Puluhan siswa SMK Budi Utomo ditangkap
polisi sesaat sebelum melakukan tawuran dengan SMA fransiskus, di Jalan
dr Soetomo, Jakarta Pusat Jum’at. Dari tangan para pelajar ini polisis
menyita berbagai senjata seperti ikat pinggang berkepala gear, badik,
parang samurai, stik golf, dan lain-lain (Okezone, 20 Februari 2009).
Panorama lain, Kasus pembunuhan dan kekerasan di kampus pamongpraja di
Sumedang yang begitu menghentak kesadaran publik yang pelakunya diganjar
ringan. Di Bandung anak-anak muda dengan bangga menjadi anggota geng
motor, seolah tidak ada penyaluran lain yang positif untuk aktualisasi
kaum muda. Kekerasan terjadi dalam dunia pendidikan di Madura terhadap
siswa Madrasah Ibtidaiyah Kabupaten Sumenep, menjadi bulan-bulanan dua
orang kepala sekolah (kasek) hingga tak sadarkan diri hingga harus
dirawat di Puskesmas, serta penyebaran video atau foto porno pasangan
selingkuh antara pegawai negeri sipil Dinas Perhubungan dan seorang guru
SMP Negeri 2 Pamekasan, Madura (Kompas Rabu, 4 Juni 2008). Terakhir
foto bugil milik seorang ibu guru di Banyuwangi, beredar luas melalui
ponsel (Surya, 18 Nopember 2009).
Cuplikan peristiwa di atas merupakan
potret kelabu dunia pendidikan kita saat ini. Kasus-kasus tersebut
merupakan fenomena “gunung es”, di mana faktanya justeru lebih besar
daripada apa yang dapat di tangkap dan dilaporkan. Fenomena tersebut
bisa jadi sebagai refleksi bahwa pendidikan moral dan budi pekerti di
kalangan siswa perlu mendapatkan perhatian serius, untuk mencegah efek
domino yang lebih besar.
Berangkat dari peristiwa tersebut, timbul
pertanyaan besar “Apa makna di balik sejumlah kasus buram tersebut?”.
Secara tidak langsung, serangkaian persitiwa penyimpangan yang mewarnai
dunia pendidikan kita dapat menjadi indikasi, bahwa secara kolektif
maupun individual bangsa ini mengalami pelemahan karakter sebagai bangsa
yang bermartabat mulia, selain karena lemahnya sistem. Seiring dengan
maraknya persitiwa besar lainnya, bangsa ini makin terpuruk dan mulai
kehilangan rasa malu dan kehormatan yang selama ini telah mewarisi
tradisi besar (the great tradition) sebagai bangsa yang toleran, ramah,
religius sebagaimana melekat dalam kepribadian bangsa.
Dalam kontek yang lebih spesifik selaku
komunitas atau warga negara, bangsa ini telah kehilangan karakter jati
diri yang kuat dan berstandar moralitas yang kokoh. Apakah hal ini
sebagai akibat bahwa pendidikan kita saat ini tengah mengalami
penyempitan makna?. Sebab pada praktiknya, pendidikan kita masih
terfokus membentuk pribadi cerdas individual semata, bukan pribadi yang
paripurna. Padahal, idealnya pendidikan juga berkontribusi pada
pembentukan karakter bangsa atau hal yang menjadi identitas kolektif
bangsa(Kompas, 8 Mei 2009).
Dalam sistem pendidikan nasional jelas
tertuang bahwa tujuan pendidikan selain membentuk siswa terampil dan
cerdas, juga harus beriman, bertaqwa, berakhlak mulia, mandiri, kreatif,
supaya menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.
Secara filosofis, misi pendidikan pada hakekatnya untuk memuliakan
martabat manusia sebagai makhluk hidup yang individual dan makhluk
sosial yang berbudaya. Sebagai makhluk hidup yang individual, manusia
berdasarkan azasinya adalah sosok individu yang memiliki rasa, karsa dan
cipta yang tersimpan dalam bentuk potensi. Sedangkan sebagai makhluk
hidup yang sosial yang berbudaya, manusia mempunyai dorongan agar
keberadaannya dapat diakui oleh manusia lainnya yang ada disekitarnya
sesuai dengan kedudukannya. Untuk memperoleh kedudukan dan martabat yang
diinginkan, manusia berusaha memanifestasikan melalui berbgai tindakan
secara konkrit, dalam hal ini melalui penyesuaian diri terhadap
lingkungan sosialnya. Sarana pencapaian penyesuaian diri bagi manusia di
manapun berada, tidak ada lain kecuali lewat kegiatan pendidikan dan
pembelajaran.
Melalui kegiatan tersebut manusia dapat
membuka kunci atas ketidak-tahuan terhadap sesuatu menjadi tahu sesuatu,
dari yang belum berbudaya menjadi berbudaya, baik lewat perubahan
kognitif, afektif, psikomotorik dan fungsi sosialnya. Pada gilirannya,
manusia akan mendapatkan posisinya dalam menyesuaikan diri secara
beradab dengan lingkungan sosialnya. Sehubungan itu, pemilikan instrumen
kemampuan sebagaimana yang diamanatkan dalam tujuan pendidikan nasional
secara utuh, barangkali hanya mungkin bisa dicapai melalui pendidikan
dan pembelajaran yang akurat. Jujur saja, proses pendidikan dan
pembelajaran yang berlangsung terutama di sekolah-sekolah saat ini ada
kecenderungan semakin mengabaikan unsur mendidik dan pendidikan.
Praktek pembelajaran di sekolah banyak
mengalami pergeseran, yakni banyaknya aktifitas yang lebih menekankan
pada aspek-aspek yang bersifat latihan mengasah otak. Padahal jika
mengacu pada target capaian setiap jenjang tujuan, idealnya semua
aktivitas pendidikan yang dirancang seharusnya mengintegrasikan
dimensi-dimensi kognitif, afektif, psikomotorik, dan pembemberdayaan
fungsi sosialnya.
Perkembangan kurikulum sebagai pendulum
praktek pembelajaran yang setiap kurun waktu tertentu mengalami
perbaikan, tetap saja tidak mampu memperbaiki keadaan sesuai dengan
tuntutan perubahan. Dengan dalih waktu yang tersedia sangat sedikit jika
dibandingkan dengan saratnya materi kurikulum, sehingga waktu dan
energi guru dihabiskan untuk mencurahkan isi materi yang bersifat
kognitif saja. Ditambah lagi, cara-cara guru membelajarkan para siswa
hanya mentransfer pengetahuan begitu saja tanpa memberikan kesempatan
secara luas bagi siswa untuk mencerna pengalaman belajarnya. Pendidikan
tidak lagi menempatkan siswa sebagai fokus utama dalam proses
pendidikan, tetapi kita lebih menempatkan guru sebagai satu-satunya
sumber utama belajar. Proses pendidikan semacam ini berarti mengabaikan
potensi siswa sebagai subjek belajar, yang sesungguhnya hakekat belajar
itu tidak lain adalah belajarnya subjek didik (siswa), sehingga ia tidak
berkembang diri secara optimal. Davies (1971) menyatakan, “ We have
tended to forget that the real essence of education is learner-learning
and not teacher-teaching. Somehow, we have tended to create a mystical
position for the teacher in the educational process, and have neglected
the individuals pupil desire and capacity to create, discover and learn
for himself” (Setyasari, 2009).
Proses pembelajaran yang membelajarkan
siswa melalui buku teks, kemudian mereka (para siswa) dituntut untuk
mampu menuangkan kembali pada saat dilakukan tes atau ujian (Dick &
Carey, 1985). Metode pembelajaran yang hanya meneruskan pengetahuan dan
tidak memberikan peluang kepada siswa berinteraksi dan bertransaksi
antar siswa, menyebabkan mereka kehilangan waktunya untuk
mengartikulasikan pengalaman belajar. Pembelajaran hanya mengarah kepada
latihan berpikir kritis (critical thinking), sedangkan interaksi sosial
(social interaction) hanya mendapatkkan porsi waktu yang sangat
sedikit, karena guru hanya disibukkan dengan tugas rutinitas untuk
segera menuntaskan kurikulum yang menjadi tanggung jawabnya. Suasana
pembelajaran ditandai oleh adanya kompetisi diantara siswa dan telah
mengabaikan prinsip pembelajaran bermakna yang bersifat fungsional dan
kontekstual.
Proses pembelajaran yang menakankan pada
penanaman aspek-aspek soft skills, yang antara lain kerja sama, rasa
saling menghargai pendapat, rasa saling memiliki (sense of belonging),
rasa tanggung jawab (sense of responsibility), kejujuran, rela
berkorban, dan seterusnya yang diwujudkan melalui pengalaman belajar
yang bermakna mulai tenggelam dengan kesibukan sekolah untuk berpacu
mencapai “target nilai”. Sekolah seolah-olah hanya mengajarkan
pengetahuan kognitif demi mengejar nilai baik, agar mereka lulus ujian
dan mengabaikan keseimbangan perkembangan dimensi-dimensi afektif dan
psikomotorik, serta fungsi sosialnya. Terlebih lagi, sejak digulirkannya
Ujian Nasional dan UASBN, banyak sekolah mendisain sekolah berbasis
Ujian Nasional. Semua pendekatan pembelajaran mengarah pada hasil ujian
akhir. Ranah kognitif menjadi fokus utama, sedangkan untuk afektif dan
psikomotor terabaikan. Tragisnya, untuk mencapai angka kelulusan
maksimal, tidak sedikit sekolah melegalkan praktik kecurangan untuk
membangun kepercayaan ke masyarakat. Bila kondisi ini terus berlanjut,
cepat atau lambat kehancuran pendidikan sudah menunggu di depan mata.
Thomas Lickona dari Cortland University
mensunyalir tanda-tanda jaman yang harus diwaspadai sebuah bangsa sedang
menuju jurang kehancuran, diantaranya sebagai berikut: meningkatnya
kekerasan di kalangan remaja, penggunaan bahasa dan kata-kata yang
memburuk, meningkatnya perilaku merusak diri (seperti penggunaan
narkoba, alkohol dan seks bebas), semakin kaburnya pedoman moral baik
dan buruk, rendahnya rasa tanggung jawab individu dan warga negara serta
membudayanya ketidakjujuran, dan tanda-tanda lain sejenis.
Berangkat dari persoalan laten tersebut,
pendidikan yang berbasis karakter barangkali perlu dipertimbangkan
sebagai pilihan yang tepat untuk membendung meluasnya degradasi
kehancuran bangsa yang semakin akut. Konsep pendidikan yang berbasis
karakter adalah konsep pendidikan yang bertumpu pada sifat dasar manusia
dengan menggunakan tiga pilar utama, yaitu fitrah manusia kecenderungan
berbuat baik, setiap anak memiliki kecerdasan yang berbeda-beda, setiap
aktifitas hendaknya mempunyai tujuan. Implementasi aspek tersebut dapat
dilakukan melalui langkah-langkah:
(1) pembentukan moral peserta didik melalui pembiasaan dan pendampingan,
(2) memberikan slogan yang mampu menumbuhkan kebiasaan baik dalam segala tingkah laku di masyarakat dan sekolah,
(3) pemantauan secara kontinyu atau pendampingan oleh guru terhadap peserta didik setiap saat.
Inovasi Pembelajaran Berbasis Karakter
sejak bergulirnya fenomena di atas, pada tahun-tahun belakangan ini
dunia pendidikan terus mendapatkan sorotan dan “pressure” dari berbagai
kalangan seiring dengan rendahnya kualitas prestasi belajar siswa yang
dihasilkan oleh lembaga pendidikan formal, khususnya di tingkat
pendidikan dasar dan menengah. Kondisi ini ditengarai sebagai akibat
dari iklim akademik yang tidak kondusif. Implikasi dari merosotnya
kualitas prestasi belajar siswa tersebut berdampak pada kurang siapnya
para lulusan pada level-level tersebut untuk berkiprah secara mandiri di
masyarakat.
Pada awalnya wacana yang diduga menjadi
penyebab turunnya kualitas hasil belajar siswa teresebut, dikarenakan
minimnya waktu yang diperlukan untuk meningkatkan daya serap siswa,.
Atas dasar itulah, untuk memacu daya serap siswa sekolah memodifikasi
jam belajar, yakni memaksakan tambahan jam belajar formal berikisar 8–15
jam per minggu, meski secara eksplisit efektivitasnya masih
dipertanyakan. Sebuah studi kasus pada sekolah dasar unggulan yang
menerapkan penambahan jam belajar sekitar 10 jam/minggu, ternyata
hasilnya tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan dibandingkan dengan
prestasi belajar siswa yang tidak diberikan tambahan jam belajar
(Padmanthara dan Efendi, 1999). Hasil penelitian tersebut mengisyaratkan
bahwa perbaikan yang bersifat kuantitas dan parsial, tanpa dibarengi
perbaikan kualitas pada instrumen pembelajaran, hasil yang dicapai tentu
saja masih jauh dari apa yang diharapkan.
Pembelajaran secara aktif (active
learning) yang beberapa dekade lalu terus berkumandang, tetap menjadi
instrumen yang tepat untuk mengangkat kualitas hasil belajar siswa,
dengan catatan pengartikulasiannya dalam praktek betul-betul memenuhi
kaidah yang benar. Rakajoni yang mengutip dari McKeachie (1983),
mengemukakan 7 dimensi yang menjadi ciri guru melaksanakan pembelajaran
dengan kadar cara belajar aktif, antara lain:
(1) partisipasi siwa dalam menetapkan tujuan pembelajaran,
(2) tekanan pada aspek afektif dalam pengajaran,
(3) partisipasi siswa dalam pelaksanaan pembelajaran, terutama bentuk interaksi antar siswa,
(4) penerimaan pengajar terhadap perbuatan dan kontribusi siswa yang kurang relevan bahkan sama sekali salah,
(5) kekohesivan kelas sebagai kelompok,
(6) kebebasan kesempatan yang diberikan kepada siswa untuk mengambil keputusan penting dalam kehidupan sekolah,
(7) jumlah waktu yang digunakan untuk membantu siswa, baikyang berhubungan dengan pelajaran atau tidak (Efendi ed., 2009)
Pengalaman menunjukkan, berdasarkan
pengakuan dan tulisan di atas kertas, hampir setiap guru jika ditanya
selalu menyatakan bahwa disain pembelajarannya dilakukan secara aktif,
namun dalam prakteknya seringkali tidak pernah tampak, karena guru lebih
senang dengan polanya sendiri. Mereka pada umumnya masih berkutat
dengan cara-cara mengajar yang lama, dan cenderung mematikan potensi
kreatif siswa. Permasalahan ini telah mengakar di alam sekolah kita dan
telah membentuk sikap guru menjadi sangat konservatif, akibatnya
keyakinan guru tampak sulit diubah, untuk mengubahnya membutuhkan waktu
yang lama (Tangyong, 1989).
Guru masih sulit untuk beranjak dan
berbuat untuk menyusun secara serius pembelajaran yang didasarkan pada
premis belajar (Drost, 1998). Atas dasar itulah Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono meminta Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh untuk
mengubah metodologi belajar-mengajar yang diterapkan guru. Pola yang
sekarang tidak mendorong siswa kreatif dan inovatif sehingga sulit
memunculkan jiwa kemandirian/kewirausahaan anak didik. Menurut Presisden
metode belajar-mengajar anak didik yang dilakukan sejak taman
kanak-kanak, sekolah dasar, hingga sekolah menengah dinilai hanya
menunjukkan gurunya yang aktif, sedangkan anak didik justru tidak aktif.
Proses belajar seperti itulah yang dinilai tidak dapat mengembangkan
inovasi dan kreativitas serta kemandirian/kewirausahaan (Kompas, 30
Oktober 2009).
Penerapan pembelajaran secara aktif,
berarti guru mengkonstruksi pengetahuan siswa dengan cara
memformulasikan ide-ide atau gagasan-gagasan ke dalam ungkapan-ungkapan
dan ide-ide dibangun melalui reaksi dan respons dari pihak lain (Bouton
& Garth, 1983; Alavi, 1994).
Dengan ungkapan lain, belajar bukan hanya
aktif tetapi juga interaktif. Proses-proses pembelajaran yang lebih
mengaktifkan siswa ini lebih berorientasi pada siswa (learner-centered
orientaion). Interaksi timbal-balik bukan hanya terjadi antara siswa dan
guru, tetapi juga terjadi antar siswa (transaksional).
Pola interaksi ini akan lebih
mengembangkan proses-proses sosial yang lebih tinggi, sehingga akan
semakin memupuk jiwa keberanian mengemukakan pendapat, pandangan,
pikiran, perasaan dan pada gilirannya akan menumbuhkan jiwa kerja sama
atau kolaborasi. Interaksi guru-siswa dalam pembelajaran aktif
mengilhami para pakar pendidikan dan pembelajaran untuk melahirkan
berbagai karya permodelan dalam pembelajaran yang inovatif. Dilihat dari
ragamnya, banyak sekali model-model pembelajaran yang lazim digunakan
sebagai medium dalam pendidikan dan pelatihan. Pada intinya seluruh
model yang pernah dipresentasikan ingin membangun agar kegiatan
pembelajaran lebih aktif, efektif, dan menyenangkan. Berdasarkan
rumpunnya, Joice dan Weil (1986) mengklasifikasikan pembelajaran menjadi
rumpun pengolahan informasi (the information processing family), rumpun
personal (the personal family), rumpun sosial (the social family),
rumpun sistem perilaku (the behavioral system family). Fondasi model
pembelajaran yang dirangkum Joice dan Weil kelak memberikan inspirasi
lahirnya model-model pembelajaran yang inovatif.
Dalam kaitannya dengan pengembangan
kemampuan siswa dalam KTSP 2006, secara implisit telah memberikan
peluang kepada guru untuk menciptakan kondisi yang memungkinkan agar
siswa mampu belajar dan berbuat dalam konteks belajar anak (konteks
kognitif) dan mengedepankan lingkungan sehari-hari (konteks sosial). Hal
ini berarti kreatifitas guru untuk mengembangkan tema-tema pembelajaran
yang relevan kondisi dan situasi setempat menjadi bagian sangat
penting. Pembelajaran di sekolah-sekolah progresif yang diilhami oleh
Piaget, menganut kurikulum dan metodologi yang bepusat pada anak, serta
belajar individual di mana anak bisa bekerja sesuai dengan tingkat
kemampuan dan kecepatan masing-masing. Beberapa sekolah yang menerapkan
model ini terlihat adanya integrated day, dimana tidak terdapat jadwal
pelajaran yang tersekat secara kaku. Dengan cara ini diharapkan anak
akan mengembangkan kemandirian (autonomy), disiplin diri (self
dicipline) dalam merencanakan agenda belajar, serta dapat menentukan
pilihan sendiri dari sekian pilihan yang tersedia.
Pembelajaran yang berpusat pada anak
inilah pada akhirnya juga melahirkan pembelajaran berdasarkan topik atau
tema, yang mana menekankan keterpaduan aspek-aspek kurikulum yang
berbeda, misalnya matematika dan IPA atau IPS atau yang lainnya. Metode
pembelajaran yang dipakai menekankan pada learning by doing atau problem
solving, serta melibatkan belajar kelompok (cooperative learning)
sebagai perwujudan dari interaksi sosial dan sarana pemerolehan
pengalaman belajar. Berikut ini akan dipresentasikan beberapa model
pembelajaran aktif dan inovatif untuk membelajarkan siswa, antara lain:
Pembelajaran Kontektual, Pembelajaran Berbasis Masalah, dan Pembelajaran
Kooperatif. Pembelajaran kontekstual menempatkan siswa di dalam konteks
bermakna, yang menghubungkan pengetahuan awal siswa dengan materi yang
sedang dipelajari, dan sekaligus memperhatikan kebutuhan individual
siswa dan peran guru. Karena itulah pendekatan pembelajaran kontekstual
harus menekankan pada hal-hal berikut: problem based learning
(menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi siswa untuk
belejar tentang berpikir kritis dan ketrampilan pemecahan masalah),
authentic instruction (memperkenalkan siswa untuk mengembangkan
ketrampilan berpikir dan pemecahan masalah yang penting di dalam konteks
kehidupan sehari-hari), project based learning (mendorong siswa untuk
melalkukan penyelidikan terhadap masalah autentik dan bekerja secara
mandiri dalam mengkonstruk pembelajaran dan mengkulminasikan dalam
produk nyata), work based learning (siswa menggunakan konteks tempat
kerja untuk mempelajari materi pelajaran berbasis sekolah dan
mengimpelemenasikan materi di tempat kerja), inquiry based learning
(pendekatan pembelajaran yang mengikuti metodologi sains dan menyediakan
kesempatan untuk pembelajaran bermakna), service learning (pendekatan
pembelajaran untuk memperoleh pengetahuan atau ketrampilan baru yang
diperlukan untuk memenuhi kebutuhan layanan di masyarakat dilakukan
melalui tugas terstruktur/proyek), cooperative learning (penggunaan
kelompok kecil siswa untuk bekerja sama dalam memaksimalkan kondisi
belajar untuk mencapai tujuan belajar). Sehubungan dengan kebutuhan
individual siswa, maka untuk mengimpelementasikan pendekatan
pembelajaran kontekstual ini guru harus memperhatikan hal-hal berikut:
(1) merencanakan pembelajaran sesuai dengan kewajaran perkembangan mental siswa (developmentally approach),
(2) membentuk group belajar yang saling tergantung
(interdependent learning group),
(3) menyediakan lingkungan yang
mendukung pembelajaran mandiri (self regulated learning) yang memiliki 3
karakteristik umum, yaitu kesadaran berpikir, penggunaan strategi, dan
motivasi berkelanjutan (Depdiknas, 2002).
Belajar berbasis masalah (problem-based
learning) adalah suatu pendekatan pembelajaran yang menggunakan masalah
dunia nyata sebagai suatu konteks bagi siswa untuk belajar tentang
berpikir kritis dan keterampilan pemecahan masalah, serta untuk
memperoleh pengetahuan dan konsep yang mendasar dari materi yang
dipelajari. Dalam hal ini, siswa terlibat dalam penyelidikan untuk
pemecahan masalah yang mengintegrasikan keterampilan dan konsep dari
berbagai isi materi pelajaran. Pendekatan ini mencakup pengumpulan
informasi yang berkaitan dengan pertanyaan, mensintesakan, dan
mempresentasikan temuannya kepada orang lain (Moffitt, 2001). Sesuai
dengan tujuannya, problem based learning mencoba menumbuhkan sikap
ilmiah. Untuk itu, strategi problem based learning diimplementasikan
melalui langkah-langkah: identifikasi masalah, analisa masalah,
hipotesis/penjelasan logik sistematik, identifikasi pengetahuan,
identifikasi pengetahuan yang telah diketahui, penentuan sumber
pembelajaran, identifikasi pengetahuan baru, sintesis pengetahuan lama
dan baru untuk diterapkan pada masalah, pengulangan kegiatan,
menyimpulkan hal yang tidak terpelajari, perangkuman hasil / penyusunan
laporan, penerapan ke masalah berikutnya.
Pembelajaran kooperatif (cooperative
learning) adalah strategi pembelajaran yang dirancang secara
berkelompok, di mana siswa belajar bersama dan saling membantu dalam
membuat tugas dengan penekanan pada situasi untuk saling membantu
diantara anggota.kelompok, tidak ada kompetitisi, keberhasilan belajar
adalah keberhasilan kelompok. Untuk itu ada lima prinsip mendasari
pembelajaran kooperatif, yaitu:
(1) positive interdependence: anggota kelompok perlu bekerjasama untuk mencapai tujuan,
(2) face to face interaction: semua anggota berinteraksi dengan saling berhadapan,
(3) individual accountability: setiap anggota harus belajar dan menyumbang demi pekerjaan dan keberhasilan kelompok,
(4) use of collaborative/social skills:
keterampilan bekerjasama dan bersosialisasi diperlukan, untuk ini
diperlukan bimbingan guru agar siswa dapat berkolaborasi,
(5) group processing: siswa perlu menilai bagimana mereka bekerja secara efektif.
Pembelajaran kooperatif dapat
dilaksanakan dalam semua matapelajaran atau bidang studi baik untuk
pendidikan dasar, menengah, maupun pendidikan tinggi. Ada beberapa
variasi pembelajaran kooperatif, antara lain: Numbered Head Together,
Think-Pair-Share, JIGSAW, STAD (Student Teams Achievement
DivisionNumbered Head Together (NHT) Adapun langkah-langkah untuk
menerapkan pembelajaran kooperatif model Numbered Head Together (NHT)
sebagai berikut:
1). Guru meminta siswa membentuk sebuah
kelompok. Masing-masing kelompok terdiri atas 4 orang. Masing-masing
siswa mendapatkan nomor 1,2,3 dan 4.
2). Kemudian guru menanyakan beberapa
pertanyaan. Anggota kelompok kemudian berdiskusi dan menyakinkan bahwa
masing-masing anggota kelompok mengetahui jawabannya.
3). Selanjutnya guru menyebutkan sebuah
nomor, dan meminta anggota masing-masing kelompok yang memiliki nomor
tersebut untuk menjawab pertanyaan tersebut. Think-Pair-Share (TPS)
Adapun langkah-langkah untuk menerapkan pembelajaran kooperatif model
Think-Pair-Share sebagai berikut:
1). Guru memberikan sebuah topik kepada siswa.
2). Masing-masing siswa kemudian memikirkan jawabannya sendiri.
3). Kemudian siswa berpasang-pasangan dan masing-masing pasangan mendiskusikan sebuah topik tersebut.
Selanjutnya pasangan-pasangan tersebut
berbagi pendapat dengan semua anggota kelas lainnya JIGSAW Adapun
langkah-langkah untuk menerapkan pembelajaran kooperatif model Jigsaw
sebagai berikut:
1). Siswa dibagi menjadi beberapa anggota kelompok belajar secara heterogen, misalnya kelompok A, B, C dan D.
2). Masing-masing kelompok ini ditunjuk
menjadi ahli (expert) tentang bidang (sub topik) tertentu dari materi,
misalnya X, Y, Z dan N.
3). Siswa-siswa dari kelompok A, B, C,
dan D yang ditunjuk expert tentang X selanjutnya berkumpul, belajar
bersama tentang materi x sehingga menjadi expert tentang X. Demikian
pula dengan anggota lainnya yang ditugaskan menjadi expert tentang
materi lainnya.
4). Setelah diskusi dalam kelompok
expertini selesai, para ahli ini kembali ke kelompoknya semula (kelompok
asal) yaitu A, B, C dan D dan memberikan penjelasan kepada anggota
lainnya di dalam kelompok materi yang dikuasainya dan mendengarkan dari
ahli lainnya tentang materi lainnya pula. STAD (Student Teams
Achievement Division Adapun langkah-langkah untuk menerapkan
pembelajaran kooperatif model STAD (Student Teams Achievement Division)
sebagai berikut:
1. Guru menyajikan materi
pelajaran.Kemudian siswa dibagi dalam kelompok-kelompok yang terdiri
dari 4-5 anggota yang heterogen.
2. Kelompok membantu masing-masing anggota kelompok untuk menguasai materi tersebut.
3. Siswa kemudian mengambil kuis-kuis
individual. Skor kuis siswa dibandingkan dengan nilai rata-rata mereka
di masa lalu. Nilai kemudian diberikan atas dasar sejauh mana siswa
dapat mencapai atau melebihi yang telah mereka peroleh di masa lalu.
Nilai-nilai ini kemudian dijumlahkan untuk membentuk skor tim (team).
4. Kemudian tim yang mencapai
kriteria tertentu memperoleh hadiah. Sistem ini memberikan kesempatan
yang sama pada siswa untuk menyumbangkan nilai-nilai maksimum pada
kelompoknya.
Profesionalitas Guru. Profesionalitas
merupakan sikap para anggota atau sekelompok individu yang benar-benar
mengabdi secara sungguh-sungguh terhadap profesinya (suatu jabatan atau
pekerjaan yang menuntut keahlian atau keterampilan dari pelakunya).
Profesionalitas seseorang teruji, manakala yang bersangkutan mampu
melakukan sesuatu sesuai dengan keahlian atau keterampilan yang tinggi.
Dewasa ini, profesionalitas dalam menjalankan pekerjaan telah menjadi
tuntutan masyarakat. Karena masyarakat ingin mendapatkan pelayanan yang
semakin meningkat mutunya untuk hasil yang lebih baik. Untuk
itu, setiap profesi harus bisa menyesuaikan dengan permintaan
masyarakat agar tidak “ditinggalkan”. Profesionalitas guru ditandai
dengan penguasaan kompetensi sebagaimana dinyatakan dalam PP Nomor 19
Tahaun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan dan UU Nomor 14 Tahun
2005 tentang Guru dan Dosen. Setidaknya ada 4 komponen kompetensi yang
harus dimiliki oleh guru dalam menjalankan tugas profesionalnya, antara
lain: kompetensi pedagogis, kompetensi professional, kompetensi sosial
dan kompetensi kepribadian.
Guru yang kompeten adalah guru yang mampu
melakukan inovasi pembelajaran pembelajaran, mulai dari merancang,
melaksanakan, dan mengevaluasi pembelajaran secara akurat sesuai
kebutuhan peserta didik. Pengembangan elemen-elemen kompetensi tersebut
dalam prakteknya tidak dapat dilakukan secara terpisah-pisah, akan
tetapi berada dalam bingkai utuh dalam kompetensi guru. Oleh karena itu,
elemen kompetensi yang perlu dikuasai oleh guru, yang mana sisi-sisinya
berupa pengetahuan dan keterampilan, sebagai berikut:
(1) penguasaan disiplin ilmu secara baik dan mendalam (kompetensi profesional),
(2) penguasaan teori belajar dan pembelajaran serta mengenal peserta didik secara mendalam (kompetensi pedagogis),
(3) menganalisi tujuan, menganalisis dan
mengorganisasikan isi, merancang skenario pembelajaran, menyusun
perangkat pembelajaran, dan mengembangkan sistem evaluasi (kompetensi
pedagogis dan profesional),
(4) melaksanakan pembelajaran yang mendidik (kompetensi pedagogis dan profesional). Kinerja tersebut memerlukan dukungan
(5) penguasaan bidang-bidang lain yang
diperlukan untuk menigkatkan pembelajaran dan memutakhirkan pengetahuan
keterampilan pendidik (kompetensi Sosial dan Kepribadian), dan
(6) sikap, nilai dan kebiasaan berpikir
produktif serta prilaku yang menunjang tampilan kinerja pendidik
(kompetensi sosial dan kepribadian) (Suparno & Kamdi, 2009).
Sejumlah penelitian memberi bukti bahwa kualifikasi dan sertifikasi guru
sebagai bentuk pengakuan kompetensi guru memberi dampak terhadap
percepatan belajar siswa. Hasil penelitian yang dihimpun oleh Tim
Pengembang Program BERMUTU menyatakan:
(1) pengetahuan dan keterampilan guru
berpengaruh kuat terhadap prestasi siswa dibanding variabel lain,
seperti pengalaman guru, ukuran kelas, dan rasio siswa-guru (sesuatu
yang dengan mudah kita pahami),
(2) ada bukti yang konsisten dan kuat
bahwa prestasi siswa yang diajar oleh guru bersertifikat lebih baik
daripada oleh guru yang tidak bersertifikat,
(3) persiapan dan sertifikasi guru memiliki korelasi yang paling kuat dengan prestasi siswa dalam membaca dan matematika,
(4) ada bukti kecil bahwa meningkatkan
gaji guru mempunyai dampak langsung terhadap prestasi siswa. Ada
kesepakatan perundangan yang luas bahwa gaji guru berpengaruh dalam
memasuki profesi guru, dan berapa lama mereka mengajar, yang dapat
berdampak terhadap prestasi siswa (Draft Project Operational Manual
Program BERMUTU, Depdiknas,2007). Kebijakan, penelitian, dan praktek di
lapangan, semua menegaskan bahwa guru memiliki dampak yang signifikan
terhadap pendidikan anak-anak bangsa. Tidak hanya Indonesia yang
terpuruk mutu pendidikanya, di Amerika melalui mandat Public Law 107-110
(No Child Left Behind Act) menyebutkan bahwa tahun 2005-2006 semua anak
di setiap sekolah di Amerika Serikat diajar oleh guru yang berkualitas
tinggi. Guru berkualitas tinggi didefinisikan sebagai guru profesional
yang memiliki lisensi mengajar dalam bidangnya (U.S Department of
Education,2002).
Di Indonesia setara dengan yang terdapat
dalam Undang-undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan dosen,
disebutkan bahwa guru memiliki kualifikasi akademik Sarjana (S1) atau
Diploma IV, dan memiliki sertifikat pendidik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar