A. Kepemimpinan Kepala Madrasah
- Pengertian Kepemimpinan Kepala Madrasah
Dalam bahasa inggris kepemimpinan sering
disebut leader dari akar kata to lead dan kegiatannya disebut
kepemimpinan atau leadership. Dalam kata kerja to lead tersebut terkandung
dalam beberapa makna yang saling berhubungan erat yaitu, bergerak lebih cepat,
berjalan ke depan, mengambil langkah petama, berbuat paling dulu, mempelopori,
mengarahkan pikiran atau pendapat orang lain, membimbing, menuntun menggerakkan
orang lain lebih awal, berjalan lebih depan, mengambil langkah pertama, berbuat
paling dulu, mempelopori suatu tindakan, mengarahkan pikiran atau pendapat,
menuntun dan menggerakkan orang lain melalui pengaruhnya.[1]
Sedangkan menurut istilah
kepemimpinan adalah proses mempengaruhi aktivitas individu atau group untuk
mencapai tujuan-tujuan tertentu dalam situasi yang telah ditetapkan. Dalam
mempengaruhi aktifitasnya individu pemimpin menggunakan kekuasaan, kewenangan,
pengaruh, sifat dan karakteristik, dan Tujuannya adalah meningkatkan
produktivitas dan moral kelompok.[2]
Dalam Islam istilah kepemimpinan sering
diidentikkan dengan istilah khilafah dan orangnya di sebut kholifah dan Ulil
Amri yang orangnya di sebut Amir (pemegang kekuasaan).[3]
J.
Reberu dalam dasar-dasar Kepemimpinan
memberikan definisi tentang kepemimpinan. Kepemimpinan adalah
kesanggupan menggerakkan sekelompok manusia kearah tujuan bersama sambil
menggunakan daya-daya badani dan rohani yang ada dalam kelompok tersebut. Lebih
lanjut dia menjelaskan bahwa kepemimpinan merupakan unsur dinamis yang sanggup
mengkaji masa lampau, menelaah masa kini dan menyoroti masa depan, untuk
kemudian berani mengambil keputusan yang di tuangkan dalam tindakan Dirawat mendeskripsikan
kepemimpinan adalah:
Kemampuan dan kesiapan yang dimiliki oleh
seseorang untuk dapat mempengaruhi, mendorong, mengajak, menuntun,
menggerakkan, dan kalau perlu memaksa orang lain agar ia menerima pengaruh
untuk selanjutnya berbuat sesuatu yang dapat membantu pencapaian sesuatu maksud
dan tujuan.[4]
Sedangkan Nurjin Syam dalam bukunya
“Kepemimpinan dalam Organisasi” mendeskripsikan:
Kepemimpinan adalah keseluruhan tindakan
guna mempengaruhi serta menggerakkan orang dalam usaha bersama untuk mencapai
tujuan, atau proses pemberian bimbingan (pimpinan), tauladan dan pemberian
jalan yang mudah (fasilitas) dari pada pekerjaan orng-orang yang terorganisir
formal.[5]
Dari beberapa definisi di atas tampak beberapa hal penting
yaitu:
- Kepemimpinan dilihat sebagai serangkaian proses atau tindakan
- Adanya tujuan yang hendak dicapai bersama
- Fungsi kepemimpinan itu adalah untuk mempengaruhi, menggerakkan orang lain dalam kegiatan atau usaha bersama
- Kegiatan atau proses memimpin untuk antar beberapa pemberian contoh atau bimbingan kegiatan atau usaha yang terorganisasi
- Kegiatan tersebut berlangsung dalam organisasi formal
6.
Kepemimpinan juga diterjemahkan
ke dalam istilah : sifat-sifat prilaku pribadi, pengaruh terhadap orang lain,
pola-pola interaksi, hubungan kerja sama antar kedudukan dari suatu jabatan
administrasi.[6]
Berbagai pengertian tentang arti
kepemimpinan di atas dapat diambil
pengetian secara comprehensive yaitu bahwa pemimpin adalah pribadi yang memiliki kecakapan khusus
atau superioritas tertentu, sehingga dia memiliki kewibawaan dan kekuasaan untuk
menggerakkan orang lain, sera dia harus berpengetahuan yang luas, dan ber-visi
jauh ke depan sera memenuhi syarat-syarat tertentu dan mampu mempengaruhi
kegiatan-kegiatan anggota dari kelompok.
Istilah kepemimpinan pendidikan mengandung
dua pengetian, dimana kata “Pendidikan” menerangkan dilapangan apa dan dimana
kepemimpinan itu berlangsung, dan sekaligus menjelaskan pula sifat atau, ciri-ciri
kepemimpinan.
Dengan demikian kepemimpinan pendidikan
merupakan perpaduan antara konsep kepemimpinan dan pendidikan yang keduanya
mempunyai pengertian sendiri-sendiri, yang pada akhirnya terpadu dalam bentuk
keilmuan yang menunjukkan ciri-ciri khusus dari suatu bentuk kepemimpinan
secara umum.
Kepemimpinan pendidikan juga berarti sebagai bentuk kemampuan dalam proses
mempengaruhi, menggerakkan, memotivasi, mengkoordinir orang lain yang ada
hubungannya dengan ilmu pendidikan dan pengajaran agar supaya kegiatan yang
dijalankan dapat lebih efektif dan efisien dalam pencapaian tujuan pendidikan
dan pengajaran.[7]
Kepemimpinan dibidang pendidikan juga
memiliki pengertian bahwa pemimpin harus memiliki keterampilan dalam
mempengaruhi, mendorong, membimbing, mengarahkan, dan menggerakkan orang lain
yang ada hubungannya dengan pelaksanaan
dan pengembangan pendidikan dan pengajaran ataupun pelatihan agar
segenap kegiatan dapat berjalan secara eektif dan efisien yang pada gilirannya
akan mencapai tujuan pendidikan dan pengajaran yang telah ditetapkan.[8]
Sedangkan kepala sekolah dapat
didefinisikan sebagai seorang tenaga fungsional guru yang diberi tugas untuk
memimpin suatu sekolah dimana diselenggarakan proses belajar mengajar atau
tempat dimana terjadi ineraksi antara guru yang memberi pelajaran dan murid
yang menerima pelajaran.[9]
Adapun istilah kepala sekolah berasal dari
dua kata kepala dan sekolah. Kepala dapat diartikan ketua atau pemimpin.
Sedangkan sekolah diarikan sebuah lembaga yang didalamnya terdapat aktivitas belajar
mengajar. Sekolah juga merupakan lingkungan hidup sesudah rumah, di mana anak
tinggal beberapa jam, tempat tinggal anak yang pada umumnya pada masa
perkembangan, dan lembaga pendidikan dan tempat yang berfungsi mempersiapkan
anak untuk menghadapi hidup.[10]
Dengan demikian kepala sekolah adalah
seorang tenaga professional atau
guru yang diberikan tugas untuk memimpin suau sekolah dimana
sekolah menjadi tempat interaksi antara guru yang memberi pelajaran siswa yang
menerima pelajaran, orang tua sebagai harapan, pengguna lulusan sebagai
penerima kepuasan dan masyarakat umum sebagai kebanggaan.[11]
Kepemimpinan
sering diidentikan dengan otoritas, wewenang, pengaruh dominasi, dan tentu saja
materi. Wajar jika banyak morang mengira kepemimpinan hanya hanya dikitari
dengan hal-hal yang menyenangkan. Dan banyak orang berambisi meraih
kepemimpinan, namun hanya sedikit orang yang benar-benar menjalaninya dengan
efektif.[12]
Kepala
sekolah sebagai pemimpin di sebuah lembaga pendidikan, didalam kepemimpinanya
ada beberapa unsur yang saling berkaitan yaitu: unsur manusia, unsur sarana,
unsur tujuan. Untuk dapat memperlakukan ketiga unsur tersebut secara seimbang
seorang pemimpin harus memiliki pengetahuan atau kecakapan dan keterampilan
yang diperlukan dalam melaksanakan kepemimpinan. Pengetahuan dan keterampilan
ini dapat diperoleh dari pengalaman belajar secara teori ataupun dari
pengalaman di dalam praktek selama menjadi kepala sekolah
2. Tipe-Tipe
Kepemimpinan
Konsep
seorang pemimpin pendidikan tentang pemimpinnan dan kekuasan yang
memproyeksikan diri dalam bentuk sikap, tingkah laku dan sifat kegiatan
pemimpinan yang dikembangkan dalam lembaga pendidikan atau unit administrasi
pendiikan yang dipimpinnya akan mempengaruhi situasi kerja, mempengaruhi kerja
anggota staff, sifat hubungan-hubungan
kemanusian diantara sesama, dan
akan mempengaruhi kwalitas hasil kerja yang mungkin dapat dicapai oleh lembaga
atau uit administrasi pendidikan tersebut[13]
Ditinjau
dari pelaksanaan tugas maka kepala sekolah dalam menjalankan kepemimpinannya
dikenal dengan 3 tipe kepemimpinan yang masing-masing dapat di jelaskan sebagai
berikut:
- Tipe Otokrasi/ Otoriter
Otokrasi berasal dari kata oto yang berarti
sendiri dan kratos berarti pemerintah. Jadi otokrasi adalah mempunyai
pemerintah dan menentukan sendiri.[14]
Otokrasi
merupakan Pemerintahan atau kekuasaan yang dipegang oleh seseorang yang
berkuasa secara penuh dan tidak terbatas masanya. Sedangkan yang memegang
kekuasaan di sebut otokrat yang biasanya di jabat oleh pemimpin yang berstatus
sebagai raja atau yang menggunakan sistem kerajaan.[15] Sedangkan di lingkungan sekolah
bukan raja yang menjadi pemimpin akan tetapi kepala sekolah yang memiliki gaya
seperti raja yang berkuasa mutlak dan sentral dalam menentukan kebijaksanaan
sekolah.
Adapun
Secara sederhana, gaya kepemimpinan kepala sekolah yang bertipe otokrasi sebagai berikut:
a.
Keputusan dan kebijakan selalu dibuat pemimpin, dimana gaya kepemimpinan
yang selalu sentral dan mengabaikan asas musyawarah mufakat.
b.
Pengawasan dilakukan secara ketat yaitu pengawasan kepala sekolah yang
tidak memakai prinsip partisipasi, akan tetapi pengawasan yang bersifat menilai
dan meghakimi
c.
Prakarsa berasal dari pemimpin yaitu gaya kepala sekolah yang merasa
pintar dan merasa bertanggungjawab sendiri atas kemajuan sekolah
d.
Tidak ada kesempatan untuk memberi saran, dimana gaya kepala sekolah
merasa orang yang paling benar dan tidak memiliki kesalahan.
e.
Kaku dalam bersikap yaitu kepala sekolah yang tiidak bisa melihat
situasi dan kondisi akan tetapi selalu memaksakan kehendaknya.[16]
Jadi tipe otoriter, semua kebijaksanaan “policy”
semuanya di tetapkan pemimpin, sedangkan bawahan tinggal melaksanakan tugas.
Semua perintah, pemberian dan pembagian tugas dilakukan tampa ada konsultasi
dan musyawarah dengan orang-orang yang dipimpin. Pemimpin juga membatasi
hubungan dengan stafnya dalam situasi formal dan tidak menginginkan hubungannya
yang penuh keakraban, keintiman serta ramah tamah. Kepemimpinan otokrasi ini
mendasarkan diri pada kekuasaan dan paksaan yang selalu harus dipatuhi.
Pemimpin selalu mau berperan sebagai pemain tunggal pada “one an show”.[17]
Pemimpin
otokrasi, dalam membawa pengikutnya ketujuan dan cita-cita bersama, memegang
kekuasaan yang ada pada gaya secara mutlak. Dalam gaya ini pemimpin sebagai
penguasa dan yang dipimpin sebagai yang dikuasai. Termasuk dalm gaya ini
adalah pemimpin yang mengatakan segala sesuatu harus dikerjakan oleh
pengikutnya. Yang dilakukan oleh pemimpin
model ini, hanyalah membei perintah, aturan, dan larangan. Para
pengikutnya harus tunduk, taat dan melaksanakan tampa banyak pertanyaan. Dalam
gaya ini, mereka yang dipimpin dibiasakan setia kepada perintah dan dengan
betul-betul kritis, dimana kesempatan mereka
yang dipimpin dibawah kekuasaan orang yang memimpin.[18]
Kepala
sekolah yang otoriter biasanya tidak terbuka, tidak mau menerima kritik, dan
tidak membuka jalan untuk berinteraksi dengan tenaga pendidikan. Ia hanya
memberikan interuksi tentang apa yang harus dikerjakan serta dalam menanamkan
disiplin cenderung menggunakan paksaan dan hukuman.[19]
Kepala
sekolah yang otoriter berkeyakinasn bahwa dirinyalah yang bertanggung
jawab atas segala sesuatu, menganggap
dirinya sebagai orang ang paling berkuasa, dan paling mengetahui berbagai hal.
Ketika dalam rapat sekolah pun ia menentukan berbagai kegiatan secara
otoriter, dan yang dangat dominan dalam
memutuskan apa yang akan dilakukan oleh sekolah. Para tenaga pendidikan tidak
diberi kesempatan untuk memberikan pandangan, pendapat maupun saran. Mereka
dipandang sebagai alat untuk melaksanakan apa yang telah ditetapkan oleh kepala
sekolah.[20]
Pada
situasi kepemimpinan pendidikan seperti ini dapat di bayangan suasana kerja
yang berlangsung di dalam kelompok tersebut bagaimana hubungan-hubungan
kemanusian yang berlangsung dan bagaimna konflik-konflik antara pemimpin dan
bawahan-bawahan dan antara anggota-anggota staff kerja itu sendiri. Penyelidikan
yang dilakukan oleh Leppit seorang ahli kepemimpinan berkesimpulan bahwa
konflik-konflik dan sikap-sikap atau tindakan agresif yang terjadi dalam suatu
lembaga di bawah pemimpin seorang pemimpin otoriter kurang lebih 30 kali
sebanyak yang timbul dari pada dalam suasana kerja yang dipimpin oleh seorang
pemimpin yang demokratis.[21]
Tipe
kepemimpinan pendidikan yang otoriter dengan segala vareasi dan bentuknya yang lebih samar-samar, sangat
mengingkari usaha-usaha pencapaian tujuan lembaga pendidikan secara maksima.
Oleh karena potensi-potensi yang sebenarnya ada dan dimiliki oleh masing-masing
staf kerja tidak terbangkit,tidak tergugah dan tidak tersalurkan secara bebas
dan kreatif. Penekanan kemampuan dan poitensi riil dan kreatif daripada
individu-individu ynag dipimpin itu sejak dari proses penetapan “policy” umum
sampai pada pelaksanna program kerja lembaga dimana pikiran-pikiran dan “skill”
inisiatif-inisiatif yang konstruktif-kreatif tidak termanfaatkan secara baik. Suasana
kerjasams yang dinamis dan kreatif dikalangan angota-anggota staff yang akan
memudahkan pemecahan setiap problema yang dihadapi, akan hilang lenyap karena
situasi kepemimpinan yang melumpuhkan
itu.[22]
Seseorang dengan gaya kepemimpianan seperti
ini umumnya merasa menang sendiri karena mempunyai keyakinan ia tahu apa yang
harus dilakukannya dan merasa jalan pikirannya paling benar. Dalam situasi
kerja sama, ia berusaha mengambil peran sebagai pengambil keputusan dan
mengharapkan orang lain mendukung ide dan gagasannya, Ia tidak ingin dibantu
apalagi dalam menentukan apa yang seharusnya ia lakukan.[23]
Tipe otokrasi ini apabila diterapkan dalam
dunia pendidikan tidak tepat karena dalam dunia pendidikan, kritik saran dan
pendapat orang lain itu sangat perlu
untuk diperhatikan dalam rangka
perbaikan dan peningkatan mutu pendidikan. .
b.
Tipe Laissez-Faire
Kepala
sekolah sebagai pemimpin bertipe laissez faire menghendaki semua komponen
pelaku pendidikan menjalankan tugasnya dengan bebas. Oleh karena itu tipe
kepemimpinan bebas merupakan kemampuan mempengeruhi orang lain agar bersedia
bekerja sama untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dengan cara berbagai
kegiatan diserahkan pada bawahan. Karena arti lassez sendiri secara harfiah adalah mengizinkan
dan faire adalah bebas. Jadi pengertian laissez-faire adalah
memberikan kepada orang lain dengan prinsip kebebasan, termasuk bawahan untuk
melaksanakan tugasnya dengan bebas sesuai dengan kehendak bawahan dan tipe ini
dapat dilaksanakan di sekolah yang
memang benar–benar mempunyai sumber daya
manusia maupun alamnya dengan baik dan mampu merancang semua kebutuhan
sekolah dengan mandiri.[24]
Pemimpin
laissez-faire merupakan kebalikan dari kepemimpinan otokratis, dan sering
disebut liberal, karena ia memberikan banyak kebebasan kepada para tenaga
pendidikan untuk mengambil langkah-langkah sendiri dalam menghadapi sesuatu[25]. Jika pemimpin otokratis mendominasi, maka
tipe pemimpin laissez-faire ini menyerahkan persoalan sepenuhnya pada anggota.
Pada
tipe kepemimpinan laissez faire ini sang pemimpin praktis tidak memimpin, sebab
ia membiarkan kelompoknya berbuat semau sendiri.[26]
Dalam
rapat sekolah, kepla sekolah menyerahkan segala sesuatu kepada para tenaga
kependidikan, baik penentuan tujuan, prosedur pelaksanaan, kegiatan-kegiatan
yang akan dilakukan, serta sarana dan prasarana
yang akan digunakan. Kepala sekolah bersifat pasif, tidask ikut terlibat
langsung dengan tenaga pendidikan, dan tidak mengambil inisiatif apapun. Kepala
sekolah yang memiliki laissez-faire biasanya memposisikan diri sebagai
penonton, meskipun ia mberada ditengah-tengah para tenaga pendidikan dalam
rapat sekolah, karena ia menganggap pemimpin jangan rerlalu banyak mengemukakan
pendapat, agar tidak mengurangi hak dan kebebasan anggota.[27]
Kedudukan pemimpin hanya sebagai simbul dan
formalitas semata, karena dalam realitas kepemimpinan yang dilakukan dengan
memberikan kebebasan sepenuhnya kepada orang yang dipimpinnya (bawahan) untuk
berbuat dan mengambil keputusan secara perorangan. Disini seorang pemimpin
mempunyai keyakinan bahwa dengan memberikan kebebasan yang seluas-luasnya
kepada bawahan, maka usahanya akan cepat berhasil.[28]
Dalam
suasana kerja yang dihasilkan oleh kepemimpinan pendidikan semacam itu, tidak
dapat dihindarkan timbulnya berbagai ekses negatif, misalnya berupa
konflik-konflik kesimpang siuran kerja dan kesewenang-wenangan oleh karena
masing-masing individu memunyai kehendak yang berbeda-beda menuntut untuk
dilaksanakan sehingga akibatnya masing-masing adu argumentasi, adu kekuasaan
dan adu kekuatan serta persaingan yang kurang sehat diantara anggota disamping
itu karena pemimpin sama sekali tidak berperan menyatukan, mengarahkan,
mengkoordinir serta menggerakkan anggotanya.[29]
Adapun
ciri-ciri khusus laissez –faire yaitu:
1. Pemimpin kurang bahkan sama
sekali tidak memberikan sumbangan ide,
konsep, pikiran dan kecakapan yang dimilikinya.
2. Pemimpin memberikan kebebasan
mutlak kepada stafnya dalam menentukan segala sesuatu yang berguna bagi
kemajuan organisasinya tanpa bimbingan darinya.[30]
Baik
prestasi-prestasi kerja yang bisa
dicapai oleh setiap individu, maupun kelompok secara keseluruhan, tidak bisa
diharapkan mencapai tingkat maksimal, oleh karena tidak semua anggota staff
pelaksana kerja itu memiliki kecakapan dan keuletan serta ketekunan kerja
sendiri tampa piminan, bimbingan, dorongan, dan koordinansi yang kontinyu dan
sisitematis daripada pimpinannya. Pada pihak lain lembaga kerja itu hampir sama
sekali tidak memberikan sumbangn ide-ide, konsepsi-konsepsi, pikiran-pikiran
dan kecakapan yang ia miliki yang justru sangat dibutuhkan oleh suatu lembga
kerjasama yang dinamis dan kreatif [31]
Dari
gaya kepemimpinan laissez-faire diatas dalam kontek pendidikan indonesia sangat
sulit untuk dilaksanakan karena keadaan pendidikan kita masih mengalami
beberapa gendala mulai dari masalah pendanaan, sumber daya manusia,
kemandirian, dan lain sebagainya. Dalam tipe kepemimpinan ini setiap kelompok
bergerak sendiri-sendiri sehingga semua aspek kepemimpinan tidak dapat di
wujudkan dan di kembangkan. Menurut Imam Suprayogo, Tipe kepemimpinan ini
sangat cocok sekali untuk orang yang betul-betul dewasa dan benar-benar tau apa
tujuan dan cita-cita bersama yang harus dicapai.[32]
Beberapa
sebab timbulnya “laissez faire” dalam kepemimpinan pendidikan indonesia antara
lain:
a.
Karena kurangnya semangat dan kegairahan kerja si pemimpin sebagai
penanggung jawab utama dari pada sukses tidaknya kegiatan kerja suatu lembaga
b.
Karena kurangnya kemampuan dan kecakapan
pemimpin itu sendiri. Apalagi jika ada bawahan yang lebih cakap, lebih
berbakat memimpin dari pada dirinya, sehingga si pemimpin cenderung memilih
alternatif yang paling aman bagi dirinya dan prestise jabatan menurut anggapannya,
yaitu dengan memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada setiap anggota staff,
kepada kelompok sebagai satu kesatuan, untuk menetapkan “policy” dan program
serta cara-cara kerja menurut konsepsi masing-masing yang dianggap baik dan
tepat oleh mereka sendiri.
c.
Masalah sulitnya komunikasi, misalnya karena letak sekolah yang
terpencil jauh dari kantor P dan K tersebut terpaksa mencari jalan
sendiri-sendiri, sehingga sistem pendidikan atau tata cara kerjanya, mungkin
sangat menyimpang atau sangat terbelakang jika dibandingkan dengan
sekolah-sekolah yang banyak mendapat
bimbingan dari petugas-petugas teknis kantor Departemen P dan K.[33]
c.
Tipe Demokratis
Kepemimpinan
demokratis adalah kepemimpinan berdasarkan demokrasi yang pelaksanaannya
disebut pemimpin partisipasi (partipative leadership). Kepemimpinan
partisipasi adalah suatu cara pemimpin yang kekuatannya terletak pada
partisipasi aktif dari setiap warga kelompok.[34]
Kepemimpinan
kepala sekolah yang demokratis merupakan kepemimpinan yang menganggap dirinya
bagian dari kelompok pelaku sekolah, orang tua siswa, dan masyarakat umum,
dimana kepala sekolah tidak selalu membuat keputusan dan kebijakan menurut
dirinya sendiri, akan tetapi melalui musyawarah mufakat dan dialog dengan asas
mufakat. Sebagaimana tertuang dalam al-Qur’an surat as-Syuura: 38
اArtinya:
“Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruhan Tuhannya dan mendirikan
Sholat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka, dan
mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang kami berikan kepada mereka” (QS.
Asy-Syuura: 38).[35]
Kepala
sekolah yang demokratis menyadari bahwa dirinya merupakan bagian darikelompok,
memiliki sifat terbuka, dan memberikan kesempatan kepada para tenaga
kependidikan untuk ikut berperan aktif dalam membuat perencanan, keputusan,
serta menilai kinerjanya. Kepala sekolah yang demokratis memerankan diri
sebagai pembimbing, pengarah, pemberi petunjuk, serta bantuan kepada para
tenaga pendidikan. Oleh karena itu dalam rapat sekolah, kepala sekolah ikut
melibatkan diri secara langsung dan membuka interaksi dengan tenaga pend
idikan, serta mengikuti berbagai kegiatan rapat sekolah.[36]
Dalam
suasana kerja kepemimpinan yang demokratis sebagian besar atau hampir
seluruh”policy” dan keputusan-keputusan
penting berasal dari dan disesuaikan dengan tuntutan-tuntutan situasi
kelompok, di man pemimpin bersama-sama dengan anggota kelompok ambil bagian
secara aktif di dalam perumusan “policy” umum,
keputusn-keputusan penting dan program lembaga kerja itu.[37]
Kepala
sekolah dalm melaksankan tugasnya hendaknya atas dasar musyawarah, unsur-unsur
demokrasinya harus nampak dalam seluruh tata kehidupan di
sekolah, misalnya:
a.
Kepala sekolah harus menghargai martabat tiap anggota/guru yang
mempunyai perbedaan individu.
b.
Kepala sekolah harus menciptakan situasi pekerjan sedemikian rupa
sehingga nampak dalam kelompok yang saling menghargai dan saling mengormati
c.
Kepala sekolah hendaknya menghargai cara berfikir meskipun dasar
pemikiran itu bertentangan dengan pendapat sendiri
d.
Kepala sekolah hendaknya menghargai kebebasan individu
Secara
sederhana, gaya kepemimpinan kepala sekoalah bertipe demokratis dapat
diperjelas sebagai berikut:
1.
Wewenang tidak mutlak, artinya segala yang menjadi hak kepala
sekolah dengan ketentuan-ketentuan yang
telah ditetapkan dasar hukumnya.
2.
Bersedia melimpahkan tugasnya pada orang lain dengan sistem pembagian
kerja yang jelas maupun sistem pendelegasian.
3.
Keputusan yang dibuat bersama, artinya segala kebijakan yang dibuat
sekolah merupakan tanggung jawab bersama.
4.
Komunikasi berlangsung timbal balik
5.
Pengawasan secara wajar yang tidsak mengunakan prinsip otokrasi yang
cenderung menilai dan menghakimi. Akan tetapi pengawasan yang bersifat
pengembangan dan mendidik.
6.
Banyak kesempatan untuk menyampaikan saran kepada sekolah.[38]
Selanjutnya
dalam kepemimpinan yang demokrasi pemimpin dalam memberikan penilaian, kritik
atau pujian, ia berusaha memberikannya atas dasar kenyataan yang seobyektif
mungkin. /ia berpedoman pada kriteria-kriteria yang didasarkan pada standar
hasil yang semestinya dapat dicapai menurut ketentuan terget program umum
sekolah yang telah ditetapkan mereka bersama.[39]
Dalam
hasil research bahwa untuk mencapai kepemimpinan yang demokratis, aktiitas
pemimpin harus:
a)
Meningkatkan interaksi kelompok dan perencanan kooperif
b)
Menciptakan iklim yang sehat untuk berkembangan individual dan
memecahkan pemimpin-pemimpin potensial.
Hasil
ini dapat dicapai kalau ada partisipasi yang aktif dari semua anggota kelompok
yang berkesempatan untuk secara demokratis memberi kekuasaan dan tanggungjawab.[40]
Konsep
kepemimpiann yang demokratis harus dapat dibuktikan kepemimpinannya dengan arah
tindakan dimana:
a)
Kebebasan pemikiran seseorang atau kelompok menghasilkan tindakan yang
bertanggungjawab
b)
Perbedaan penilaian dan kepercayaan ndapat dimanfaatkan perbedaan itu
untuk lebih mendekatkan kebenaran
c)
Motivasi perasaan dan sentimen orang-orang mendorong dan mengarahkan
kepada pemecahan masalah-masalah
d)
Kelompok-kelompok dapat mencari pertimbangan antara kepentingan kelompok
dan kepentingan umum
e)
Orang-orang memamkai kecakapan dengan efektif dalam menyelesaikan
masalah-masalah
f)
Orang-orang bukan saja memakai sumber-sumber intern, tapi meluas keluar
untuk melaksanakan imajinasi, inisiatif dan kreativitas dan menetapkan dan
memecahkan masalah.[41]
1.
Dasar Kepemimpinan Pendidikan yang Demokratis
Sudah
menjadi keyakinan kaum demokrat bahwa akar yang terdal;am dari pada tegaknya
falsafah demokrasi termasuk didalam kehidupan pendidikan dan pengajaran
terletak pada:
a.
Pengakuan yang mendalam tentang hak-hak asasi manusia yang berintikan
pengakuan kesamaan hak dan kebebasan bagi setiap individu.
b.
Pengakuan yang mendalam tentang adanya perbedaan-perbedaan dan keunikan
pribadi setiap individu disamping kesamaan umum yang harus dihormati dan
diperlakukan secara layak..
c.
Pengakuan yang mendalam tentang pentingnya individu-individu bekerjasama
dalam suasana persaudaraan untuk mencapai tujuan-tujuan dan kepentingan bersama
sesuai dengan hakekatnya sebagai mahluk sosial.
Masalah
yang timbul dalm bidang pendidikan adalah bagaimana menterjemahkan falsafah
demokrasi itu kedalam bahasa pendidikan, sehingga dapat dipahami dan dihayati
secara mendalam dan yang selanjutnya dapat pula dilaksanakan oleh
personil-personil pimpinan dan pelaksana pendidiakn dan pengajaran pada setiap
bentuk aktifitas pimpinan dan pelaksana pendidikan dan pengajaran dalam bentuk
nyata-konkrit.Prinsip-prinsip apa yang harus menjadi pedoman kepemimpinan
pendidikan yang demokratis itu; bagaiman membina hubungan-hubungan kemanusian
dan hubungan kerja yang berlandaskan demokrasi dan dan bagaiman struktur
organisasi paling efektif didalam membina kehidupan demokrasi dalam bidang
demokrasi. Bagaimana cara menerapkan prinsif-prinsif kepemimpinan yang
demokratis yang bersumber dari ketiga pengakuan tentang dasar falsafah
demokrasi tersebut diatas.Inilah yang menjadi salah satu problem penting
didalam pembinaan pembaharuan pendiidkan di Indonesia, atau dengan kata lain
problema-problema tersebut itu adalah problema masa depan Indonesia yang
sebagian terbesar ditentukan oleh sistem dan mutu pendidikan nasional dewasa
ini.
2. Prinsip-prinsip kepemimpinan yang Demokratis
Suatu
kepemimpinan pendidikan tidaklah dapat dikatakan berciri demokratis jikalau
kegiatn pimpinan dan situasi kerja yang dihasilkannya tidak menunjukkan secara
nyata penerapan prinsip-prinsip kepemimpinan sebagai berikut dibawah ini:
a.
Prinsip partisipasi
Dalam
suatu kepemimpinan pendidikan yang demokratis masalah partisipasi setiap
anggota staff pada setiap usaha lembaga tersebut dipandang sebagai kepentingan
yang mutlak harus dibangkitkan.Pemimpin dengan berbagai usaha mencoba
membangkitkan dan memupuk subur kesadaran setiap anggota staffnya agar mereka
merasa rela ikut bertanggungjawab, dan selanjutnya secara aktif ikut serta
memikirkan dan memecahkan masalah-masalah juga menyangkut perencanaan dan
pelaksanaan program pendidikan dan pengajaran. Berhasilnya pemimpin menimbulkan
minat, kemauan dan kesadaran bertanggungjawab daripada setiap anggota staff dan
bahkan individu diluar staff yang ada hubungan langsung dan tidak langsung
dengan penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran pada lembaga kerjanya itu, dan
yang selanjutnya menunjukkan partisipasi mereka secara aktif, berarti satu
fungsi kepemimpinan telah dapat dilaksanakannya dengan baik.
b. Prinsip Koperasi
Adanya
partisipasi anggota staff belum berarti bahwa kerjasama diantara mereka telah
terjalin dengan baik.Partisipasi juga bisa terjadi dalam bentuk spesialisasi
bentuk tugas-tugas, wewenang tanggungjawab secara ketat diantara
anggota-anggota, dimana setiap anggota seolah-olah berdiri sendiri-sendiri dan
berpegang teguh pada tugas-tugas, tanggung jawab dan wewenang masing-masing
individu.
Partisipasi
harus ditingkatkan menjadi kerjasama yang dinamis, dimana setiap individu
bertanggungjawab terhadap tugas-tugas yang diperuntukkan khusus bagi dirinya,
merasa berkepentingan pula pada masalah-masalah yang menyangkut suksesnya
anggota-anggota lain, perasaan yang timbul karena kesadaran bertangungjawab
untuk mensukseskan keseluruhan program lembaga kerjanya. Adanya perasaan dan
kesadaran semacam itu memungkinkan mereka untuk bantu membantu, bekerjasama
pada setiap usaha pemecahan masalah yang timbul didalam lembaga, yang mungkin
bisa menghambat keberhasilan dalam pencapaian tujuan program lembaga kerja
secara keseluruhan yang telah disepakati dan ditetapkan bersama-sama.
c.
Prinsip Hubungan kemanusiaan yang Akrab
Suasana
kerjasama demokratis yang sehat tidak akan ada, tampa adanya rasa persahabatan
dan persaudaraan yang akrab, sikap saling hormat menghormati secara wajar
diantara seluruh warga lembaga-lembaga kerja tersebut.hubungan kemanusiaan
seperti itu yang disertai unsur-unsur kedinamisan, merupakan pelicin jalan
kearah pemecahan setiap masalah yang timbul dan sulit yang dihadapi.
Pemimpin
harus menjadi sponsor utama bagi terbinanyan hubungan-hubungan sosial dan
situasi pergaulan seperti tersebut diatas didalam lembaga kerja yang
dipimpinnya itu.pemimpin tidak berlaku sebagai majikan atau mandor terhadap
pegawai dan buruhnya, tetapi ia sejauh mungkin menempatkan diri sebagai sahabat
terdekat daripada semua anggota staff dan penyumbang-penyumbang diluar staff dengan
tidak pula meninggalkan unsur-unsur formal jabatan.
d.
Prinsip Pendelegasian dan
Pemencaran Kekuasan dan Tanggungjawab
Pemimpin
pendidikan harus menyadari bahwa kekuasaan, wewenang dan tanggungjawab yang ada padanya sebagian harus didelegasikan
dan dipancarkan kepada anggota-anggota staff kerja juga mampu untu menerima dan
melaksanakan pendelegasian dan pemancaran kekuasaan, weenang, dan tanggungjawab
agar proses kerja lembaga secara keseluruhan berjalan lancar efisien dan
efektif.
Melalui
delegation and sharing of autthority and
responsibility yang tepat, serasi dan merata, moral kerja akan ikut terbina
secara sehat, semangat kerja dan perasaan tanggungjawab akan terbangkit dan
bertumbuh dengan subur. Melalui cara ini perkembangan pribadi dan jabatan staff
akan terangsang untuk bertumbuh secara kontinyu, pemimpin dapt berkesempatan
untuk mengetahui, menemukan dan selanjutnya membinan kader-kader pemimpin yang
potensial dikalangan staffnya. Pembinaan kepemimpinan melalui latihan dalam
bentuk delegasi dan pemencaran kekuasaan, wewenang dan tanggungajawab merupakan
cara yang paling praktis disamping usaha-usaha pembinaan lainnya, bagi
kepentingan kepemimpinan pendidikan yang
lebih bermutu dimasa depan.
e.
Prinsip Kefleksibelan organisasi dan Tata kerja
Organisasi
kerja disusun dengan maksud mengatur kegiatan dan hubungan-hubungan kerja yang
harmonis, efiseien dan efektfi. Kefleksibelan organisasi menjamin orgasnisasi
dn tata kerja serta hubungan-hubungan kerja selalu sesuai dengan
kenyataan-kenyataan dan problema-problkema baru yang slalu muncul dan berubah
terus menerus. Harl R. Douglas menyatakan bahwa:
“ Demokratic
administration provides for such fleksibility of organiation that adjustment
may be made from time to time in the matter of human relationship as the
occusion and developments may seen indicate”.
Jadi jelas bahwa prinsip fleksibilitas itu
meupakan faktor penting dalm organisasi administrasi pendidikan yang
demokratis. Dalam kebutuhan yang lebih luas fleksibilitas itu tidak hanya
terbatas pada struktur organisasi, hubungan-hubungan tata kerja, tetapi juga
pada masalah-masalah dan hal-hal lain yang menyangkut kehidupan individu dan
kelompok dalm lembaga kerja.
f.
Prinsip Kreatifitas
Pertumbuhan
dan perkembangan sesuatu lembaga pendidikan pengajaran disamping faktor
material dan fasilitas lainnya, terutama tentang pertumbuhan dan perkembangan
program dan aktivitas kerja, sebagian besar berakar pada kreativitaskerja pada
setiap personil pimpinan dan pelaksana didalam lembaga itu. Untuk dapat menyesuaikan
diri denga perubahan yang ada dimasyarakat, lembaga pendidikan harus menjadi
lembaga lembaga kerja yang kreatif dan dinamis, dimana setiap anggota staff
memiliki ide-ide, pikiran-piokiran dan konsep baru tentang prosedur, tata kerja
dan metode-metode mendidik dan mengajaran yang lebih efektif.[42]
3. Implikasi Kepemimpinan pendidikan yang
Demokratis
Didalam
proses kegiatan pimpinan pendidik, pelaksanaan prinsip tersebut diatas bersifat
saling melengkapi satu sama lainnya. Sehingga menghasilkan kesatuan tindakan
yang harmonis serasi dan simultan.
Ciri
khas yang menonjol dari kepemimpinan pendidikan yang demoikratis ialah
pelaksanaan prinsip-prinsip tersebut dalam bentuk kegiatan “ policy and
decesion makang” yang menyangkut orang-orang yang akan dipengaruhi, atau
terlibat didalamnya.
Kepala
sekolah bersama guru-guru dan staff sekolah lainnya, wakil siswa, wakil orang
tua siswa serta wakil masyarakat lainnya berfikir dan bekerjasama didalam
penetapan program umum sekolah. Jika pelaksanan program tersebut didukung oleh
dan dilaksanakan dengan penuh kesadaran dan tanggungjawab bersama sesuai dengan fungsi dan kemampuan
masing-masing maka akan tampak hasil yang sesuai dengan tujuan yang
direncanakan bersama.
Dengan
demikiann kepala sekolah, hendaknya melaksanakn prinsif-prinsif kepemimpiann
yang demokratis pada setiap kegiatan-kegiatan dengan mengikut sertakan semua
piahak yang berkepentingan atau mempunyai hubungan langsung dengannya. Prinsip
itu hedaknya diterapkan secara sadar dan penuh kesungguhan, dimulai dari
perencanann program sekolah, pelaksanan dan evaluasi terhadap hasil dan
pelaksanan program itu sendiri.
Kerjasama
yang yang terjalin antara semua pihak hendaknya dijaga sehingga terbina suasana yang harmonis, penuh
persahabatan, persaudaraan serta hormat menghormati antara sesama. Inisiatif
dan kreatifitas setiap anggota hedaknya dirangsang dan dibangkitkan
sebaik-baiknya. Sekolah harus tumbuh menjadi satu lembaga kerjasama yang demokratis dan penuh dinamika.
Dalam
suasana sekolah seperti itulah
diharapkan bisa meletakkan harapan untuk dapat membina calon-calon warga
negara dimasa depan yang dinamis, penuh
semangat, dapat menggunakan haknya, bebas dan tanggungjawab, penuh aspirsi dan
kreasi murni dari kepribadiannya yang utuh.
Adanya
gaya kepemimpinan kepala sekolah yang bermacam-macam tersebut diharapkan mampu
sebagai agen perubahan dalam sekolah sehingga mempunyai peran aktif dalam
meningkatkan kualitas pendidikan. Untuk
meningkatkan kualitas pengelolaan sekolah maka kepala sekolah sebagai pimpinan
harus mempunyai kemampuan leadership yang baik. Kepemimpinan yang baik adalah
kepala sekolah yang mampu dan dapat mengola semua sumber daya pendidikan untuk
mencapai tujuan pendidikan.[43]
Dengan
adanya tiga gaya kepemimpinan diatas
yang memiliki perbedaan kelebihan masing-masing untuk diterapkan disekolah.
Dimana gaya kepemimpinan otokrasi dapat diterapkan pada bawahan yang kurang
berpengetahuan yang masih membutuhkan bimbingan secara langsung dan kontinyu.
Gaya kepemimpina laissez faire dapat diterapkan pada sekolah yang
bawahanya sudah mandiri dan dapat
melaksanakan tugasnya sesuai dengan prosedural. Sedangkan gaya demokrasi sangat
sesuai apabila di terapkan disekolah yang mengutamakan prinsip timbal balik dan
saling memberikan manfaat bagi sesamanya.
Beberapa
studi yang telah dilakukan menunjukkan adanya pengaruh pola asuh terhadap
kualitas kepribadian anak. Coppersmith, menemukan bahwa anak yang diasuh
dengan pola demokrasi memiliki harga diri yang tinggi, percaya diri padsa diri
sendiri, tidak menonalak bila dilritik, mandiri dn optimis di dalam menghadapi
persoalan.[44]
Jika
dikaitkan dengan demokrasi, sifat-sifat ini adalah sifat yang perlu dimiliki
oleh orang-orang yang mampu berdemokrasi. Oleh karena di dalam alam demokrasi
seseorang harus memiliki sifat terbuka, bisa menerima kritikan, dan tidak
bersifat bahwa pendapat sendirilah yan paling benar.[45]
Sebaliknya
anak-anak yang dididik denga pola otoriter memiliki harga diri yang rendah,
pesimis, tidak suka dikritik, dipresif, dan tidak mandiri. Bila dikaitkan
dengan sifat-sifat seseorang yang demokratis maka ciri-ciri seperti di atas
akan membuat anak menjadi otoriter (anti demokrasi). Orang yang otoriter ingin
menang sendiri, dia tidak siap untuk menerima kekalahan. Di dalam menghadapi
perbedaan pendapat dia tidak bisa bersifat rasional. Walaupun pendapatnya
jelas-jelas mempunyai kelemahan yang besar, teapi dia tidak mau menerima
kekurangan tersebut. Selain itu mereka juga tidak memiliki kreatifitas yang
tinggi..[46]
Bertolak
pada pendekatan “behavior” (tingkah laku) bahwa variasi dan kombinasi tiap-tiap
kepemimpinan itu terlihat dengan jelas pada teori-teori kepemimpinan sebagai
berikut:
a)
James Mac. Greger Burns, menyimpulkan dalam batasan kepemimpinannya-bahwa sumber “power” untuk
pemimpin itu dari si terpimpin/kelompok, walaupun pemimpin itu mempengaruhi
kelompok tersebut. Selanjutnya pengaruh itu menciptakan interaksi pribadi di
dalam kelompok, yang merupakan penampilan kelompok dalam mencapai tujuan yang
telah disetujui bersama(J.M.G. Burns, 1972).
b)
Robert Tannenbaum dan Waren H. Schmidt, menyatakan bahwa aplikasi tiga gaya/ tipe kepemimpinan itu
bergerak dari ujung otoriter sampai dengan “laissez-faire”, yang bterkenal
dengan teori kontinyu tingkah laku pemimpin.Hal ini berarti, bahwa momentum
kepemimpinan itu tergantung pada siapa
yang dipimpin, bilamana (waktu) terjadi interaksi kepemimpinan itu terjadi, di
mana dan tugas apa yang akan diberikan si pemimpin.
c)
Teori “Ohio State University”, teori “Managerial Grid” dan teori Tiga
Dimensi menekankan pada perhatian terhadap hubungan antara yang dipimpin
dan perhatian pada tugas atau tjuan yang
akn dikerjakan atau yang akan dicapai. Dengan demikian gaya kepemimpinan yang
efektif tergantung pada penyesuian terhadap hubungan antara kedua variabel
diatas.
d)
Paul Harsey dan Kenneth Blancahard (R. Owens, 1981). Teori ini menyatakan
bahwa gaya kepemimpinan yang efektif, selain perhatian terhadap hubungan kedua
variabel tersebut (perhatian terhadap hubungna orang dan tugas), juga si
pemimpin hendaknya memperhitungkan situasw kematangan si pemimpin dalam rangka
melakukan tugas yang akan diberikan. Justru situasi kematangan terpimpin itu
akan menentukan titik poerteuan tentang gaya kepemimpina apa yang lebih efektif
3. Tugas Dan
Fungsi kepala Madrasah
Menurut pandangan demokrasi kegiatan
kepemimpinan pendidikan diwujudkan sedemikian rupa sehingga tugas-tugas pokok
dapat terleasir. Adapun tugas-tugas kepemimpinan pendidikan adalah sebagai
berikut:
1. Membantu
orang-orang di dalam masyarakat sekolah merumuskan tujuan-tujuan pendidikan.
2. Memperlancar
proses belajar mengajar dengan mengembangkan pengajar yang lebih efektif.
3. Membentuk
/membangun suatu unit beroganisasi yang produktif.
4. Menciptakan
iklim dimana kepemimpinan pendidikan dapat bertumbuh dan berkembang.
5. Memberikan
sumber-sumber yang memadai untuk pengajaran yang efektif.
Secara esensial keberadaan kepala sekolah
memiliki dua fungsi utama bagi sekolah yang dikelolanya. Pertama,
kepalas ekolah sebagai administrator. Dalam fungsi ini, kepala sekolah bertugas
melaksankan fungsi-fungsi administrasi pendidiakan di sekolah. Dan tugas-tugas
tersebut meliputi pengelolaan yang bersifat administratif dan operatif. Kedua,
kepala sekolah sebagai educator. Dalam fungsi ini kepala sekolah bertugas
melaksanakn fungsi-fungsi edukatif dalm pendidikan di sekolah.[47]
Aswarni Sudjud Dkk dalm buku “Administrasi
pendidikan’ menyebutkan bahwa fungsi kepala sekolah sebagai berikut:
1) Perumusan
tujuan kerja dan membuat kebijaksanaan (policy) sekolah.
2) Mengatur
tata kerja (mengorganisassikan) sekolah, mencakup : mengatur pembagian tugas
dan wewenang, mengatur petugas pelaksana, menyelenggarakan kegiatan (
mengkoordinasi).
3) Pensupervisi,
kegiatan sekolah, meliputi: mengatur kelancaran kegiatan, mengarahkan
pelaksanaan kegiatan, mengevakuasi pelaksanaan kegiatan, membimbing dan
meningkatan kemampuan pelaksanaan.[48]
Secara garis besar tugas dan fungsi kepala
sekolah dapat dijelaskan sebagai berikut:
a.
Sebagai Pendidik (edukator)
1)
Prestasi
sebagai guru mata pelajaran. Seorang kepala sekolah dapat melaksanakan program
pembelajaran dengan baik. Dapat membuat prota, kisi-kisi soal, analisa dan
dapat melakukan program perbaikan dan pengayaan.
2)
Kemampuan
membimbing guru dalam melaksanakn tugas. Mampu memberikan alternatif
pembelajaran yang efektif.
3)
Kemampuan
membimbinng karyawan dalam melaksanakan tugas sebagai tata usaha, pustakawan,
laboratorium dan bendaharawan.
4)
Kemampuan
membimbing stafnya lebih berkembang secara pribadi dan profesinya.
5)
kemampuan
membimbing bernacam-macam kegiatan kesiswaan.
6)
Kemampuan
belajar mengikuti perkembangan IPTEK dalam forum diskusi, bahan referensi dan
mengikuti perkembangan ilmu melalui media elektronika.
b.
Sebagai Manajer
1) Kemampuan
menyusun program secara sistematis, pereodik dan kemampuan melaksanakn program yang dibuatnya secara
skala prioritas.
2) Kemampuan
menyusun organisasi personal dengan uraian tugas sesuai dengan standar yang
ada.
3) Kemampuan
menggerakkan stfnya dan segala sumber daya yang ada serta lebih lanjut
memberikan acuan yang dinamis dalam kegiatan rutin dan temporer.
c.
Sebagai Administrator
1)
Kemampuan
mengelola semua perangkat KBM secara sempurna dengan bukti data administrasi
yang akurat.
2)
Kemampuan
mengelola administrasi kesiswaan, ketenagaan, keuangan, sarana dan prasarana
dan administrasi persuratan dengan baik sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Sudrajat menambahkan bahwa
fungsi kepala sekolah sebagai pemimpin ada 5 yaitu:
1)
Perencanaan
sekolah dalam arti menetapkan arah sekolah sebagailembaga pendidikan dengan
cara merumuskan viai, misi, tujuan dan srategi pencapaian.
2)
Mengorganisasikan
sekolah dalam arti membuat struktur organisasi (structuring),
menetapkanstaff(staffing), dan menetapkan fungsi-fungsi dan tugas-tugas
(funcitionalizing).
3)
Menggerakkan
staff dalam arti memotivasi staff melalaui “internal marketing” dan “memberi
contoh ekternal marketing”.
4)
Mengawasi
dalam arti melakukan supervisi, mengendalikan, dan emmbeimbing semua staff dan
warga sekolah.
5)
Mengevaluasi
proses dan hasil pendidikan untuk dijadikam dasar peningkatan dan pertumbuhan
kualitas, serta melakukan problem” solving” baik secara analisis sistematis
maupun pemecahan masalah secara kolitif, dan menghindarkan serta mengangulangi
konflik.[49]
d.
Sebagai Supervisor
1)
Kemampuan menyusun program supervisi pendidikan
di lembaganya dan dapat melaksanakan dengan baik. Melaksanakan supervisi kelas
secara berkala baik supervisi akademis maupun supervisi klinis.
2)
Kemampuan memanfaatkan hasil supervisi untuk
peningkatan kinerja guru dan karyawan.
3)
Kemampuan memanfaatkan kinerja guru/ karyawaan
untuk mengembangkan dan meningkatkan mutu pendidikan.
e. Sebagai Pemimpin (Leader)
1)
Memiliki kepribadian yang kuat. Seagai seorang
muslim yang taat beribadah, memelihara norma agama dengan baik dan jujur,
percaya diri, dapat berkomunikasi dengan baik, tidak egois, bertindak dengan
obyektif, penuh optimis, bertanggung jawab demi kemajuan dan perkembangan,
berjiwa besar dan mendelegsikan sebsgsi tugas dan wewenang kepada orang lain.
2)
Memahami semua persoalan yang memilikikondisi
yangn berbeda begitu juga kondisi siswanya berbeda dengan yang lain.
3)
Memiliki upaya untuk meningkatan kesejahteraan
guru dna karyawan.
4)
Mau mendengar kritik/ usul/ saran yang
konstruktif dari semua pihak yangterkait dengan tugasnya baik dari staf,
karyawan atau siswanya sendiri.
5)
Memiliki visi dan misi yang jelas dari lembaga
yang dipimpinnya. Visi dan misi terseebut disampaikan dalam pertemuan
individual atau kelompok.
6)
Kemampuan berkomunikasi dengan baik, mudah dimengerti teratur
sistesis kepada semua pihak.
7)
Kemampuan mengambil keputusan bersama secara
musyawarah
8)
Kemampuan menciptakan ubungan kerja yang
harmonis, membagi tugas secara merata dan dapat diterima oleh semua pihak.
e.
Sebagai inovator
1)
Memiliki
gagasan baru untuk inovasi kemajuan dan
perkembangan sekolah.. Maupaun memilih yang relevan untuk kebutuhan lembaganya.
2)
Kemampuan
mengimplimentasikan ide yang baru tersebut dengan baik. Ide atau gagasan
tersebut berdampak positif kearah kemajuan. Gagasan tersebut dapat berupa
pengembangan kegiatan KBM, peningkatan perolehan NEM Ebtanas, penggalian dan
operasional, peningkatan prestasi siswa melalui kegiatan ekstrakulikurel dan
sebagainya.
3)
Kemampuan
mengatur lingkungan kerja sehingga lebih kondusif (pengaturan tata ruang
kantor, kelas, perpustakaan, halaman, interior, musholla). Dengan lingkungan
kerja yang baik mendorong kearah semangat kerja yang baik. Lebih kondusif untuk
belajar bagi siswa dan kondusif bagai
guru/ karyawan.
Dalam
memberdayakan masyarakat dan lingkungan sekitar, kepala sekolah merupakn kunci
keberhasilan yang harus menaruh perhatian tentang apa yang dipikirkan orang tua
dan masyarakat tentang sekolah. Kepala sekolah profesional tidak saja dituntut
untuk melaksanakan berbagai tugasnya di sekolah, tetapi ia juga harus mampu
menjalin hubungan/ kerja sama dengan masyarakat dalam rangka membina pribadi
peserta didik secara optimal.[50]
B. Motivasi Belajar
1. Pengertian Motivasi dan Belajar
Motivasi
adalah suatu perubahan energi yang berciri timbulnya suatu perasaan yang
didahului oleh reaksi-reaksi yang ingin mencapai tujuan. Oleh karena manusia
selalu berusaha mencapai tujuan.
Menurut Mc.
Donald, “Motivation is a energy change
within person characterized by affective and anticipatory goal reactions”
Motivasi adalah perubahan energi dalam diri seseorang yang ditandai dengan munculnya afektif dan
reaksi untuk mencapai tujuan. Perumusan ini mempunyai tiga unsur yang saling
berkaitan sebagai berikut:
a. Motivasi dimulai dari adanya perubahan energi
dalam pribadi. Perubahan-perubahan dalam moivsi timbul dari
perubahan-perubahan tertentu didalam sistem neurofisiologi dalam organisme
manusia, misalnya adanya perubahan dalam sisitewm pencerenaan akan menimbulkan
motif lapar. Akan tetapi ada perubahan energi yang tidak diketahui.
b. Motivasi ditandai dengan timbulnya perasaan
(affective arousal). Mula-mula meupakan ketegangan psikologi, lalu
merupakan suasana emosi. Suasana emosi ini menimbulkan kealkuan yang bermotif.
c. Motivasi ditandai oleh reaksi-reaksi untuk
mencapai tujuan. Pribadi yang bermotivasi mengadakn respon-respon yang
tertuju kearah suatu tujuan. Respon-respon itu berfungsi mengurangi ketegangan
yang disebabkan oleh perubahan energi dalam dirinya.[51]
Oleh karena manusia selalu berusaha mencapai tujuan kita
dapat berkesimpulan bahwa telah terjadi perubahan energi dalam diri yang
bersangkutan yang memberikan kekuatan (daya) untuk bertingkah laku (berbuat
sesuatu) guna mencapai tujuan yang dimaksud.[52]
Menurut Woodworth dan Marques motif adalah suatu tujuan
jiwa yang mendorong individu untuk aktivitas-aktivitas tertentu dan untuk
tujuan terhadap situasi disekitarnya.[53]
Sedangkan J.P Chaplin memberiakn pengertian motivasi
adalah: mendorong untuk berbuat sesuatu atau bereaksi, menjalankan tugas sebagi
intensif atau sebagi tujuan, satu keadaan ketegangan di dalam individu, yang
membangkitkan, memelihara dan mengarahkan tingkah laku menuju pada satu tujuan
atau sasaran, alasan yang disadari, yang diberikan individu bagi tingkah
lakunya.[54]
Sedangkan menurut Creto,
bahwa motivasi merupakan suatu bagian dalm pribadi seseorang yang menyebabkan
seseorang melakukan pekerjaan atau tindakan tertentu dengan cara tertentu
dengan dua unsur, yaitu unsur kebutuahn
secara hakiki dan unsur dorongan.
Dimana kebutuha menurut Creto suatu hal yang biologis dimiliki manusia yang
cenderung nafsu, sedangkan dorongan adalah sessuatu dari akal yang berfungsi
sebagai petunjuk untuk mencapai tujuan atau kebutuhan-kebutuhan di inginkan,
baik kebutuhan psikis maupun fisik.[55]
Motivasi penting
bagi proses belajar mengajar, karena motivasi menggerakkan organisme,
mengarahkan, tindakan serta memilih tujuan belajar yang di rasa paling berguna
bagi kehidupan individu.[56]
Pentingnya motivasi di sekolah dan tuntutan kepala
sekolah serta komponennya untuk merealisasikan motivasi di sekolah dengan rancangan
dan pedoman motivasi yang sangat mudah dipahami dan dipraktekkan oleh semua
komponen sekolah, misalnya pengajar, siswa, wali murid, pengguna lulusan dan
masyarakat umum, adapun bentuk-bentuk motivasi di sekolah sebagai berikut:
1. Memberikn
hadiah adalah bentuk motivasi yang
diberikan pada seseorang yang mampunyai prestasi lebih dari yang lainnya,
hadiah sendiri bermacam-macam mulai dari pemberian jasa, uang, pangkat dan
lain-lain.
2. Pujian
adalah salah satu bentuk motivasi yang memberikan dorongan atas prestasi yang
diberikan kepala sekolah, sekaligus sebagai penambah gairah belajar.[57]
Motivasi belajar merupakan faktor psikis yang bersifat
non-intelektual. Perannya yang khas adalah dalam hal penumbuhan gairah, merasa
senang dan semangat untuk belajar. Siswa yang memiliki motivasi kuat, akan
mempunyai banyak energi untuk melakukan kegiatan belajar.[58]
Banyak bakat anak tidak berkembang karena tidak
diperolehnya motivasi yang tepat. Jika seorang siswa mendapatkan motivasi yang
tepat, maka lepaslah tenaga yang luar biasa, sehingga tercapai hasil yang semula
tidak terduga.[59]
Motivasi belajar penting artinya dalam proses belajar
siswa, karena fungsinya yang mendorong,
menggerakkan, dan mengarahkan kegiatan belajar.[60]
dalam diri yang bersangkutan yang memberikan kekuatan
(daya) untuk bertingkah laku (berbuat sesuatu) guna mencapai tujuan yang
dimaksud.[61]
Belajar
adalah suatu aktivitas yang menuju kearah tujuan tertentu. Untuk mencapai
tujuan itu perlu adanya faktor-faktor
yang perlu diperhatikan, misalnya saja faktor bimbingan.[62]
Berapa para ahli mendefinisikan belajar sebagai berikut:
1. Hilgard dan Bower,
dalam buku Theories of Learning mengemukakan :
Belajar berhubungan dengan
perubahan tingkah laku seseorang terhadap situasi tertentu yang disebabkan oleh
pengalamannya yang berulang-ulang dalam situasi itu, dimana perubahan tingkah
laku itu dapat dijelaskan atau dasar
kecenderungan respon pembawaan, kematangan, atau keadaan-keadaan sesaat
seseorang (misalnya kelelahan, pengaruh obat)
2. Gagne, dalam bukunya The Conditions of Learning menyatakan
bahwa:
“Belajar terjadi apabila
sesuatu situasi stimulus bersama dengan isi ingatan mempengaruhi siswa
sedemikian rupa sehinggga perbuatannya (performance-nya) berubah dari waktu
sebelum ia mengalami situasi itu kewaktu sesudah ia mengalami situasi tadi”
3. Morgan, dalam buku Intruducition
to Psychology mengemukakan:
“Belajar
adalah setiap pereubahan yang reatif menetap dalam tingkah laku yang terjadi
sebagai hasil dari latihan atau pengalaman”.
4. Witherington, dalam buku Educational
Psyschology mengemukakan“
Belajar adalah siatu
perubahan di dalam kepribadian yang menyatakan diri sebagai sutau pola baru
dari pada reaksi yang berupa kecakapan, sikap, kebiasaan, kepandaian, atau
suatu pengertian.”[63]
2.
Macam-macam Motivasi
Di lihat dari dasar pembentukannya motivasi ada
dua macam, yaitu:
1. Motif-motif
bawaan.
Yang dimaksud denagn motif bawaan adalah
motif yang dibvawa sejak lahir, jadi motivasi mitu ada tampa dipelajari.
Sebagai contoh dorongan untuk makan/ minum, dorongn untuk bekerja, dorongan
untuk beristirahat, dorongan seksual. Motif-motif ini sering disebut
motif-motif yang disyaratkan secara biologis.
2. Motif-motif yang dipelajari.
Maksudnya motif-motif yang timbul karena
dengsn proses dipelsajsri. Contoh: dorongn untuk belajar suatu cabang ilmu
pengetahuan motif seperti inisering disebut denagn motif diisyaratkan secara
sosial. Sebab manusia hidup dalam lingkungan sosial dengan sesama manusia yang
lain, seingga motivasi itu terbentuk.
3.
Fungsi Motivasi Dalam Belajar
a. Mendorong timbulnya kelakuan atau suatu perbuatan.Tanpa
motivasi tidak akan timbul suatu perbuatan seperti belajar.
b. Sebagai pengarah, artinya mengarahkan perbuatan kepada
pencapaian tujuan yang diinginkan.
c. Sebagai penggerak. Ia berfungsi sebagai mesin bagi
mobil. Besar kecilnya motivasi akan menentukan cepat atau lembatnya suatu
pekerjaan.
Motivasi sangat penting
karena suatu kelompok yang mempunyai motivasii akan lebih berhasil ketimbang
kelompok yang tidak punya motivasi (belajarnya kurang atau tidak berhsil).
Dengan demikian, motivasi harus dikembangkan berdasarkan pertimbangan
individual. Secara umum semua manusia membutuhkan motivasi untuk dapt giat
belajar kecuali (mungkin) orang sudah tua atau orang yang sedang sakit.[64]
Motivasi para remaja
ditandai oleh harapan untuk sukses dalam memecahkan masalah tingkah laku,
tinjauan masa depan yang optimistis dan prestasi akademis, dorongan sosial,
dorongan aktivitas, dorongan untuk merasa aman, dorongan untuk materi, dorongan
untuk dihargai dan dorongan untuk dimiliki.[65]
Penggerakkan motivasi
belajar didasarkan atas prinsip-prinsip memberikan pujian lebih efektif
dibandingkan dengan hukuman, pemuasan kebutuhan-kebutuhan psikologis, motivasi
yang timbul dari dalm individu lebih efektif daripada motivasi yang dipaksakan
dari luar, penguatan atas jawaban atau perbuatan yang sesuai dengan keinginan,
motivasi mudah menjalar kepada orang lain, pemahaman tentang tujuan belajar
akan merangsang motivasi.
4.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Motivasi Belajar
Faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi belajar adalah umur, kondisi
fisik, dan kekuatan intelegensi yang juga harus dipertimbangkan dalam hal ini.
Tujuan utama dari pemberian motivasi belajar bagi seseorang adaalhuntuk
membangkitkan dan menggairahkan pencapaian puncak kreatifitas dan prestasi
belajarnya seoptimal mungkin. Sebagai individu historis, keberadaan sikap
mental pelajar dan pola pikirnya dipengaruhi oleh berbagai macam faktor budaya,
peradapan, etnik, pola pikir dan lain sebagainya.
Berdasarkan ha ini ada tiga faktor yang dapat mempengaruhi motivasi
belajar, yaitu:
a) Faktor internal, berupa kondisi jasmani dan rohani siswa
yang bisa berupa kesehatan fisik, kepribadian, watak, tingkah laku, cita-cita
dan lain-lain
b) Faktor eksternal, berupa kondisi tradisi sekitar siswa
yang bisa berupa keadaan alam, tradisi tempat tinggal, pergaulan sebaya dan
kehidupan masyarakat
c) Pendekatan belajar, yaitu jenis upaya belajar siswa yang
meliputi strategi dan metode yang digunakan sisiwauntuk melakukan kegiatan
pembelajaran meteri-meteri pelajaran.[66]
Pendapat lain ada yang menyatakan bahwasanya faktor-faktor yang
mempengaruhi motivasi belajar, adalah:
a) Kemasakan, untu dapat mengerti motivasi individu harus
diperhatikan kemasakannya baik secra fisik, psikis maupun sosial. Karena bila
tidak diperhatikan akan menimbulkan frustasi yang akhirnya akan bisa mengurangi
kapasitas belajar.
b) Usaha yang bertujuan dan ideal. Motif mempunyai tujuan
atau goal. Makin terang tujuannya makin kuat itu didorong. Tiap usaha untuk
membuat yang lebih kuat itu adalah suatu langkah menuju motivasi yang efektif.
c) Pengetahuamn mengenai hasil dalm motivasi. Apabila
tujuan sudah terenag dan individu selalu diberitakan tentang kemajuannya, maka
dorongan untuk usaha akan semakin besar. Kemajuan perlu diberitahuakn karena
dengan mendapatkan kemajuan ini individu tersebut akan merasa puas. Sesuai
dengan low of effect dari Torndike,
kepuasan ini akan membawa kepada usaha yang lebih besar.
d) Penghargaan dan hukuman. Penghargaan dapat berupa
material seperti uang, hadiah ataupun yang lain seperti kedudukan, promosi atau
yang berupa spritual seperti pujian dan doa. Hukuman merupakan motivasi
negatif, karena didasarkan atas rasa takut. Sehingga kemungkinan dapat menghilanhkan inisiatif. Hukuman ini
dapat pula menghilangkan moral dan aspek pribadi.
e) Partisipasi. Salah satu dari dinamika individu adalh
keinginan berstatus, keinginan untuk ambil bagian dalam aktifitas-aktifitas
untuk berpartisipasi. Partisipasi ini dapat menimbulkan kreatrifitas,
originilitas, inisiatif dan emmberti kesempatan kepadnya untuk berpartisipasi
pada segala keinginan.
f) Perhatian. Insentif adalh rangsang terhadap perhatian sebelum
menjadi motif. Ini dapat di timbulkan dengan beberapa cara antara lain dengan
alat peraga seperti televisi, radio, VCD, gambar hidup, laboratorium dan
lain-lain.Motivasi belajar yang terbaik adalah apabila seluruh kepribadian
orang yang bersangkutan dapat ditimbulkan.[67]
Faktor-faktor lain yang mempengaruhi belajar adalah
sebagai berikut:
a. Kemampuan Pembawaan
Kemampuan tiap orang mempunyai potensi kemampuan sendiri-sendiri.
Kemampuan pembawan ini akan mempengaruhi belajarnya anak. Anak yang amempunyai
kemampuan pembawan lebih akan lebih mudah dan lebh cepat belajar dari pada anak
yang nmempunyai kemmpuan yang kurang.
b. Kondisi Fisik Orang
yang Belajar
Orang belajar tidak lepas dari kondisi phisiknya. Maka adanya anak yang
cacat misalnya kurang pendengaran, kurang penglihatan prestasinya juga
kurang apabila dibandingkan dengan anak
yang normal. Maka perlulah diperhatikan kondisi fidik anak yang belajar.
c. Kondisi Psikis Anak
Keadaan psikis yang
kurang baik banyak sebabnya, mungkin ditimbulkan oleh keadan fisik yang tidak
baik, sakit, cacat, mungkin disebabkan oleh ganguan atau keadaan lingkungan,
situasi rumah, keadaan ekonomi keluarga.[68]
Belajar atau menuntut
ilmu daalm mpandangan Islam adalh suatu hal yang dipandang baik ada banyak
al-Qur’an dan hadis Nabi Muhammad S.A.W yang mengungkapkan mengenai belajar
serta memotivasi manusi untuk selalu belajar, diantaranya adalah sebgai berikut:
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepada kamu
“berlapang-lapanglah dalam majelis” maka lapangkanlah, niscaya Allah akan
memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan “berdirilah kamu” maka
berdirilah, Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantara
kamu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa
derajat, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan”.(Q.S Al-Mujadilah:
11)
Artinya:
“(Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang
beribadah di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri sedang ia takut kepada
(adzab) akherat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah adakah sama
orang-orang yang mengetahui dan orang-orang yang tidak mengetahui, sesungguhny
orang-orang yang berakallah yang menerima pelajaran”
(Q. S
Az-Zumar: 9)[69]
عَنْ أبِيْ دَرْداَءَ رَضِِيَ اللهََُ عَنْهُ سَمِعَتُ رُسُوْلَ اللهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ يَقُولُ: مَنْ سَلَكَ طريْقاً يَبْتغِيْ فِيْهِ عِلْماًًًً سَهَّلَ اللهُ لَهُ طَِريْقاّ إلى الجَنَّةِ {رَواَهُ ااَتِِّرْ مِيْذيّ}
Artinya: “ Dari Abi
Darda’ r.a saya mendengar Rasulullah S.A.W bersabda: Barangsiapa yang berjalan
untuk menuntut ilmu maka Allah akan memudahkan jalannya ke surga”(H.R
Turmudzi).
Ayat dan hadis diatas
adalah sebuah tuntutan, anjuran bahkan perintah guna meningkatkan kualitas
hidup dan beribadah terutama dalam menuntut ilmu atau belajar.[70]
Hadis lain yang memberikan motivasi untuk belajar
adalah:
طَلَبُ الْعِْلمِ فَرِيْضَة ٌ عَلَََى كُلِّ مُسْلِِِمٍ وَ مُسْلِمَةٍ {رَواَهُ مُسْلِمٌ}
Artinya: “ Menuntut
ilmu itu (hukumnya) wajib bagi orang Islam laki-laki dan perempuan”(HR Muslim).
اُطْلُبُوْا الْعِلْمَ وَلَوْ بِاِاصِّنِيْنٍ {رَواَهُ مُسْلِمٌ}
Artinya: “ Tuntutlah ilmu walaupun sampai ke (negeri) cina”(HR Muslim).
عَنْ عَبْدِاللهِ بْنِ مَسْعُوْدٍ قاََلَ: قاَلَ
اانّبِيُّ صَلّىَ اللهُ عَلََيْهِ وَسَلَّمَ لآحَسَدَ إلآَّ إثّنَيْنِِ: رَجَلُ
أتاَهُ اللهُ ماَلآ فَسَلَّطَ عَلىَ هَلَكَتِهِ فِيْ الْحَقِّ وَرَ جُلٌ أتاَهُ
اللهُ الْحِكْمَة فََهُو يَقْضِى بِِِِِِِهَا وَ يُعَلِّمُهُ {رَواَهُ
الْبُخَارِيْ }
Artinya: “ Dari
abdillah bin Mas’ud berkata, Nabi S. A. W bersabda: tidak ada hasad (iri)
kecuali pada dua hal, yaitu pada seseorang yang diberi harta oleh Allah dan
dihabiskan di jalan kebenaran dan seseorang yang diberi ilmu oleh Allah
kemudian dia membuat keputusan (suatu masalah) dengannya dan dia
mengajarkannya”(H.R Bukhori).[71]
Dari hadis tersebut
diatas dapat kita ketahui bahwasanya orang yang diberi ilmu lebih tinggi boleh
di-ri, sehingga nantinya diharapkan bisa menjadi motivasi seseorang untuk
belajar lebih bangyak lagi. Satu riwayat juga memandang pentingnya dalam
menuntut ilmu hingga tidak perlu malu bertanya jika tidak mengetahui tentang
sesuatu hal, adalh sebagai berikut:
قا لَتْ عاَئشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهاَ: نِعْمَ
النِّساَءُ الآنْصاَرِ لَمْ يَمْنَعْهُنَّ الْحَياَءُ أنْ يَتَفَقَّهْنَ فِيْ
الدِّيْنِ {رَواَهُ البُخَاَري}
Artinya: “ Aisyah r.a
berkata: sebaik-baik wanita adalh wanita(kaum) anshor yang tidak malu
mempelajari agama”(H.R Bukhori).[72]
Menurutr ijma’ atau
persepakatan ulama’ sendiri bahwasanya berpergian menuntut ilmu hukumnya adalah
sunnah.[73]
C. Pengaruh Gaya Kepemimpinan Kepala Madrasah Terhadap Motivasi Belajar
Siswa
Seseorang melakukan
aktivitas karena di dorong oleh adanya faktor-faktor, kebutuhan biologis,
instink, dan unsur-unsur kejiwan lainnya serta adanya pengaruh perkembangan
budaya manusia. Dalam persoalan ini Skinner
lebih cenderung merumuskan dalam bentuk mekanisme stimulus dan respon. Stimulus
dan respon inilah memunculkan suatu aktivitas.[74] Dalam hubungan dengan belajar, yang penting adalah
bagaiman menciptakan kondisi atau proses yang mengarahkan siswa melakukan
aktivitas belajar. Peran kepala sekolah
juga berpengaruh dalam meningkatkan motivasi belajar siswa.
Siswa adalah salah satu
komponen manusiawi yang menempati posisi sentral dalam proses belajar mengajar.
Di dalam proses tersebut siswa sebagai pihak yang ingin meraih cita-cita
memiliki tujuan dan ingin mencapainya secara optimal. Siswa menjadi faktor
penentu sehingga menuntut dan dapat mempengaruhi segala sesuatu yang
diperlukaan untuk mencapai tujuan belajarnya.[75]
Untuk dapat mencapai
tujuan dalm proses belajar, siswa di tuntut untuk mengembangkan dan
membangkitkan motivasi yang ada di dalam dirinya secara terus menerus. Untuk
dapat membangkitkan dan mengembangkan motivasi dalam belajar, siswa daapt
melakukannya denagn menentukan atau mengetahui tujuan belajar yang hendak di
capai, menanggapi dengan positif pujian atau dorongan dari orang lain
menentukan target ataau sasaran penyelesaian tugas belajar dan lain-lain.[76]
Motivasi berkaitan erat
dengan tujuan, dan tujuan berkaitan erat dengan kebutuhan. Seseorang akan
terdorng melaukan sesuatu bila merasa ada suatu kebutuhan. Kebutuhan timbul
karena adanya keadaan yang tidak seimbang, tidak serasi atau rasa ketegangan
yang menuntut suatu kepuasan. Keadaan yang tidak seimbang atau adanya rasa
tidak puas, perlukan motivasi yang tepat. Kalau kebutuhan tidak terpenuhi,
amaka aktivitas itu akan berkurang dan sesuai dengan dinamika kehidupan
manusia, mak akan timbul tuntutan kebutuhan yang baru. Hal ini menunjukkan
bahwa kebutuhan manusia bersifat dinamis, berubah-ubah sesuai dengan sifat
kehidupan manusia itu sendiri.[77]
Menurut Morgan dan ditulis kembali oleh S. Nasution, dikatakan bahwa manusia
hidup memiliki berbagai kebutuhan yaitu:
a)
Kebutuhan untuk berbuat
sesuatu untuk sesuatu aktivitas
Penting bagi anak untuk melakukan kebutuhan
diatas, kerena perbuatan itu mengandung suatu kegembiraan bainya. Sesuai dengan
konsep ini orang tua yang memaksa
anaknya untuk diam di rumah saja adalah bertentangan dengan hakikat anak.
b)
Kebutuhan untuk menyenagkan
orang lain
Banyak orang yang dalm kehidupannya memiliki
motivasi untuk banyak berbuat sesuatu demi kesenangan orang lain. Harga diri8
seseorang daapt dinilai dari berhasil tidaknya usaha memberikan kesenangan pada
orang lain. Hal ini merupakan kepuasan dan kebahagiaan tersendiri bagi orang
yang melakukan kegiatan tersebut. Konsep ini dapat diterapkan pad kegiatan
belajar untuk orang yang disukainya.
c)
Kebutuahan untuk mencapai
hasil
Suatu pekerjaan atau kegiatan belajar aakn
berhasil bila disertai denagn pujian. Aspek pujian merupakan dorongan bagi
seseorang untuk bekerja dan belajar dengan giat dan pujian harus dikaitkan
dengan prestsi yang baik. Apabila hasil pekerjan atau usaha belajar tidak
dihiraukan orang lain, dalam hal ini guru, orang tua, maka kegiatan anak akan
berkurang
d) Kebutuahan untuk mengatasi kesulitan
Suatu kesulitan atau hambatan hendaknya menjadi
dorongan untuk mencari kompensasi dengan usaha yang tekun dan luar biasa,
sehingga tercapai kelebihan atau keunggulan dalam bidang tertentu.[78]
Sondang
menjelaskan bahwa baik dikalangan ilmuan maupun praktis bersepakat bahwa
tipe kepemimpinan demokratis adalah paling ideal dan paling didambakan. Memang
pemimpin yang demokratis tidak selalu pemimpin yang paling efektif dalam
kehidupan organisasi, adakalnyan dalam hal bertindak dan mengambil keputusan,
bisa terjadi keterlambatan sebagai konsisten keterlibatan para bawahan dalam
proses pengambilan keputusan. Tetapi dengan kelemahannya, pemimpin demokrasi
tetap dipandang sebagai pemimpin yang terbaik karena kelebihan-kelibahannya
mengalahkan kekurangannya.[79]
Tipe pemimpin demokratis itu perhatiannya pada seluruh elemen
sekolah baik itu pada benda atau alat-alat maupun pada siswa-siswanya dan segala keputusan dan
tindakan itu akan senntiasa dimusyawarahkan bersama karena pemimpin ini menganut
prinsif mufakat yaitu segala sesuatunya akan dilaksanakn dan
dipertanggungjawabkan bersama.[80]
Ciri pemimpin yang efektif adalah yang punya motivasi tinggi.
Mereka berusaha untuk mencapai sasaran-sasaran tinggi dengan menetapkan standar
prestasi, mempunyai sifat enerjik, slalu ditantang problema yang tidak
terpecahkan disekitarnya. Pemimpin tersebut berusaha mengubah keinginan
seseorang untuk melaksankan sesuatu dengan menunjukkan arah yang harus ditempuh
serta membina ke arah penyelesaian hasil pekerjaan kelompok. Kepemimpinan yang
efektif harus melibatkan orang lain termasuk bawahanya untuk bekerja sama
dengan ikhlas sesuai dengan tujuan yang telah direncanakan. Ia harus mempunyai
motivasi yang tinggi agar organisasinya dapat berkembang dan siap untuk
bersaing dengan menggunakan strategi, inisiatif serta akal banyak.
[1] Imam Suprayogo, 1999, Revormulasi
Visi Pendidikan Islam, Malang: Stain Press, cet. I, Hal. 161
[2] !bid, Hal.161
[3] Ibid, Hal. 162
[4] Dirawat dkk, 1983,
Pengantar Kepemimpinan Pendidiakn, Surabaya: Usaha Nasional, Hal. 23
[5] Ibid, Hal. 26
[6] Wahjosumidjo, 2002, Kepemimpinan
Kepala Sekolah tinjauan teoritik dan permasalahan, Jakarts: PT. Raja
Grafindo Persada, Hal. 17
[7] Ibid, Hal. 33
[8] Sulistyorini, 2001, Hubungan
Antara Manajerial Kepala Sekolah Dan
Iklim Organisasi Dengan Kinerja Guru, Jurnal IlmumPendidikan, Th 28 no.1
Januari 2001, Hal. 63
[9] Wahjosumidjo, Op. Cit,
Hal. 83
[10] Vaitzal Rivai, 2004, Memimpin
Dalam Abad ke-21, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, Hal. 253
[11] Ibrahim Bafaadal, 1992, Supervisi
Pengajran,: Teori dan Aplikasi Dalam Membina Profesional Guru, Jakarta: PT.
Bumi Aksara, Hsal. 62
[12] Dwi Septiawati Djafar,
2003, No. 2/XV juni-juli, Hakikat Kepemimpinan, Majalah Wanita Ummi,
Hal. 2
[13] Dirawat Dkk, 1971, Pemimpin
Pendidikan Dalam Rangka Pertumbuhan Djabatan Guru-Guru, Malang: Terbitan
ke-IV, Hal. 39
[14] M. Moh. Rifa’I, 1986, Administrasi
dan Supervisi Pendidikan, Bandung: Jemmar, Hal. 38
[15] Puis.A. Partanto Dan
Dahlan Al Barry, 1994, Kamus Ilmiah, Surabaya: Arkola, Hal. 952
[16] Sutarto, 1998, Dasar-Dasar
Kepemimpinan Administrasi, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, Hal. 73
[17] Kartini Kartono, 1998, Pemimpin
dan Kepemimpinan, Jakarta: Rajawali Press, Hal. 38
[18] Op. Cit. Imam Suprayogo,
Hal. 166-167
[19] E. Mulyasa, 2003, Menjadi
Kepala Sekolah Profesional: Dalam Konteks Menyukseskan MBS dan KBK,
Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, Hal. 269
[20] Ibid. Hal. 269
[21] Dirawt Dkk, Op. Cit, Hal
52
[22] Ibid. Hal. 52-53
[23] Panji Anoraga Dkk, 1995, Psikologi
Industri dan Sosial, Jakarta: Pustaka Jaya, Hal. 113
[24] Sutarto, Op.Cit, Hal.77
[25] E. Mulyasa, Op.Cit, Hal.
271
[26] Kartini Kartono,Op. Cit,
Hal. 53
[27] Ibid, Hal. 271
[28] Hendyat suetopo dan Wasty
suemanto,Op.Cit, Hal.8
[29] Ngalim Purwanto, 1991,
Administrasi dan Supervisi Pendidikan, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, Hal.
51
[30] Ibid, Hal. 51
[31] Dirawat Dkk, Op. Cit,
Hal. 54-55
[32] Imam Suprayogo, 1999, Revormulasi Visi Pendidikan Islam, Malang: Stain
Press, Cet.1, Hal. 167
[33] Dirawt Dkk, Op. Cit, Hal.
55
[34] Kartini Kartono, Op.cit,
Hal. 73
[35] Depag RI, 1993, Al-Qur’an
dan Terejemahannya, Surabaya: Cipta Aksara, Hal. 789
[36] E. Mulyasa, Op. Cit, Hal.
270
[37] Dirawat Dkk, Op.Cit, Hal.
58
[38] Sutarto, Op.Cit, Hal. 75
[39] Dirawat Dkk, Op. Cit,
Hal. 58
[40] Hendiyat Suetopo dan
Wasty Suemanto, 1984, Kepemimpinan dan Supervisi Pendidikan, Malang:
Bina Aksara, Hal. 11
[41] Ibid, Hal. 12
[42] Dirawat Dkk, 1970
Pemimpin Dan Kepemimpinan Dalam Rangka Pertumbuhan Djabatan Guru-Guru, Malang,
Hal. 58-66
[43]
Rasmianto, Jurnal “el-Harakah”, Malang: penerbitan UIIS, Edisi. 59 Tahun
XXIII, Maret-Juni 2003
[44] M. Masyhur Amin dan
Muhammad Najib, 1993, Agama, Demokrasi, dan Transformasi Sosial,
Jakarta: LKPSN NU Diy, Hal. 108
[45] Ibid, Hal. 108
[46] Ibid, Hal. 108
[47] E. Mulyasa , 2004, Hal.
98.
[48] Daryanto, 2001, Administrasai
Pendidikana, Jakarta: Rineka Cipta, Hal. 81
[49] Hari Sudrajat, 2004, Manajemen Peningkatan Mutu Berbasisi Sekolah, Bandung; Cipta Cekas
Grafika, Hal. 112
[50] E. Mulyasa, p. Cit, Hal. 187
[51] Oemar Hamalik, 1992, Psikologi Belajar Dan Mengajar, Bandung: Sinar Baru, Hal. 173-174
[52] Samuel Soeitoe, 1982, Psikologi Pendidikan Merngutamakan Segi-Segi Perkembangan, Jilid
dua, Jakarta: Lembaga Penerbitan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Hal.
52
[53] Mustaqim dan Abdul Wahib, 2001, Psikologi Pendidikan, Jakarta: Renika
Cipta, Hal. 72
[54] J.P. Chaplin, 2004, Kamus Lengkap P}sikologi, Jakarta: Renika Cipta, Hal. 310
[55] Ibrahim Bafaadol, 1992, Supervisi Pengajaran: Teori dan Aplikasi Dalam Membina Profesional
Guru, Jakarta: PT. Bumi Aksara, Hal. 62
[56] Wasty Suemanto, 1998, Psikologi Pendidikan Landasan Kerja Pemimpin Pendidikan, Jakarta:
Renika Cipta, Hal. 121
[57] Rudolf Dreikurs dan Pearl Cassel, 1986, Disiplin Tampa Hukuman, Bandung: CV.
Remaja Karya, Hal. 49
[58] Sardiman AM, 1986, Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, Jakarta: Rajawali, Cet. I,
Hal. 73-75
[59] Ngalim Purwanto, 1988, Psikologi Pendidikan, Bandung: Remadja Karya, Cet. Ke IV, Hal. 70
[60] Oemar Hamalik, 2003, Perancanaan Pengajaran Berdasarkan Pendekatan Sistem, Jakarta: Bumi
Aksara, Hal. 156
[61] Samuel Soeitoe, 1982, Psikologi Pendidikan Merngutamakan Segi-Segi Perkembangan, Jilid
dua, Jakarta: Lembaga Penerbitan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Hal.
52
[62] Mustiqim dan abdul Wahib, 1991, Psikologi
Pendidikan, Jakarta: PT. Rineka Cipta, Hal. 60
[63] M.Purwanto, 1985, Psikologi Pendidikan, Bandung: Remadja Karya, Hal. 80-81
[64] Oemar Hamalik, Op.Cit, Hal. 179
[65] Oemar Hamalik, 1992, Psikologi Belajar Dan mengajar, Bandung: Sinar Baru, Hal. 187
[66] Dimyati dan Mujiono, 1999, Belajar dan Pembelajaran, Jakarta: Rineka Cipta, Hal. 99
[67] Muhibbin Syah, 1995, Psikologi Belajar, Hal. 130-135
[68] Dirawat, Op.cit, Hal. 91
[69] Depag R.I, 2004, al-Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta: C. V Diponegoro, Hal. 903
[70] Utsman Najati, 2003, al-Qur’an
dan Ilmu Jiwa, Hal. 183
[71] Abu Abdillah Muhammad bin ismail, 1992, Shohihu al Bukhori; al juz awwal,
Libanon: Darul Kutub al Ilmiyah, Hal. 320
[72] Ibid, Hal. 51
[73] Sa’di Abu Habieb, 1997, Persepakatan Ulama’ dalam Hukum Islam; Ensiklopedi Ijma’, Jakarta:
Pustaka Firdaus, Hal. 96
[74] Sardiman AM, 2001,Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, Jakarta: RajaGrafindo
Persada, Hal. 75
[75] Ibid, Hal. 109
[76] Dimyati dan Mudjiono, Op.Cit, Hal. 51
[77] Sardiman AM,Op. Cit, Hal. 76
[78] Ibid, Hal. 76-78.
[79] Siagian Sondang, 1999, Teori dan Praktek Kepemimpinan, Jakarta: Renika Cipta, Hal. 40
[80] Ibid, Hal. 41
Tidak ada komentar:
Posting Komentar