Puluhan siswa SMK Budi Utomo ditangkap 
polisi sesaat sebelum melakukan tawuran dengan SMA fransiskus, di Jalan 
dr Soetomo, Jakarta Pusat Jum’at. Dari tangan para pelajar ini polisis 
menyita berbagai senjata seperti ikat pinggang berkepala gear, badik, 
parang samurai, stik golf, dan lain-lain (Okezone, 20 Februari 2009). 
Panorama lain, Kasus pembunuhan dan kekerasan di kampus pamongpraja di 
Sumedang yang begitu menghentak kesadaran publik yang pelakunya diganjar
 ringan. Di Bandung anak-anak muda dengan bangga menjadi anggota geng 
motor, seolah tidak ada penyaluran lain yang positif untuk aktualisasi 
kaum muda. Kekerasan terjadi dalam dunia pendidikan di Madura terhadap 
siswa Madrasah Ibtidaiyah Kabupaten Sumenep, menjadi bulan-bulanan dua 
orang kepala sekolah (kasek) hingga tak sadarkan diri hingga harus 
dirawat di Puskesmas, serta penyebaran video atau foto porno pasangan 
selingkuh antara pegawai negeri sipil Dinas Perhubungan dan seorang guru
 SMP Negeri 2 Pamekasan, Madura (Kompas Rabu, 4 Juni 2008). Terakhir 
foto bugil milik seorang ibu guru di Banyuwangi, beredar luas melalui 
ponsel (Surya, 18 Nopember 2009).
Cuplikan peristiwa di atas merupakan 
potret kelabu dunia pendidikan kita saat ini. Kasus-kasus tersebut 
merupakan fenomena “gunung es”, di mana faktanya justeru lebih besar 
daripada apa yang dapat di tangkap dan dilaporkan. Fenomena tersebut 
bisa jadi sebagai refleksi bahwa pendidikan moral dan budi pekerti di 
kalangan siswa perlu mendapatkan perhatian serius, untuk mencegah efek 
domino yang lebih besar.
Berangkat dari peristiwa tersebut, timbul
 pertanyaan besar “Apa makna di balik sejumlah kasus buram tersebut?”. 
Secara tidak langsung, serangkaian persitiwa penyimpangan yang mewarnai 
dunia pendidikan kita dapat menjadi indikasi, bahwa secara kolektif 
maupun individual bangsa ini mengalami pelemahan karakter sebagai bangsa
 yang bermartabat mulia, selain karena lemahnya sistem. Seiring dengan 
maraknya persitiwa besar lainnya, bangsa ini makin terpuruk dan mulai 
kehilangan rasa malu dan kehormatan yang selama ini telah mewarisi 
tradisi besar (the great tradition) sebagai bangsa yang toleran, ramah, 
religius sebagaimana melekat dalam kepribadian bangsa.
Dalam kontek yang lebih spesifik selaku 
komunitas atau warga negara, bangsa ini telah kehilangan karakter jati 
diri yang kuat dan berstandar moralitas yang kokoh. Apakah hal ini 
sebagai akibat bahwa pendidikan kita saat ini tengah mengalami 
penyempitan makna?. Sebab pada praktiknya, pendidikan kita masih 
terfokus membentuk pribadi cerdas individual semata, bukan pribadi yang 
paripurna. Padahal, idealnya pendidikan juga berkontribusi pada 
pembentukan karakter bangsa atau hal yang menjadi identitas kolektif 
bangsa(Kompas, 8 Mei 2009).
Dalam sistem pendidikan nasional jelas 
tertuang bahwa tujuan pendidikan selain membentuk siswa terampil dan 
cerdas, juga harus beriman, bertaqwa, berakhlak mulia, mandiri, kreatif,
 supaya menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab. 
Secara filosofis, misi pendidikan pada hakekatnya untuk memuliakan 
martabat manusia sebagai makhluk hidup yang individual dan makhluk 
sosial yang berbudaya. Sebagai makhluk hidup yang individual, manusia 
berdasarkan azasinya adalah sosok individu yang memiliki rasa, karsa dan
 cipta yang tersimpan dalam bentuk potensi. Sedangkan sebagai makhluk 
hidup yang sosial yang berbudaya, manusia mempunyai dorongan agar 
keberadaannya dapat diakui oleh manusia lainnya yang ada disekitarnya 
sesuai dengan kedudukannya. Untuk memperoleh kedudukan dan martabat yang
 diinginkan, manusia berusaha memanifestasikan melalui berbgai tindakan 
secara konkrit, dalam hal ini melalui penyesuaian diri terhadap 
lingkungan sosialnya. Sarana pencapaian penyesuaian diri bagi manusia di
 manapun berada, tidak ada lain kecuali lewat kegiatan pendidikan dan 
pembelajaran.
Melalui kegiatan tersebut manusia dapat 
membuka kunci atas ketidak-tahuan terhadap sesuatu menjadi tahu sesuatu,
 dari yang belum berbudaya menjadi berbudaya, baik lewat perubahan 
kognitif, afektif, psikomotorik dan fungsi sosialnya. Pada gilirannya, 
manusia akan mendapatkan posisinya dalam menyesuaikan diri secara 
beradab dengan lingkungan sosialnya. Sehubungan itu, pemilikan instrumen
 kemampuan sebagaimana yang diamanatkan dalam tujuan pendidikan nasional
 secara utuh, barangkali hanya mungkin bisa dicapai melalui pendidikan 
dan pembelajaran yang akurat. Jujur saja, proses pendidikan dan 
pembelajaran yang berlangsung terutama di sekolah-sekolah saat ini ada 
kecenderungan semakin mengabaikan unsur mendidik dan pendidikan.
Praktek pembelajaran di sekolah banyak 
mengalami pergeseran, yakni banyaknya aktifitas yang lebih menekankan 
pada aspek-aspek yang bersifat latihan mengasah otak. Padahal jika 
mengacu pada target capaian setiap jenjang tujuan, idealnya semua 
aktivitas pendidikan yang dirancang seharusnya mengintegrasikan 
dimensi-dimensi kognitif, afektif, psikomotorik, dan pembemberdayaan 
fungsi sosialnya.
Perkembangan kurikulum sebagai pendulum 
praktek pembelajaran yang setiap kurun waktu tertentu mengalami 
perbaikan, tetap saja tidak mampu memperbaiki keadaan sesuai dengan 
tuntutan perubahan. Dengan dalih waktu yang tersedia sangat sedikit jika
 dibandingkan dengan saratnya materi kurikulum, sehingga waktu dan 
energi guru dihabiskan untuk mencurahkan isi materi yang bersifat 
kognitif saja. Ditambah lagi, cara-cara guru membelajarkan para siswa 
hanya mentransfer pengetahuan begitu saja tanpa memberikan kesempatan 
secara luas bagi siswa untuk mencerna pengalaman belajarnya. Pendidikan 
tidak lagi menempatkan siswa sebagai fokus utama dalam proses 
pendidikan, tetapi kita lebih menempatkan guru sebagai satu-satunya 
sumber utama belajar. Proses pendidikan semacam ini berarti mengabaikan 
potensi siswa sebagai subjek belajar, yang sesungguhnya hakekat belajar 
itu tidak lain adalah belajarnya subjek didik (siswa), sehingga ia tidak
 berkembang diri secara optimal. Davies (1971) menyatakan, “ We have 
tended to forget that the real essence of education is learner-learning 
and not teacher-teaching. Somehow, we have tended to create a mystical 
position for the teacher in the educational process, and have neglected 
the individuals pupil desire and capacity to create, discover and learn 
for himself” (Setyasari, 2009).
Proses pembelajaran yang membelajarkan 
siswa melalui buku teks, kemudian mereka (para siswa) dituntut untuk 
mampu menuangkan kembali pada saat dilakukan tes atau ujian (Dick & 
Carey, 1985). Metode pembelajaran yang hanya meneruskan pengetahuan dan 
tidak memberikan peluang kepada siswa berinteraksi dan bertransaksi 
antar siswa, menyebabkan mereka kehilangan waktunya untuk 
mengartikulasikan pengalaman belajar. Pembelajaran hanya mengarah kepada
 latihan berpikir kritis (critical thinking), sedangkan interaksi sosial
 (social interaction) hanya mendapatkkan porsi waktu yang sangat 
sedikit, karena guru hanya disibukkan dengan tugas rutinitas untuk 
segera menuntaskan kurikulum yang menjadi tanggung jawabnya. Suasana 
pembelajaran ditandai oleh adanya kompetisi diantara siswa dan telah 
mengabaikan prinsip pembelajaran bermakna yang bersifat fungsional dan 
kontekstual.
Proses pembelajaran yang menakankan pada 
penanaman aspek-aspek soft skills, yang antara lain kerja sama, rasa 
saling menghargai pendapat, rasa saling memiliki (sense of belonging), 
rasa tanggung jawab (sense of responsibility), kejujuran, rela 
berkorban, dan seterusnya yang diwujudkan melalui pengalaman belajar 
yang bermakna mulai tenggelam dengan kesibukan sekolah untuk berpacu 
mencapai “target nilai”. Sekolah seolah-olah hanya mengajarkan 
pengetahuan kognitif demi mengejar nilai baik, agar mereka lulus ujian 
dan mengabaikan keseimbangan perkembangan dimensi-dimensi afektif dan 
psikomotorik, serta fungsi sosialnya. Terlebih lagi, sejak digulirkannya
 Ujian Nasional dan UASBN, banyak sekolah mendisain sekolah berbasis 
Ujian Nasional. Semua pendekatan pembelajaran mengarah pada hasil ujian 
akhir. Ranah kognitif menjadi fokus utama, sedangkan untuk afektif dan 
psikomotor terabaikan. Tragisnya, untuk mencapai angka kelulusan 
maksimal, tidak sedikit sekolah melegalkan praktik kecurangan untuk 
membangun kepercayaan ke masyarakat. Bila kondisi ini terus berlanjut, 
cepat atau lambat kehancuran pendidikan sudah menunggu di depan mata.
Thomas Lickona dari Cortland University 
mensunyalir tanda-tanda jaman yang harus diwaspadai sebuah bangsa sedang
 menuju jurang kehancuran, diantaranya sebagai berikut: meningkatnya 
kekerasan di kalangan remaja, penggunaan bahasa dan kata-kata yang 
memburuk, meningkatnya perilaku merusak diri (seperti penggunaan 
narkoba, alkohol dan seks bebas), semakin kaburnya pedoman moral baik 
dan buruk, rendahnya rasa tanggung jawab individu dan warga negara serta
 membudayanya ketidakjujuran, dan tanda-tanda lain sejenis.
Berangkat dari persoalan laten tersebut, 
pendidikan yang berbasis karakter barangkali perlu dipertimbangkan 
sebagai pilihan yang tepat untuk membendung meluasnya degradasi 
kehancuran bangsa yang semakin akut. Konsep pendidikan yang berbasis 
karakter adalah konsep pendidikan yang bertumpu pada sifat dasar manusia
 dengan menggunakan tiga pilar utama, yaitu fitrah manusia kecenderungan
 berbuat baik, setiap anak memiliki kecerdasan yang berbeda-beda, setiap
 aktifitas hendaknya mempunyai tujuan. Implementasi aspek tersebut dapat
 dilakukan melalui langkah-langkah:
(1)      pembentukan moral peserta didik melalui pembiasaan dan pendampingan,
(2)  memberikan slogan yang mampu menumbuhkan kebiasaan baik dalam segala tingkah laku di masyarakat dan sekolah,
(3)  pemantauan secara kontinyu atau pendampingan oleh guru terhadap peserta didik setiap saat.
Inovasi Pembelajaran Berbasis Karakter 
sejak bergulirnya fenomena di atas, pada tahun-tahun belakangan ini 
dunia pendidikan terus mendapatkan sorotan dan “pressure” dari berbagai 
kalangan seiring dengan rendahnya kualitas prestasi belajar siswa yang 
dihasilkan oleh lembaga pendidikan formal, khususnya di tingkat 
pendidikan dasar dan menengah. Kondisi ini ditengarai sebagai akibat 
dari iklim akademik yang tidak kondusif. Implikasi dari merosotnya 
kualitas prestasi belajar siswa tersebut berdampak pada kurang siapnya 
para lulusan pada level-level tersebut untuk berkiprah secara mandiri di
 masyarakat.
Pada awalnya wacana yang diduga menjadi 
penyebab turunnya kualitas hasil belajar siswa teresebut, dikarenakan 
minimnya waktu yang diperlukan untuk meningkatkan daya serap siswa,. 
Atas dasar itulah, untuk memacu daya serap siswa sekolah memodifikasi 
jam belajar, yakni memaksakan tambahan jam belajar formal berikisar 8–15
 jam per minggu, meski secara eksplisit efektivitasnya masih 
dipertanyakan. Sebuah studi kasus pada sekolah dasar unggulan yang 
menerapkan penambahan jam belajar sekitar 10 jam/minggu, ternyata 
hasilnya tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan dibandingkan dengan
 prestasi belajar siswa yang tidak diberikan tambahan jam belajar 
(Padmanthara dan Efendi, 1999). Hasil penelitian tersebut mengisyaratkan
 bahwa perbaikan yang bersifat kuantitas dan parsial, tanpa dibarengi 
perbaikan kualitas pada instrumen pembelajaran, hasil yang dicapai tentu
 saja masih jauh dari apa yang diharapkan.
Pembelajaran secara aktif (active 
learning) yang beberapa dekade lalu terus berkumandang, tetap menjadi 
instrumen yang tepat untuk mengangkat kualitas hasil belajar siswa, 
dengan catatan pengartikulasiannya dalam praktek betul-betul memenuhi 
kaidah yang benar. Rakajoni yang mengutip dari McKeachie (1983), 
mengemukakan 7 dimensi yang menjadi ciri guru melaksanakan pembelajaran 
dengan kadar cara belajar aktif, antara lain:
(1)   partisipasi siwa dalam menetapkan tujuan pembelajaran,
(2)  tekanan pada aspek afektif dalam pengajaran,
(3) partisipasi siswa dalam pelaksanaan pembelajaran, terutama bentuk interaksi antar siswa,
(4)  penerimaan pengajar terhadap perbuatan dan kontribusi siswa yang kurang relevan bahkan sama sekali salah,
(5)   kekohesivan kelas sebagai kelompok,
(6) kebebasan kesempatan yang diberikan kepada siswa untuk mengambil keputusan penting dalam kehidupan sekolah,
(7) jumlah waktu yang digunakan untuk membantu siswa, baikyang berhubungan dengan pelajaran atau tidak (Efendi ed., 2009)
Pengalaman menunjukkan, berdasarkan 
pengakuan dan tulisan di atas kertas, hampir setiap guru jika ditanya 
selalu menyatakan bahwa disain pembelajarannya dilakukan secara aktif, 
namun dalam prakteknya seringkali tidak pernah tampak, karena guru lebih
 senang dengan polanya sendiri. Mereka pada umumnya masih berkutat 
dengan cara-cara mengajar yang lama, dan cenderung mematikan potensi 
kreatif siswa. Permasalahan ini telah mengakar di alam sekolah kita dan 
telah membentuk sikap guru menjadi sangat konservatif, akibatnya 
keyakinan guru tampak sulit diubah, untuk mengubahnya membutuhkan waktu 
yang lama (Tangyong, 1989).
Guru masih sulit untuk beranjak dan 
berbuat untuk menyusun secara serius pembelajaran yang didasarkan pada 
premis belajar (Drost, 1998). Atas dasar itulah Presiden Susilo Bambang 
Yudhoyono meminta Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh untuk 
mengubah metodologi belajar-mengajar yang diterapkan guru. Pola yang 
sekarang tidak mendorong siswa kreatif dan inovatif sehingga sulit 
memunculkan jiwa kemandirian/kewirausahaan anak didik. Menurut Presisden
 metode belajar-mengajar anak didik yang dilakukan sejak taman 
kanak-kanak, sekolah dasar, hingga sekolah menengah dinilai hanya 
menunjukkan gurunya yang aktif, sedangkan anak didik justru tidak aktif.
 Proses belajar seperti itulah yang dinilai tidak dapat mengembangkan 
inovasi dan kreativitas serta kemandirian/kewirausahaan (Kompas, 30 
Oktober 2009).
Penerapan pembelajaran secara aktif, 
berarti guru mengkonstruksi pengetahuan siswa dengan cara 
memformulasikan ide-ide atau gagasan-gagasan ke dalam ungkapan-ungkapan 
dan ide-ide dibangun melalui reaksi dan respons dari pihak lain (Bouton 
& Garth, 1983; Alavi, 1994).
Dengan ungkapan lain, belajar bukan hanya
 aktif tetapi juga interaktif. Proses-proses pembelajaran yang lebih 
mengaktifkan siswa ini lebih berorientasi pada siswa (learner-centered 
orientaion). Interaksi timbal-balik bukan hanya terjadi antara siswa dan
 guru, tetapi juga terjadi antar siswa (transaksional).
Pola interaksi ini akan lebih 
mengembangkan proses-proses sosial yang lebih tinggi, sehingga akan 
semakin memupuk jiwa keberanian mengemukakan pendapat, pandangan, 
pikiran, perasaan dan pada gilirannya akan menumbuhkan jiwa kerja sama 
atau kolaborasi. Interaksi guru-siswa dalam pembelajaran aktif 
mengilhami para pakar pendidikan dan pembelajaran untuk melahirkan 
berbagai karya permodelan dalam pembelajaran yang inovatif. Dilihat dari
 ragamnya, banyak sekali model-model pembelajaran yang lazim digunakan 
sebagai medium dalam pendidikan dan pelatihan. Pada intinya seluruh 
model yang pernah dipresentasikan ingin membangun agar kegiatan 
pembelajaran lebih aktif, efektif, dan menyenangkan. Berdasarkan 
rumpunnya, Joice dan Weil (1986) mengklasifikasikan pembelajaran menjadi
 rumpun pengolahan informasi (the information processing family), rumpun
 personal (the personal family), rumpun sosial (the social family), 
rumpun sistem perilaku (the behavioral system family). Fondasi model 
pembelajaran yang dirangkum Joice dan Weil kelak memberikan inspirasi 
lahirnya model-model pembelajaran yang inovatif.
Dalam kaitannya dengan pengembangan 
kemampuan siswa dalam KTSP 2006, secara implisit telah memberikan 
peluang kepada guru untuk menciptakan kondisi yang memungkinkan agar 
siswa mampu belajar dan berbuat dalam konteks belajar anak (konteks 
kognitif) dan mengedepankan lingkungan sehari-hari (konteks sosial). Hal
 ini berarti kreatifitas guru untuk mengembangkan tema-tema pembelajaran
 yang relevan kondisi dan situasi setempat menjadi bagian sangat 
penting. Pembelajaran di sekolah-sekolah progresif yang diilhami oleh 
Piaget, menganut kurikulum dan metodologi yang bepusat pada anak, serta 
belajar individual di mana anak bisa bekerja sesuai dengan tingkat 
kemampuan dan kecepatan masing-masing. Beberapa sekolah yang menerapkan 
model ini terlihat adanya integrated day, dimana tidak terdapat jadwal 
pelajaran yang tersekat secara kaku. Dengan cara ini diharapkan anak 
akan mengembangkan kemandirian (autonomy), disiplin diri (self 
dicipline) dalam merencanakan agenda belajar, serta dapat menentukan 
pilihan sendiri dari sekian pilihan yang tersedia.
Pembelajaran yang berpusat pada anak 
inilah pada akhirnya juga melahirkan pembelajaran berdasarkan topik atau
 tema, yang mana menekankan keterpaduan aspek-aspek kurikulum yang 
berbeda, misalnya matematika dan IPA atau IPS atau yang lainnya. Metode 
pembelajaran yang dipakai menekankan pada learning by doing atau problem
 solving, serta melibatkan belajar kelompok (cooperative learning) 
sebagai perwujudan dari interaksi sosial dan sarana pemerolehan 
pengalaman belajar. Berikut ini akan dipresentasikan beberapa model 
pembelajaran aktif dan inovatif untuk membelajarkan siswa, antara lain: 
Pembelajaran Kontektual, Pembelajaran Berbasis Masalah, dan Pembelajaran
 Kooperatif. Pembelajaran kontekstual menempatkan siswa di dalam konteks
 bermakna, yang menghubungkan pengetahuan awal siswa dengan materi yang 
sedang dipelajari, dan sekaligus memperhatikan kebutuhan individual 
siswa dan peran guru. Karena itulah pendekatan pembelajaran kontekstual 
harus menekankan pada hal-hal berikut: problem based learning 
(menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi siswa untuk 
belejar tentang berpikir kritis dan ketrampilan pemecahan masalah), 
authentic instruction (memperkenalkan siswa untuk mengembangkan 
ketrampilan berpikir dan pemecahan masalah yang penting di dalam konteks
 kehidupan sehari-hari), project based learning (mendorong siswa untuk 
melalkukan penyelidikan terhadap masalah autentik dan bekerja secara 
mandiri dalam mengkonstruk pembelajaran dan mengkulminasikan dalam 
produk nyata), work based learning (siswa menggunakan konteks tempat 
kerja untuk mempelajari materi pelajaran berbasis sekolah dan 
mengimpelemenasikan materi di tempat kerja), inquiry based learning 
(pendekatan pembelajaran yang mengikuti metodologi sains dan menyediakan
 kesempatan untuk pembelajaran bermakna), service learning (pendekatan 
pembelajaran untuk memperoleh pengetahuan atau ketrampilan baru yang 
diperlukan untuk memenuhi kebutuhan layanan di masyarakat dilakukan 
melalui tugas terstruktur/proyek), cooperative learning (penggunaan 
kelompok kecil siswa untuk bekerja sama dalam memaksimalkan kondisi 
belajar untuk mencapai tujuan belajar). Sehubungan dengan kebutuhan 
individual siswa, maka untuk mengimpelementasikan pendekatan 
pembelajaran kontekstual ini guru harus memperhatikan hal-hal berikut:
(1)  merencanakan pembelajaran sesuai dengan kewajaran perkembangan mental siswa (developmentally approach),
(2)     membentuk group belajar yang saling tergantung
 (interdependent learning group),
(3)  menyediakan lingkungan yang 
mendukung pembelajaran mandiri (self regulated learning) yang memiliki 3
 karakteristik umum, yaitu kesadaran berpikir, penggunaan strategi, dan 
motivasi berkelanjutan (Depdiknas, 2002).
Belajar berbasis masalah (problem-based 
learning) adalah suatu pendekatan pembelajaran yang menggunakan masalah 
dunia nyata sebagai suatu konteks bagi siswa untuk belajar tentang 
berpikir kritis dan keterampilan pemecahan masalah, serta untuk 
memperoleh pengetahuan dan konsep yang mendasar dari materi yang 
dipelajari. Dalam hal ini, siswa terlibat dalam penyelidikan untuk 
pemecahan masalah yang mengintegrasikan keterampilan dan konsep dari 
berbagai isi materi pelajaran. Pendekatan ini mencakup pengumpulan 
informasi yang berkaitan dengan pertanyaan, mensintesakan, dan 
mempresentasikan temuannya kepada orang lain (Moffitt, 2001). Sesuai 
dengan tujuannya, problem based learning mencoba menumbuhkan sikap 
ilmiah. Untuk itu, strategi problem based learning diimplementasikan 
melalui langkah-langkah: identifikasi masalah, analisa masalah, 
hipotesis/penjelasan logik sistematik, identifikasi pengetahuan, 
identifikasi pengetahuan yang telah diketahui, penentuan sumber 
pembelajaran, identifikasi pengetahuan baru, sintesis pengetahuan lama 
dan baru untuk diterapkan pada masalah, pengulangan kegiatan, 
menyimpulkan hal yang tidak terpelajari, perangkuman hasil / penyusunan 
laporan, penerapan ke masalah berikutnya.
Pembelajaran kooperatif (cooperative 
learning) adalah strategi pembelajaran yang dirancang secara 
berkelompok, di mana siswa belajar bersama dan saling membantu dalam 
membuat tugas dengan penekanan pada situasi untuk saling membantu 
diantara anggota.kelompok, tidak ada kompetitisi, keberhasilan belajar 
adalah keberhasilan kelompok. Untuk itu ada lima prinsip mendasari 
pembelajaran kooperatif, yaitu:
(1)  positive interdependence: anggota kelompok perlu bekerjasama untuk mencapai tujuan,
(2)  face to face interaction: semua anggota berinteraksi dengan saling berhadapan,
(3)  individual accountability: setiap anggota harus belajar dan menyumbang demi pekerjaan dan keberhasilan kelompok,
(4) use of collaborative/social skills: 
keterampilan bekerjasama dan bersosialisasi diperlukan, untuk ini 
diperlukan bimbingan guru agar siswa dapat berkolaborasi,
(5)   group processing: siswa perlu menilai bagimana mereka bekerja secara efektif.
Pembelajaran kooperatif dapat 
dilaksanakan dalam semua matapelajaran atau bidang studi baik untuk 
pendidikan dasar, menengah, maupun pendidikan tinggi. Ada beberapa 
variasi pembelajaran kooperatif, antara lain: Numbered Head Together, 
Think-Pair-Share, JIGSAW, STAD (Student Teams Achievement 
DivisionNumbered Head Together (NHT) Adapun langkah-langkah untuk 
menerapkan pembelajaran kooperatif model Numbered Head Together (NHT) 
sebagai berikut:
1). Guru meminta siswa membentuk sebuah 
kelompok. Masing-masing kelompok terdiri atas 4 orang. Masing-masing 
siswa mendapatkan nomor 1,2,3 dan 4.
2). Kemudian guru menanyakan beberapa 
pertanyaan. Anggota kelompok kemudian berdiskusi dan menyakinkan bahwa 
masing-masing anggota kelompok mengetahui jawabannya.
3). Selanjutnya guru menyebutkan sebuah 
nomor, dan meminta anggota masing-masing kelompok yang memiliki nomor 
tersebut untuk menjawab pertanyaan tersebut. Think-Pair-Share (TPS)  
Adapun langkah-langkah untuk menerapkan pembelajaran kooperatif model 
Think-Pair-Share sebagai berikut:
1).    Guru memberikan sebuah topik kepada siswa.
2).  Masing-masing siswa kemudian memikirkan jawabannya sendiri.
3). Kemudian siswa berpasang-pasangan dan masing-masing pasangan mendiskusikan sebuah topik tersebut.
Selanjutnya pasangan-pasangan tersebut 
berbagi pendapat dengan semua anggota kelas lainnya JIGSAW Adapun 
langkah-langkah untuk menerapkan pembelajaran kooperatif model Jigsaw 
sebagai berikut:
1). Siswa dibagi menjadi beberapa anggota kelompok belajar secara heterogen, misalnya kelompok A, B, C dan D.
2). Masing-masing kelompok ini ditunjuk 
menjadi ahli (expert) tentang bidang (sub topik) tertentu dari materi, 
misalnya X, Y, Z dan N.
3). Siswa-siswa dari kelompok A, B, C, 
dan D yang ditunjuk expert tentang X selanjutnya berkumpul, belajar 
bersama tentang materi x sehingga menjadi expert tentang X. Demikian 
pula dengan anggota lainnya yang ditugaskan menjadi expert tentang 
materi lainnya.
4). Setelah diskusi dalam kelompok 
expertini selesai, para ahli ini kembali ke kelompoknya semula (kelompok
 asal) yaitu A, B, C dan D dan memberikan penjelasan kepada anggota 
lainnya di dalam kelompok materi yang dikuasainya dan mendengarkan dari 
ahli lainnya tentang materi lainnya pula. STAD (Student Teams 
Achievement Division Adapun langkah-langkah untuk menerapkan 
pembelajaran kooperatif model STAD (Student Teams Achievement Division) 
sebagai berikut:
1.      Guru menyajikan materi 
pelajaran.Kemudian siswa dibagi dalam kelompok-kelompok yang terdiri 
dari 4-5 anggota yang heterogen.
2.   Kelompok membantu masing-masing anggota kelompok untuk menguasai materi tersebut.
3. Siswa kemudian mengambil kuis-kuis 
individual. Skor kuis siswa dibandingkan dengan nilai rata-rata mereka 
di masa lalu. Nilai kemudian diberikan atas dasar sejauh mana siswa 
dapat mencapai atau melebihi yang telah mereka peroleh di masa lalu. 
Nilai-nilai ini kemudian dijumlahkan untuk membentuk skor tim (team).
4.       Kemudian tim yang mencapai 
kriteria tertentu memperoleh hadiah. Sistem ini memberikan kesempatan 
yang sama pada siswa untuk menyumbangkan nilai-nilai maksimum pada 
kelompoknya.
Profesionalitas Guru. Profesionalitas
 merupakan sikap para anggota atau sekelompok individu yang benar-benar 
mengabdi secara sungguh-sungguh terhadap profesinya (suatu jabatan atau 
pekerjaan yang menuntut keahlian atau keterampilan dari pelakunya). 
Profesionalitas seseorang teruji, manakala yang bersangkutan mampu 
melakukan sesuatu sesuai dengan keahlian atau keterampilan yang tinggi. 
Dewasa ini, profesionalitas dalam menjalankan pekerjaan telah menjadi 
tuntutan masyarakat. Karena masyarakat ingin mendapatkan pelayanan yang 
semakin meningkat mutunya untuk hasil yang lebih baik.  Untuk
 itu, setiap profesi harus bisa menyesuaikan dengan permintaan 
masyarakat agar tidak “ditinggalkan”. Profesionalitas guru ditandai 
dengan penguasaan kompetensi sebagaimana dinyatakan dalam PP Nomor 19 
Tahaun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan dan UU Nomor 14 Tahun 
2005 tentang Guru dan Dosen. Setidaknya ada 4 komponen kompetensi yang 
harus dimiliki oleh guru dalam menjalankan tugas profesionalnya, antara 
lain: kompetensi pedagogis, kompetensi professional, kompetensi sosial 
dan kompetensi kepribadian.
Guru yang kompeten adalah guru yang mampu
 melakukan inovasi pembelajaran pembelajaran, mulai dari merancang, 
melaksanakan, dan mengevaluasi pembelajaran secara akurat sesuai 
kebutuhan peserta didik. Pengembangan elemen-elemen kompetensi tersebut 
dalam prakteknya tidak dapat dilakukan secara terpisah-pisah, akan 
tetapi berada dalam bingkai utuh dalam kompetensi guru. Oleh karena itu,
 elemen kompetensi yang perlu dikuasai oleh guru, yang mana sisi-sisinya
 berupa pengetahuan dan keterampilan, sebagai berikut:
(1) penguasaan disiplin ilmu secara baik dan mendalam (kompetensi profesional),
(2) penguasaan teori belajar dan pembelajaran serta mengenal peserta didik secara mendalam (kompetensi pedagogis),
(3) menganalisi tujuan, menganalisis dan 
mengorganisasikan isi, merancang skenario pembelajaran, menyusun 
perangkat pembelajaran, dan mengembangkan sistem evaluasi (kompetensi 
pedagogis dan profesional),
(4) melaksanakan pembelajaran yang mendidik (kompetensi pedagogis dan profesional). Kinerja tersebut memerlukan dukungan
(5) penguasaan bidang-bidang lain yang 
diperlukan untuk menigkatkan pembelajaran dan memutakhirkan pengetahuan 
keterampilan pendidik (kompetensi Sosial dan Kepribadian), dan
(6) sikap, nilai dan kebiasaan berpikir 
produktif serta prilaku yang menunjang tampilan kinerja pendidik 
(kompetensi sosial dan kepribadian) (Suparno & Kamdi, 2009). 
Sejumlah penelitian memberi bukti bahwa kualifikasi dan sertifikasi guru
 sebagai bentuk pengakuan kompetensi guru memberi dampak terhadap 
percepatan belajar siswa. Hasil penelitian yang dihimpun oleh Tim 
Pengembang Program BERMUTU menyatakan:
(1) pengetahuan dan keterampilan guru 
berpengaruh kuat terhadap prestasi siswa dibanding variabel lain, 
seperti pengalaman guru, ukuran kelas, dan rasio siswa-guru (sesuatu 
yang dengan mudah kita pahami),
(2) ada bukti yang konsisten dan kuat 
bahwa prestasi siswa yang diajar oleh guru bersertifikat lebih baik 
daripada oleh guru yang tidak bersertifikat,
(3) persiapan dan sertifikasi guru memiliki korelasi yang paling kuat dengan prestasi siswa dalam membaca dan matematika,
(4) ada bukti kecil bahwa meningkatkan 
gaji guru mempunyai dampak langsung terhadap prestasi siswa. Ada 
kesepakatan perundangan yang luas bahwa gaji guru berpengaruh dalam 
memasuki profesi guru, dan berapa lama mereka mengajar, yang dapat 
berdampak terhadap prestasi siswa (Draft Project Operational Manual 
Program BERMUTU, Depdiknas,2007). Kebijakan, penelitian, dan praktek di 
lapangan, semua menegaskan bahwa guru memiliki dampak yang signifikan 
terhadap pendidikan anak-anak bangsa. Tidak hanya Indonesia yang 
terpuruk mutu pendidikanya, di Amerika melalui mandat Public Law 107-110
 (No Child Left Behind Act) menyebutkan bahwa tahun 2005-2006 semua anak
 di setiap sekolah di Amerika Serikat diajar oleh guru yang berkualitas 
tinggi. Guru berkualitas tinggi didefinisikan sebagai guru profesional 
yang memiliki lisensi mengajar dalam bidangnya (U.S Department of 
Education,2002).
Di Indonesia setara dengan yang terdapat 
dalam Undang-undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan dosen, 
disebutkan bahwa guru memiliki kualifikasi akademik Sarjana (S1) atau 
Diploma IV, dan memiliki sertifikat pendidik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar