Rabu, 06 Maret 2013

Ilmu Kalam: Ahlus Sunnah wal Jamaah

BAB I
PENDAHULUAN
  1. A.    Latar Belakang
Alus sunnah adalah kepercayaan ahlus salaf sama dengan kepercayaan para pendahulu yang bersandar kepada rasulullah saw. Sahabatnya dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan setia baik sampai hari kiamat. Membahas Ahlus Sunnah wal Jamaah akan membutuhkan curahan perhatian dan konsentrasi penuh, apabila ingin memahaminya secara detail dan sempurna. Karena pembahasan tentang aswaja dapat berorientasi terhadap berbagai macam tinjauan, perumusan dan pemahaman, sesuai dari sudut mana memandangnya.Tinjauan pertama, aswaja diartikan sebagai suatu kajian ilmiah yang bisa dipelajari lewat literatur-literatur. Kedua, aswaja merupakan suatu keyakinan yang bertempat jauh di lubuk hati, yang mewarnai perilaku hidup seseorang. Ketiga, aswaja bisa dipandang sebagai wadah bagi berkumpulnya individu yang mengarah kepada satu misi yang disepakati. Dan masih banyak lagi rumusan pengertian dan pemahaman aswaja menurut titik pandang tertentu yang selama ini terus berkembang di kalangan masyarakat.[1]
Ahlussunah terbagi menjadi dua yaitu :
  1. Salaf
Salaf artinya ulama terdahulu. Salaf terkadang dimaksudkan untuk merujuk generasi sahabat, tabi’i dan tabi’ tabi’in para pemuka abad ke-3 H dan para pengikutnya pada abad ke-4 H yang terdiri atas para muhadditsin dan lainnya.
  1. Khalaf
Kata khalaf biasanya digunakan untuk merujuk poara ulama yang terlahir setelah abad ke-3 H dengan karakteristik yang berteolak belakang dengan apa yang dimiliki salaf. Diantaranya tentang penakwilan sifat-sifat tuhan serupa dengan makhluk pada pengertian yang sesuai dengan ketinggian dan kesucian-Nya .


  1. B.     Rumusan Masalah

  1. Siapakah yang termasuk golongan Ahlussunnah?
  2. Siapa Al-Asy’ari?
  3. Bagaimana doktrin-doktrin teologi Al-Asy’ari?

  1. C.    Tujuan Pembahasan

  1. Mengetahui dan memahami ahlussunnah.
  2. Mengetahui sejarah ringkas Al-Asy’ari.
  3. Mengetahui doktrin-doktrin teologi Al-Asy’ari.


BAB II
ILMU KALAM MENURUT
AHLUSSUNNAH WAL JAMAAH
  1. A.    Pengertian Ahlussunnah
Kata Khalaf bisanya digunakan untuk merujuk para ulama yang lahir setelah abad 3 H dengan karakteristik yang bertolak belakang dengan apa yang dimiliki salaf. Menurut Siradjuddin Abbas, Ahlussunnah ialah penganut sunnah Nabi Muhammad saw. Sedangkan Wal jama’ah ialah penganut I’tiqad sebagai I’tiqad jama’ah sahabat-sahabat Nabi Muhammad saw.[2]
Syekh Abdul Jeilani menyebutkan bahwa :
Sunnah : Segala sesuatu yang dilakukan oleh Rasulullah SAW. Al-Jamaah : Apa yang disepakati oleh para jamaah sahabat nabi pada masa khalifah yang empat. Menurut Abdul Hadi awing, ahlussunnah adalah yang mengakui Nabi Muhammad sebagai Rasulullah,dan mengakui kekhalifahan khulafaurrasyidin.[3]
Rosulullah saw bersabda:
“Telah terpecah umat yahudi menjadi 71 firqoh, begitu pula umat Nashara. Sedangkan umatku akan terpecah menjadi 73 firqoh.” HR.Tirmidzi.
Dan Rosulullah saw juga bersabda:
“Demi Tuhan yang memegang jiwa Muhammad ditangan-Nya, akan berfirqoh umatku sebanyak 73 firqoh. Yang satu masuk surge dan 72 firqoh yang lainnya masuk neraka.” HR.Jmam Thabrani
Dari beberapa definisi diatas, maka ungkapan Ahlussunnah atau yang sering disebut Sunni ini dapat dibedakan menjadi dua pengertian, yaitu umum dan khusus. Sunni dalam pengertian umum adalah lawan dari kelompok syi’ah. Adapun Sunni dalam pengertian khusus adalah lawan dari kelompok mu’tazilah. Pengertian Sunni secara khusus inilah yang akan kami pakai dalam pembahasan selanjutnya,yang mana term Ahlussunnah banyak dipakai setelah munculnya aliran Asy’ariyyah dan Maturidiyyah.

  1. B.     Al-ASY’ARI
Nama lengkapnya adalah Al-Hasan Ali bin Isma’il bin Ishaq bin Salim bin Isma’il bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah bin Abi Musa Al-Asy’ari atau yang sering disebut dengan Syekh Abu Hasan ‘Ali al-asy’ari. Beliau dilahirkan di Bashrah Irak pada tahun 260 H/873 M, dan wafat ketika hijrah di Baghdad pada tahun 324 H/935 M. Pada waktu kecilnya, ia berguru pada seorang tokoh mu’tazilah terkenal yang bernama Al-Jubbai. Aliran ini terus diikutinya sampai ia berumur 40 tahun, dan tidak sedikit dari hidupnya digunakan untuk mengarang buku ke-mu’tazilahan.
Menurut suatu riwayat, ketika ia berumur 40 tahun, ia mengasingkan dirinya dirumahnya selama 15 hari. Setelah itu ia pergi ke masjid besar Bashrah dan melontarkan kata-kata sebagai berikut:”Saya tidak lagi mengikuti paham aliran mu’tazilah dan saya harus menunjukkan keburukan-keburukan dan kelemahan-kelemahannya.” Boleh jadi, ia telah lama mengadakan peninjauan terhadap paham mu’tazilah, dan tempo 15 hari tersebut merupakan puncaknya, sebab sebelumnya ia banyak mengadakan perdebatan-perdebatan dengan gurunya tentang dasar-dasar paham aliran mu’tazilah.[4]
Diantara perdebatan-perdebatan itu ialah mengenai soal al-ashlah atau keharusan mengerjakan yang terbaik bagi tuhan sebagaimana yang telah maktub dibawah ini:
Al-Asy’ari   : Bagaimana pendapat tuan tentang mikmin, kafir, dan anak kecil yang mati?
Al-Jubbai     : Mukmin mendapatkan tingkatan yang tertinggi surga, kafir masuk neraka, dan anak kecil tergolong orang yang selamat.
Al-Asy’       : Kalau anak kecil tersebut ingin mencapai tingkatan tertinggi, dapatkah ia?
Al-Jubbai      : Tidak dapat, karena akan dikatakan kepadanya “Mukmin tersebut mendapat tingkatan tertinggi karena ia menjalankan ketaatan, sedangkan engkau tidak.”
Al-Asy’ari   : Jika anak kecil tersebut menjawab “Itu bukan salah saya, kalau sekiranya Tuhan menghidupkan aku sampai besar, tentu aku akan mengerjakan ketaatan sebagaimana yang telah dilakukan mukmin tersebut”
Al-Jubbai     : Tuhan akan berkata “Aku lebih tahu tentang engkau. Kalau engkau hidup sampai besar, maka engkau akan mendurhakai Aku, dan Aku akan menyiksamu. Maka dari itu Aku matikan engkau sebelum dewasa”.
Al-Asy’ari : Kalau kafir berkata: “Ya Tuhan, Engkau maha mengetahui keberadaanku dan juga keberadaan anak kecil itu, tapi mengapa Engkau tidak mengambil tindakan terhadapku sebagaimana tindakanMu terhadap anak kecil itu?”.
Kemudian Al-Jubbai langsung diam dan tak kuasa menjawab lagi. Selain sebab diatas, Al Asy’ari meninggalkan aliran mu’tazilah juga karena adanya perpecahan perpecahan yang dialami kaum muslimin yang bisa menghancurkan mereka kalau aliran mu’tazilah tidak segera diakhiri. Ia juga sangat menghawatirkan al-Qur’an dan Hadis menjadi korban paham-paham mu’tazilah yang menurutnya tidak dibenarkan, karena didasarkan atas pemujaan akal fikiran, sebagaimana juga dikhawatirkan menjadi korban sikap ahli hadis anthropomorphist yang hanya memegangi nas-nas saja. Oleh karena itu, Asy’ari mengambil jalan tengah antara golongan rasionalis dan golongan textualis yang ternyata jalan tersebut lebih diterima oleh mayoritas kaum muslimin.
Suatu unsur utama bagi kemajuan aliran Asy’ariyyah ialah karena aliran ini mempunyai tokoh-tokoh kenamaan. Tokoh-tokoh tersebut antara lain; al-Baqillani, ibnu Faurak, ibnu ishak al-isfaraini, Abdul kahir al-Baghdadi, imam al-haramain al-juwaini, abdul mudzaffar al-isfaraini, Al-Ghazali, ibnu Tumart, as-Syihritsani, ar-Razi, Al-Iji, al-Sanusi.
Pemikiran Al-Asy’ari yang terpenting adalah :
  1. Tuhan dan sifat-sifat-Nya.
Al-Asy’ari menyatakan bahwa Allah mempunyai sifat-sifat yang tidak identik dengan zat-Nya. Sifat Tuhan berbeda dengan sifat makhluk. Ia juga menyatakan bahwa orang yang meyakini keberadaan sifat-sifat Tuhan itu bukan termasuk musyrik, karena sekalipun dengan sebutan yang berbeda, akan tetapi sifat tersebut menyatu dengan zat, sebagaimana yang telah diungkapkan oleh Al-Asy’ari:
فَيَثْبُتُ هذه الصِّفَاتُ قَائِمَةً بِالذَاتِ لَا هِيَ هُوَ وَلَا هِيَ غَيْرُهُ
“Sifat itu tetap bertempat pada zat, sifat itu bukan zat, dan bukan pula lain dari zat”.
  1. Kebebasan Dalam Berkehendak
Menurut Asy’ariyah, kehendak Allah itu maha meliputi. Allah juga maha berkuasa, maka Dia berhak untuk tidak menjalankan janji-janji maupun ancamannya. Perbuatan manusia diciptakan oleh Allah, dan manusia hanya memperoleh perbuatan tersebut. Pernyataan ini disandarkan pada, QS. Al-Hadid:22
“Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab di Lauhul Mahfuzh sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.”
  1. Kriteria Baik dan Buruk
Al-Asy’ari mengatakatan bahwa baik dan buruk harus berdasarkan pada keterangan syari’ah atau petunjuk wahyu. Oleh sebab itu, hakikat perbuatan manusia bersumber dari kekuasaan Allah yang bersamaan dengan kemampuan dan kehendak manusia yang keberadaanya itu sesuai dengan terjadinya perbuatan itu sendiri. Apabila manusia bertindak sesuai dengan aturan Allah yang terdapat dalam al-Qur’an, maka ia berakhlak. Dan jika tidak sesuai, maka ia bias dinilai tidak berakhlak.
  1. Qodimnya Al-Qur’an
Al-Asy’ariyah meyakini bahwa kalam Allah (al-Qur’an) bukan makhluk. Pendapat ini disandarkan pada QS.Ar-Rum:25 “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah berdirinya langit dan bumi dengan iradat-Nya. kemudian apabila Dia memanggil kamu sekali panggil dari bumi, seketika itu (juga) kamu keluar (dari kubur)”. Menurut Asy’ariyah, Perintah Allah adalah firman-Nya. Bila Allah memerintahkan keduanya untuk berdiri, lantas keduanya berdiri dan tidak terjatuh karena berdirinya keduanya itu adalah atas perintah Allah.
  1. Melihat Allah
Al-Asy’ari mengatakan bahwa Allah dapat dilihat di akhirat tetapi tidak dapat digambarkan atau dilihat dengan cara dan arah tertentu. Kemungkinan ru’yat dapat terjadi manakala Allah sendiri yang menyebabkan dapat dilihat atau bilamana Ia menciptakan kemampuan penglihatan manusia untuk melihat-Nya.
  1. Keadilan
Pada dasarnya, Al-Asy’ari sependapat dengan mu’tazilah bahwa Allah itu adil. Mereka berbeda pendapat dalam memaknai keadilan. Menurut mu’tazilah, Allah harus seimbang dalam memberikan pahala amal perbuatan manusia. Sedangkan menurut al-Asy’ari, Allah tidak memiliki keharusan apapun karena ia adalah Penguasa Mutlak.
  1. Kedudukan Orang Berdosa
Al-Asy’ari mengatakan bahwa Mukmin yang berbuat dosa besar adalah mukmin yang fasik, sebab iman tidak mungkin hilang karena dosa selain kufur. Oleh karena itu, mukmin yang fasik itu berada pada kehendak Allah. Jika Allah berkehendak, Dia akan mengampuni dan memasukkannya kedalam surga. Dan jika berkehendak lagi, maka Allah akan menyiksa kefasikannya kemudian memasukkannya ke surga.[5]
C. AL-MATURIDI
a. Riwayat Singkat Al-Maturidi
Abu Mansur Muhammad ibn Muhammad ibn Mahmud Al-Maturidi dilahirkan di Samarkand (daerah Uzbekistan, sovyet) pada pertengahan kedua dari abad kesembilan masehi atau pertengahan abad ketiga hijrah, tahun kelahirannya tidak diketahui secara pasti hanya diperkirakan tahun 333 H/944 M. dan wafat tahun 268 H. tidak banyak diketahui riwayat hidupnya.
Ia mencari ilmu pada pertiga akhir dari abad ketiga hijrah, dimana aliran mu’tazilah mulai mengalami kemunduran. Diantara gurunya adalah Nashr bin yahya al-Balakhi(wafat 268H). Pada masa al-Maturidi, terjadi perdebatan antara aliran fiqh hanafiyah dan fiqh syafi’iyyah. Dan dalam masalah fiqh, maturidi mengikuti madzhab hanafi.
Ia adalah pengikut abu hanifah, faham-faham teologinya banyak persamaan dengan faham-faham Abu Hanifah. Sistim pemikiran teologi yang ditimbulkan Abu Manshur termasuk dalam golongan Ahlussunnah wal Jama’ah dan dikenal dengan nama al-Maturidiyyah.
Kebanyakan ulama’ maturidiyyah terdiri dari orang pengikut aliran fiqh hanafiyyah, seperti; Fachruddin al-Bazdawi, at-Taftazani, an-Nasafi, Ibnul Hummam, dan lain-lain.
b. Doktrin-doktrin Teologi Al-Maturidi
  1. Tuhan dan Sifat-Sifat-Nya
Al-Maturidi sependapat dengan Al-Asy’ari bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat sama’, bashar, dan sebagainya. Akan tetapi menurut Maturidi, sifat tersebut tidak dikatakan sebagai esensi-Nya dan bukan pula lain dari esensi-Nya. Sifat-sifat Tuhan tidak berwujud tersendiri dari dzat, melainkan dzat yang tanpa terpisah.
  1. Kekuasaan dan Kehendak Mutlak Tuhan
Al-Maturidi mengatakan bahwa segala perbuatan yang baik maupun yang buruk adalah ciptaan Tuhan, tetapi menurut Al-Maturidi bukan berarti Tuhan berbuat berkehendak dengan sewenang-wenang serta sekehendak-Nya semata, tapi sesuai dengan hikmah dan keadilan yang sudah ditetapkan-Nya sendiri.
  1. Melihat Tuhan
Al-Maturidi mengatakan bahwa manusia dapat melihat Tuhan, sesuai dengan firman Allah Surah Al-Qiyamah ayat 22 dan 23. Tuhan kelak diakhirat dapat dilihat dengan mata, karena Tuhan memiliki wujud walaupun ia immaterial. Namun melihat Tuhan, kelak diakhirat tidak dalam bentuknya(bila kaifa), karena keadaan diakhirat tidak sama dengan di dunia.
  1. Pengutusan Rasul
Menurut Al-Maturidi, akal tidak selamanya mampu mengetahui kewajiban yang dibebankan kepada manusia. Akal memerlukan bimbingan wahyu untuk mengetahui kewajiban-kewajiban tersebut. Jadi, pengutusan Rasul berfungsi sebagai sumber informasi. Tanpa mengikuti ajaran wahyu, berarti manusia telah membebankan sesuatu yang berada diluar kemampuanya kepada akalnya.

  1. Kalam Allah
Al-Maturidi membedakan antara kalam yang tersusun dengan huruf dan bersuara dengan kalam nafsi. Menurutnya, kalam nafsi adalah sifat qadim bagi Allah. Sedangkan kalam yang tersusun dari huruf dan kata-kata adalah baharu(hadis). Akan tetapi secara tidak langsung, Al-Maturidi sependapat dengan Al-Asy’ari bahwa Al-Qur’an bersifat Qadim dan bukan makhluk.
  1. Pelaku Dosa Besar
Al-Maturidi mengatakan bahwa orang yang melakukan dosa besar tidak kafir dan tidak kekal dalam neraka walaupun ia mati sebelum bertobat, karena Allah telah berjanji pada manusia akan memberikan balasan sesuai dengan perbuatannya. Kalau yang kekal di dalam neraka itu adalah untuk orang yang berbuat dosa syirik. Menurutnya, iman cukup dengan tasdiq dan iqrar saja. Sedangkan amal merupakan bentuk penyempurnaan iman.[6]
BAB III
PENUTUP
  1. A.    Kesimpulan
Ahlussunnah (Sunni) dapat dibedakan menjadi 2 pengertian, yaitu umum dan khusus. Sunni dalam pengertian umum adalah lawan dari kelompok syi’ah. Adapun Sunni dalam pengertian khusus adalah lawan dari kelompok mu’tazilah.
Ajaran Ahlusunnah meliputi:
a. Bahwa sesungguhnya mereka tidak meniadakan sifat-sifat Allah yang telah disifatkan oleh-Nya, dan tidak mengajukan pertanyaan “bagaimana itu” dan tidak menyamakan sifat-sifat Allah dengan sifat-sifat makhluk-Nya.
b. Bahwa mereka beri’tikad (berkeyakinan) bahwa Allah SWT tidak ada yang melebihi, tidak dapat disaingi dan tidak bisa diukur dengan makhluk-Nya.
c. Dan Alus sunnah mereka tidak menyimpang dari apa yang dibawa para Rasul dari hadirat Tuhan seru sekalian alam.
d. Pendapat dalam penetapan sifat terhadap Allah SWT, bagi Ahlus sunnah, seperti pendapat mereka tentang dzat Allah yang berbeda dari makhluk-Nya.
e. Sifat-sifat Allah dalam al-Quran banyak sekali, begitu pula dalam sunnah rasul Saw, kesempurnaan-Nya tidak terbatas dan hakikat-Nya tidak bisa dicapai oleh akal manusia.

 

DAFTAR PUSTAKA

Abbas Siradjuddin, I’tiqad ahlussunnah wal jama’ah, Jakarta, pustaka tarbiyyah, 2004,
Sahidin Ahmad, Aliran-Aliran Dalam Islam, Jawa Barat, Salamadani, 2009,
Hanafi. A, Pengantar Theology Islam, Jakarta, pustaka al-husna, 1992,
M Afrizal, Ibn Rusyd Tujuh, Perdebatan Utama Dalam Aliran Islam, Jakarta, Erlangga, 2006,
Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta, UIP, 1986,
Balukia Syakir, Ahlus Sunnah wal Jamaah, Bandung : Sinar Baru, 1992.


[1] Balukia Syakir, Ahlus Sunnah wal Jamaah, Bandung : Sinar Baru, 1992.
[2] Abbas Siradjuddin, I’tiqad ahlussunnah wal jama’ah, Jakarta, pustaka tarbiyyah, 2004,
[3] Hanafi. A, Pengantar Theology Islam, Jakarta, pustaka al-husna, 1992,

[4] Sahidin Ahmad, Aliran-Aliran Dalam Islam, Jawa Barat, Salamadani, 2009,
[5] M Afrizal, Ibn Rusyd Tujuh, Perdebatan Utama Dalam Aliran Islam, Jakarta, Erlangga, 2006,

[6] Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta, UIP, 1986

Tidak ada komentar:

Posting Komentar