Selasa, 14 Mei 2013

PEMBELAJARAN BERBASIS KARAKTER

Puluhan siswa SMK Budi Utomo ditangkap polisi sesaat sebelum melakukan tawuran dengan SMA fransiskus, di Jalan dr Soetomo, Jakarta Pusat Jum’at. Dari tangan para pelajar ini polisis menyita berbagai senjata seperti ikat pinggang berkepala gear, badik, parang samurai, stik golf, dan lain-lain (Okezone, 20 Februari 2009). Panorama lain, Kasus pembunuhan dan kekerasan di kampus pamongpraja di Sumedang yang begitu menghentak kesadaran publik yang pelakunya diganjar ringan. Di Bandung anak-anak muda dengan bangga menjadi anggota geng motor, seolah tidak ada penyaluran lain yang positif untuk aktualisasi kaum muda. Kekerasan terjadi dalam dunia pendidikan di Madura terhadap siswa Madrasah Ibtidaiyah Kabupaten Sumenep, menjadi bulan-bulanan dua orang kepala sekolah (kasek) hingga tak sadarkan diri hingga harus dirawat di Puskesmas, serta penyebaran video atau foto porno pasangan selingkuh antara pegawai negeri sipil Dinas Perhubungan dan seorang guru SMP Negeri 2 Pamekasan, Madura (Kompas Rabu, 4 Juni 2008). Terakhir foto bugil milik seorang ibu guru di Banyuwangi, beredar luas melalui ponsel (Surya, 18 Nopember 2009).
Cuplikan peristiwa di atas merupakan potret kelabu dunia pendidikan kita saat ini. Kasus-kasus tersebut merupakan fenomena “gunung es”, di mana faktanya justeru lebih besar daripada apa yang dapat di tangkap dan dilaporkan. Fenomena tersebut bisa jadi sebagai refleksi bahwa pendidikan moral dan budi pekerti di kalangan siswa perlu mendapatkan perhatian serius, untuk mencegah efek domino yang lebih besar.
Berangkat dari peristiwa tersebut, timbul pertanyaan besar “Apa makna di balik sejumlah kasus buram tersebut?”. Secara tidak langsung, serangkaian persitiwa penyimpangan yang mewarnai dunia pendidikan kita dapat menjadi indikasi, bahwa secara kolektif maupun individual bangsa ini mengalami pelemahan karakter sebagai bangsa yang bermartabat mulia, selain karena lemahnya sistem. Seiring dengan maraknya persitiwa besar lainnya, bangsa ini makin terpuruk dan mulai kehilangan rasa malu dan kehormatan yang selama ini telah mewarisi tradisi besar (the great tradition) sebagai bangsa yang toleran, ramah, religius sebagaimana melekat dalam kepribadian bangsa.
Dalam kontek yang lebih spesifik selaku komunitas atau warga negara, bangsa ini telah kehilangan karakter jati diri yang kuat dan berstandar moralitas yang kokoh. Apakah hal ini sebagai akibat bahwa pendidikan kita saat ini tengah mengalami penyempitan makna?. Sebab pada praktiknya, pendidikan kita masih terfokus membentuk pribadi cerdas individual semata, bukan pribadi yang paripurna. Padahal, idealnya pendidikan juga berkontribusi pada pembentukan karakter bangsa atau hal yang menjadi identitas kolektif bangsa(Kompas, 8 Mei 2009).

Dalam sistem pendidikan nasional jelas tertuang bahwa tujuan pendidikan selain membentuk siswa terampil dan cerdas, juga harus beriman, bertaqwa, berakhlak mulia, mandiri, kreatif, supaya menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab. Secara filosofis, misi pendidikan pada hakekatnya untuk memuliakan martabat manusia sebagai makhluk hidup yang individual dan makhluk sosial yang berbudaya. Sebagai makhluk hidup yang individual, manusia berdasarkan azasinya adalah sosok individu yang memiliki rasa, karsa dan cipta yang tersimpan dalam bentuk potensi. Sedangkan sebagai makhluk hidup yang sosial yang berbudaya, manusia mempunyai dorongan agar keberadaannya dapat diakui oleh manusia lainnya yang ada disekitarnya sesuai dengan kedudukannya. Untuk memperoleh kedudukan dan martabat yang diinginkan, manusia berusaha memanifestasikan melalui berbgai tindakan secara konkrit, dalam hal ini melalui penyesuaian diri terhadap lingkungan sosialnya. Sarana pencapaian penyesuaian diri bagi manusia di manapun berada, tidak ada lain kecuali lewat kegiatan pendidikan dan pembelajaran.
Melalui kegiatan tersebut manusia dapat membuka kunci atas ketidak-tahuan terhadap sesuatu menjadi tahu sesuatu, dari yang belum berbudaya menjadi berbudaya, baik lewat perubahan kognitif, afektif, psikomotorik dan fungsi sosialnya. Pada gilirannya, manusia akan mendapatkan posisinya dalam menyesuaikan diri secara beradab dengan lingkungan sosialnya. Sehubungan itu, pemilikan instrumen kemampuan sebagaimana yang diamanatkan dalam tujuan pendidikan nasional secara utuh, barangkali hanya mungkin bisa dicapai melalui pendidikan dan pembelajaran yang akurat. Jujur saja, proses pendidikan dan pembelajaran yang berlangsung terutama di sekolah-sekolah saat ini ada kecenderungan semakin mengabaikan unsur mendidik dan pendidikan.
Praktek pembelajaran di sekolah banyak mengalami pergeseran, yakni banyaknya aktifitas yang lebih menekankan pada aspek-aspek yang bersifat latihan mengasah otak. Padahal jika mengacu pada target capaian setiap jenjang tujuan, idealnya semua aktivitas pendidikan yang dirancang seharusnya mengintegrasikan dimensi-dimensi kognitif, afektif, psikomotorik, dan pembemberdayaan fungsi sosialnya.
Perkembangan kurikulum sebagai pendulum praktek pembelajaran yang setiap kurun waktu tertentu mengalami perbaikan, tetap saja tidak mampu memperbaiki keadaan sesuai dengan tuntutan perubahan. Dengan dalih waktu yang tersedia sangat sedikit jika dibandingkan dengan saratnya materi kurikulum, sehingga waktu dan energi guru dihabiskan untuk mencurahkan isi materi yang bersifat kognitif saja. Ditambah lagi, cara-cara guru membelajarkan para siswa hanya mentransfer pengetahuan begitu saja tanpa memberikan kesempatan secara luas bagi siswa untuk mencerna pengalaman belajarnya. Pendidikan tidak lagi menempatkan siswa sebagai fokus utama dalam proses pendidikan, tetapi kita lebih menempatkan guru sebagai satu-satunya sumber utama belajar. Proses pendidikan semacam ini berarti mengabaikan potensi siswa sebagai subjek belajar, yang sesungguhnya hakekat belajar itu tidak lain adalah belajarnya subjek didik (siswa), sehingga ia tidak berkembang diri secara optimal. Davies (1971) menyatakan, “ We have tended to forget that the real essence of education is learner-learning and not teacher-teaching. Somehow, we have tended to create a mystical position for the teacher in the educational process, and have neglected the individuals pupil desire and capacity to create, discover and learn for himself” (Setyasari, 2009).
Proses pembelajaran yang membelajarkan siswa melalui buku teks, kemudian mereka (para siswa) dituntut untuk mampu menuangkan kembali pada saat dilakukan tes atau ujian (Dick & Carey, 1985). Metode pembelajaran yang hanya meneruskan pengetahuan dan tidak memberikan peluang kepada siswa berinteraksi dan bertransaksi antar siswa, menyebabkan mereka kehilangan waktunya untuk mengartikulasikan pengalaman belajar. Pembelajaran hanya mengarah kepada latihan berpikir kritis (critical thinking), sedangkan interaksi sosial (social interaction) hanya mendapatkkan porsi waktu yang sangat sedikit, karena guru hanya disibukkan dengan tugas rutinitas untuk segera menuntaskan kurikulum yang menjadi tanggung jawabnya. Suasana pembelajaran ditandai oleh adanya kompetisi diantara siswa dan telah mengabaikan prinsip pembelajaran bermakna yang bersifat fungsional dan kontekstual.
Proses pembelajaran yang menakankan pada penanaman aspek-aspek soft skills, yang antara lain kerja sama, rasa saling menghargai pendapat, rasa saling memiliki (sense of belonging), rasa tanggung jawab (sense of responsibility), kejujuran, rela berkorban, dan seterusnya yang diwujudkan melalui pengalaman belajar yang bermakna mulai tenggelam dengan kesibukan sekolah untuk berpacu mencapai “target nilai”. Sekolah seolah-olah hanya mengajarkan pengetahuan kognitif demi mengejar nilai baik, agar mereka lulus ujian dan mengabaikan keseimbangan perkembangan dimensi-dimensi afektif dan psikomotorik, serta fungsi sosialnya. Terlebih lagi, sejak digulirkannya Ujian Nasional dan UASBN, banyak sekolah mendisain sekolah berbasis Ujian Nasional. Semua pendekatan pembelajaran mengarah pada hasil ujian akhir. Ranah kognitif menjadi fokus utama, sedangkan untuk afektif dan psikomotor terabaikan. Tragisnya, untuk mencapai angka kelulusan maksimal, tidak sedikit sekolah melegalkan praktik kecurangan untuk membangun kepercayaan ke masyarakat. Bila kondisi ini terus berlanjut, cepat atau lambat kehancuran pendidikan sudah menunggu di depan mata.
Thomas Lickona dari Cortland University mensunyalir tanda-tanda jaman yang harus diwaspadai sebuah bangsa sedang menuju jurang kehancuran, diantaranya sebagai berikut: meningkatnya kekerasan di kalangan remaja, penggunaan bahasa dan kata-kata yang memburuk, meningkatnya perilaku merusak diri (seperti penggunaan narkoba, alkohol dan seks bebas), semakin kaburnya pedoman moral baik dan buruk, rendahnya rasa tanggung jawab individu dan warga negara serta membudayanya ketidakjujuran, dan tanda-tanda lain sejenis.
Berangkat dari persoalan laten tersebut, pendidikan yang berbasis karakter barangkali perlu dipertimbangkan sebagai pilihan yang tepat untuk membendung meluasnya degradasi kehancuran bangsa yang semakin akut. Konsep pendidikan yang berbasis karakter adalah konsep pendidikan yang bertumpu pada sifat dasar manusia dengan menggunakan tiga pilar utama, yaitu fitrah manusia kecenderungan berbuat baik, setiap anak memiliki kecerdasan yang berbeda-beda, setiap aktifitas hendaknya mempunyai tujuan. Implementasi aspek tersebut dapat dilakukan melalui langkah-langkah:
(1)      pembentukan moral peserta didik melalui pembiasaan dan pendampingan,
(2)  memberikan slogan yang mampu menumbuhkan kebiasaan baik dalam segala tingkah laku di masyarakat dan sekolah,
(3)  pemantauan secara kontinyu atau pendampingan oleh guru terhadap peserta didik setiap saat.
Inovasi Pembelajaran Berbasis Karakter sejak bergulirnya fenomena di atas, pada tahun-tahun belakangan ini dunia pendidikan terus mendapatkan sorotan dan “pressure” dari berbagai kalangan seiring dengan rendahnya kualitas prestasi belajar siswa yang dihasilkan oleh lembaga pendidikan formal, khususnya di tingkat pendidikan dasar dan menengah. Kondisi ini ditengarai sebagai akibat dari iklim akademik yang tidak kondusif. Implikasi dari merosotnya kualitas prestasi belajar siswa tersebut berdampak pada kurang siapnya para lulusan pada level-level tersebut untuk berkiprah secara mandiri di masyarakat.
Pada awalnya wacana yang diduga menjadi penyebab turunnya kualitas hasil belajar siswa teresebut, dikarenakan minimnya waktu yang diperlukan untuk meningkatkan daya serap siswa,. Atas dasar itulah, untuk memacu daya serap siswa sekolah memodifikasi jam belajar, yakni memaksakan tambahan jam belajar formal berikisar 8–15 jam per minggu, meski secara eksplisit efektivitasnya masih dipertanyakan. Sebuah studi kasus pada sekolah dasar unggulan yang menerapkan penambahan jam belajar sekitar 10 jam/minggu, ternyata hasilnya tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan dibandingkan dengan prestasi belajar siswa yang tidak diberikan tambahan jam belajar (Padmanthara dan Efendi, 1999). Hasil penelitian tersebut mengisyaratkan bahwa perbaikan yang bersifat kuantitas dan parsial, tanpa dibarengi perbaikan kualitas pada instrumen pembelajaran, hasil yang dicapai tentu saja masih jauh dari apa yang diharapkan.
Pembelajaran secara aktif (active learning) yang beberapa dekade lalu terus berkumandang, tetap menjadi instrumen yang tepat untuk mengangkat kualitas hasil belajar siswa, dengan catatan pengartikulasiannya dalam praktek betul-betul memenuhi kaidah yang benar. Rakajoni yang mengutip dari McKeachie (1983), mengemukakan 7 dimensi yang menjadi ciri guru melaksanakan pembelajaran dengan kadar cara belajar aktif, antara lain:
(1)   partisipasi siwa dalam menetapkan tujuan pembelajaran,
(2)  tekanan pada aspek afektif dalam pengajaran,
(3) partisipasi siswa dalam pelaksanaan pembelajaran, terutama bentuk interaksi antar siswa,
(4)  penerimaan pengajar terhadap perbuatan dan kontribusi siswa yang kurang relevan bahkan sama sekali salah,
(5)   kekohesivan kelas sebagai kelompok,
(6) kebebasan kesempatan yang diberikan kepada siswa untuk mengambil keputusan penting dalam kehidupan sekolah,
(7) jumlah waktu yang digunakan untuk membantu siswa, baikyang berhubungan dengan pelajaran atau tidak (Efendi ed., 2009)
Pengalaman menunjukkan, berdasarkan pengakuan dan tulisan di atas kertas, hampir setiap guru jika ditanya selalu menyatakan bahwa disain pembelajarannya dilakukan secara aktif, namun dalam prakteknya seringkali tidak pernah tampak, karena guru lebih senang dengan polanya sendiri. Mereka pada umumnya masih berkutat dengan cara-cara mengajar yang lama, dan cenderung mematikan potensi kreatif siswa. Permasalahan ini telah mengakar di alam sekolah kita dan telah membentuk sikap guru menjadi sangat konservatif, akibatnya keyakinan guru tampak sulit diubah, untuk mengubahnya membutuhkan waktu yang lama (Tangyong, 1989).
Guru masih sulit untuk beranjak dan berbuat untuk menyusun secara serius pembelajaran yang didasarkan pada premis belajar (Drost, 1998). Atas dasar itulah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh untuk mengubah metodologi belajar-mengajar yang diterapkan guru. Pola yang sekarang tidak mendorong siswa kreatif dan inovatif sehingga sulit memunculkan jiwa kemandirian/kewirausahaan anak didik. Menurut Presisden metode belajar-mengajar anak didik yang dilakukan sejak taman kanak-kanak, sekolah dasar, hingga sekolah menengah dinilai hanya menunjukkan gurunya yang aktif, sedangkan anak didik justru tidak aktif. Proses belajar seperti itulah yang dinilai tidak dapat mengembangkan inovasi dan kreativitas serta kemandirian/kewirausahaan (Kompas, 30 Oktober 2009).
Penerapan pembelajaran secara aktif, berarti guru mengkonstruksi pengetahuan siswa dengan cara memformulasikan ide-ide atau gagasan-gagasan ke dalam ungkapan-ungkapan dan ide-ide dibangun melalui reaksi dan respons dari pihak lain (Bouton & Garth, 1983; Alavi, 1994).
Dengan ungkapan lain, belajar bukan hanya aktif tetapi juga interaktif. Proses-proses pembelajaran yang lebih mengaktifkan siswa ini lebih berorientasi pada siswa (learner-centered orientaion). Interaksi timbal-balik bukan hanya terjadi antara siswa dan guru, tetapi juga terjadi antar siswa (transaksional).
Pola interaksi ini akan lebih mengembangkan proses-proses sosial yang lebih tinggi, sehingga akan semakin memupuk jiwa keberanian mengemukakan pendapat, pandangan, pikiran, perasaan dan pada gilirannya akan menumbuhkan jiwa kerja sama atau kolaborasi. Interaksi guru-siswa dalam pembelajaran aktif mengilhami para pakar pendidikan dan pembelajaran untuk melahirkan berbagai karya permodelan dalam pembelajaran yang inovatif. Dilihat dari ragamnya, banyak sekali model-model pembelajaran yang lazim digunakan sebagai medium dalam pendidikan dan pelatihan. Pada intinya seluruh model yang pernah dipresentasikan ingin membangun agar kegiatan pembelajaran lebih aktif, efektif, dan menyenangkan. Berdasarkan rumpunnya, Joice dan Weil (1986) mengklasifikasikan pembelajaran menjadi rumpun pengolahan informasi (the information processing family), rumpun personal (the personal family), rumpun sosial (the social family), rumpun sistem perilaku (the behavioral system family). Fondasi model pembelajaran yang dirangkum Joice dan Weil kelak memberikan inspirasi lahirnya model-model pembelajaran yang inovatif.
Dalam kaitannya dengan pengembangan kemampuan siswa dalam KTSP 2006, secara implisit telah memberikan peluang kepada guru untuk menciptakan kondisi yang memungkinkan agar siswa mampu belajar dan berbuat dalam konteks belajar anak (konteks kognitif) dan mengedepankan lingkungan sehari-hari (konteks sosial). Hal ini berarti kreatifitas guru untuk mengembangkan tema-tema pembelajaran yang relevan kondisi dan situasi setempat menjadi bagian sangat penting. Pembelajaran di sekolah-sekolah progresif yang diilhami oleh Piaget, menganut kurikulum dan metodologi yang bepusat pada anak, serta belajar individual di mana anak bisa bekerja sesuai dengan tingkat kemampuan dan kecepatan masing-masing. Beberapa sekolah yang menerapkan model ini terlihat adanya integrated day, dimana tidak terdapat jadwal pelajaran yang tersekat secara kaku. Dengan cara ini diharapkan anak akan mengembangkan kemandirian (autonomy), disiplin diri (self dicipline) dalam merencanakan agenda belajar, serta dapat menentukan pilihan sendiri dari sekian pilihan yang tersedia.
Pembelajaran yang berpusat pada anak inilah pada akhirnya juga melahirkan pembelajaran berdasarkan topik atau tema, yang mana menekankan keterpaduan aspek-aspek kurikulum yang berbeda, misalnya matematika dan IPA atau IPS atau yang lainnya. Metode pembelajaran yang dipakai menekankan pada learning by doing atau problem solving, serta melibatkan belajar kelompok (cooperative learning) sebagai perwujudan dari interaksi sosial dan sarana pemerolehan pengalaman belajar. Berikut ini akan dipresentasikan beberapa model pembelajaran aktif dan inovatif untuk membelajarkan siswa, antara lain: Pembelajaran Kontektual, Pembelajaran Berbasis Masalah, dan Pembelajaran Kooperatif. Pembelajaran kontekstual menempatkan siswa di dalam konteks bermakna, yang menghubungkan pengetahuan awal siswa dengan materi yang sedang dipelajari, dan sekaligus memperhatikan kebutuhan individual siswa dan peran guru. Karena itulah pendekatan pembelajaran kontekstual harus menekankan pada hal-hal berikut: problem based learning (menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi siswa untuk belejar tentang berpikir kritis dan ketrampilan pemecahan masalah), authentic instruction (memperkenalkan siswa untuk mengembangkan ketrampilan berpikir dan pemecahan masalah yang penting di dalam konteks kehidupan sehari-hari), project based learning (mendorong siswa untuk melalkukan penyelidikan terhadap masalah autentik dan bekerja secara mandiri dalam mengkonstruk pembelajaran dan mengkulminasikan dalam produk nyata), work based learning (siswa menggunakan konteks tempat kerja untuk mempelajari materi pelajaran berbasis sekolah dan mengimpelemenasikan materi di tempat kerja), inquiry based learning (pendekatan pembelajaran yang mengikuti metodologi sains dan menyediakan kesempatan untuk pembelajaran bermakna), service learning (pendekatan pembelajaran untuk memperoleh pengetahuan atau ketrampilan baru yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan layanan di masyarakat dilakukan melalui tugas terstruktur/proyek), cooperative learning (penggunaan kelompok kecil siswa untuk bekerja sama dalam memaksimalkan kondisi belajar untuk mencapai tujuan belajar). Sehubungan dengan kebutuhan individual siswa, maka untuk mengimpelementasikan pendekatan pembelajaran kontekstual ini guru harus memperhatikan hal-hal berikut:
(1)  merencanakan pembelajaran sesuai dengan kewajaran perkembangan mental siswa (developmentally approach),
(2)     membentuk group belajar yang saling tergantung
 (interdependent learning group),
(3)  menyediakan lingkungan yang mendukung pembelajaran mandiri (self regulated learning) yang memiliki 3 karakteristik umum, yaitu kesadaran berpikir, penggunaan strategi, dan motivasi berkelanjutan (Depdiknas, 2002).
Belajar berbasis masalah (problem-based learning) adalah suatu pendekatan pembelajaran yang menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi siswa untuk belajar tentang berpikir kritis dan keterampilan pemecahan masalah, serta untuk memperoleh pengetahuan dan konsep yang mendasar dari materi yang dipelajari. Dalam hal ini, siswa terlibat dalam penyelidikan untuk pemecahan masalah yang mengintegrasikan keterampilan dan konsep dari berbagai isi materi pelajaran. Pendekatan ini mencakup pengumpulan informasi yang berkaitan dengan pertanyaan, mensintesakan, dan mempresentasikan temuannya kepada orang lain (Moffitt, 2001). Sesuai dengan tujuannya, problem based learning mencoba menumbuhkan sikap ilmiah. Untuk itu, strategi problem based learning diimplementasikan melalui langkah-langkah: identifikasi masalah, analisa masalah, hipotesis/penjelasan logik sistematik, identifikasi pengetahuan, identifikasi pengetahuan yang telah diketahui, penentuan sumber pembelajaran, identifikasi pengetahuan baru, sintesis pengetahuan lama dan baru untuk diterapkan pada masalah, pengulangan kegiatan, menyimpulkan hal yang tidak terpelajari, perangkuman hasil / penyusunan laporan, penerapan ke masalah berikutnya.
Pembelajaran kooperatif (cooperative learning) adalah strategi pembelajaran yang dirancang secara berkelompok, di mana siswa belajar bersama dan saling membantu dalam membuat tugas dengan penekanan pada situasi untuk saling membantu diantara anggota.kelompok, tidak ada kompetitisi, keberhasilan belajar adalah keberhasilan kelompok. Untuk itu ada lima prinsip mendasari pembelajaran kooperatif, yaitu:
(1)  positive interdependence: anggota kelompok perlu bekerjasama untuk mencapai tujuan,
(2)  face to face interaction: semua anggota berinteraksi dengan saling berhadapan,
(3)  individual accountability: setiap anggota harus belajar dan menyumbang demi pekerjaan dan keberhasilan kelompok,
(4) use of collaborative/social skills: keterampilan bekerjasama dan bersosialisasi diperlukan, untuk ini diperlukan bimbingan guru agar siswa dapat berkolaborasi,
(5)   group processing: siswa perlu menilai bagimana mereka bekerja secara efektif.
Pembelajaran kooperatif dapat dilaksanakan dalam semua matapelajaran atau bidang studi baik untuk pendidikan dasar, menengah, maupun pendidikan tinggi. Ada beberapa variasi pembelajaran kooperatif, antara lain: Numbered Head Together, Think-Pair-Share, JIGSAW, STAD (Student Teams Achievement DivisionNumbered Head Together (NHT) Adapun langkah-langkah untuk menerapkan pembelajaran kooperatif model Numbered Head Together (NHT) sebagai berikut:
1). Guru meminta siswa membentuk sebuah kelompok. Masing-masing kelompok terdiri atas 4 orang. Masing-masing siswa mendapatkan nomor 1,2,3 dan 4.
2). Kemudian guru menanyakan beberapa pertanyaan. Anggota kelompok kemudian berdiskusi dan menyakinkan bahwa masing-masing anggota kelompok mengetahui jawabannya.
3). Selanjutnya guru menyebutkan sebuah nomor, dan meminta anggota masing-masing kelompok yang memiliki nomor tersebut untuk menjawab pertanyaan tersebut. Think-Pair-Share (TPS)  Adapun langkah-langkah untuk menerapkan pembelajaran kooperatif model Think-Pair-Share sebagai berikut:
1).    Guru memberikan sebuah topik kepada siswa.
2).  Masing-masing siswa kemudian memikirkan jawabannya sendiri.
3). Kemudian siswa berpasang-pasangan dan masing-masing pasangan mendiskusikan sebuah topik tersebut.
Selanjutnya pasangan-pasangan tersebut berbagi pendapat dengan semua anggota kelas lainnya JIGSAW Adapun langkah-langkah untuk menerapkan pembelajaran kooperatif model Jigsaw sebagai berikut:
1). Siswa dibagi menjadi beberapa anggota kelompok belajar secara heterogen, misalnya kelompok A, B, C dan D.
2). Masing-masing kelompok ini ditunjuk menjadi ahli (expert) tentang bidang (sub topik) tertentu dari materi, misalnya X, Y, Z dan N.
3). Siswa-siswa dari kelompok A, B, C, dan D yang ditunjuk expert tentang X selanjutnya berkumpul, belajar bersama tentang materi x sehingga menjadi expert tentang X. Demikian pula dengan anggota lainnya yang ditugaskan menjadi expert tentang materi lainnya.
4). Setelah diskusi dalam kelompok expertini selesai, para ahli ini kembali ke kelompoknya semula (kelompok asal) yaitu A, B, C dan D dan memberikan penjelasan kepada anggota lainnya di dalam kelompok materi yang dikuasainya dan mendengarkan dari ahli lainnya tentang materi lainnya pula. STAD (Student Teams Achievement Division Adapun langkah-langkah untuk menerapkan pembelajaran kooperatif model STAD (Student Teams Achievement Division) sebagai berikut:
1.      Guru menyajikan materi pelajaran.Kemudian siswa dibagi dalam kelompok-kelompok yang terdiri dari 4-5 anggota yang heterogen.
2.   Kelompok membantu masing-masing anggota kelompok untuk menguasai materi tersebut.
3. Siswa kemudian mengambil kuis-kuis individual. Skor kuis siswa dibandingkan dengan nilai rata-rata mereka di masa lalu. Nilai kemudian diberikan atas dasar sejauh mana siswa dapat mencapai atau melebihi yang telah mereka peroleh di masa lalu. Nilai-nilai ini kemudian dijumlahkan untuk membentuk skor tim (team).
4.       Kemudian tim yang mencapai kriteria tertentu memperoleh hadiah. Sistem ini memberikan kesempatan yang sama pada siswa untuk menyumbangkan nilai-nilai maksimum pada kelompoknya.
Profesionalitas Guru. Profesionalitas merupakan sikap para anggota atau sekelompok individu yang benar-benar mengabdi secara sungguh-sungguh terhadap profesinya (suatu jabatan atau pekerjaan yang menuntut keahlian atau keterampilan dari pelakunya). Profesionalitas seseorang teruji, manakala yang bersangkutan mampu melakukan sesuatu sesuai dengan keahlian atau keterampilan yang tinggi. Dewasa ini, profesionalitas dalam menjalankan pekerjaan telah menjadi tuntutan masyarakat. Karena masyarakat ingin mendapatkan pelayanan yang semakin meningkat mutunya untuk hasil yang lebih baik.  Untuk itu, setiap profesi harus bisa menyesuaikan dengan permintaan masyarakat agar tidak “ditinggalkan”. Profesionalitas guru ditandai dengan penguasaan kompetensi sebagaimana dinyatakan dalam PP Nomor 19 Tahaun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan dan UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Setidaknya ada 4 komponen kompetensi yang harus dimiliki oleh guru dalam menjalankan tugas profesionalnya, antara lain: kompetensi pedagogis, kompetensi professional, kompetensi sosial dan kompetensi kepribadian.
Guru yang kompeten adalah guru yang mampu melakukan inovasi pembelajaran pembelajaran, mulai dari merancang, melaksanakan, dan mengevaluasi pembelajaran secara akurat sesuai kebutuhan peserta didik. Pengembangan elemen-elemen kompetensi tersebut dalam prakteknya tidak dapat dilakukan secara terpisah-pisah, akan tetapi berada dalam bingkai utuh dalam kompetensi guru. Oleh karena itu, elemen kompetensi yang perlu dikuasai oleh guru, yang mana sisi-sisinya berupa pengetahuan dan keterampilan, sebagai berikut:
(1) penguasaan disiplin ilmu secara baik dan mendalam (kompetensi profesional),
(2) penguasaan teori belajar dan pembelajaran serta mengenal peserta didik secara mendalam (kompetensi pedagogis),
(3) menganalisi tujuan, menganalisis dan mengorganisasikan isi, merancang skenario pembelajaran, menyusun perangkat pembelajaran, dan mengembangkan sistem evaluasi (kompetensi pedagogis dan profesional),
(4) melaksanakan pembelajaran yang mendidik (kompetensi pedagogis dan profesional). Kinerja tersebut memerlukan dukungan
(5) penguasaan bidang-bidang lain yang diperlukan untuk menigkatkan pembelajaran dan memutakhirkan pengetahuan keterampilan pendidik (kompetensi Sosial dan Kepribadian), dan
(6) sikap, nilai dan kebiasaan berpikir produktif serta prilaku yang menunjang tampilan kinerja pendidik (kompetensi sosial dan kepribadian) (Suparno & Kamdi, 2009). Sejumlah penelitian memberi bukti bahwa kualifikasi dan sertifikasi guru sebagai bentuk pengakuan kompetensi guru memberi dampak terhadap percepatan belajar siswa. Hasil penelitian yang dihimpun oleh Tim Pengembang Program BERMUTU menyatakan:
(1) pengetahuan dan keterampilan guru berpengaruh kuat terhadap prestasi siswa dibanding variabel lain, seperti pengalaman guru, ukuran kelas, dan rasio siswa-guru (sesuatu yang dengan mudah kita pahami),
(2) ada bukti yang konsisten dan kuat bahwa prestasi siswa yang diajar oleh guru bersertifikat lebih baik daripada oleh guru yang tidak bersertifikat,
(3) persiapan dan sertifikasi guru memiliki korelasi yang paling kuat dengan prestasi siswa dalam membaca dan matematika,
(4) ada bukti kecil bahwa meningkatkan gaji guru mempunyai dampak langsung terhadap prestasi siswa. Ada kesepakatan perundangan yang luas bahwa gaji guru berpengaruh dalam memasuki profesi guru, dan berapa lama mereka mengajar, yang dapat berdampak terhadap prestasi siswa (Draft Project Operational Manual Program BERMUTU, Depdiknas,2007). Kebijakan, penelitian, dan praktek di lapangan, semua menegaskan bahwa guru memiliki dampak yang signifikan terhadap pendidikan anak-anak bangsa. Tidak hanya Indonesia yang terpuruk mutu pendidikanya, di Amerika melalui mandat Public Law 107-110 (No Child Left Behind Act) menyebutkan bahwa tahun 2005-2006 semua anak di setiap sekolah di Amerika Serikat diajar oleh guru yang berkualitas tinggi. Guru berkualitas tinggi didefinisikan sebagai guru profesional yang memiliki lisensi mengajar dalam bidangnya (U.S Department of Education,2002).
Di Indonesia setara dengan yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan dosen, disebutkan bahwa guru memiliki kualifikasi akademik Sarjana (S1) atau Diploma IV, dan memiliki sertifikat pendidik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar