginan menghasilkan guru-guru yang mampu membina peserta didik sesuai dengan tuntutan masyarakat, disamping sebagai tuntutan yang harus dipenuhi guru dalam meraih predikat guru yang profesional sebagai mana yang dijelaskan dalam jurnal Educational Leadership (dalam Supriadi D. 1998) bahwa untuk menjadi profesional seorang guru dituntut untuk memiliki lima hal yaitu: (1). Guru mempunyai komitmen pada siswa dan proses belajarnya, (2). Guru menguasai secara mendalam bahan/mata pelajaran yang diajarkannya serta cara mengajarnya kepada siswa, (3). Guru bertanggung jawab memantau hasil belajar siswa melalui berbagai cara evaluasi, (4). Guru mampu berfikir sistematis tentang apa yang dilakukannya dan belajar dari pengalamannya, (5). Guru seyogyanya merupakan bagian dari masyarakat belajar dalam lingkungan profesinya.
Guru Indonesia yang profesional dipersyaratkan mempunyai: (1). Dasar ilmu yang kuat sebagai pengejawantahan terhadap masyarakat teknologi dan masyarakat ilmu pengetahuan, (2). Penguasaan kiat-kiat profesi berdasarkan riset dan praksis pendidikan yaitu ilmu pendidikan sebagai ilmu praksis bukan hanya merupakan konsep-konsep belaka. Pendidikan merupakan proses yang terjadi di lapangan dan bersifat ilmiah, serta riset pendidikan hendaknya diarahkan pada praksis pendidikan masyarakat Indonesia, (3). Pengembangan kemampuan profesional berkesinambungan, profesi guru merupakan profesi yang berkembang terus menerus dan berkesinambungan antara LPTK dengan praktek pendidikan. Kekerdilan profesi guru dan ilmu pendidikan disebabkan terputusnya program pre-service dan in-service karena pertimbangan birokratis yang kaku atau manajemen pendidikan yang lemah. (Arifin I, 2000)
Dimensi lain dari pola pembinaan profesi guru yang dapat dilakukan yaitu: (1). Peningkatan dan Pembinaan hubungan yang erat antara Perguruan Tinggi dengan pembinaan SLTA, (2). Meningkatkan bentuk rekrutmen calon guru, (3). Program penataran yang dikaitkan dengan praktik lapangan, (4). Meningkatkan mutu pendidikan calon pendidik. (5). Pelaksanaan supervisi yang baik, (6). Peningkatan mutu manajemen pendidikan, (7). Melibatkan peran serta masyarakat berdasarkan konsep linck and matc. (8). Pemberdayaan buku teks dan alat-alat pendidikan penunjang, (9). Pengakuan masyarakat terhadap profesi guru, (10). Perlunya pengukuhan program Akta Mengajar melalui peraturan perundang-undangan. dan (11) Kompetisi profesional yang positif dengan pemberian kesejahteraan yang layak (Hasan A M, 2001).
Apabila syarat-syarat profesionalisme guru di atas itu terpenuhi akan mengubah peran guru yang tadinya pasif menjadi guru yang kreatif dan dinamis. Hal ini sejalan dengan pendapat Semiawan (1991) bahwa pemenuhan persyaratan guru profesional akan mengubah peran guru yang semula sebagai orator yang verbalistis menjadi berkekuatan dinamis dalam menciptakan suatu suasana dan lingkungan belajar yang invitation learning environment.
Menurut Akadum (1999) bahwa ada lima penyebab rendahnya profesionalisme guru yaitu : (1). Masih banyak guru yang tidak menekuni profesinya secara total, (2). Rentan dan rendahnya kepatuhan guru terhadap norma dan etika profesi keguruan, (3). Pengakuan terhadap ilmu pendidikan dan keguruan masih setengah hati dari pengambilan kebijakan dan pihak-pihak terlibat. Hal ini terbukti dari masih belum mantapnya kelembagaan pencetak tenaga keguruan dan kependidikan, (4). Masih belum smoothnya perbedaan pendapat tentang proporsi materi ajar yang diberikan kepada calon guru, (5). Masih belum berfungsi PGRI sebagai organisasi profesi yang berupaya secara maksimal meningkatkan profesionalisme anggotanya.
Upaya meningkatkan profesionalisme guru di antaranya melalui (1). Peningkatan kualifikasi dan persyaratan jenjang pendidikan yang lebih tinggi bagi tenaga pengajar. (2). Program sertifikasi (Pantiwati, 2001). Selain sertifikasi, menurut Supriadi (1998) yaitu mengoptimalkan fungsi dan peran kegiatan dalam bentuk PKG (Pusat Kegiatan Guru), KKG (Kelompok Kerja Guru), dan MGMP (musyawarah Guru Mata Pelajaran) yang memungkinkan para guru untuk berbagi pengalaman dalam memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi dalam kegiatan mengajarnya. Hal tersebut diperkuat pendapat dari Pidarta (1999) bahwa mengembangkan atau membina profesi para guru yang terdiri dari : (1). Belajar lebih lanjut. (2). Menghimbau dan ikut mengusahakan sarana dan fasilitas sanggar-sanggar seperti Sanggar Pemantapan Kerja Guru. (3). Ikut mencarikan jalan agar guru-guru mendapatkan kesempatan lebih besar mengikuti panataran-penataran pendidikan. (4). Ikut memperluas kesempatan agar guru-guru dapat mengikuti seminar-seminar pendidikan yang sesuai dengan minat dan bidang studi yang dipegang dalam usaha mengembangkan profesinya. (5). Mengadakan diskusi-diskusi ilmiah secara berkala disekolah. (6). Mengembangkan cara belajar berkelompok untuk guru-guru sebidang studi.
Pola pengembangan dan pembinaan profesi guru yang diuraikan di atas sangat memungkinkan terjadinya perubahan paradigma dalam pengembangan profesi guru sebagai langkah antisipatif terhadap perubahan peran dan fungsi guru yang selama ini guru dianggap sebagai satu-satunya sumber informasi dan pengetahuan bagi siswa, padahal perkembangan teknologi dan informasi sekarang ini telah membuka peluang bagi setiap orang untuk dapat belajar secara mandiri dan cepat yang berarti siapapun bisa lebih dulu mengetahui yang terjadi sebelum orang lain mengetahuinya, kondisi ini mengisyaratkan adanya pergeseran pola pembelajaran dan perubahan fungsi serta peran guru yang lebih besar yang bukan lagi sebagai satu-satunya sumber informasi pengetahuan bagi siswa melainkan sebagai fasilitator yang mengarahkan siswa dalam pembelajaran.
Pengembangan profesi guru harus pula diimbangi dengan usaha lain seperti mengusahakan perpustakaan khusus untuk guru-guru yang mencakup segala bidang studi yang diajarkan di sekolah, sehingga guru tidak terlalu sulit untuk mencari bahan dan referensi untuk mengajar di kelas. Pengembangan yang lain dapat dilakukan melalui pemberian kesempatan kepada guru-guru untuk mengarang bahan pelajaran tersendiri sebagai buku tambahan bagi siswa baik secara perorangan atau berkelompok. Usaha ini dapat memotivasi guru dalam melakukan inovasi dan mengembangkan kreativitasnya yang berarti memberi peluang bagi guru untuk meningkatkan kinerjannya.
Menurut W.F. Connell (1974) bahwa guru profesional adalah guru yang memiliki kompetensi tertentu sesuai dengan persyaratan yang dituntut oleh profesi keguruan. Peranan profesi adalah sebagai motivator, supervisor, penanggung jawab dalam membina disiplin, model perilaku, pengajar dan pembimbing dalam proses belajar, pengajar yang terus mencari pengetahuan dan ide baru untuk melengkapi dan meningkatkan pengetahuannya, komunikator terhadap orang tua murid dan masyarakat, administrator kelas, serta anggota organisasi profesi pendidikan.
Menyadari akan profesi merupakan wujud eksistensi guru sebagai komponen yang bertanggung jawab dalam keberhasilan pendidikan maka menjadi satu tuntutan bahwa guru harus sadar akan peran dan fungsinya sebagai pendidik. Hal tersebut dipertegas Pidarta (1999) bahwa kesadaran diri merupakan inti dari dinamika gerak laju perkembangan profesi seseorang, merupakan sumber dari kebutuhan mengaktualisasi diri. Makin tinggi kesadaran seseorang makin kuat keinginannya meningkatkan profesi.
Pembinaan dan pengembangan profesi guru bertujuan untuk meningkatkan kinerja dan dilakukan secara terus menerus sehingga mampu menciptakan kinerja sesuai dengan persyaratan yang diinginkan, disamping itu pembinaan harus sesuai arah dan tugas/fungsi yang bersangkutan dalam sekolah. Semakin sering profesi guru dikembangkan melalui berbagai kegiatan maka semakin mendekatkan guru pada pencapaian predikat guru yang profesional dalam menjalankan tugasnya sehingga harapan kinerja guru yang lebih baik akan tercapai.
3.     Kemampuan Mengajar
Untuk melaksanakan tugas-tugas dengan baik, guru memerlukan kemampuan. Cooper (dalam Zahera, 1997) mengemukakan bahwa guru harus memiliki kemampuan merencanakan pengajaran, menuliskan tujuan pengajaran, menyajikan bahan pelajaran, memberikan pertanyaan kepada siswa, mengajarkan konsep, berkomunikasi dengan siswa, mengamati kelas, dan mengevaluasi hasil belajar
Kompetensi guru adalah kemampuan atau kesanggupan guru dalam mengelola pembelajaran. Titik tekannya adalah kemampuan guru dalam pembelajaran bukanlah apa yang harus dipelajari (learning what to be learnt), guru dituntut mampu menciptakan dan menggunakan keadaan positif untuk membawa mereka ke dalam pembelajaran agar anak dapat mengembangkan kompetensinya (Rusmini, 2003). Guru harus mampu menafsirkan dan mengembangkan isi kurikulum yang digunakan selama ini pada suatu jenjang pendidikan yang diberlakukan sama walaupun latar belakang sosial, ekonomi dan budaya yang berbeda-beda (Nasanius Y, 1998).
Aspek-aspek teladan mental guru berdampak besar terhadap iklim belajar dan pemikiran pelajar yang diciptakan guru. Guru harus memahami bahwa perasaan dan sikap siswa akan terlibat dan berpengaruh kuat pada proses belajarnya. Agar guru mampu berkompetensi harus memiliki jiwa inovatif, kreatif dan kapabel, meninggalkan sikap konservatif, tidak bersifat defensif tetapi mampu membuat anak lebih bersifat ofensif (Sutadipura, 1994).
Penguasaan seperangkat kompetensi yang meliputi  kompetensi keterampilan proses dan  kompetensi penguasaan pengetahuan merupakan unsur yang dikolaborasikan dalam bentuk satu kesatuan yang utuh dan membentuk struktur kemampuan yang harus dimiliki seorang guru, sebab kompetensi merupakan seperangkat kemampuan guru searah dengan kebutuhan pendidikan di sekolah, tuntutan   masyarakat, dan perkembang-an ilmu pengetahuan    dan teknologi.
Kompetensi Keterampilan proses belajar mengajar adalah penguasaan terhadap kemampuan yang berkaitan dengan proses pembelajaran. Kompetensi dimaksud meliputi kemampuan dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pembelajaran, kemampuan dalam menganalisis,    menyusun program perbaikan dan pengayaan, serta menyusun program bimbingan dan konseling sedangkan Kompetensi Penguasaan Pengetahuan adalah penguasaan terhadap kemampuan yang berkaitan dengan keluasan dan kedalaman pengetahuan.  Kompetensi dimaksud meliputi pemahaman terhadap wawasan  pendidikan, pengembangan diri dan profesi, pengembangan potensi peserta didik, dan penguasaan akademik (Rusmini, 2003).
Kemampuan mengajar guru sebenarnya merupakan pencerminan penguasan guru atas kompetensinya. Imron (1995) mengemukakan 10 Kompetensi dasar yang harus dikuasai oleh guru yaitu :
(1). Menguasai bahan, (2). Menguasai Landasan kependidikan, (3). Menyusun program pengajaran, (4). Melaksanakan Program Pengajaran, (5). Menilai proses dan hasil belajar, (6). Menyelenggarakan proses bimbingan dan penyuluhan, (7).Menyelenggarakan administrasi sekolah, (8). Mengembangkan kepribadian, (9). Berinterkasi dengan sejawat dan masyarakat, (10). Menyelenggarakan penelitian sederhana untuk kepentingan mengajar.
Sedangkan menurut Uzer Usman (2002) bahwa jenis-jenis kompetensi guru antara lain (1). Kompetensi kepribadian meliputi: mengembangkan kepribadian, berinteraksi dan berkomunikasi, melaksanakan bimbingan dan penyuluhan, melaksanakan administrasi, melaksanakan penelitian sederhana untuk keperluan pengajaran; (2). Kompetensi profesional antara lain mengusai landasan kependidikan, menguasai bahan pengajaran, menyusun program pengajaran, melaksanakan program pengajaran dan menilai hasil dan proses belajar mengajar yang telah dilaksanakan.
Kemampuan mengajar guru yang sesuai dengan tuntutan standar tugas yang diemban memberikan efek positif bagi hasil yang ingin dicapai seperti perubahan hasil akademik siswa, sikap siswa, keterampilan siswa, dan perubahan pola kerja guru yang makin meningkat, sebaliknya jika kemampuan mengajar yang dimiliki guru sangat sedikit akan berakibat bukan saja menurunkan prestasi belajar siswa tetapi juga menurunkan tingkat kinerja guru itu sendiri.
Untuk itu kemampuan mengajar guru menjadi sangat penting dan menjadi keharusan bagi guru untuk dimiliki dalam menjalankan tugas dan fungsinya, tanpa kemampuan mengajar yang baik sangat tidak mungkin guru mampu melakukan inovasi atau kreasi dari materi yang ada dalam kurikulum yang pada gilirannya memberikan rasa bosan bagi guru maupun siswa untuk menjalankan tugas dan fungsi masing-masing.
4.     Antar Hubungan dan Komunikasi
Komunikasi merupakan aktivitas dasar manusia, manusia dapat saling berhubungan satu sama lain dalam kehidupan sehari-hari dirumah tangga, di tempat kerja, di pasar, dalam masyarakat atau dimana saja manusia berada. Tidak ada manusia yang tidak akan terlibat komunikasi.
Pentingnya komunikasi bagi organisasi tidak dapat dipungkiri, adanya komunikasi yang baik suatu organisasi dapat berjalan dengan lancar dan berhasil dan begitu pula sebaliknya. Misalnya Kepala Sekolah tidak menginformasikan kepada guru-guru mengenai kapan sekolah dimulai sesudah libur maka besar kemungkinan guru tidak akan datang mengajar. Contoh di atas menandakan betapa pentingnya komunikasi. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Muhammad A. (2001) bahwa kelupaan informasi dapat memberikan efek yang lebih besar terhadap kelangsungan kegiatan.
Komunikasi yang efektif adalah penting bagi semua organisasi oleh karena itu para pemimpin organisasi dan para komunikator dalam organisasi perlu memahami dan menyempurnakan kemampuan komunikasi mereka (Kohler, 1981). Guru dalam proses pelaksanaan tugasnya perlu memperhatikan hubungan dan komunikasi baik antara guru dengan Kepala Sekolah, guru dengan guru, guru dengan siswa, dan guru dengan personalia lainnya di sekolah. Hubungan dan komunikasi yang baik membawa konsekwensi terjalinnya interaksi seluruh komponen yang ada dalam sistem sekolah. Kegiatan pembelajaran yang dilakukan guru akan berhasil jika ada hubungan dan komunikasi yang baik dengan siswa sebagai komponen yang diajar. Kinerja guru akan meningkat seiring adanya kondisi hubungan dan komunikasi yang sehat di antara komponen sekolah sebab dengan pola hubungan dan komunikasi yang lancar dan baik mendorong pribadi seseorang untuk melakukan tugas dengan baik.
Menurut Forsdale (1981) bahwa “communication is the process by which a system is established, maintained, and altered by means of shared signals that operate according to rules”. Sedangkan ahli lain berpendapat bahwa komunikasi manusia adalah suatu proses melalui mana individu dalam hubungannya, dalam kelompok, dalam organisasi dan dalam masyarakat menciptakan, mengirimkan, dan menggunakan informasi untuk mengkoordinasi lingkungannya dan orang lain (Brent D. Ruben, 1988).
Hubungan sosial antar manusia selalu terjadi di lingkungan kerja. Sebagai peneliti Terence R. Mitchell 1982 (dalam Junaidin, 2006) menemukan bahwa orang-orang di dalam organisasi menghabiskan sebagian besar waktunya untuk interaksi interpersonal. Hubungan yang terjadi antara atasan dengan bawahan, bawahan dengan bawahan. Di sekolah hubungan dapat terjadi antara kepala sekolah dengan guru, antara guru dengan guru serta guru dengan siswa. Hubungan guru dengan siswa lebih sering dilakukan dibandingkan dengan hubungan guru dengan guru atau hubungan guru dengan kepala sekolah. Setiap hari guru harus berhadapan dengan siswayang jumlahnya cukup banyak yang terkadang sangat merepotkan tetapi bagi guru interaksi dengan siswa merupakan hal sangat menarik dan mengasyikkan apalagi dapat membantu siswa dalam menemukan cara mengatasi kesulitan belajar siswa.
Ada bermacam-macam interaksi di sekolah. Kalau ditinjau dari maksud interaksi yang terjadi maka ada dua macam interaksi yaitu (1) interaksi dalam konteks menjalankan tugas yang secara langsung mengarah pada tujuan organisasi dan (2). Interaksi diluar kontekspelaksanaan tugas, meskipun interaksi terjadi di lingkungan kerja. Hubungan yang sehat dan harmonis dalam konteks pelaksanaan tugas menjadi prasyarat agar produktivitas lebih meningkat lagi
Komunikasi digunakan untuk memahami dan menukarkan pesan verbal maupun non verbal antara pengirim informasi dengan penerima informasi untuk mengubah tingkah laku. Hubungan dan komunikasi yang dikembangkan guru terutama dalam proses pembelajaran dan pada situasi interaksi lain di sekolah memberi peluang terciptanya situasi yang kondusif untuk dapat memperlancar pelaksanaan tugas, segala persoalan yang dihadapi guru baik dalam pelaksanaan tugas utama maupun tugas tambahan dapat diselesaikan melalui penyelesaian secara bersama dengan rekan guru yang lain, tanpa hubungan dan komunikasi yang baik di dalam lingkungan sekolah apapun bentuk pekerjaan yang kita lakukan tetap akan mengalami hambatan dan kurang lancar.
Terbinanya hubungan dan komunikasi di dalam lingkungan sekolah memungkinkan guru dapat mengembangkan kreativitasnya sebab ada jalan untuk terjadinya interaksi dan ada respon balik dari komponen lain di sekolah atas kreativitas dan inovasi tersebut, hal ini menjadi motor penggerak bagi guru untuk terus meningkatkan daya inovasi dan kreativitasnya yang bukan saja inovasi dalam tugas utamanya tetapi bisa saja muncul inovasi dalam tugas yang lain yang diamanatkan sekolah. Ini berarti bahwa pembinaan hubungan dan komunikasi yang baik di antara komponen dalam sekolah menjadi suatu keharusan dalam menunjang peningkatan kinerja.
Untuk itu semakin baik pembinaan hubungan dan komunikasi dibina maka respon yang muncul semakin baik pula yang pada gilirannya mendorong peningkatan kinerja.
5.     Hubungan dengan Masyarakat
Sekolah merupakan lembaga sosial yang tidak dapat dipisahkan dari masyarakat lingkungannya, sebaliknya masyarakat pun tidak dapat dipisahkan dari sekolah sebab keduanya memiliki kepentingan, sekolah merupakan lembaga formal yang diserahi mandat untuk mendidik, melatih, dan membimbing generasi muda bagi peranannya di masa depan, sementara masyarakat merupakan pengguna jasa pendidikan itu.
Menurut Pidarta (1999) bahwa suatu sekolah tidak dibenarkan mengisolasi diri dari masyarakat. Sekolah tidak boleh merupakan masyarakat tersendiri yang tertutup terhadap masyarakat sekitar, ia tidak boleh melaksanakan idenya sendiri dengan tidak mau tahu akan aspirasi–aspirasi masyarakat. Masyarakat menginginkan sekolah itu berdiri di daerahnya untuk meningkatkan perkembangan putra-putra mereka. Sekolah merupakan sistem terbuka terhadap lingkungannya termasuk masyarakat pendukungnya. Sebagai sistem terbuka sudah jelas ia tidak dapat mengisolasi diri sebab bila hal ini ia lakukan berarti ia menuju ke ambang kematian.
Hubungan sekolah dengan masyarakat merupakan bentuk hubungan komunikasi ekstern yang dilaksanakan atas dasar kesamaan tanggung jawab dan tujuan. Masyarakat merupakan kelompok individu–individu yang berusaha menyelenggarakan pendidikan atau membantu usaha-usaha pendidikan. Dalam masyarakat terdapat lembaga-lembaga penyelenggaran pendidikan, lembaga keagamaan, kepramukaan, politik, sosial, olah raga, kesenian yang bergerak dalam usaha pendidikan. Dalam masyarakat juga terdapat individu-individu atau pribadi-pribadi yang bersimpati terhadap pendidikan di sekolah.
Sekolah berada ditengah-tengah masyarakat dan dapat dikatakan berfungsi sebagai pisau bermata dua. Mata yang pertama adalah menjaga kelestarian nilai-nilai positif yang ada dalam masyarakat, agar pewarisan nilai-nilai masyarakat berlangsung dengan baik. Mata yang kedua adalah sebagai lembaga yang mendorong perubahan nilai dan tradisi sesuai dengan kemajuan dan tuntutan kehidupan serta pembangunan. (Soetjipto dan Rafles Kosasi, 1999).
Hubungan sekolah dengan masyarakat adalah suatu proses komunikasi antara sekolah dengan masyarakat untuk meningkatkan pengertian masyarakat tentang kebutuhan serta kegiatan pendidikan serta mendorong minat dan kerjasama untuk masyarakat dalam peningkatan dan pengembangan sekolah. Hubungan sekolah dengan masyarakat ini sebagai usaha kooperatif untuk menjaga dan mengembangkan saluran informasi dua arah yang efisien serta saling pengertian antara sekolah, personalia sekolah dengan masyarakat. Hal ini dipertegas Mulyasa (2003) bahwa Tujuan hubungan sekolah dengan masyarakat dapat ditinjau dari dua dimensi yaitu kepentingan sekolah dan kebutuhan masyarakat.
Tujuan hubungan masyarakat berdasarkan dimensi kepentingan sekolah antara lain : (1). Memelihara kelangsungan hidup sekolah, (2). Meningkatkan mutu pendidikan di sekolah, (3). Memperlancar kegiatan belajar mengajar, (4). Memperoleh bantuan dan dukungan dari masyarakat dalam rangka pengembangan dan pelaksanaan program-program sekolah.
Tujuan hubungan berdasarkan kebutuhan masyarakat antara lain : (1). Memajukan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, (2). Memperoleh kemajuan sekolah dalam memecahkan berbagai masalah yang dihadapi masyarakat, (3). Menjamin relevansi program sekolah dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat, dan (4). Memperoleh kembali anggota-anggota masyarakat yang terampil dan makin meningkatkan kemampuannya (Mulyasa, 2003).
Dalam melaksanakan hubungan sekolah-masyarakat perlu dianut beberapa prinsip sebagai pedoman dan arah bagi guru dan kepala sekolah, agar mencapai sasaran yang diinginkan. Prinsip-prinsip hubungan antara lain :
(1). Prinsip Otoritas yaitu bahwa hubungan sekolah-masyarakat harus dilakukan oleh orang yang mempunyai otoritas, karena pengetahuan dan tanggung jawabnya dalam penyelenggaraan sekolah. (2). Prinsip kesederhanaan yaitu bahwa program-program hubungan sekolah masyarakat harus sederhana dan jelas, (3). Prinisp sensitivitas yaitu bahwa dalam menangani masalah-masalah yang berhubungan dengan masyarakat, sekolah harus sensitif terhadap kebutuhan serta harapan masyarakat. (4). Prinsip kejujuran yaitu bahwa apa yang disampaikan kepada msyarakat haruslah sesuatu apa adanya dan disampaikan secara jujur. (5). Prinsip ketepatan yaitu bahwa apa yang disampaikan sekolah kepada masyarakat harus tepat, baik dilihat dari segi isi, waktu, media yang digunakan serta tujuan yang akan dicapai (Soetjipto dan Rafles Kosasi (1999)
Agar hubungan dengan masyarakat terjamin baik dan berlangsung kontinu, maka diperlukan peningkatan profesi guru dalam hal berhubungan dengan masyarakat. Guru disamping mampu melakukan tugasnya masing-masing di sekolah, mereka juga diharapkan dapat dan mampu melakukan tugas-tugas hubungan dengan masyarakat. Mereka bisa mengetahui aktivitas-aktivitas masyarakatnya, paham akan adat istiadat, mengerti aspirasinya, mampu membawa diri di tengah-tengah masyarakat, bisa berkomunikasi dengan mereka dan mewujudkan cita-cita mereka. Untuk mencapai hal itu diperlukan kompetensi dan perilaku dari guru yang cocok dengan struktur sosial masyarakat setempat, sebab ketika kompetensi dan perilaku guru tidak cocok dengan struktur sosial dalam masyarakat maka akan terjadi benturan pemahaman dan salah pengertian terhadap program yang dilaksanakan sekolah dan berakibat tidak adanya dukungan masyarakat terhadap sekolah, padahal sekolah dan masyarakat memiliki kepentingan yang sama dan peran yang strategis dalam mendidik dan menghasilkan peserta didik yang berkualitas.
Hubungan dengan masyarakat tidak saja dibina oleh guru tetapi juga dibina oleh personalia lain yang ada disekolah. Hal ini sesuai dengan pendapat Pidarta (1999) yang mengatakan bahwa selain guru, anggota staf yang lain seperti para pegawai, para petugas bimbingan dan konseling, petugas-petugas medis, dan bahkan juga pesuruh dapat melakukan hubungan dengan masyarakat, sebab mereka ini juga terlibat dalam pertemuan-pertemuan, pemecahan masalah, dan ketatausahaan hubungan dengan masyarakat. Namun yang lebih banyak menangani hal itu adalah guru sehingga guru-gurulah yang paling dituntut untuk memiliki kompetensi dan perilaku yang cocok dengan struktur sosial.
Kemampuan guru membawa diri baik di tengah masyarakat dapat mempengaruhi penilaian masyarakat terhadap guru. Guru harus bersikap sesuai dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat, responsif dan komunikatif terhadap masyarakat, toleran dan menghargai pendapat mereka. Bila tidak mampu menampilkan diri dengan baik sangat mungkin masyarakat tidak akan menghiraukan mereka. Bertalian dengan hal itu Pidarta (1999) menegaskan bahwa keadaan seperti itu akan menimbukan cap kurang baik terhadap guru. Citra guru di mata masyarakat menjadi pudar. Oleh karena itu kewajiban sekolah untuk menegakkan wibawa guru di tengah masyarakat dengan terus menyesuaikan diri sambil ikut memberikan pencerahan kepada masyarakat.
Hal yang dilakukan guru dalam mendukung hubungan sekolah dengan masyarakat antara lain: (1). Membantu sekolah dalam melaksanakan tehnik-tehnik hubungan sekolah dengan masyarakat. Melalui : (a). Guru hendaknya selalu berpartisipasi lembaga dan organisasi di masyarakat (b). Guru hendaknya membantu memecahkan yang timbul dalam masyarakat. (2). Membuat dirinya lebih baik lagi dalam masyarakat melalui penyesuain diri dengan adat istiadat masyarakat karena guru adalah tokoh milik masyarakat. Tingkah laku guru di sekolah dan di masyarakat menjadi panutan masyarakat. Pada posisi terrsebut guru menjaga perilaku yang prima. Apabila masyarakat mengetahui bahwa guru-guru sekolah tertentu dapat dijadikan suri teladan di masyarakat, maka masyarakat akan percaya pada sekolah pada akhirnya masyarakat memberikan dukungan pada sekolah. (3). Guru harus melaksanakan kode etiknya, karena kode etik merupakan seperangkat aturan atau pedoman dalam melaksanakan tugas profesinya.
Penjelasan di atas menunjukkan betapa penting peran guru dalam hubungan sekolah dengan masyarakat. Terjalinnya hubungan yang harmonis antara sekolah-masyarakat membuka peluang adanya saling koordinasi dan pengawasan dalam proses belajar mengajar di sekolah dan keterlibatan bersama memajukan peserta didik. Guru diharapkan selalu berbuat yang terbaik sesuai harapan masyarakat yaitu terbinanya dan tercapainya mutu pendidikan anak-anak mereka.
Penciptaan suasana menantang harus dilengkapi dengan terjalinnya hubungan yang baik dengan orang tua murid dan masyarakat sekitarnya. Ini dimaksudkan untuk membina peran serta dan rasa tanggung jawab bersama terhadap pendidikan. Hanya sebagian kecil waktu yang dipergunakan oleh guru di sekolah dan sebagian besar ada di masyarakat. Agar pendidikan di luar ini terjalin dengan baik dengan apa yang dilakukan oleh guru di sekolah diperlukan kerjasama yang baik antara guru, orang tua dan masyarakat. Kewajiban guru mengadakan kontak hubungan dengan masyarakat merupakan bagian dan tugas guru dalam mendidik siswa dan mengembangkan profesinya sebagai guru. Sekolah adalah milik bersama antara warga sekolah itu sendiri, pemerintah dan masyarakat.
Dengan adanya perubahan paradigma pendidikan sekarang ini membuka peluang bagi masyarakat untuk dapat menilai sekolah dan guru dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya secara baik sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Pengawasan dan evaluasi yang dilakukan masyarakat baik secara perseorangan maupun kelompok yang dilakukan secara langsung maupun tidak langsung membawa konsekwensi bagi terciptanya kondisi kerja kearah yang lebih baik karena kelangsungan hidup sekolah sangat tergantung pula dari keterlibatan masyarakat sebagai unsur pendukung keberhasilan sekolah maka guru secara langsung terpengaruh dan berdampak pada kinerja guru sebab ketika guru menunjukkan kinerja yang tidak baik disuatu sekolah maka masyarakat tidak akan memberikan respon positif bagi kelangsungan sekolah tersebut. Apalagi guru selalu berada ditengah-tengah masyarakat segala tindak tanduknya akan selalu dicontoh dan diteladani dalam masyarakat.
Manfaat hubungan dengan masyarakat sangat besar bagi peningkatan kinerja guru melalui peningkatan aktivitas-aktivitas bersama, komunikasi yang kontinu dan proses saling memberi dan saling menerima serta membuat instrospeksi sekolah dan guru menjadi giat dan kontinu. Setiap aktivitas guru dapat diketahui oleh masyarakat sehingga guru akan berupaya menampilkan kinerja yang lebih baik. Hal ini dipertegas Pidarta (1999) yang menyatakan bahwa bila guru tidak mau belajar dan tidak mampu menampilkan diri sangat mungkin masyarakat tidak akan menghiraukan mereka. Keadaan ini seringkali menimbulkan cap kurang baik terhadap guru. Citra guru di mata masyarakat menjadi pudar.


6.     Kedisiplinan
The Liang Gie (1972) memberikan pengertian disiplin sebagai berikut Disiplin adalah suatu keadaan tertib di mana orang-orang yang tergabung dalam suatu organisasi tunduk pada peraturan-peraturan yang telah ada dengan rasa senang.
Sedangkan Good’s (1959) dalam Dictionary of Education mengartikan disiplin sebagai berikut
a.      1). Proses atau hasil pengarahan atau pengendalian keinginan, dorongan atau kepentingan guna mencapai maksud atau untuk mencapai tindakan yang lebih sangkil.
b.     Mencari tindakan terpilih dengan ulet, aktif dan diarahkan sendiri, sekalipun menghadapi rintangan
c.      Pengendalian perilaku secara langsung dan otoriter dengan hukuman atau hadiah.
d.     Pengekangan dorongan dengan cara yang tak nyaman dan bahkan menyakitkan.
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa disiplin adalah ketaatan dan ketepatan pada suatu aturan yang dilakukan secara sadar tanpa adanya dorongan atau paksaan pihak lain atau suatu keadaan di mana sesuatu itu berada dalam tertib, teratur dan semestinya serta tiada suatu pelanggaran-pelanggaran baik secara langsung maupun tidak langsung.
Tujuan disiplin menurut Arikunto, S. (1993) yaitu agar kegiatan sekolah dapat berlangsung secara efektif dalam suasana tenang, tentram dan setiap guru beserta karyawan dalam organisasi sekolah merasa puas karena terpenuhi kebutuhannya. Sedangkan Depdikbud (1992) menyatakan tujuan disiplin dibagi menjadi dua bagian yaitu :
(1). Tujuan Umum adalah agar terlaksananya kurikulum secara baik yang menunjang peningkatan mutu pendidikan (2). Tujuan khusus yaitu : (a). Agar Kepala Sekolah dapat menciptakan suasana kerja yang menggairahkan bagi seluruh peserta warga sekolah, (b). Agar guru dapat melaksanakan proses belajar mengajar seoptimal mungkin dengan semua sumber yang ada disekolah dan diluar sekolah (c). Agar tercipta kerjasama yang erat antara sekolah dengan orang tua dan sekolah dengan masyarakat untuk mengemban tugas pendidikan.
Kedisiplinan sangat perlu dalam menjalankan tugas dan kewajibannya sebagai pengajar, pendidik dan pembimbing siswa. Disiplin yang tinggi akan mampu membangun kinerja yang profesional sebab pemahaman disiplin yang baik guru mampu mencermati aturan-aturan dan langkah strategis dalam melaksanakan proses kegiatan belajar mengajar. Kemampuan guru dalam memahami aturan dan melaksanakan aturan yang tepat, baik dalam hubungan dengan personalia lain di sekolah maupun dalam proses belajar mengajar di kelas sangat membantu upaya membelajarkan siswa ke arah yang lebih baik. Kedisiplinan bagi para guru merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya.
Dengan demikian kedisiplinan seorang guru menjadi tuntutan yang sangat penting untuk dimiliki dalam upaya menunjang dan meningkatkan kinerja dan disisi lain akan memberikan tauladan bagi siswa bahwa disiplin sangat penting bagi siapapun apabila ingin sukses. Hal tersebut dipertegas Imron (1995) menyatakan bahwa disiplin kinerja guru adalah suatu keadaan tertib dan teratur yang dimiliki guru dalam bekerja di sekolah, tanpa ada pelanggaran-pelanggaran yang merugikan baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap dirinya, teman sejawatnya dan terhadap sekolah secara keseluruhan.
Tiga model disiplin yang dapat dikembangkan yaitu :
(1). Disiplin yang dibangun berdasarkan konsep otoritarian. Bahwa guru dikatakan mempunyai disiplin tinggi manakala mau menurut saja terhadap perintah dan anjuran pejabat atau pembina tanpa banyak menyumbangkan pikiran-pikirannya. (2). Disiplin yang dibangun berdasarkan konsep permissive. Bahwa guru haruslah diberikan kebebasan seluas-luasnya di dalam kelas dan sekolah. Aturan-aturan di sekolah dilonggarkan dan tidak perlu mengikat kepada guru. (3). Disiplin yang dibangun berdasarkan konsep kebebasan yang terkendali yaitu memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada guru untuk berbuat, tetapi konsekwensi dari perbuatan itu haruslah dapat dipertanggung jawabkan (Imron, 1995)
Penerapan model disiplin di atas, diikuti dengan teknik-teknik alternatif pembinaan disiplin guru yaitu : (1). Pembinaan dengan teknik external control yaitu pembinaan yang dikendalikan dari luar. (2). Pembinaan dengan teknik internal control yaitu diupayakan agar guru dapat mendisiplinkan dirinya sendiri. Guru disadarkan akan pentingnya disiplin. (3). Pembinaan dengan teknik cooperative control yaitu Pembinaan ini model ini, menuntut adanya saling kerjasama antara guru dengan orang yang membina dalam menegakkan disiplin.
Perilaku disiplin dalam kaitan dengan kinerja guru sangat erat hubungannya karena hanya dengan kedisiplinan yang tinggilah pekerjaan dapat dilakukan sesuai dengan aturan-aturan yang ada. Untuk itu dalam upaya mencegah terjadinya indisipliner perlu ditindak lanjuti dengan meningkatkan kesejahteraan guru, memberi ancaman, teladan kepemimpinan, melakukan tindakan korektif, memelihara tata tertib, memajukan pendekatan positif terhadap disiplin, pencegahan dan pengendalian diri (Zahera Sy, 1998). Hal tersebut dipertegas oleh Nainggolan H. (1990) bahwa upaya-upaya untuk menegakkan disiplin antara lain: (1). Memajukan tindakan postif, (2). Pencegahan dan penguasaan diri, (3). Memelihara tata tertib.
Kedisiplinan yang baik ditunjukan guru dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya akan memperlancar pekerjaan guru dan memberikan perubahan dalam kinerja guru ke arah yang lebih baik dan dapat dipertanggung jawabkan. Kondisi ini bukan saja berpengaruh pada pribadi guru itu sendiri dan tugasnya tetapi akan berimbas pada komponen lain sebagai suatu cerminan dan acuan dalam menjalankan tugas dengan baik dan menghasilkan hasil yang memuaskan.
7.     Kesejahteraan
Faktor kesejahteraan menjadi salah satu yang berpengaruh terhadap kinerja guru di dalam meningkatkan kualitasnya sebab semakin sejahteranya seseorang makin tinggi kemungkinan untuk meningkatkan kerjanya. Mulyasa (2002) menegaskan bahwa terpenuhinya berbagai macam kebutuhan manusia, akan menimbulkan kepuasan dalam melaksanakan apapun tugasnya.
Menurut Supriadi (1999) bahwa tingkat kesejahteraan guru di Indonesia sangat memprihatinkan, hanya setara dengan kondisi guru di negara miskin di Afrika. Rendahnya tingkat kesejahteraan tersebut akan semakin tampak bila dibandingkan dengan kondisi guru di negara lain. Di negara maju, gaji guru umumnya lebih tinggi dari pegawai yang lain, sementara di Indonesia justru sebaliknya.
Profesionalitas guru tidak saja dilihat dari kemampuan guru dalam mengembangkan dan memberikan pembelajaran yang baik kepada peserta didik, tetapi juga harus dilihat oleh pemerintah dengan cara memberikan gaji yang pantas serta berkelayakan. Bila kebutuhan dan kesejahteraan para guru telah layak diberikan oleh pemerintah, maka tidak akan ada lagi guru yang membolos karena mencari tambahan diluar (Denny Suwarja, 2003). Hal itu tersebut dipertegas Pidarta (1999) yang menyatakan bahwa rata-rata gaji guru di negara ini belum menjamin kehidupan yang layak. Hampir semua guru bekerja di tempat lain sebagai sambilan disamping pekerjaannya sebagai guru tetap disuatu sekolah. Malah ada juga guru-guru yang melaksanakan pekerjaan sambilan lebih dari satu tempat bahkan ada yang bekerja sambilan tidak di bidang pendidikan. Hal ini bisa dimaklumi karena mereka ingin hidup layak bersama keluargannya.
Dunia guru masih terselingkung dua masalah yang memiliki mutual korelasi yang pemecahannya memerlukan kearifan dan kebijaksanaan beberapa pihak terutama pengambil kebijakan yaitu: (1). Profesi keguruan kurang menjamin kesejahteraan karena rendah gajinya. Rendahnya gaji berimplikasi pada kinerjanya. (2). Profesionalisme guru masih rendah (Adiningsih, 2002).
Journal PAT (2001) menjelaskan bahwa di Inggris dan Wales dalam meningkatkan profesionalisme guru pemerintah mulai memperhatikan pembayaran gaji guru diseimbangkan dengan beban kerjanya. Analisa tingkat institusi menyatakan bahwa hubungan antara kepuasan dan performan rasanya nyata, pendidik yang terpuaskan pada tingkat yang lebih tinggi memiliki performan pada tingkat yang lebih tinggi dari pendidik yang berada pada tingkat tidak terpuaskan. Hal tersebut dipertegas Arthur H. Braifiled and Walter H. Crockett (dalam Sutaryadi, 2001) yang menyatakan bahwa memang terdapat korelasi positif antara kepuasan kerja dengan performan kerja namun pada tingkat rendah.
Peningkatan kesejahteraan berkaitan erat dengan insentif yang diberikan pada guru. Insentif dibatasi sebagai imbalan organisasi pada motivasi individu, pekerja menerima insentif dari organisasi sebagai pengganti karena dia anggota yang produktif dengan kata lain insentif adalah upah atau hukuman yang diberikan sebagai pengganti kontribusi individu pada organisasi. Menurut Chester l. Barnard (dalam Sutaryadi, 2001) menyatakan bahwa insentif yang tidak memadai berarti mengubah tujuan organisasi.
Dari uraian di atas disimpulkan bahwa untuk memaksimalkan kinerja guru langkah strategis yang dilakukan pemerintah yaitu memberikan kesejahteraan yang layak sesuai volume kerja guru, selain itu memberikan insentif pendukung sebagai jaminan bagi pemenuhan kebutuhan hidup guru dan keluarganya. Program peningkatan mutu pendidikan apapun yang akan diterapkan pemerintah, jika kesejahteraan guru masih rendah maka besar kemungkinan program tersebut tidak akan mencapai hasil yang maksimal. Jadi tidak heran kalau guru di negara maju memiliki kualitas tinggi dan profesional, karena penghargaan terhadap jasa guru sangat tinggi. Adanya Jaminan kehidupan yang layak bagi guru dapat memotivasi untuk selalu bekerja dan meningkatkan kreativitas sehingga kinerja selalu meningkat tiap waktu.
8.     Iklim Kerja
Sekolah merupakan suatu sistem yang terdiri dari berbagai unsur yang membentuk satu kesatuan yang utuh. Di dalam sekolah terdapat berbagai macam sistem sosial yang berkembang dari sekelompok manusia yang saling berinteraksi menurut pola dan tujuan tertentu yang saling mempengaruhi dan dipengaruhi oleh lingkungannya sehingga membentuk perilaku dari hasil hubungan individu dengan individu maupun dengan lingkungannya.
Menurut Davis, K & Newstrom J.W (1996) bahwa sekolah dapat dipandang dari dua pendekatan yaitu pendekatan statis yang merupakan wadah atau tempat orang berkumpul dalam satu struktur organisasi dan pendekatan dinamis merupakan hubungan kerjasama yang harmonis antara anggota untuk mencapai tujuan bersama.
Interaksi yang terjadi dalam sekolah merupakan indikasi adanya keterkaitan satu dengan lainnya guna memenuhi kebutuhan juga sebagai tuntutan tugas dan tanggung jawab pekerjaannya. Untuk terjalinnya interaksi-interaksi yang melahirkan hubungan yang harmonis dan menciptakan kondisi yang kondusif untuk bekerja diperlukan iklim kerja yang baik.
Litwin dan Stringer (dalam Sergiovanni, 2001) mengemukakan bahwa Iklim mempengaruhi kinerja guru. Iklim sebagai pengaruh subyektif yang dapat dirasakan dari sistem formal, gaya informal pemimpin dan faktor-faktor lingkungan penting lainnya, yang menyangkut sikap/keyakinan dan kemampuan memotivasi orang-orang yang bekerja pada organisasi tersebut. Sedangkan menurut Henry A Marray dan Kurt Lewin (dalam Sutaryadi, 1990) mengatakan bahwa Iklim kerja adalah seperangkat karakteristik yang membedakan antara individu satu dengan individu lainnya yang dapat mempangaruhi perilaku individu itu sendiri, perilaku merupakan hasil dari hubungan antara individu dengan lingkungannya.
Iklim sekolah memegang peran penting sebab iklim itu menunjukkan suasana kehidupan pergaulan dan pergaulan di sekolah itu. Iklim itu mengambarkan kebudayaan, tradisi-tradisi, dan cara bertindak personalia yang ada di sekolah itu, khususnya kalangan guru-guru. Iklim ialah keseluruhan sikap guru-guru di sekolah terutama yang berhubungan dengan kesehatan dan kepuasan mereka (Pidarta, 1999).
Jadi Iklim kerja adalah hubungan timbal balik antara faktor-faktor pribadi, sosial dan budaya yang mempengaruhi sikap individu dan kelompok dalam lingkungan sekolah yang tercermin dari suasana hubungan kerjasama yang harmonis dan kondusif antara Kepala Sekolah dengan guru, antara guru dengan guru yang lain, antara guru dengan pegawai sekolah dan keseluruhan komponen itu harus menciptakan hubungan dengan peserta didik sehingga tujuan pendidikan dan pengajaran tercapai.
Iklim negatif menampakkan diri dalam bentuk-bentuk pergaulan yang kompetitif, kontradiktif, iri hati, beroposisi, masa bodoh, individualistis, egois. Iklim negatif dapat menurunkan produktivitas kerja guru. Iklim positif menunjukkan hubungan yang akrab satu dengan lain dalam banyak hal terjadi kegotong royongan di antara mereka, segala persoalan yang ditimbul diselesaikan secara bersama-sama melalui musyawarah. Iklim positif menampakkan aktivitas-aktivitas berjalan dengan harmonis dan dalam suasana yang damai, teduh yang memberikan rasa tenteram, nyaman kepada personalia pada umumnya dan guru khususnya. 
Terciptanya iklim positif di sekolah bila terjalinnya hubungan yang baik dan harmonis antara Kepala Sekolah dengan guru, guru dengan guru, guru dengan pegawai tata usaha, dan peserta didik. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Owens (1991) bahwa faktor-faktor penentu iklim organisasi sekolah terdiri dari (1). Ekologi yaitu lingkungan fisik seperti gedung, bangku, kursi, alat elektronik, dan lain-lain, (2). Milieu yakni hubungan sosial, (3). Sistem sosial yakni ketatausahan, perorganisasian, pengambilan keputusan dan pola komunikasi, (4). Budaya yakni nilai-nilai, kepercayaan, norma dan cara berpikir orang-orang dalam organisasi.
Sedangkan Menurut Steers (1975) bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi iklim kerjasama di sekolah adalah :
(1). Struktur tugas, (2). Imbalan dan hukuman yang diberikan, (3). Sentralisasi keputusan, (4). Tekanan pada prestasi, (5). Tekanan pada latihan dan pengembangan, (6). Keamanan dan resiko pelaksanaan tugas, (7). Keterbukaan dan Ketertutupan individu, (8). Status dalam organisasi, (9). Pengakuan dan umpan balik, (10). Kompetensi dan fleksibilitas dalam hubungan pencapaian tujuan organisasi secara fleksibel dan kreatif.
Terbentuknya iklim yang kondusif pada tempat kerja dapat menjadi faktor penunjang bagi peningkatan kinerja sebab kenyamanan dalam bekerja membuat guru berpikir dengan tenang dan terkosentrasi hanya pada tugas yang sedang dilaksanakan.


















BAB III
PERUBAHAN PARADIGMA PERAN GURU

1.     Tantangan Pendidikan di era Perubahan
Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan teknologi yang sangat cepat selama ini membawa dampak terhadap terhadap jarak antar bangsa didunia sehingga fenomena ini bersifat global. Perkembangan dan tatanan ekonomi dunia sedang merobah kearah perdagangan dan investasi bebas. General Agreement of Tariff and Trade (GATT) yang selanjutnya berkembang menjadi World Trade Organization (WTO), serta dibentuknya perdagangan regional seperti European Economics Community (EEC), North American Free Trade Area (NAFTA), dan Asia Pasific Economic Cooperation (APEC) merupakan bentuk nyata perdagangan global yang bebas dan makin terbuka. Hal ini akan membawa implikasi bahwa pasar domestik akan menjadi bagian dari pasar dunia sehingga gejolak yang terjadi dalam ekonomi global berpengaruh pada pasar domestik. Untuk menghadapi persaingan yang makin ketat haruslah didukung kualitas sumber daya manusia yang unggul dan komitmen terhadap nilai-nilai.(Idris, J. 2005).
Akibat pengaruh globalisasi menghadirkan problem baru berupa kesenjangan antara kemajuan IPTEK sekarang dengan kurikulum sekolah. Dilain pihak motivasi dan minat belajar siswa masih rendah mengakibatkan kualitas lulusan sebagai hasil pendidikan cenderung merendah pula. Wacana mutu pendidikan yang tak menggembirakan itu terindikasi pada tahun 2000 lalu sebuah organisasi dunia International Association of Educational Evaluation in Achievemnt (IEA) menerbitkan hasil survei prestasi belajar matematika dan IPA bagi siswa sekolah Usia 13 tahun pada 42 negera menempatkan negara kita berada pada posisi yang kurang menggembirakan.
      Pelaksanaan pendidikan kita selama ini telah menempatkan kata-kata dan semboyan baku yang mengagumkan namun seperti apa dan bagaimana manusia yang cerdas dan seutuhnya justru tidak ditemukan dalam paham pendidikan kita. Kehampaan visi dan filosofi tersebut membuat fokus perhatian hanya tertuju pada masalah metodologi sedangkan inti yang sebenarnya (ruh pendidikan) belum tersentuh.
Mutu hanya terwujud jika proses pendidikan di sekolah benar-benar menjadikan siswa belajar dan belajar sebanyak mungkin. Mutu pendidikan harus dilihat dari kemampuan belajar siswa secara mandiri. Pengetahuan apapun yang mereka kuasai adalah hasil belajar yang mereka lalukan sendiri (Novak & Gowin, 1984, Arend, 2001 dalam Jalaluddin).
Persoalannya sekarang adalah bagaimana menemukan pendekatan yang terbaik untuk menyampaikan berbagai konsep yang diajarkan di dalam mata pelajaran tertentu sehingga semua siswa dapat menggunakan dan mengingat lebih lama konsep tersebut. Bagaimana setiap individual mata pelajaran dipahami sebagai bagian yang saling berhubungan dan membentuk satu pemahaman yang utuh bagaimana seorang guru dapat berkomunikasi secara efektif dengan siswanya yang selalu bertanya-tanya tentang alasan dari sesuatu, arti dari sesuatu dan hubungan dari apa yang mereka pelajari. Bagaimana guru dapat membuka wawasan berpikir yang beragam dari seluruh siswa sehingga mereka dapat mempelajari berbagai konsep dan cara mengaitkannya dengan kehidupan nyata, sehingga dapat membuka berbagai pintu kesempatan selama hidupnya. Hal ini merupakan tantangan yang dihadapi guru setiap hari dan tantangan bagi pengembangan kurikulum.

2.     Reorientasi Paradigma pendidikan yang Diinginkan
Untuk menjawab perubahan-perubahan yang terjadi dalam persaingan global sekarang ini maka seyogyanya perubahan perkembangan kehidupan diikuti pula dengan perubahan orientasi pendidikan hal ini penting dilakukan sebagai langkah antisipasi dan tindakan adaptasi guna mempertahankan eksisitensi dalam persaingan global. Untuk itu perubahan paradigma pendidikan yang diperlu diperhatikan seperti (1) dari schooling ke learning dimana implikasinya kearah belajar siswa aktif sehingga perlu membuat suasana belajar inovatif dan kreatif dan juga harus mampu menguasai umlti medote/multi media untuk mendorong siswa bereksplorasi, belajar dari mengamati ke menjelaskan; (2). Dari knowledge based learning ke comptenesi based learning dimana pembelajaran tidak disadarkan pada pencapaian perolehan produk pengetahuan tetapi pada penguasaan keterampilan sehingga tidak menerima pengetahuan tetapi membangun pengetahuan; (3). Dari instructive ke facilitative terjadi perubahan dari ekspositorik ke penemuan, inkuiri dan problem solving.
Paradigma pendidikan Indonesia saat ini adalah ingin membangun manusia seutuhnya sehingga proses pendidikan mengarah pada empat macam olah yaitu pertama : potensi olah hati dimaksudkan membangun manusia indonesia yang beriman dan bertaqwa yang baik memiliki asas yang mulia dan berbudi pekertiluhur, Kedua : olah pikir dimana melalui olah pikir diharapkan bisa dibangun manusia yang intelektual secara akademis, menguasai ilmu poengetahuan dan teknologi, ketiga : olah rasa dimaksudkan untuk membangun manusia yang halus perasaan, bisa berapresitif, bisa mensyukuri dan bisa mengekspresikan keindahan sehingga pendidikan dengan keindahan (pendidikan seni) menjadi sama pentingnya dengan pendidikan hati dengan pendidikan pikir dan Keempat : olah raga dimaksudkan menabguna manusia dengan basis fisik yang tangguh, kalau fisik tidak sehat, tidak bugar, bagaimana bisa memiliki produktivitas yang tinggi karenanya olah ragapun menjadi penting di dalam pendidikan. Jadi pendidikan yang diinginkan sekarang ini mengembangkan manusia yang komprehensif, mempunyai kecerdasan komprehensif, cerdas hati, cerdas rasa, cerdas pikir,m cerdas rasa dan cerdas raga. (Pengarahan Mentri Pendidikan nasional pada kegiatan rakor pembanguan dan evaluasdi pendidikan Riau Kamis 15 Desember 2005 Koran Berita)
 Mencermati hal demikian maka pendidik bukan lagi sekedar pengajar tetapi pendidik adalah agen pembelajaran yang membantu peserta didik yang secara mandiri mengembangkan potensi dirinya melalui olah bathin, olah pikir, olah rasa dan olah raga. Sehingga pemerintah menetapkan perntahapan dalam dunia pendidikan dari tahun 2005 sampai tahun 2025 antara lain tahun 2005 – 2010 adalah pentahapan modernisasi dan peningkatan kapasitas pendidikan, tahun 2010-2015 peningkatan kapasistas dan mutu pendidikan, tahun 2015 -2020 peningkatan mutu, relevansi dan kompetitif dan tahun 2020 – 2025 pematangan. Pentahapan tersebut sinergi dengan kebijakan pokok pendidikan indonesia yaitu pertama meningkatkan dan memeratakan partisipasi atau akses pendidikan maksudnya untuk menciptakan keadilan dan pendidikan dengan memeratakan dan meningkatkan akses pendidikan; Kedua mewujudkan pendidikan masyarakat yang bermutu, berdaya saing, relevan dengan kebutuhan masyarakat mengadung makna bahwa out put pendidikan yang dihasilkan haruslah bermutu, relevan, dan berdaya saing, Ketiga mewujudkan sistem pengelolaan pendidikan yang efektif, efisien, akuntabel dengan menekankan pada peranan desentralisasi dan otonomi pendidikan pada setiap jenjang pendidikan dimasyarakat dan meningkatkan citra publik.
Strategi yang harus dilakukan demi terwujudnya visi dan misi pendidikan nasional antara lain dengan pengembangan dan pelaksanaan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dan proses pembelajaran yang mendidik dan dialogis. Kompetensi dikembangkan untuk memberikan keterampilan dan keahlian bertahan hidup dalam perubahan, pertentangan, ketidakmenentuan, ketidakpastian, dan kerumitan dalam kehidupan. Kurikulum berbasis kompetensi ditujukan untuk menciptakan tamatan yang kompeten dan cerdas dalam membangun identitas budaya dan bangsanya.
Sejalan dengan pengembangan kurikulum tersebut maka fondasi pendidikan yang dijadikan pilar pendidikan pada era reformasi dan jaringan dalam meraih dan merebut pasar internasional yaitu Learning to know (belajar mengetahui), learning to do (belajar melakukan), learning to beacame (belajar menjadi diri sendiri) dan learning togather (belajar hidup dalam kebersamaan).
3.     Hakekat Belajar Mengajar dalam KBK
      Selama ini mengajar dianggap sebagai upaya memberikan informasi atau upaya untuk meragakan cara menggunakan sesuatu, atau untuk memberi pelajaran melalui mata pelajaran tertentu. Kegiatan belajar mengajar mirip seperti kegiatan menjual dan membeli. Artinya, kegiatan menjual baru berlangsung kalau ada kegiatan membeli. Begitu juga dengan kegiatan mengajar – belajar. Guru baru mengajar kalau siswa belajar. mengacu pada pandangan constructivism, belajar adalah peristiwa dimana pebelajar secara terus menerus membangun gagasan baru atau memodifikasi gagasan lama dalam struktur kognitif yang senantiasa disempurnakan. Pandangan ini sejalan dengan pandangan Raka Joni (1993), ahli pendidikan Indonesia, yang mengungkapkan titik pusat hakekat belajar sebagai ‘pengetahuan-pemahaman’ yang terwujud dalam bentuk pemberian makna secara konstruktivistik oleh pebelajar kepada pengalamannya melalui berbagai bentuk pengkajian yang memerlukan pengerahan berbagai keterampilan kognitif di dalam mengolah informasi yang diperoleh melalui alat indera.
      Kalau begitu, dengan pandangan progresif ini, peristiwa ‘belajar’ tidak cukup sekedar dicirikan dengan menggali informasi temuan ilmuwan (baca mengkaji materi sejumlah mata pelajaran) tetapi siswa perlu dikondisikan supaya berperilaku seperti ilmuwan dengan senantiasa menggunakan metoda ilmiah dan memiliki sikap ilmiah sewaktu menyelesaikan masalah. Dengan demikian, peristiwa belajar meliputi membaca, mendengar, mendiskusikan informasi (reading and listening to science), dan melakukan kegiatan ilmiah (doing science) termasuk melakukan .kegiatan pemecahan masalah.
Ini berarti, hakekat ‘mengajar’ dan ‘belajar’ bergeser dari kutub dengan makna tradisional ke kutub dengan makna progresif. Kegiatan ‘belajar’ bergeser dari ‘menerima informasi’ ke ‘membangun pengetahuan’ dan kegiatan ‘mengajar’ bergeser dari ‘mentransfer informasi’ ke ‘mengkondisikan sehingga peristiwa belajar berlangsung’. Kalau begitu, pernyataan guru tentang ‘seberapa jauh kurikulum sudah disajikan (target kurikulum)’ lebih tepat diganti dengan ‘seberapa jauh kurikulum sudah dikuasai, dipahami, dan ‘dibangun’ siswa (target pemahaman)’.
Implikasi pandangan ini, kegiatan mengajar yang lazim perlu dimodifikasi dan diubah. Misalnya pada kegiatan mengajar sains, tidak cukup hanya melalui telling science tetapi perlu mengembangkan kegiatan yang bersifat doing science atau kegiatan-kegiatan yang mendorong siswa untuk mengembangkan thinking skill dan bahkan tidak hanya memperluas wawasan kognitif tetapi juga menyentuh ranah afektif, psikomotor, dan juga metakognitif. Ranah yang terakhir ini para ahli pendidikan sering menyebutnya sebagai kemampuan tentang ‘belajar bagaimana belajar’ (learn how to learn).
4.     Pendekatan Pembelajaran sebagai Fokus Perhatian Guru
      Pendekatan pembelajaran harus menciptakan suasana teaching-learning yang dapat menumbuhkan rasa dari tidak tahun menjadi tahu dan guru memposisikan diri sebagai pelatih dan fasilitator. Kehadiran KBK mengharuskan guru untuk lebih berbenah diri mempersiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan tugasnya sebab berdasarkan pengamatan selama ini proses belajar disekolah lebih ditandai oleh proses mengajar guru melalui ceramah dan proses belajar siswa melalui menghafal. Dalam konteks pembelajaran yang berorietnasi pada KBK fokus perhatian guru tidak lagi sebagai destroyer (pengganggu peristiwa belajar) tetapi sebagai fasilitator (Mempermudah peristiwa belajar) yang lebih dicirikan dengan disediakannya peluang seluas-luasnya bagi anak untuk mengembangkan gagasan kreatif supaya anak selalu aktif menyempurnakan gagasan miskonsepsi sambil membangun pengetahuan yang lebih ilmiah. Sejalan dengan itu guru senantiasa melatih anak untuk memliki keterampilan dan sikap tertentu agar dirinya mampu dan mau belajar sepanjang hayat. Kebiasaan siswa selama ini masih menganut budaya konsumtif dinatarnya kebiasaan siswa menerima informasi secara pasif seperti mencacat, mendengar, meniru yang seharusnya akan diubah pada pola budaya produktif dimana siswa terbiasa untuk menghasilkan gagasan/karya seperti merancang/membuat model, penelitian, memecahkan masalah dan menemukan gagasan baru.
Perubahan peran guru akan bisa dilakukan bilama guru memahami hakekat pembelajaran yang dinginkan dalam kurikulum berbasis kompetensi misalnya pembelajaran bisa terjadi di dalam dan diluar kelas dengan metode yangn bervariasi, maknanya pembelajaran dengan pola ini berdasarkan pada kompetensi dasar yang harus dicapai sehingga pendekatan pembelajaran dalam kurikulum berbasis kompetensi menuntut guru untuk memperhatikan beberapa hal sebagai berikut :
a.      Merencanakan pembelajaran sesuai dengan kewajaran perkembangan mental (developmentally appropriate) siswa. Hubungan antara isi kurikulum dan metodologi yang digunakan dalam pembelajaran. Hubungan antara isi kurikulum dan metodelogi yang digunakan dalam pembelajaran harus didasarkan pada kondisi sosial emosional dan perkembangan intelektual siswa. Jadi usia siswa dan karakteristik individual lainya serta kondisi sosial dan lingkungan budaya siswa haruslah menjadi perhatian didalam merencanakan pembelajaran.
b.     Membetnuk group belajar yang saling tergantung(interdependent learning group). Siswa saling belajar dari sesamanya di dalam kelompok kecil dan bekerjasama dalam tim lebih besar merupakan bentuk kerjasama yang diperlukan oleh orang dewasa di tempat kerja dan konteks lain.
c.      Menyediakan lingkungan yang mendukung pembelajaran mandiri (self regulated learing) yang memiliki tiga karakteristik yaitu kesadaran berpikir , penggunaan strategi dan motivasi berkelanjutan. Berdasarkan hasil penelitian bahwa siswa usia 5 – 16 tahun secara bertahap mengalami perkembangan kesadaran terhadap keadaan pengetahuan yang dimilikinya, karakteristikl tugas-tugas yang mempengaruhi pembelajarannya secara individual dan startegi belajarnya. Guru harus menciptakan suatu lingkungan dimana siswa dapat merefleksikan bagaimana mereka belajar, menyelesaikan tugas-tugas sekolah, menghadapi hambatan dan bekerjasama secara harmonis dengan yang lain
d.     Mempertimbangkan keragaman siswa (diversity of student) didalam kelas guru harus mengajar siswa dengan berbagai keragamannya misalnya latar belakang suku bangsa, status sosial ekonomi, bahasa utama yang dipakai dirumah dan berbagai kekurangan yang mungkin mereka miliki.
e.      Memperhatikan multi-intelegensi (multiple intelegensi) siswa. Dengan penggunakan pendekatan pembelajaran, cara siswa berpartisipasi di dalam kelas harus mempertimbangkan delapan latar kecerdasanya yaitu : Liguistic, logical-matematical, spatial bodily-kinaesthetic, misical, interpersoanl dan intrapersonal. Untuk itu guru harus memadukan berbagai strategi pendekatan pembelajaran yang tentunya mengurangi dominasi guru.
f.       Menggunakan teknik-teknik bertanya yang meningkatkan pembelajaran siswa, perkembangan pemecahan masalah dan keterampilan tingkat tinggi.
g.      Menerapkan penilaian autentik (authentic assessment) penilaian autentik mengevaluasi penerapan pengetahuan dan berpikir kompleks seorang siswa, dari pada hanya sekedar hafalan informasi factual. Kondisi alamiah pembelajaran secara kontekstual memerlukan penilaian interdisipliner yang dapat mengukur pengetahuan dan keterampilan lebih dalam dan dengan cara yang bervariasi dibandingkan dengan

5.  Visi dan Kompetensi Guru
Guru harus memiliki visi yang tepat dan berbagai aksi inovatif. Visi tanpa aksi adalah bagaikan sebuah impian, aksi tanpa visi bagaikan perjalanan tanpa tujuan dan membuang-buang waktu saja. Visi dan aksi dapat mengubah dunia. Guru dengan visi yang tepat memiliki pandangan yang tepat tentang pembelajaran yaitu (1) pembelajaran merupakan jantung dalam proses pendidikan, sehingga kualitas pendidikan terletak pada kualitas pembelajarannya, dan sama sekali bukan pada aksesoris sekolah, (2) pembelajaran tidak akan menjadi baik dengan sendirinya, melainkan melalui proses inovasi tertentu, sehingga guru dituntut melakukan berbagai pembaruan dalam hal pendekatan, metode, tehnik, strategi, langkah-langkah, media pembelajaran mengubah “status quo” agar pembelajaran menjadi lebih berkualitas, dan (3) harus dilaksanakan atas dasar pengabdian, sebagaimana pandangan bahwa pendidikan merupakan sebuah pengabdian, bukan sebagai sebuah proyek. Guru dengan aksi inovatif dan mandiri memiliki pandangan sebuah harapan tidak akan berarti apa-apa bilamana tidak diiringi dengan berbagai program kerja pembaruan menuju pembelajaran yang berkualitas (Bafadal I, 2003).
Keberadaan visi bagi guru sangat penting dalam menapaki pekerjaan yang lebih baik. Ketercapaian predikat guru yang profesional tidak serta merta diperoleh begitu saja paling tidak guru harus memiliki perspektif atau cara pandang tentang tugas dan tanggung jawabnya sebagi guru yang lebih komprehensif, hal ini berarti visi guru harus mengikuti irama perkembangan dan perubahan yang terjadi. Secara sederhana ada tiga visi yang harus dimiliki guru antara lain pertama visi jangka panjang yang selalu berorientasi pada tujuan akhir dalam setiap langkah yang diperbuat. Melakukan sesuatu secara optimal dan sungguh-sungguh, memiliki kendali diri dan sosial karena telah memiliki kesadaran akan adanya tujuan akhir dari kehidupan ini. Memiliki kepastian akan masa depan dan ketenangan bathiniah yang tinggi yang tercipta oleh keyanian akan adanya tujuan hidup. Kedua Visi jangka menengah, yang selalu berorietnasi pada keberhasilan atas segala yang diperbuat, keinginan untuk mencapai prestasi yang terbaik selalu menjadi cita-cita dan tujuan guru. Ketiga visi jangka pendek yang selalu berorientasi pada setiap waktu untuk melakukan kegiatan yang terbaik demi memajukan peserta didik dan meraih keberhasilan dan prestasi yang dicita-citakan.
Untuk nopang ketercapaian visi tersebut, guru harus harus mempunyai kompetensi yang dipersyaratkan guna melaksanakan profesinya agar mencapai hasil yang memuaskan. Kompetensi tersebut diantaranya pertama kompetensi paedagogik adalah kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran peserta didik yang meliputi pemahaman terhadap peserta didik, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya; kedua kompetensi kepribadian adalah karakteristik pribadi yang harus dimiliki guru sebagai individu yang mantap, stabil, dewasa, arif dan beribawa, menjadi tauladan bagi peserta didik, dan berahlak mulia; ketiga kompetensi profesional adalah kemampuan guru dalam menguasai materi pelajaran secara luas dan mendalam yang memungkinkan mereka membimbing peserta didik dalam menguasaoi nateri yang diajarkan; keempat kompetensi sosial adalah kemampuan guru untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif, berinteraksi dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua/wali peserta didik dan mayarakat sekitar.
 Kompetensi itu dipandang perlu sebagai bagian atau komponen yang tidak terpisahkan dari eksistensi guru dalam melaksanakan profesinya sebab pekerjaan guru tidak gampang dan tidak sembarangan dilaksanakan melainkan harus memenuhi beberapa persyaratan sebagai pendung dan penunjang pelaksanaan profesi. Jika guru tidak mempunyai kompetensi yang dipersyaratkan sangat mustahil akan terwujud pelaksanaan kegiatan proses pendidikan di sekolah akan menjadi lebih baik dan terarah. Kompetensi tersebut merupakan modal dasar bagi guru dalam membina dan mendidik peserta didik sehingga tercapai mutu pendidikan yang akan menghasilkan peserta didik yang memiliki pengetahuan, sikap dan keterampilan yang paripurna.













BAB IV
LANGKAH STRATEGIS
MENINGKATKAN KINERJA GURU

Kinerja guru yang ditunjukkan dapat diamati dari kemampuan guru dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya yang tentunya sudah dapat mencermikan suatu pola kerja yang dapat meningkatkan mutu pendidikan kearah yang lebih baik. Seseorang akan bekerja secara profesional bilamana memiliki kemampuan kerja yang tinggi dan kesungguhan hati untuk mengerjakan dengan sebaik-baiknya. Sebaliknya, seseorang tidak akan bekerja secara profesional bilamana hanya memenuhi salah satu diantara dua persyaratan di atas. Jadi betapapun tingginya kemampuan seseorang, ia tidak akan bekerja secara profesional apabila tidak memiliki kepribadian dan dedikasi dalam bekerja yang tinggi. Guru yang memiliki kinerja yang baik tentunya memiliki komitmen yang tinggi dalam pribadinya artinya tercermin suatu kepribadian dan dedikasi yang paripurna. Tingkat komitmen guru terbentang dalam satu garis kontinum, bergerak dari yang paling rendah menuju paling tinggi.
Guru yang memiliki komitmen yang rendah biasanya kurang memberikan perhatian kepada murid, demikian pula waktu dan tenaga yang dikeluarkan untuk meningkatkan mutu pembelajaran yang sangat sedikit. Sebaliknya seseorang guru yang memiliki komitmen yang tinggi biasanya tinggi sekali perhatiannya dalam bekerja. Demikian pula waktu yang disediakan untuk peningkatan mutu pendidikan sangat banyak. Sedangkan tingkat abstraksi yang dimaksudkan di sini adalah tingkat kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran, mengklarifikasi masalah-masalah pembelajaran, dan menentukan alternatif pemecahannya. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Glickman (dalam Bafadal I, 2003) yang menyatakan bahwa “guru yang memiliki tingkat abstraksi yang tinggi adalah guru yang mampu mengelola tugas, menemukan berbagai permasalahan dalam tugas dan mampu secara mandiri memecahkannya”.
Langkah strategis dalam upaya meningkatkan kinerja guru dapat dilakukan melalui beberapa terobosan antara lain :
1.     Kepala Sekolah harus memahami dan melakukan tiga fungsi sebagai penunjang peningkatan kinerja guru antara lain :
a.      Membantu guru memahami, memilih dan merumuskan tujuan pendidikan yang dicapai.
b.     Mendorong guru agar mampu memecahkan masalah-masalah pembelajaran yang dihadapi dan dapat melihat hasil kerjanya.
c.      Memberikan pengakuan atau penghargaan terhadap prestasi kerja guru secara layak, baik yang diberikan oleh kepala sekolah maupun yang diberikan semasa guru, staf tata usaha, siswa, dan masyarakat umum maupun yang diberikan pemerintah.
d.     Mendelegasikan tanggung jawab dan kewenangan kerja kepada guru untuk mengelola proses belajar mengajar dengan memberikan kebebasan dalam perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi hasil belajar.
e.      Membantu memberikan kemudahan kepada guru dalam proses pengajuan kenaikan pangkatnya sesuai dengan peraturan yang berlaku.
f.       Membuat kebijakan sekolah dalam pembagian tugas guru, baik beban tugas mengajar, beban administrasi guru maupun beban tugas tambahan lainnya harus disesuaikan dengan kemampuan guru itu sendiri.
g.      Melaksanakan tehnik supervisi yang tepat sesuai dengan kemampuannya dan sesuai dengan keinginan guru-guru secara berkesinambungan dalam upaya memperbaiki dan meningkatkan kemampuan guru dalam proses pembelajaran.
h.     Mengupayakan selalu meningkatkan kesejahteraannya yang dapat diterima guru serta memberikan pelayanan sebaik-baiknya.
i.       Menciptakan hubungan kerja yang sehat dan menyenangkan dilingkungan sekolah baik antara guru dengan kepala sekolah, guru dengan guru, guru dengan siswa, guru dengan tata usaha maupun yang lainnya.
j.        Menciptakan dan menjaga kondisi dan iklim kerja yang sehat dan menyenangkan di lingkungan sekolah, terutama di dalam kelas, tempat kerja yang menyenangkan, alat pelajaran yang cukup dan bersifat up to date, tempat beristirahat di sekolah yang nyaman, kebersihan dan keindahan sekolah, penerangan yang cukup dan masih banyak lagi.
k.     Memberiukan peluang pada guru untuk tumbuh dalam meningkatkan pengetahuan, meningkatkan keahlian mengajar, dan memperoleh keterampilan yang baru.
l.       Mengupayakan adanya efek kerja guru di sekolah terhadap keharmonisan anggota keluarga, pendidikan anggota keluarga, dan terhadap kebahagiaan keluarganya.
m.   Mewujudkan dan menjaga keamanan kerja guru tetap stabil dan posisi kerjanya tetap mantap sehingga guru merasa aman dalam pekerjaannya.
n.     Memperhatikan peningkatan status guru dengan memenuhi kelengkapan status berupa perlengkapan yang mendukung kedudukan kerja guru, misalnya tersediahnya ruang khusus untuk melaksanakan tugas, tempat istirahat khusus, tempat parkis khusus, kamar mandi khusus dan sebagainya. ( Junaidin, 2006).
o.     Menggerakkan guru-guru, karyawan, siswa dan anggota masyarakat untuk mensukseskan program-program pendidikan di sekolah.
p.     Menciptakan sekolah sebagai lingkungan kerja yang harmonis, sehat, dinamis dan nyaman sehingga segenap anggota dapat bekerja dengan penuh produktivitas dan memperoleh kepuasan kerja yang tinggi.
Langkah lain yang dilakukan oleh sekolah untuk meningkatkan kinerja guru melalui peningkatan pemanfaatan teknologi informasi yang sedang berkembang sekarang ini dan mendorong guru untuk menguasainya. Melalui teknologi informasi yang dimiliki baik oleh daerah maupun oleh individual sekolah, guru dapat melakukan beberapa hal diantaranya : (1) melakukan penelusuran dan pencarian bahan pustaka, (2) membangun Program Artificial Intelligence (kecerdasan buatan) untuk memodelkan sebuah rencana pengajaran, (3) memberi kemudahan untuk mengakses apa yang disebut dengan virtual clasroom ataupun virtual university,  (4) pemasaran dan promosi hasil karya penelitian.
Dengan memanfaatkan teknologi informasi maka guru dapat secara cepat mengakses materi pengetahuan yang dibutuhkan sehingga guru tidak terbatas pada pengetahuan yang dimiliki dan hanya bidang studi tertentu yang dikuasai tetapi seyogyanya guru harus mampu menguasai lebih dari bidang studi yang ditekuninya sehingga bukan tidak mungkin suatu saat guru tersebut akan mendalami hal lain yang masih memiliki hubungan erat dengan bidang tugasnya guna meningkatkan kinerja ke arah yang lebih baik.
2.     Dinas Pendidikan setempat selaku pihak yang ikut andil dalam mengeluarkan dan memutuskan kebijakan pada sektor pendidikan dapat melakukan langkah sebagai berikut :
a.      Memberikan kemandirian kepada sekolah secara utuh
b.     Mengontrol setiap perkembangan sekolah dan guru.
c.      Menganalisis setiap persoalan yang muncul di sekolah
d.     Menentukan alternatif pemecahan bersama dengan kepala sekolah dan guru terhadap persoalan yang dihadapi guru
Kinerja guru tidak dapat berdiri sendiri melainkan sangat dipengaruhi oleh faktor lain melalui interaksi sosial yang terjadi di antara diri mereka sendiri maupun dengan komponen yang lain dalam sekolah. Hal lain yang dapat dilakukan adalah melalui peningkatan moral kerja guru. Moral kerja sebagai suatu sikap dan tingkah laku yang merupakan perwujudan suatu kemauan yang dibawa serta ke sekolah dan kerjannya. Pemahaman tentang moral kerja yang belum sempurna menyebabkan tidak dapat mempengaruhi kinerja secara spesifik. Padahal moral kerja yang tinggi dapat meningkatkan semangat untuk bekerja lebih baik. Moral kerja dapat pula dipengaruhi oleh motif-motif tertentu yang bersifat subyektif maupun obyektif. Adapun yang menjadi motif untuk bekerja lebih baik adalah kebutuhan-kebutuhan (needs) yang menimbulkan suatu tindakan perbuatan yang menimbulkan suatu perbuatan (behaviour) yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut (goals).
Bafadal I (2003) memberikan suatu contoh akan pentingnya pemenuhan kebutuhan sebagai berikut :
“misalnya seseorang pasti membutuhkan makanan untuk mempertahkankan eksistensi hidupnya. Apabila tidak mendapatkan makanan orang itu akan mati kelaparan. Makanan pada konteks ini merupakan kebutuhan (needs). Oleh karena itu makanan merupakan kebutuhan yang memaksa seseorang melakukan tindakan perbuatan (behaviour)”.
Hubungan kebutuhan dan tindak perbuatan divisualisasikan melalui gambar berikut :
Kebutuhan    ====à Tindakan Perbuatan   ======è    Tujuan

Guru merupakan salah satu faktor penentu tinggi rendahnya mutu hasil pendidikan. Keberhasilan penyelenggaraan pendidikan sangat ditentukan oleh sejauh mana kesiapan guru dalam mempersiapkan peserta didiknya melalui kegiatan belajar-mengajar. Namun demikian, posisi strategis guru untuk meningkatkan mutu hasil pendidikan sangat dipengaruhi oleh kemampuan profesional mengajar dan tingkat kesejahteraannya.     
Reformasi pendidikan merupakan respons terhadap perkembangan tuntutan global sebagai suatu upaya untuk mengadaptasikan sistem pendidikan yang mampu mengembangkan sumber daya manusia untuk memenuhi tuntutan zaman yang sedang berkembang. Melalui reformasi, pendidikan harus berwawasan masa depan yang memberikan jaminan bagi perwujudan hak-hak azazi manusia untuk mengembangkan seluruh potensi dan prestasinya secara optimal.
Menurut Louis V. Gerstner, Jr.,dkk (1995) (dalam Aqib Z, 2003) mengatakan bahwa :
“Sekolah abad masa depan memiliki ciri-ciri antara lain (1) kepala sekolah yang dinamis dan komunikatif dengan kemerdekaan memimpin menuju visi keunggulan pendidikan, (2) memiliki visi, misi, dan strategi untuk mencapai tujuan yang telah dirumuskan dengan jelas, (3) guru-guru yang berkompeten damn berjiwa kader yang senantiasa bergairah dalam melaksanakan tugas profesionalnya secara inovatif, (4) siswa-siswa yang sibuk, bergairah, dan bekerja keras dalam mewujudkan perilaku pembelajaran, dan (5) masyarakat dan orang tua yang berperan serta dalam menunjang pendidikan”.
Upaya mewujudkan sisi guru dalam reformasi pendidikan beberapa asumsi dasar yang harus mendapat pertimbangan antara lain :
a.      guru pada dasarnya merupakan faktor penentu bagi keberhasilan pendidikan
b.     jumlah guru dengan kecakapan akademik yang baik, cenderung menurun di masa yang akan datang, sepanjang secara material sosial, jabatan guru tidak menarik dan menjanjikan bagi generasi muda yang memiliki kualitas akademik yang cemerlang
c.      kepercayaan masyarakat terhadap guru sangat bergantung dari persepsi yang berkenaan dengan status guru terutama yang berkaitan dengan kualitas pribadi, kualitas kesejahteraan, penghargaan material, kualitas pendidikan, dan standar profesi
d.     anggaran belanja pendidikan, imbal jasa (gaji dan tunjangan lainnya), dan kondisi kerja guru merupakan faktor yang mendasar bagi terselenggaranya pendidikan yang berkualitas dan kinerja yang efektif
e.      masyarakat dan orang tua mempunyai hak akan pendidikan yang terbaik buat anak-anaknya
f.       disisi lain guru diharapkan menunjukkan kinerja atas dasar moral dan profesional yang dapat dipertanggung jawabkan. Dalam kaitan ini, guru mempunyai keterikatan yang erat dengan kualitas dan hasil pendidikan.(Aqib Z., 2003).
Ungkapan di atas bermakna bahwa posisi guru pada era dalam reformasi pendidikan merupakan posisi yang memiliki peran besar yang harus dijalankan guru dalam mewujudkan mutu pendidikan yang lebih baik. Sehingga berbagai aspek yang dapat mempengaruhi kinerja guru perlu dilakukan perbaikan seperti kualitas kesejahteraan, kualitas moral dan kualitas profesi dan lain-lain yang dimiliki guru sebagai penentu keberhasilan pendidikan, maka tidak salah jika ada keinginan memperbaiki mutu pendidikan akan berkaitan dengan memperbaiki posisi guru.
Untuk mewujudkan kinerja guru yang profesional dalam reformasi pendidikan, secara ideal ada beberapa karakteristik citra guru yang diharapkan antara lain
a.      guru harus memiliki semangat juang yang tinggi disertai dengan kualitas keimanan dan ketaqwaan yang mantap.
b.     guru yang mampu mewujudkan dirinya dalam keterkaitan dan padanan dengan tuntutan lingkungan dan perkembangan iptek.
c.      guru yang mempunyai kualitas kompetensi pribadi dan profesional yang memadai disertai atas kerja yang kuat.
d.     guru yang mempunyai kualitas kesejahteraan yang memadai.
e.      guru yang mandiri, kreatif, dan berwawasan masa depan.
Untuk mewujudkan guru yang memiliki karakteristik seperti di atas maka perlu dilakukan langkah nyata yang dapat dilakukan pemerintah antara lain : (1) pemerintah harus ada kemauan politik untuk menempatkan posisi guru dalam keseluruhan pendidikan nasional, (2) mewujudkan sistem manajemen guru dan tenaga kependidikan lainnya yang meliputi pengadaan, pengangkatan, penempatan, pengelolaan, pembinaan, dan pengembangan secara terpadu yang sistematik, sinergik dan simbolik, (3) pembenahan sistem pendidikan guru yang lebih fungsional untuk menjamin dihasilkannya kualitas profesional guru dan tenaga kependidikan lainnya, (4) pengembangan satu sistem pengganjaran (gaji dan tunjangan lainnya) bagi guru secara adil, bernilai ekonomis, dan memiliki daya tarik sedemikian rupa sehingga merangsang guru untuk melaksanakan tugasnya dengan penuh dedikasi dan memberikan kepuasan lahir batin (Aqiz Z., 2003).
Pada era otonomi daerah, Pendapatan yang diterima guru bervariasi, baik ditinjau dari jenjang sekolah maupun lokasi daerah. Tunjangan guru di sekolah pada jenjang yang lebih rendah adalah lebih rendah dari pada tunjangan guru di sekolah yang lebih tinggi. Demikian pula, tunjangan guru di sekolah yang berada di kota adalah lebih tinggi daripada tunjangan guru di sekolah yang berada di pinggir kota dan desa. Kondisi ini disebabkan oleh perbedaan kebutuhan sekolah dan kemampuan orang tua dalam memberikan sumbangan dana terhadap sekolah. Ekonomi orang tua di perkotaan adalah cenderung lebih kuat dibandingkan dengan ekonomi orang tua di pinggir kota dan desa. Sedangkan, besarnya tunjangan kepada guru yang diberikan sekolah didasarkan atas RAPBS dan kekuatan orang tua siswa. Tunjangan kepada guru memberikan efek yang signifikan terhadap hasil belajar yang diperoleh siswa. Siswa yang berada di kota lebih berprestasi daripada siswa di pinggir kota dan desa. Demikian pula, siswa yang ada di pinggir kota lebih berprestasi dari pada siswa di desa. Meski prestasi belajar siswa dipengaruhi oleh kemampuan siswa dan daya dukung orang tua, namun presatasi tersebut juga dipengaruhi oleh tunjangan kepada guru. Tunjangan guru yang berada di kota adalah cenderung lebih besar, sehingga lebih dapat berkonsentrasi dalam mengajar. Sebaliknya, tunjangan guru di desa adalah lebih kecil dan hal ini menyebabkan konsentrasi mengajar kurang. Analisis-analisis tersebut lebih nampak pada ilustrasi studi kualitatif sebagaimana dipaparkan di bawah ini (Husin, Z. dan Sasongko R.N, 2003)
Kalau seorang guru dapat membeli pesawat televisi, radio tape, sepeda motor, dan barang-barang mewah lainnya atau mengangsur perumahan, hal itu karena utang dengan menggunakan agunan gaji mereka setiap bulan dipotong. Sedangkan gaji guru di negara lain cukup untuk kebutuhan satu bulan, berekreasi, membeli buku, dan menabung. Bila dibandingkan dengan kesejahteraan pegawai negeri sipil lain di Indonesia, secara nominal gaji guru lebih tinggi untuk golongan yang sama, misalnya sama- sama golongan III C antara pegawai negeri sipil guru dan non-guru, karena guru mendapat tambahan tunjangan fungsional. Tetapi, jam kerja pegawai negeri sipil (PNS) non-guru terbatas, sehari hanya delapan jam atau seminggu 42 jam. Sedangkan jam kerja guru tidak terbatas. memang mengajarnya hanya pukul 07.00-12.45, tetapi sebelum mengajar harus menyiapkan bahan, administratif (buat satuan pelajaran), dan setelah mengajar mereka harus mengoreksi hasil pekerjaan murid.
Disisi lain peluang untuk memperoleh pendapatan tambahan di luar gaji bagi PNS non-guru lebih terbuka karena sering ada proyek-proyek atau urusan lain dengan masyarakat. Adapun guru, peluangnya untuk memperoleh tambahan pendapatan hanya bila melakukan pungutan tambahan kepada murid atau bisnis. Namun, hal itu langsung akan mendapat respons negatif dari masyarakat. Harapan masyarakat terhadap guru memang bukan hanya perannya di dalam kelas saja, tetapi juga di luar kelas juga dapat memberikan teladan. Tetapi peran memberi teladan ini tidak pernah dihargai secara material dan sosial.
Ada delapan hal yang diinginkan oleh guru melalui kerjannya yaitu (1) adanya rasa aman dan hidup layak, (2) kondisi kerja yang diinginkan, (3) rasa keikutsertaan, (4) rerlakuan yang wajar dan jujur, (5) rasa mampu, (6) pengakuan dan penghargaan atas sumbangan, (7) ikut bagian dalam pembuatan kebijakan sekolah, (8) kesempatan mengembangkan self respect (Bafadal I, 2003)
Sedangkan menurut teori kebutuhan Maslow bahwa kebutuhan manusia dibagi dalam lima tingkatan antara lain (1) kebutuhan fisiologi secara universal seperti makanan, minuman, pakaian dan perumahan, (2) kebutuhan rasa aman (safety or security needs), (3) kebutuhan Kebutuhan sosial , (4) kebutuhan harga diri (esteem or ego needs), (5) kebutuhan aktualisasi diri (self actualization needs).
Menurut Hopson and Scally (dalam Husin, Z. dan Sasongko R.N, 2003) bahwa diskursus paradigma pendidikan antara investment based vs out came based membawa implikasi imperatif terhadap penataan manajemen pendidikan di era otonomi daerah. Dalam era ini, manajemen perlu ditata secara demokratis, kreatif, dan menguntungkan bersama. Fungsi pendidikan perlu ditata ulang tidak hanya sekedar menjalankan tugas rutin mengajar. Namun lebih dari itu, yakni mewujudkan educated man yang mempunyai life skills berkulitas tinggi.





















BAB V
RELEVANSI  PENATAAN MANAJEMEN
DENGAN PENINGKATAN KINERJA GURU
Penataan manajemen pendidikan dan upaya mewujudkan manusia terdidik yang mempunyai kecakapan hidup memerlukan guru yang handal (the good high teachers). Upaya ini dapat terwujud jika kualitas dan gaji guru diperbaiki. Rasionalnya, guru yang berkualitas dengan gaji yang cukup, akan lebih kreatif, antusias, dedikatif, dan konsentrasi pada bidang pekerjaannya semata.
Untuk mengatasinya, manajemen pendidikan perlu ditata sebagai berikut (1) perlu dilakukan need assessment terhadap kebutuhan guru dan operasional sekolah yang terkait. Untuk itu Pemerintah Daerah dan Dinas Pendidikan Nasional diharapkan lebih fokus meningkatkan anggaran bagi perbaikan kualitas guru, terutama untuk gaji/pendapatan guru, studi lanjut, dan kegiatan pelatihan, (2) perlunya penerapan school based budgeting yang operasional dan out came based. Dinas Pendidikan Nasional Kabupaten /kota perlu memberikan wewenang dan pembinaan kepada sekolah untuk mengatur rumah tangganya (Husain Z dan Sosangko, 2003).
Hasil studi Fiske (1996) di Spanyol, Brazil, Argentina, New Zealand, Mexico, Chili, Cina, dan Venezuela menunjukkan bahwa sistem desentralisasi pendidikan tidak selamanya membawa berkah. Hal itu tergantung dari potensi sumber-sumber pendukung di daerah. Otonomi daerah berpotensi memberikan efek negatif bagi guru yang kreatif, sebab ia tidak bisa mengembangkan dan melaksanakan tugasnya dengan efektif. Hal itu dikarenakan mereka digaji rendah.
Untuk menata manajemen pendidikan yang efektif di era otonomi daerah, diperlukan need assessmentNeed assessment dilakukan untuk mengakomodasikan kebutuhan-kebutuhan yang sesuai dengan karakteristik daerah (Ellis, 1994).  Faktor keuangan daerah tersebut cukup dominan dalam keberhasilan otonomi.  Need assessment dilakukan terhadap kurikulum, kesiswaan, guru dan pegawai sekolah, keuangan, sarana dan prasarana, hubungan masyarakat, dan aktivitas lain yang mendukung pendidikan. 
Penataan manajemen pendidikan selanjutnya yaitu mengoperasionalkan paradigma school based management (SBM)  ke dalam school based budgeting (SBB).  Hal itu berarti penganggaran keuangan didasarkan kepada kebutuhan sekolah.  Kalau sekolah ingin menfokuskan kepada peningkatan kualitas guru, berarti membawa implikasi bahwa segala kebutuhan guru harus terakomodasi.  Misalnya pemenuhan gaji, honor, insentif, penghargaan, promosi, pemotongan birokrasi, pengembangan karier, dan sebagainya.  Penerapan school based budgeting (SBB) ini cukup efektif dalam meningkatkan kualitas guru  (Hadderman, 1999).
Penataan manajemen pendidikan, utamanya untuk perbaikan kualitas dan gaji guru memerlukan persyaratan.  Menurut Bray (1996) ada lima syarat yaitu (1) commitment, (2) collaboration, (3) concern, (4) consideration, and (5) change.  Pemerintah Daerah dan Dinas Pendidikan Nasional harus mempunyai komitmen untuk meningkatkan kualitas dan gaji guru.  Tanpa adanya leadership commitment ini otonomi daerah tidak berhasil.   Demikian pula syarat kolaborasi, juga harus dipenuhi.  Antara Pemerintah Daerah, Dinas Pendidikan Nasional, LPTK, dan lembaga lain yang terkait harus bekerja sama secara erat merencanakan dan memecahkan masalah.  Kemudian, kepedulian untuk menerapkan peningkatan juga perlu dioperasionalkan dalam praktik nyata, utamanya dukungan dana yang cukup dari Pemda.  Penyelewengan terhadap rencana harus segera dimodifikasi dengan pertimbangan yang matang, sehingga perubahan yang diharapkan dapat tercapai.  Lima persyaratan ini sesuai dengan paradigma baru, yakni out came based.
Menurut Husain Z dan Sasongko, (2003) paradigma penataan manajemen pendidikan yang efektif  di era Otonomi Daerah dapat digambarkan sebagai berikut.
Pengembangan profesi guru memiliki hubungan fungsional dan pengaruh terhadap kinerja guru karena memperkuat kemampuan profesional guru dalam melaksanakan pekerjaan. Pola pengembangan profesi yang dapat dilakukan antara lain (1) program tugas belajar, (2) program sertifikasi dan (3) penataran dan work shop. Pengembangan seperti ini mampu menempatkan guru dalam berkerja secara baik. Karena sangat tidak mungkin seorang guru yang memiliki pengetahuan sangat sempit dapat menghasilakn dan memberikan pencerahan kepada siswa yang lebih baik. Jika seorang guru memiliki pendidikan yang baik maka ada kemungkinan dalam bekerja akan selalu mempertahakan dan memperhatikan profesionalismenya karena merasa malu dengan guru yang lain yang berpendidikan rendah tetapi kinerjanya lebih baik. Perasaan ini memupuk dan memacu guru untuk lebih baik dalam bekerja.
Menurut Sahertian (dalam Ponco Dewi, 2003) bahwa pengembangan kinerja guru yang berkaitan pengembangan profesi guru dikenal adanya tiga program yakni (1) program pre-service education, (2) program in-service education, dan (3) program in-service trainning.
Program pre-service education adalah program pendidikan yang dilakukan pada pendidikan sekolah sebelum peserta didik mendapat tugas tertentu dalam suatu jabatan. Lembaga penyelenggaraan program pre-service education adalah suatu pendidikan mulai dari pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi. Pada bidang ilmu pendidikan program pre-service education diselenggarakan oleh lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK) baik non gelar maupun yang bergelar.
Program in-service education adalah program pendidikan yang mengacu pada kemampuan akademik maupun profesional sesudah peserta didik mendapat tugas tertentu dalam suatu jabatan. Bagi mereka yang sudah memiliki jabatan guru dapat berusaha meningkatkan kinerjanya melalui pendidikan lanjut yang berijasah D-2 dapat melanjutkan ke D-3, dari D-3 ke S-1, atau dari S-1 ke S-2 dan S-3 di samping itu dapat berupa jurusan tertentu ke jurusan lain. Program in-service trainning adalah suatu usaha pelatihan yang memberi kesempatan kepada orang yang mendapat tugas jabatan tertentu, dalam hal ini adalah guru, untuk mendapat pengembangan kinerja.
Pada umumnya yang paling banyak dilakukan dalam program in-service trainning adalah melalui penataran yaitu (1) penataran penyegaran yaitu usaha pengembangan kinerja guru agar sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni serta menetapkan kinerja guru agar dapat melakukan tugas sehari-hari dengan baik. Sifat penataran ini memberi penyegaran sesuai dengan perubahan yang terjadi di masyarakat agar tidak ketinggalan jaman, (2) penataran peningkatan kualifikasi adalah usaha peningkatan kemampuan guru sehingga mereka memperoleh kualifikasi formal tertentu sesuai dengan standar yang ditentukan, dan (3) penataran penjenjangan adalah suatu usaha meningkatkan kemampuan guru dalam bidang jenjang struktural sehingga memenuhi persyaratan suatu pangkat atau jabatan tertentu sesuai dengan standar yang ditentukan.
Menurut Uzer Usman (1992) bahwa kompetensi yang harus dimiliki seorang guru yaitu (1) kemampuan yang ada pada diri guru agar dapat mengembangkan kondisi belajar sehingga hasil belajar dapat tercapai dengan lebih efektif, (2) kemampuan sosial yaitu kemampuan guru yang realisasinya memberi manfaat bagi pemenuhan yang diperuntukan bagi masyarakat. (3) kompetensi profesional adalah kemampuan yang dimiliki guru sebagai pengajar yang baik.
Peningkatan kinerja guru serta kemampuan profesionalnya diarahkan pada pembinaan kemampuan dan sekaligus pembinaan komitmennya. Untuk pembinaan dapat dilakukan dalam dua hal yaitu (1) peningkatan kemampuan profesional guru melalui supervisi pendidikan, program sertifikasi dan tugas belajar yang diklasifikasikan dalam faktor pengembangan profesi, (2) pembinaan komitmen melalui pembinaan kesejahteraannya yang diklasifikasikan dalam faktor tingkat kesejahteraan.
Pidarta (1999) mengatakan merupakan kewajiban guru sebagai seorang profesional untuk mengadakan penelitian dalam profesinya. Penelitian merupakan alat utama dalam mengembangkan ilmu dan aplikasinya. Dengan penelitian guru akan menemukan materi-materi yang lebih tepat, alat yang cocok untuk mengajarkan sesuatu, cara mendidik siswa yang lebih aktif, dan cara membina kemampuan siswa secara lebih baik. Penelitian merupakan bagian dari pengembangan profesi.
Pembentukan ilkim kerja yang baik dalam penyelenggaraan sekolah memberikan nuasa bekerja yang lebih baik, guru tidak akan ragu dan tetap merasa nyaman dalam bekerja. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa suasana yang baik di tempat kerja akan meningkatkan produktivitas. Hal ini disadari dengan sebaik-baiknya oleh setiap guru dan guru berkewajiban menciptakan suasana yang demikian dalam lingkungannya. Menurut Bafadal I, (2003) bahwa untuk menciptakan suasana kerja yang baik ada dua hal yang dilakukan dan diperhatikan antara lain (1) guru sendiri, dan (2) hubungan dengan orang lain dan masyarakat sekeliling.
Terhadap guru sendiri, guru menciptakan suasana sekolah sebaik-baiknya yang menunjang berhasilnya proses pembelajaran. Oleh sebab itu guru harus aktif mengusahakan suasana itu dengan berbagai cara misalnya (1) di dalam kelas penggunaan metode mengajar yang sesuai maupun penyediaan alat belajar yang cukup serta pengaturan organisasi kelas yang mantap atau pendekatan lain yang diperlukan, (2) diluar kelas dapat menciptakan hubungan yang lebih dengan guru lain, pegawai dan Kepala Sekolah serta siswa itu sendiri. Terciptanya iklim kerja yang lebih baik tidak terlepas dari kemampuan guru dalam memahami keadaan yang terjadi disekelilingnya, guru berusaha semaksimal mungkin untuk bersikap terbuka terhadap persoalan-persoalan yang menggangu kelancaran kerjannya baik dengan guru lain maupun dengan kepala sekolah, guru harus berusaha membentuk pikiran-pikiran yang positif terhadap persoalan yang dihadapi sehingga memberikan jalan terselesaikannya persoalan secara baik dan cepat tanpa ada pihak yang dirugikan.
Menurut Pusat Inovasi Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pendidikan Nasional (2003) bahwa terdapat tiga kategori permasalahan yang berkaitan dengan peningkatan mutu guru dalam pembangunan pendidikan yaitu (1) sistem pelatihan guru, (2) kemampuan profesional, (3) profesi, jenjang karier dan kesejahteraan. Ketiga kategori peningkatan mutu guru dalam pembangunan pendidikan dapat dijelaskan sebagai berikut
  1. Untuk kategori sistem pelatihan dapat diambil langkah-langkah sebagai berikut:
    1. Perlunya revitalisasi pelatihan guru yang secara khusus dititikberatkan untuk memperbaiki kinerja guru dalam meningkatkan mutu pendidikan dan bukan untuk meningkatkan sertifikasi mengajar semata-mata; 
    2. Perlunya mekanisme kontrol penyelenggaraan pelatihan guru untuk memaksimalkan pelaksanaannya; 
    3. Perlunya sistem penilaian yang sistemik dan periodik untuk mengetahui efektivitas dan dampak pelatihan guru terhadap mutu pendidikan;
    4. Perlunya desentralisasi pelatihan guru pada tingkat kabupaten/kota sesuai dengan perubahan mekanisme kelembagaan otonomi daerah yang dituntut dalam UU No. 22/1999. 
Implikasi dari langkah-langkah yang diambil terhadap sistem pelatihan dapat berupa (1) adanya sistem pelatihan guru yang didahului dengan "need assessment" sesuai kondisi daerah masing-masing, (2) adanya sistem monitoring penyelenggaraan pelatihan guru yang dikoordinasikan dengan lembaga-lembaga pengelola pendidikan, (3) adanya lembaga swasta yang independen yang bertugas untuk melakukan penilaian-penilaian proses (formative evaluation), hasil (output/summative evaluation), dan dampak (outcome/impact evaluation) pelatihan guru, untuk menemukan model-model pelatihan guru yang efektif dan efisien dalam meningkatkan mutu pendidikan, (4) pembentukan dan pemberdayaan sentra-sentra pelatihan guru di kabupaten/kota yang juga bertugas untuk mengembangkan konten dan strategi mengajar tepat guna yang mampu meningkatkan kinerja guru dalam mengelola proses pembelajaran.
  1. Untuk kategori kemampuan profesional dapat diambil langkah-langkah sebagai berikut :
    1. Perlunya upaya-upaya alternatif yang mampu meningkatkan kesempatan dan kemampuan para guru dalam penguasaan materi pelajaran. 
    2. Perlunya tolok ukur (benchmark) kemampuan profesional sebagai acuan pelaksanaan pembinaan dan peningkatan mutu guru.
    3. Perlunya peta kemampuan profesional guru secara nasional yang tersedia di Depdiknas dan Kanwil-kanwil untuk tujuan-tujuan pembinaan dan peningkatan mutu guru.
    4. Perlunya untuk mengkaji ulang aturan/kebijakan yang ada melalui perumusan kembali aturan/kebijakan yang lebih fleksibel dan mampu mendorong guru untuk mengembangkan kreativitasnya.
    5. Perlunya reorganisasi dan rekonseptualisasi kegiatan Pengawasan Pengelolaan Sekolah, sehingga kegiatan ini dapat menjadi sarana alternatif peningkatan mutu guru. 
    6. Perlunya upaya untuk meningkatkan kemampuan guru dalam penelitian, agar lebih bisa memahami dan menghayati permasalahan-permasalahan yang dihadapi dalam proses pembelajaran.
    7. Perlu mendorong para guru untuk bersikap kritis dan selalu berusaha meningkatkan ilmu pengetahuan dan wawasan.
Implikasi terhadap langkah-langkah yang diambil terhadap kemampuan profesional dapat berupa (1) pemberdayaan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) sebagai organisasi profesi guru yang berbasis mata pelajaran secara lebih profesional, terprogram, dan secara khusus diarahkan untuk mengembangkan standardisasi konsep dan penilaian mata pelajaran secara nasional, terutama untuk mata-mata pelajaran Matematika dan IPA, (2) adanya program-program alternatif peningkatan kemampuan profesional guru dari organisasi ini, melalui modul-modul/publikasi-publikasi yang diterbitkan secara berkala, dan dibahas dalam kegiatan-kegiatan tutorial, (3) pengembangan standar kompetensi guru (SKG) sebagai tolok ukur (benchmark) kemampuan mengajar yang diberikan oleh organisasi profesi ini, (4) adanya aturan/kebijakan yang lebih fleksibel dan leluasa serta mampu memberikan motivasi bagi guru untuk semakin mengembangkan kreativitasnya, (5) adanya keterlibatan perguruan tinggi/ universitas dalam mengembangkan konsep dan memberdayakan Pengawasan Pengelolaan Sekolah, sebagai media alternatif peningkatan mutu guru, (6) melakukan pemetaan kemampuan guru di tingkat nasional secara rutin melalui "needs assessment", (7) adanya pelatihan penelitian tindakan kelas (action research) bagi para guru, sebagai produk kerja sama antara Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) yang telah diberdayakan, dengan perguruan tinggi -perguruan tinggi dan lembaga penelitian lainnya, (8) adanya credit point system terhadap karya penelitian guru yang memberikan motivasi bagi para guru untuk semakin meningkatkan minat dan kegiatan penelitiannya.
  1. Untuk kategori profesi, jenjang karier dan kesejahteraan dapat diambil langkah-langkah sebagai berikut
    1. Memperketat persyaratan untuk menjadi calon guru pada Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK).
    2. Menumbuhkan apresiasi karier guru dengan memberikan kesempatan yang lebih luas untuk meningkatkan karier.
    3. Perlunya ketentuan sistem credit point yang lebih fleksibel untuk mendukung jenjang karier guru, yang lebih menekankan pada aktivitas dan kreativitas guru dalam melaksanakan proses pengajaran.
    4. Perlunya sistem dan mekanisme anggaran yang ditujukan untuk meningkatkan pendapatan guru.
Implikasi dari langkah-langkah yang dilakukan terhadap profesi, jenjang karier dan kesejahteraan agar dapat berhasil dapat berupa (1) persyaratan akta mengajar bagi mereka, yang bukan lulusan ilmu kependidikan untuk mengajar SLTP (A2 atau Akta 2) dan SLTA (A3 atau Akta 3) agar dilaksanakan secara konsekuen, (2) perlunya suatu peraturan jenjang karier tenaga guru, baik secara struktural maupun fungsional, yang setara dengan tenaga pengajar perguruan tinggi, (3) adanya kenaikan anggaran pendidikan yang prioritasnya ditekankan pada peningkatan penghasilan guru, (4) adanya mekanisme penganggaran serta pendanaan yang secara rutin, sistematik dan bertahap memberikan peluang bagi guru untuk meningkatkan pendapatannya secara signifikan, (5) penyempurnaan ketentuan/peraturan mengenai sistem credit point yang fleksibel dan memberikan motivasi bagi guru untuk meningkatkan jenjang karier.
Pengaruh faktor kedisiplinan terhadap kinerja guru masih rendah disebabkan guru kurang menyadari akan pentingnya sikap disiplin yang harus dimiliki dan ditegakkan oleh guru. Tingkah laku guru yang timbul atau nampak di sekolah menjadi contoh bagi siswa dan komponen lain di sekolah sehingga guru dituntut harus memiliki sikap disiplin yang tinggi seperti disiplin waktu dalam proses pembelajaran, ketika waktu menunjukkan untuk mulai kegiatan pembelajaran maka guru harus memasuki kelas tidak ada lagi alasan yang membuat guru harus terlambat, jika suatu waktu guru terlambat dan tidak disiplin dalam memulai pelajaran maka siswapun akan mengikutinya. Agar disiplin menjadi faktor yang mampu meningkatkan dan mempengaruhi kinerja maka guru harus sepenuhnya menyadari akan tugas yang diembannya. Guru bebas melakukan kreasi dan mengembankan potensi yang terdapat dalam dirinya guru meningkatkan kinerjanya namun konsekuensinya harus dapat dipertanggung jawabkan secara baik, jika hal ini disadari, guru tidak akan melakukan suatu tindakan di luar koridor profesinya dan tetap memegang teguh kode etik profesi keguruan.
Pengaruh faktor antar hubungan dan komunikasi terhadap kinerja sangat rendah hal ini disebabkan karena pola hubungan atau interaksi antara komponen yang ada disekolah belum maksimal, masih terdapatnya beberapa guru yang memiliki rasa lebih tinggi dari yang lain sehingga memunculkan sifat individualisme yang berbeda-beda, sebagian guru merasa bahwa kemampuan yang dimilikinya mampu mengatasi masalah yang dihadapi dalam menjalankan tugas dan kewajibanya maka tidak perlu lagi membutuhkan bantuan orang lain. Disisi lain guru tidak menyadari akan kelemahan dan kekurangan yang dimilikinya akibat guru lebih memunculkan sifat keakuan dan terlalu percaya akan kemampuan diri sendiri tanpa melihat lebih jauh kemampuan orang lain yang jauh melebihinya. Sifat individual yang menonjol yang berkembang dikalangan guru dan komponen yang lain di sekolah berdampak terciptanya interaksi yang kurang harmonis, guru tidak saling membuka diri dan tidak bersikap luwes sebagaimana seharusnya dilakukan guru. Dampak lain akibat kurang terjalinnya hubungan dan komunikasi ialah proses pendidikan yang berlangsung di sekolah akan terganggu, program-program sekolah tidak dapat dilaksanakan serta tidak dapat memenuhi harapan dan keinginan masyarakat.
Kinerja guru akan menjadi optimal, bilamana diintegrasikan dengan komponen persekolahan, apakah itu kepala sekolah, guru, karyawan maupun anak didik. Kinerja guru akan bermakna bila dibarengi dengan niat yang bersih dan ikhlas, serta selalu menyadari akan kekurangan yang ada pada dirinya, dan berupaya untuk dapat meningkatkan atas kekurangan tersebut sebagai upaya untuk meningkatkan kearah yang lebih baik yang diikuti dengan memperbaiki faktor-faktor yang mempengaruhinya. Dengan demikian kinerja yang dilakukan hari ini akan lebih baik dari kinerja hari kemarin, dan tentunya kinerja masa depan lebih baik dari kinerja hari ini.
Mengoptimalkan integrasi seluruh komponen yang terlibat dalam sekolah melalui pendekatan-pendekatan yang manusiawi dan memahami serta mencermati faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja guru sangat urgen sebagai langkah antisipasi dalam mencari pemecahan terhadap peningkatan mutu pendidikan secara umum. Sehingga dukungan yang dapat diberikan dalam manajemen pendidikan yaitu sebagai acuan dan pedoman bagi pengambil kebijakan tehnis untuk mengelola pendidikan secara profesional terutama dalam mengelola dan meningkatkan kinerja guru.
Penataan manajemen pendidikandalam upaya meningkatkan kinerja guru harus juga dilihat dalam aspek pengembangan profesionalisme guru maka alternatif pengembangan profesionalisme guru menjadi program-program yang mampu mempengaruhi kinerja guru.
Menurut Diknas (2005) berdasarkan hasil analisis situsional di masing-masing daerah ada berbagai alternatif peningkatan profesionalisme guru yang dapat dilakukan oleh :
a.      Dinas Pendidikan setempat.
b.      Dinas pendidikan bekerjasama atau melibatkan instansi lain atau unsur terkait di masyarakat.
c.      Masing-masing guru sebagai kegiatan individual dan mandiri.
d.     Kerjasama antara Dinas Pendidikan dan guru (sekolah).
Dijelaskan pula, beberapa alternatif program pengembangan Profesionalisme guru sebagai berikut :
1.      Program Peningkatan Kualifikasi Pendidikan Guru.
Sesuai dengan peraturan dan memenuhi tuntutan Undang-undang Guru dan Dosen yang berlaku bahwa kualifikasi pendidikan guru minimal Sarjana (S-1) maka jika dilihat dari kondisi guru yang ada masih terdapat guru yang belum dapat memenuhi tuntutan kualifikasi pendidikan sarjana ini berarti guru yang belum mememuhi kualifikasi pendidikan sarjana harus dilakukan program peningkatan kualifikasi pendidikan sehingga dapat memenuhi persyaratan tersebut. Program peningkatan kualifikasi pendidikan ini dapat berupa program kelanjutan studi dalam bentuk tugas belajar. Tujuan dari program ini tiada lain untuk meningkatkan kualifikasi pendidikan guru sehingga memenuhi kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah.
Langkah yang dilakukan guna merealisasikan program peningkatan kualifikasi pendidikan guru ini dapat ditempuh dengan dua cara yaitu :
    1. Dinas Pendidikan setempat memberikan beasiswa agar guru bersekolah lagi.
    2. Guru yang bersangkutan bersekolah lagi yang dibiayai oleh pemerintah dan guru itu sendiri.
    3. Guru yang bersangkutan agar bersekolah lagi dengan menggunakan swadana atau dibiayai sendiri).
2.      Program Penyetaraan dan Sertifikasi
Program ini diperuntukan bagi guru yang mengajar tidak sesuai dengan latar belakang pendidikannya atau bukan berasal dari program pendidikan keguruan.
Tidak bisa dipungkiri yang terjadi sekarang ini masih banyak sekolah-sekolah yang mengalami keterbatasan dan kekurangan guru pada bidang studi atau mata pelajaran tertentu sehingga langkah yang diambil dengan memberikan tugas guru-guru yang tidak sebidang atau yang masih memiliki hubungan dengan mata pelajaran yang diajarkan untuk menutupi kekurang dan keterbatasan guru atau guru yang bukan berasal dari kependidikan, maka keberadaan program penyetaraan dan sertifikasi ini mereka dapat diberdayakan secara maksimal. Tujuan dari program penyetaraan dan sertifikasi ini agar guru mengajar sesuai dengan latar belakang pendidikannyaatau termasuk kedalam kelompok studi pendidikan yang tercantum dalam ijazahnya.


Langkah yang dilakukan dengan cara :
    1. Guru tersebut dialihkan ke mata pelajaran lain yang merupakan satu rumpun, misalnya guru PPKn dengan guru IPS.
    2. Guru tersebut dialihkan ke mata pelajaran yang tidak serumpun misalnya guru IPS menjadi guru muatan lokal dengan memberikan tambahan penataran khusus (program penyetaraan/sertifikasi). 
3.      Program Pelatihan Terintegrasi Berbasis Kompetensi
Guna meningkatkan profesionalisme guru perlu dilakukan pelatihan dan penataran yang intens pada guru. Pelatihan yang diperlukan adalah pelatihan yang disesuaikan dengan kebutuhan guru yaitu pelatihan yang mengacu pada tuntutan kompetensi guru. Selama ini terkesan pelatihan yang dilakukan hanya menghabiskan anggaran, waktu dan sering tumpang tindih akibatnya banyak penataran yang tidak memberikan hasil yang maksimal dan tidak membawa perubahan pada peningkatan mutu pendidikan malah justru keberadaan pelatihan tidak jarang mengganggu aktivitas kegiatan belajar mengajar karena guru sering mengikuti kegiatan pelatihan yang terkadang satu orang guru bisa mengikuti pelatihan beberapa kali pelatihan sebaliknya ada juga guru yang jarang bahkan tidak pernah mengikuti pelatihan.
Untuk menjawab persoalan tersebut dimunculkan pelatihan terintegrasi berbasis kompetensi yang tentunya pelatihan yang menacu pada kompetensi yang akan dicapai dan diperlukan peserta didik.
Tujuan dari pelatihan ini untuk membekali berbagai pengetahuan dan keterampilan yang akumulatif mengarah pada penguasaan kompetensi secara utuh sesuai profil kemampuan minimal sebagai guru mata pelajaran sehingga dapat melaksanakan tugas-tugasnya dengan baik.


4.      Program Supervisi Pendidikan
Pelaksanaan proses pembelajaran di kelas tidak selamanya memberikan hasil yang sesuai dengan yang diinginkan, ada saja kekurangan dan kelemahan yang dijumpai pada guru saat melaksanakan proses pembelajaran maka untuk memperbaiki kondisi demikian peran supervisi pendidikan menjadi sangat penting untuk dilaksanakan sebagai upaya meningkatkan prestasi kerja guru yang pada gilirannya meningkatkan prestasi sekolah. Pelaksanaan supervisi bukan untuk mencari kesalahan guru tetapi pelaksanaan suparevisi pada dasarnya adalah proses pemberian layanan bantuan kepada guru untuk memperbaiki proses belajar mengajar yang dilakukan guru dan meningkatkan kualitas hasil belajar.
Kepala sekolah yang melaksanakan supervisi pada guru harus mampu menempatkan diri sebagai pemberi bantuan bukan sebagai pencari kesalahan, hal ini dilakukan untuk menghindari kesalahpahaman dan penafsiran yang berbeda antara guru dengan kepala sekolah, selain itu untuk memberikan rasa nyaman guru dalam melaksanakan proses pembelajaran dan menerima segala perbaikan yang diberikan kepala sekolah.Tujuan akhir dari kegiatan supervisi pendidikan adalah untuk memperbaiki guru dalam hal proses belajar mengajar agar tercapai kualitas proses belajar mengajar dan meningkatkan kualitas hasil belajar siswa.
5.      Program Pemberdayaan MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran).
MGMP adalah forum atau wadah kegiatan profesional guru mata pelajaran sejenis. Hakekat MGMP berfungsi sebagai wadah atau sarana komunikasi, konsultasi dan tukar pengalaman. Dengan MGMP ini diharapkan akan dapat meningkatkan profesionalisme guru dalam melaksanakan pembelajaran yang bermutu sesuai dengan kebutuhan peserta didik. Wadah komunikasi profesi ini sangat diperlukan dalam memberikan kontribusi pada peningkatan keprofesionalan para anggotanya tidak hanya peningkatan kemapuan guru dalam hal menyusun perangkat pembelajaran tetapi juga peningkatan kemapuan, wawasan, pengatahun serta pemahaman guru terhadap materi yang diajarkan dan pengembangannya. Sehingga tujuan dari MGMP ini tidak lain memumbuhkan kegairahan guru untuk meningkatkan kemapuan dan keterampilan dalam mempersiapkan, melaksanakan dan mengevaluasi program kegiatan belajar mengajar dalam rangka meningkatkan sikap percaya diri sebagai guru; menyetarakan kemampuan dan kemahiran guru dalam melaksanakan kegiatan belajar-mengajar sehingga dapat menunjang usaha peningkatan dan pemerataan mutu pendidikan; mendiskusikan permasalahan yang dihadapi guru dalam melaksanakan tugas sehari-hari dan mencari penyelesaian yang sesuai dengan karakteristik mata pelajaran, guru, kondisi sekolah dan lingkungan; Membantu guru memperoleh informasi tehnis edukatif yang berkaitan dengan kegiatan keilmuan dan Iptek, kegiatan pelaksanaan kurikulum, metodologi, dan sistem evaluasi sesuai dengan mata pelajaran yang bersangkutan; Saling berbagi informasi dan pengalaman dalam rangka menyesuaikan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. 
6.      Simposium Guru.
Peningkatan profesionalisme guru banyak cara yang dilakukan seperti simposium guru. Kegiatan ini diharapkan para guru dapat menyebar luaskan upaya-upaya kreatif dalam pemecahan masalah. Forum ini selain sebagai media untuk sharing pengalaman juga berfungsi untuk kompetisi antar guru dengan menampilkan guru-guru yang berprestasi dalam berbagai bidang misalnya dalam penggunaan metode pembelajaran, hasil penelitian tindakan kelas atau penulisan karya ilmiah.
7.      Melakukan penelitian (khususnya Penelitian Tindakan Kelas).
Peningkatan profesionalisme guru dapat juga dilakukan melalui optimalisasi pelaksanaan Penelitian tindakan kelas yang merupakan kegiatan sistimatik dalam rangka merefleksi dan meningkatkan praktik pembelajaran secara terus menerus sebab berbagai kajian yang bersifat reflektif oleh guru dilakukan untuk meningkatkan kemantapan rasional, memperdalam pemahaman terhadap tindakan yang dilakukan dalam melaksanakan tugasnya, dan memperbaiki kondisi dimana praktik pembelajaran berlangsung.
Kegiatan penelitian tindakan kelas ini diharapkan dapat memperbaiki kualitas proses belajar mengajar dan meningkatkan kemampuan guru dalam melaksanakan proses belajar mengajar juga untuk meningkatkan hasil belajar siswa sebab melalui kegiatan ini guru dapat memperbaiki kelemahan-kelemahan yang dilakukan dan keterbatas yang harus diperbaiki.


BAB VI
P E N U T U P

Untuk memperoleh keberhasilan pendidikan, keberadaan profesi guru sangat penting untuk diperhatikan dan ditingkatkan dalam hal ini kinerja guru sebab kinerja guru merupakan kemampuan yang ditunjukan oleh seorang guru dalam melaksanakan tugas dan pekerjaannya. Kinerja guru dapat diamati melalui unsur perilaku yang ditampilkan guru sehubungan dengan pekerjaan dan prestasi yang dicapai berdasarkan indikator kinerja guru.
Kinerja guru sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain pertama faktor kepribadian dan dedikasi yang tinggi menentukan keberhasilan guru dalam melaksanakan tugasnya yang tercermin dari sikap dan perbuatannya dalam membina dan membimbing peserta didik; kedua faktor pengembangan profesional guru sangat penting karena tugas dan perannya bukan hanya memberikan informasi ilmu pengetahuan melainkan membentuk sikap dan jiwa yang mampu bertahan dalam era hiperkompetisi; ketiga faktor kemampuan mengajar guru merupakan pencerminan penguasaan guru atas kompetensinya; keempat faktor hubungan dan komunikasi yang terjadi dalam lingkungan kerja memberikan dukungan bagi kelancaran tugas guru di sekolah; kelima faktor hubungan dengan masyarakat, peran guru dalam mendukung kegiatan hubungan sekolah dengan masyarakat dapat meningkatkan pemahaman masyarakat tentang tujuan serta sasaran yang ingin direalisasikan sekolah; keenam faktor kedisiplinan, Suatu pekerjaan akan menuai hasil yang memuaskan semua pihak bila guru mampu mentaati rambu-rambu yang ditentukan melalui penerapan sikap disiplin dalam menjalankan tugasnya; ketujuh faktor tingkat kesejahteraan, memberikan insentif yang pantas sebagai wujud memperbaiki tingkat kesejahteraan guru guna mencegah guru melakukan kegiatan membolos karena mencari tambahan di luar untuk memenuhi kebutuhan hidup; dan kedelapan faktor iklim kerja yang kondusif memberikan harapan bagi guru untuk bekerja lebih tenang sesuai dengan tujuan sekolah.
Guru merupakan ujung tombak keberhasilan pendidikan sehingga perlu melakukan upaya pembenahan baik secara internal maupun eksternal maka hal yang harus dipenuhi oleh guru dengan memahami dan mengusai kompetensi dasar yang dipersyaratkan. Dalam proses pembelajaran dalam koridor Kurikulum Berbasis Kompetensi sangat didukung oleh kemampuan guru dalam memperhatikan beberapa hal yang berkaiatan dengan pendekatan pembelajaran ala KBK diantaranya perkembangan anak, kemandirian anak, vitalisasi model hubungan demokratis, vitalisasi jiwa eksploratif, Kebebasan, menghidupkan pengalaman anak, keseimbangan perkembangan aspek personal dan sosial dan kecerdasan emosional.
Peningkatan mutu pendidikan tidak hanya melakukan perbaikan pada kualitas guru dalam melaksanakan proses belajar mengajar tetapi juga perlu dan penting diikuti dengan penataan manajemen pendidikan yang mengarah pada peningkatan kinerja guru melalui optimalisai peran sekolah dalam hal ini kepala sekolah dan pihak dinas pendidikan setempat untuk memberikan rasa nyaman bagi guru dalam melaksanakan tugasnya. Selain itu optimalisasi kegiatan penataran harus betul-betul menyetuh kebutuhan guru agar bermanfaat bagi peningkatan kualitas proses belajar mengajar dan kualitas hasil belajar siswa sehingga kedepan kegiatan pelatihan dan semacamnya harus mampu diprogramkan supaya tidak tumpang tindih dan tidak mengganggu kegiatan belajar mengajar sebagai dampak guru mengikuti kegiatan tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Adiningsih N, 2002. Kualitas dan Profesionalisme Guru. Pikiran Rakyat 15 Oktober 2002. http://www.Pikiran Rakyat.com/102002/15 Opini
Akadum. 1999. Potret Guru Memasuki Milenium Ketiga. Suara Pembaharuan. (Online) (http://www.Suara Pembaharuan.com/News/1999/01/220199/OpEd, diakses 7 Juni 2001).
Arifin, I. 2000. Profesionalisme Guru: Analisis Wacana Reformasi Pendidikan dalam Era Globalisasi. Simposium Nasional Pendidikan di Universitas Muhammadiyah Malang.
Arikunto, S. 1993. Manajemen Pengajaran Secara Manusiawi, Jakarta: PT. Rineka Cipta.
As’ad, Moh. 1995. Psikologi Industri. Yogyakarta: Liberty.
Badrun, A. 2005. Prospek Pendidikan dan tenaga kerja (guru) di kabupaten Dompu. Orasi Ilmiah disampaikan pada saat wisuda mahasiwa Diploma Dua program PGSD/MI-PGTK/RA STAI Al-Amin Dompu
Brent D. Ruben. 1988. Communication and Human Behavior. New York: Macmilland Publishing Company.
Danim S., 2002. Inovasi Pendidikan. Bandung: CV. Pustaka Setia.
Daryanto, 2001. Administrasi Pendidikan, Jakarta: Rineka Cipta.
Davis, K. & Newstrom, J.W,. 1996. Perilaku dalam Organisasi, Edisi ketujuh. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Dedi Supriyadi, 1999. Mengangkat Citra dan Martabat Guru.. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa.
Denny Suwarja, 2003. KBK, tantangan profesionalitas guru. 19 Juli 2003. Artikel. Homepage Pendidikan Network
Depdiknas, 2005. Pembinaan Profesionalisme Tenaga pengajar (Pengembangan Profesionalisme Guru). Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan dasar dan Menengah Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama Depdiknas.
Departemen Agama RI, 2003. Profesionalisme Pengawas Pendais. Jakarta: Direktorat Jenderal kelembagaan Agama Islam Depag RI.
Djamarah, S.B. 1994. Prestasi belajar dan Kompetensi Guru. Surabaya. Usaha Nasional.
Drost. 1998. Sekolah: Mengajar atau Mendidik ?. Yogyakarta: Kanisius.
Fatah, N. 1996. Landasan Manajemen Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Forsdale, 1981. Perspectives on Communication. New York: Random House.
Freud,S., 1950. The ego and the id. London: The Hogarth Press.
Furkan, Nuril, 2006. Perubahan Paradigma Guru dalam Konteks KBK. Orasi Ilmiah pada Wisuda Diploma Dua Program PGSD/MI-PGTK/RA dan Dies Natalis STAI Al-Amin Dompu.
Good, V. Carter, 1959. Dictionary of Education, New York: McGraw-Hill Book Company.
Gunawan, 1996. Administrasi Sekolah. Jakarta: Rineka Cipta.
Hasan, Ani M, 2001. Pengembangan Profesionalisme Guru di Abad Pengetahuan, 13 Juli 2003. Artikel. Homepage Pendidikan Network.
Hoy & Miskel, 1987. Education Administration.: Theory, Research and Practice. New York: Random Hause.
Idris, J, 2005. Kompilasi Pemeikiran Pendidikan,. Taufiqiyah Sa’adah Banda Aceh dan Suluh Press Yogyakarta: Banda Aceh dan Yogyakarta.
Imron, 1995. Pembinaan Guru di Indonesia, Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya.
Journal PAT. 2001. Teacher in England and Wales. Professionalisme in Practice: the PAT Journal. April/Mei 2001. (Online), http://www.members.aol.com/PTRFWEB/journal1040., diakses 7 Juni 2001).
Junaidin, Akh, 2006. Kepuasan Kerja Guru, Al-Fikrah Jurnal Studi Kependidikan dan Keislaman, Ed. I thn. I hal. 45-66.
Kohler, Jerry. W., Anatol, karl W. E dan Applbaum, Ronald L. 1981. Organizational Communication: Behavioral Perspective. New York: Holt Rinehart and Winstons.
Maister, 1997. True Professionalism. New York: The Free Press.
Mendiknas, 2005. Paradigma Pendidikan Indonesia, (Koran Berita). Mataram.
Muhammad, A. 2001. Komunikasi Organisasi. Ed. 1, Cet.4 Jakarta: Bumi Aksara.
Mulyasa, 2002. Manajemen Berbasis Sekolah, Bandung: PT. Remaja Rosda Karya.
_______, 2003. Manajemen Berbasis Sekolah (Konsep, Strategi dan Implementasi) Bandung: PT. Remaja Rosda Karya.
Nainggolan H, 1990. Pembinaan Pegawai Negeri Sipil, Jakarta: PT. Rineka Cipta
Nasanius, Y. 1998. Kemerosotan Pendidikan Kita: Guru dan Siswa Yang Berperan Besar, Bukan Kurikulum. Suara Pembaharuan. (Online), http://www.suarapembaruan.com/News/081998/08Opini
Nur Syam, 2005. Pendidikan di era Globalisasi “Tantangan dan Strategi”. Orasi Ilmiah dalam wisuda Perdana STAI Al-Amin Dompu.
Owens, 1991. Organisational Behavior in education. Bonston: Allyn and Bacon.
Oemar Hamalik, 2002. Psikologi Belajar Mengajar. Bandung: PT. Sinar baru Algensindo.
Pantiwati, 2001. Upaya Peningkatan Profesionalisme Guru Melalui Program Sertifikasi Guru Bidang Studi (untuk Guru MI dan MTs). Makalah Dipresentasikan. Malang: PSSJ PPS Universitas Malang. Hlm.1-12.
Pidarta, 1997. Landasan Kependidikan Stimulus Ilmu Pendidikan Bercorak Indonesia. Jakarta: PT. Bina Rineka Cipta.
_______, 1999. Pemikiran tentang Supervisi Pendidikan. Jakarta: PT. Bina Aksara.
Raka Joni, T, 1992. Pokok-pokok Pikiran Mengenai Pendidikan Guru. Jakarta : Ditjen Dikti Depdiknas.
Robbins, S.P. 1996. Organization Behavior: Concep-Contraversies Application. New Jersey: Englewood Cliffs: Prentice-Hall, Inc.
Rusmini, 2003. Kompetensi Guru Menyongsong Kurikulum Berbasis Kompetensi, http://www.Indomedia.com/bpost/042003/22 Opini.
Semiawan, 1991. Mencari Strategi Pengembangan Pendidikan Nasional Menjelang Abad XXI. Jakarta: Grasindo.
Sergiovanni, T.J., 1991. The Principalship of reflektive Practice prespectif, Boston : Allyn and Bacon.
Soetjipto, Raflis Kosasi. 1999. Profesi Keguruan. Jakarta: Rineka Cipta.
Stiles, K.E. dan Horsley, S. 1998. Professional Development Strategies: Proffessional Learning Experiences Help Teachers Meet the Standards. The Science Teacher. September 1998. hlm. 46-49).
Stiles, K.E. dan Loucks-Horsley, S. 1998. Professional Development Strategies: Proffessional Learning Experiences Help Teachers Meet the Standards. The Science Teacher. September 1998. hlm. 46-49).
Sulistyorini, 2001. Hubungan antara Keterampilan Manajerial Kepala Sekolah dan Iklim Organisasi dengan Kinerja Guru. Ilmu Pendidikan: 28 (1) 62-70.
Supriadi, 1999. Mengangkat Citra dan Martabat Guru, Yogyakarta: Adi Cita Karya Nusa.
Suparlan, 2004. Beberapa Pendapat tentang Guru Efektif dan Sekolah Efektif. Fasilitator : Edisi I Thn 2004(23-28).
Suryabrata, 2001. Psikologi Kepribadian. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Sutadipura, 1994. Kompetensi Guru dan Kesehatan Mental. Bandung: Penerbit Angkasa.
Sutaryadi, 1990. Administrasi pendidikan. Surabaya: Usaha nasional.
________, 2001. Administrasi Pendidikan. Surabaya: Usaha Nasional.
Slemato. 1995. Belajar dan Faktor-faktor yang mempengaruhinya. Edisi Revisi. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
S. Karim A. Karhami, 2005. Mengubah Wawasan dan Peran Guru dalam era kesejahteraan . Akses Internet.
Tempe, A. Dale., 1992. Kinerja. Jakarta : PT. Gramedia Asri Media.
The Liang Gie, 1972. Kamus Administrasi. Jakarta: Gunung Agung.
Uzer usman, Moh. 2002. Menjadi Guru yang Profesional. Edisi kedua. Bandung: Remadja Rosdakarya.
W.F. Connell, 1974. The Foundation of Education.
Wijaya, C. Dan Rusyan A.T, 1994. Kemampuan Dasar Guru dalam Proses Belajar Mengajar. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Zahera Sy, 1997. Hubungan konsep diri dan kepuasan kerja dengan sikap guru dalam proses belajar mengajar, Ilmu Pendidikan, jilid 4 Nomor 3 hal. 183-194.
________, 1998. Pembinaan yang dilakukan Kepala Sekolah dan etos kerja guru-guru Sekolah Dasar., Ilmu Pendidikan, jilid 5 Nomor 2 hal. 116-128.

1 komentar: