Senin, 29 Juli 2013

Hadits Tarbawi: Tentang Jihad Fii Sabilillah

BAB I
PENDAHULUAN
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَ ضِيَ اَللَّهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم (  مَنْ مَاتَ وَلَمْ يَغْزُ, وَلَمْ يُحَدِّثْ نَفْسَهُ بِهِ, مَاتَ عَلَى شُعْبَةٍ مِنْ نِفَاقٍ )  رَوَاهُ مُسْلِمٌ. 
Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Barangsiapa mati, sedang ia tidak pernah berjihad dan tidak mempunyai keinginan untuk jihad, ia mati dalam satu cabang kemunafikan." (HR. Muttafaq Alaihi)”
َوَعَنْ أَنَسٍ رضي الله عنه أَنَّ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: ( جَاهِدُوا اَلْمُشْرِكِينَ بِأَمْوَالِكُمْ, وَأَنْفُسِكُمْ, وَأَلْسِنَتِكُمْ )  رَوَاهُ أَحْمَدُ, وَالنَّسَائِيُّ, وَصَحَّحَهُ اَلْحَاكِمُ.
Dari Anas bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Berjihadlah melawan kaum musyrikin dengan hartamu, jiwamu dan lidahmu." (Riwayat Ahmad dan Nasa'i. Hadits shahih menurut Hakim)”
Allah ta'ala berfirman:
وَعَدُوَّكُمْ اللَّهِ عَدُوَّ بِهِ تُرْهِبُونَ الْخَيْلِ رِبَاطِ وَمِنْ قُوَّةٍ مِنْ اسْتَطَعْتُمْ مَا لَهُمْ وَأَعِدُّوا
إِلَيْكُمْ يُوَفَّ اللَّهِ سَبِيلِ فِي شَيْءٍ مِنْ تُنْفِقُوا وَمَا يَعْلَمُهُمْ اللَّهُ تَعْلَمُونَهُمُ لا دُونِهِمْ مِنْ وَآخَرِينَ تُظْلَمُونَ لا وَأَنْتُمْ
“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan).” (QS al Anfal:60)
Meskipun begitu, tidak dapat di­ingkari bahwa jihad dapat pula mengambil bentuk peperangan, tetapi jihad di dalam pengertian ini bersifat kondisional, bukan pengertian satu-satunya. Yang jelas bahwa jihad sebagai cara untuk memelihara dan mempertahankan ajaran Islam dalam kehidupan masyarakat harus dilaksanakan secara terus-menerus. Karena itu pula maka jihad dalam pelaksanaannya harus bermotifkan tekad yang bulat untuk mencari ridha Allah. Di dalam hal ini, Al-Qur’an menya-takan bahwa pengerahan tenaga, pikiran, dan harta benda secara optimal tidak boleh menyim-pang dari jalan yang diridhai oleh Allah, seperti diisyaratkan di dalam beberapa ayat; misalnya QS. Al-Baqarah [2]: 218, QS. Al-Mâ’idah [5]: 35 dan 54, QS. Al-Anfâl [8]: 72 dan 74, QS. At-Taubah [9]: 19, 24, dan 41, QS. Al-Hajj [22]: 78, QS. Al-Hujurât [49]: 15, dan QS. Ash-Shaff [61]: 11.
 Ayat-ayat tersebut memberi petunjuk bahwa orang yang mengerahkan tenaga, pikiran, dan harta bendanya akan memperoleh ridha Allah bila mereka berjuang dengan ikhlas pada jalan yang diridhai Allah.
Di samping jihad dengan harta, juga disebutkan bersama-sama jihad dengan anfus (أَنْفُس), yang dapat berarti ‘hati, jenis, nyawa, dan totalitas manusia’. Maka, ketika Al-Qur’an memerintahkan berjihad dengan anfus, ia dapat mencakup jihad dengan nyawa, emosi, penge­ta­huan, tenaga, dan pikiran, bahkan juga waktu dan tempat.
Perintah berjihad dengan mengguna­kan segala potensi dan kemampuan yang dimiliki manusia disebutkan pula di dalam QS. Al-Hajj [22]: 78. Hal itu berarti bahwa jihad merupakan puncak dari segala aktivitas.
Pengertian umum bahwa jihad fisabilillah adalah dengan berperang di jalan Allah, perang membela agama Allah dan kalau gugur mendapatkan titel sebagai syuhada. Jadi ketika pengertian ini diterapkan maka hanya orang-orang tertentu lah yang bisa mendapatkan kehormatan sebagai syuhada. Wah, enak temen ya para pejuang Islam di jaman dulu, mati dan berpredikat syuhada.
Memaknai “jihad” janganlah dipandang dari unsur “perang”. Atau mencontoh Amrozi CS dengan bom Bali nya. Kalau hanya dimaknai perang mengangat senjata, kita-kita ini jelas tidak kebagian jatah karena kebetulan saja tempat kita jauh dari lokasi perang itu sendiri.
Jihad fisabilillah yang paling berat adalah berjuang memerangi hawa nafsu, bagaimana kita memerangi syetan yang ada dalam tubuh ini. Justru nafsu inilah yang sangat sulit untuk diperangi karena teramat halusnya syetan ini bersemayam dan lalu menghembuskan bisikan-bisikan manis tetapi penuh racun. Nafsu kesombongan, amarah, merasa dirinya mampu, merasa lebih pintar, merasa lebih kaya, merasa lebih khusyuk. Perang melawan hawa nafsu inilah perang yang sangat besar dalam sejarah manusia, karena perang ini hanya berakhir ketika ruh ini lepas dari tubuh yang fana ini.
Dan kami pemakalah akan membahas permasalahan jihad ini lebih memfokuskan kepada sasaran yang dimaksud dengan jihad itu sendiri. Jadi kami lebih mengambil segi pendidikan yang tersembunyi di balik jihad fiisabilillah ini.
BAB II
PEMBAHASAN
A.   Pengertian Jihad Fiisabilillah
Istilah jihâd di dalam berbagai bentuk­nya terulang sebanyak 41 kali di dalam Al-Qur’an. Kata jihâd yang berasal dari kata juhd (جُهْد) dan jahd (جَهْد), berarti ‘kekuatan, kemampuan, kesulitan, dan kelelahan’. Dari pengertian itu dipahami bahwa jihad membutuhkan kekuatan, baik tenaga, pikiran maupun harta. Pada sisi lain, dipahami bahwa jihad pada umumnya mengan­dung risiko kesulitan dan kelelahan di dalam pelaksanaannya.
Kata al-juhd hanya dijumpai sekali di dalam Al-Qur’an, yakni QS. At-Taubah [9]: 79. Ayat ini berbicara mengenai sikap dan penghinaan orang munafik terhadap orang-orang beriman yang memberikan sedekah dengan sukarela, sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Adapun kata al-jahd ditemukan lima kali di dalam Al-Qur’an, masing-masing di dalam QS. Al-Mâ’idah [5]: 53, QS. Al-An‘âm [6]: 109, QS. An-Nahl [16]: 38, QS. An-Nûr [24]: 53, dan QS. Fâthir [35]: 42, semuanya berbicara di dalam konteks sumpah, baik sumpah yang benar maupun sumpah yang bohong. Akan tetapi, ayat-ayat tersebut cukup memberikan petunjuk tentang kesungguhan pelakunya di dalam ber­sumpah walaupun belum tentu benar.
Di dalam terminologi Islam, kata jihâd diartikan sebagai ‘perjuangan secara sungguh- sungguh mengerahkan segala potensi dan kemampuan yang dimiliki untuk mencapai tujuan’, khususnya di dalam melawan musuh atau di dalam mempertahankan kebenaran, kebaikan, dan keluhuran.
Meskipun begitu, istilah jihad yang dijum­pai dalam Al-Qur’an tidak semua­nya berarti berjuang di jalan Allah karena ada juga ayat yang menggunakan kata jihad untuk pengertian ‘berjuang dan berusaha seoptimal mungkin untuk mencapai tujuan’, walaupun tujuan yang dimaksud belum tentu benar. Hal seperti ini dijumpai di dalam QS. Al-‘Ankabût [29]: 8 dan QS. Luqmân [31]: 15. Kedua ayat tersebut berbicara di dalam konteks hubungan antara anak yang beriman dan orang tuanya yang kafir.
Kata jihâd yang mengandung pe­ngerti­an ‘berjuang di jalan Allah’, ditemukan pada 33 ayat: 13 kali di dalam bentuk fi‘l mâdhi (فِعْلُ مَاضٍ  = kata kerja bentuk lampau), lima kali di dalam bentuk fi‘l mudhâri‘ (فِعْلُ مُضَارِعٍ i= kata kerja bentuk sekarang atau yang akan datang), tujuh kali di dalam bentuk fi‘l amr (فِعْلُ أَمْرٍ i= kata kerja perin­tah), empat kali di dalam bentuk mashdar, dan empat kali di dalam bentuk ism fâ‘il (إِسْمُ فَاعِلٍ i= kata benda yang menunjukkan pelaku).
 Ayat-ayat tersebut memberikan indikasi bahwa jihâd mengan­dung pengertian yang luas, yakni per­juangan secara total yang meliputi seluruh aspek kehidupan, termasuk di dalamnya perang fisik atau mengangkat senjata terhadap para pem­bang­kang atau terhadap musuh.
Dengan begitu, istilah jihâd tidak selalu berkonotasi perang fisik, bahkan terdapat beberapa ayat yang berbicara tentang jihâd, tetapi tidak berkonotasi perang, khususnya ayat-ayat Makkiyah seperti QS. Al-‘Ankabût [29]: 6 dan 69. Ayat-ayat tersebut mem­beri­kan indikasi bahwa jihâd yang dimaksudkan adalah men­cu­rahkan seluruh kemampuan yang dimiliki untuk men­capai ridha Allah. Karena itu, orang yang berjihad di jalan Allah tidak mengenal putus asa, menyerah, atau berkeluh kesah. Bahkan, QS. Al-Furqân [25]: 52 yang juga termasuk ayat Makkiyah, secara tegas memerintahkan berjihad terhadap orang-orang kafir dengan jihâd yang besar. Akan tetapi, ayat ini pun tidak dapat dipahami sebagai jihâd di dalam bentuk kontak senjata, mengingat bahwa selama Nabi saw. mengembangkan misi kerasulannya di Mekkah, beliau tidak pernah melakukan kontak senjata dengan orang-orang kafir. Padahal, ayat-ayat ini secara jelas dan tegas memerintahkan agar menghadapi orang-orang kafir dengan jihad yang besar. Bahkan, ketika orang-orang musyrik mengadakan tekanan dan penyiksaan terhadap umat Islam, terdapat indikasi bahwa kaum Muslim berupaya meng­hadapi kekejaman tersebut tidak dengan berperang, tetapi beliau menyatakan kepada sahabatnya, “Ishbirû fa innî lam u’mar bil-qitâli” (إِصْبِرْ فَإِنِّى لَمْ أُؤْمَرْ بِالقِتَالِ = bersa­bar­lah kalian karena aku belum mendapat perintah untuk berperang). Dengan begitu, perintah berjihad di dalam QS. Al-Furqân [25]: 52 di atas bukanlah perintah berperang. Perintah berjihad terhadap orang-orang kafir adalah dengan menggunakan Al-Qur’an, yakni me­nyam­pai­­kan ajaran Al-Qur’an dengan informasi rasio­nal atau pendekatan-pen­dekatan lainnya yang dapat menarik perhatian mereka kepada Islam. Terbukti bahwa banyak orang kafir yang tertarik kepada Islam karena pendekatan yang lunak dan simpatik.
Di samping itu, QS. At-Taubah [9]: 73 dan QS. At-Tahrîm [66]: 9, secara tegas memerintah­kan berjihad terhadap orang-orang kafir dan orang-orang munafik. Terhadap orang kafir, jihad di dalam bentuk kontak senjata telah dilaksanakan oleh Nabi, tetapi terhadap orang-orang munafik, Nabi tidak melakukannya. Ini pun memberikan kesan bahwa jihad terhadap orang-orang munafik bukanlah jihad dalam bentuk mengangkat senjata sebab secara formal mereka adalah umat Islam; mereka juga tidak secara terang-terangan mengadakan aksi untuk meng­hancurkan Islam. Karena itu, usaha mak­simal yang dapat dilakukan untuk meng­hadapi mereka adalah membendung pengaruh buruk yang ditimbulkan mereka.
Meskipun begitu, tidak dapat di­ingkari bahwa jihad dapat pula mengambil bentuk peperangan, tetapi jihad di dalam pengertian ini bersifat kondisional, bukan pengertian satu-satunya.
 Yang jelas bahwa jihad sebagai cara untuk memelihara dan mempertahankan ajaran Islam dalam kehidupan masyarakat harus dilaksanakan secara terus-menerus. Karena itu pula maka jihad dalam pelaksanaannya harus bermotifkan tekad yang bulat untuk mencari ridha Allah. Di dalam hal ini, Al-Qur’an menya-takan bahwa pengerahan tenaga, pikiran, dan harta benda secara optimal tidak boleh menyim-pang dari jalan yang diridhai oleh Allah, seperti diisyaratkan di dalam beberapa ayat; misalnya QS. Al-Baqarah [2]: 218, QS. Al-Mâ’idah [5]: 35 dan 54, QS. Al-Anfâl [8]: 72 dan 74, QS. At-Taubah [9]: 19, 24, dan 41, QS. Al-Hajj [22]: 78, QS. Al-Hujurât [49]: 15, dan QS. Ash-Shaff [61]: 11. Ayat-ayat tersebut memberi petunjuk bahwa orang yang mengerahkan tenaga, pikiran, dan harta bendanya akan memperoleh ridha Allah bila mereka berjuang dengan ikhlas pada jalan yang diridhai Allah.
Mengenai luasnya ruang lingkup dan cakupan jihad di jalan Allah, seperti yang ditunjukkan di dalam Al-Qur’an, meliputi jihad dengan diri dan jihad dengan harta, seperti disebutkan dalam beberapa ayat, misalnya: QS. Al-Anfâl [8]: 72, QS. At-Taubah [9]: 20, 41, dan 88, QS. An-Nisâ’ [4]: 95, QS. Al-Hujurât [49]: 15, serta QS. Ash-Shaff [61]: 11. Istilah jihad di dalam ayat-ayat tersebut dikaitkan dengan alat yang digunakan untuk berjihad, yaitu harta dan diri. Hal ini dapat dimaklumi karena jihad tidak dapat dilaksanakan tanpa modal dan karena itu maka jihad disesuaikan dengan modal serta tujuan yang ingin dicapai. Sebelum tujuan tercapai dan selama modal masih ada di tangan, selama itu pula jihad masih tetap dituntut.
Di samping jihad dengan harta, juga disebutkan bersama-sama jihad dengan anfus (أَنْفُس), yang dapat berarti ‘hati, jenis, nyawa, dan totalitas manusia’. Maka, ketika Al-Qur’an memerintahkan berjihad dengan anfus, ia dapat mencakup jihad dengan nyawa, emosi, penge­ta­huan, tenaga, dan pikiran, bahkan juga waktu dan tempat.
Perintah berjihad dengan mengguna­kan segala potensi dan kemampuan yang dimiliki manusia disebutkan pula di dalam QS. Al-Hajj [22]: 78. Hal itu berarti bahwa jihad merupakan puncak dari segala aktivitas.
B.   Sasaran Jihad Fiisabilillah
Jihad mempunyai ketentuan hukum yang pasti serta saran yang jelas, sebab syariat jihad itu datang dari dzat yang Maha Mengetahui. Karena itu sesalam yang memerintah itu yang Maha Bijaksana, tentu hikmah dan kemaslahatannya itu pasti ada dan benar.
Hikmah dan maslahat yang berkenaan dengan sasaran jihad, mengharuskan kita kembali kepada kitab Allah serta sunnah Rosul-Nya.
Sasaran pokok jihad adalah agar manusia mengabdikan diri kepada Allah dan mengeluarkan mereka dari system pengabdian kepada manusia menuju pengabdian kepada tuhan yang pantas diabdi, serta menyingkirkan para penantang hukum Allah dimuka bumi ini dan menghilangkan dari dunia ini segala bentuk kerusakan dan kejahatan.
Rasulullah SAW bersabda dalam hadis qudsi :
“Sesungguhnya Aku telah menciptakan hamba-hambaKu sebagai orang-orang hanif (cenderung kepada kebenaran) seluruhnya. Aku datangkan kepada mereka berupa syaitan-syaitan yang menagguhkan mereka dari dien mereka. Syetan pulalah yang mengharamkan terhadap mereka apa-apa yang Aku halalkan atas mereka, dan yang memerintahkan mereka agar mempersekutukanKu dengan sesuatu yang tak ada kekuasaan sedikitpun dariKu” (HR. Muslim)
            Berkata Sayyid Quthb dalam kitab tafsirnya “Fii Zhilalil Qur’an”, “Sesungguhnya motivasi jihad dalam agama islamyang sebenarnya harus dicari dalam tabiat islam, sebagai seorang muslim pertama-tama harus mewujudkan manhaj islam agar terbukti pada diri kita sendiri. Sebab rukun islam yang pertama adalah bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, artinya mengEsakan Allah didalam pengabdian dan tidak mempersekutukan dengan siapapun dari makhlukNya dalam sifat apapun.
            Hak Allah yang mutlak adalah berkuasa hukum bagi makhluknya dalam segala aspek kehidupan. Maka syahadah suatau kesaksian yang tidak ada artinya jika tidak diiringi drngan pengakuan bahwa Allah berhak mengatur manhaj kehidupan mereka.
 Kita wajib menegakkan manhaj itu dikarenakan adanya beberapa sebab dalam manhaj itu sendiri. Hanya manhaj islam yang dapat menjamin kemuliaan manusia dan memberikannya kemerdekaan yang hakiki, serta melepaskannya dari system perbudakan antar manusia, sebab yang menciptakannya adalah Zat yang Maha Kuasa dan menginginkan  kebaikkan-kebaikkan bagi manuisa itu sendiri.
C.   Dalil Tentang Sasaran Inti Jihad
Sasaran inti jihad adalah agar manusia mengabdi kepada Allah semata dan mengeluarkan manusia dari penyembahan terhadap manusia lain, termasuk menghilangkan segala tindak kerusakan  dan kejahatan dari muka bumi.
Dalil yang menunjukan sasaran tersebut diantaranya adalah :
الظَّالِمِينَ عَلَى إِلا عُدْوَانَ فَلا انْتَهَوْا فَإِنِ لِلَّهِ الدِّينُ وَيَكُونَ فِتْنَةٌ تَكُونَ لا حَتَّى وَقَاتِلُوهُمْ
“Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada lagi fitnah (sehingga) agama itu hanya milik Allah saja, jika mereka berhenti dari memusuhimu, maka tidak ada permusuhan lagi kecuali terhadap orang-orang yang zalim”. (QS. Al-Baqarah : 193)
            Berkata As-Syaukani : “Maksud dari pada perangilah mereka supaya tidak ada fitnah adalah perintah untuk memerangi kaum musyrikin sehingga tidak lagi terjadi fitnah”.
Maka siapa yang masuk ke agama islam dan meninggalkan kemusyrikan, ia tidak boleh diperangi atau dibunuh.
Rasulullah SAW bersabda :
“Barang siapa yang berperang untuk menjadikan kalimat Allah tinggi menjulang, maka ia berperang di jalan Allah” (HR. Muslim)
            Sesungguhnys menegakkan kalimatullah itu ialah kewajiban semua muslim, karena itulah yang diperintahkan dalam ajaran islam, bahwasanya islam itu adalah agama proklamasi bagi kemerdekaan manusia dimuka bumi, yaitu pembebasan manusia atas hawa nafsunya. Ini berarti penolakan sempurna terhadap segala bentuk dan system hukum ciptaan manusia.
Proklamasi rububiyah Allah ini berarati mengembalikan kekuasaan Allah yang dirampas, serta menghalau para perampasnya yang menghukumi manusia dengan syari’at-syari’at mereka sendiri. Sehingga mereka menempati kedudukan sebagai Tuhan-tuhan. Padahal sebenarnay hukum-hukum itu hanyalah milik Allah SWT. Sebagaimana Firmannya :
الْقَيِّمُ الدِّينُ ذَلِكَ إِيَّاهُ إِلا تَعْبُدُوا أَلا أَمَرَ لِلَّهِ إِلا الْحُكْمُ إِنِ
“Hukum itu hanyalah milik Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia, itulah agama yang benar” (QS. Yusuf : 40).
            Kerajaan Allah di muka bumi berdiri dengan berdaulatnya syari’at Allah dan kembalinya segala urusan kepada Allah sesuai dengan syari’at yang telah ditetapkan. Bahwasanya proklamasi tentang kemerdekaan manusia dari segala kekuasaan yang bukan kekuasaan Allah itu bukanlah proklamasi yang teoritis, falsafi dan pasifakan tetapi ia adalah proklamasi yang dinamis, realistis dan aktif. Karena itu, maka proklamasi ini harus mengambil bentuk gerakan untuk menghadapi relitas manusia dengan segala aspeknya.
            Realitas manusia, kemarin, sekarang dan esok denagn segala hambatan konsep ideologis dan material harus dihadapi oleh agama islam.dakwah dan harokah menghadapi realita manusia secara total dengan sarana yang dimilikinya. Keduanya harus ada untuk melancarkan proklamasi kemerdekaan manusia dibumi dengan jalan menghapuskan  “realita” yang bertentanagan dengan proklamasi ini dan mengupas kekuatan-kekuatan politik yang memperhambakan manusia kepada selain Allah SWT.
            Di zaman ini banyak pemimpin yang menjadi usahawan atau konglomerat, sehingga menguasai sumber-sumber penghasilan dengan mengumpan orang-orang miskin bahkan ada pula yang mengaku dialah sebagai tuhan. Mereka memaksa orang lain untuk tunduk kepada perintahnya, sambil berkata :                                                                                الأعْلَى مُرَبُّكُ أَنَا       
“Akula Rabbmu yang paling tinggi” (QS. An Nazi’at : 24)
            Mereka juga mengucapkan berbagai macam ungkapan kesombongan dan dakwaan keuhanan mereka dengan lantang dan menantang.
Dari apa yang telah disebutkan itu, jelaslah bahwa ajaran islam melarang menyekutukan Allah, setiap kali Nabi diutus untuk menyeru kepada manusia :
غَيْرُهُ إِلَهٍ مِنْ لَكُمْ مَا اللَّهَ اعْبُدُوا قَوْمِ يَا
 “Wahai kaumku, sembahlah Allah. Sekali-kali tidak ada Tuhan kecuali Hanya Dia” (QS. Al-A’raf : 59)
            Dakwah jihad Nabi bukan hanya sekedar keterangan, tapi merupakan seruan kepada revolusi sosial yang universal. Islam adalah satu-satunya system kebaikkan yang dapat menyelamatkan manusia dari penyakit kejahatan dan kedurhakaan dan membawa kesejahteraan dunia dan akhirat. Setiap orang yang beriman dan beramal shaleh, maka dia termasuk jamaah muslimin Hizb Islam. Hizb ini dibentuk untuk mencapai tujuan, yaitu menegakkan system kebenaran dengan Jihad sebagai jalannya.
Sebagaimana firman Allah SWT :
بِاللَّهِ وَتُؤْمِنُونَ الْمُنْكَرِ عَنِ وَتَنْهَوْنَ بِالْمَعْرُوفِ تَأْمُرُونَ لِلنَّاسِ أُخْرِجَتْ أُمَّةٍ خَيْرَ كُنْتُمْ 
“Kamu adalah umat terbaik yang telah dilahirkan untuk manusia. Kamu menyeru kepada yang ma’ruf dan mencegah yang munkar dan beriman kepada Allah” (QS. Al-Imran : 10).
            Dalam Hizb ini sejak pertama bertujuan menghapus sumber-sumber kejahatandan kezaliman di muka bumi serta menahan kendali tuhan-tuhan palsu yang berlaku sombogn di  muka bumi dengan cara yang tidak benar. Serta menggantikannya dengan dengan system pemerintahan yang ada dan benar.
Allah SWT mengisyaratkan dalam Al-Qur’an :
لِلَّهِ كُلُّهُ الدِّينُ وَيَكُونَ فِتْنَةٌ تَكُونَ لا حَتَّى وَقَاتِلُوهُمْ
“Dan perangilah mereka, agar jangan ada fitnah dan agar agama itu semata-mata bagi Allah” (QS. Al-Anfaal : 39)
            Maka telah jelas bahwa salah satu tujuan jihad dalam islam adalah menumbangkan bangunan system-sistem yang bertentangan dengan perinsip-perinsip dan kaidah-kaidah islam. Sesungguhnya kebenaranlah yang menolak batas-batas geografis dan tidak dapat menerima untuk dibatasi pada batas-batas yang diciptakan dan diistilahkan oleh manusia.
D.  Sasaran-sasaran  Jihad Lainnya
Sasaran-sasaran jihad dan hukum-hukum jihad haruslah mengikuti sasaran yang inti, antara lain :
1.      Melawan orang-orang kafir yang memerangi kaum muslimin, dengan menghindari cara-cara yang melampaui batas. Dalam firman-Nya :
دِينَالْمُعْتَ يُحِبُّ لا اللَّهَ إِنَّ تَعْتَدُوا وَلا يُقَاتِلُونَكُمْ الَّذِينَ اللَّهِ سَبِيلِ فِي وَقَاتِلُوا
Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas” (QS. Al-Baqarah : 190)
2.      Menghilangkan fitnah dari umat manusia, sehingga mereka mau mendengarkan dalil-dalil tauhid tanpa ada penghalang siapapun.
Fitnah terbagi menjadi tiga macam :
a.       Fitnah berarti gangguan dan penindasan yan dilakukan orang-orang kafir terhadap kaum muslimin.
b.      Fitnah berarti system kemusyrikan yang menimbulkan kerusakan dalam berbagai segi kehidupan termasuk pengertiannya adalah tunduknya ahli dzimmah terhadap hukum-hukum islam, seperti menghilangkan perbuatan zina, riba dan lain sebagainya.
c.       Fitnah berarti penolakan orang-otang kafir untuk mendengarkan kebenaran islam.
Itu disebabkan system penguasa syirik tegak berdiri sebagai penghalang sampainya kebenaran kepada manusia sehingga mereka umbuh diatas kerendahan dan kehinaan serta tejadilah penghambaan manusia atas manusia tanpa memperdulikan penciptanya.
System yang demikian tidak mampu membawa manusia kepada kedudukan yang mulia.
3.      Melindungi negeri-negeri adri kejahatan orang-oarang kafir.
Sayyid sabiq dalam fiqhus sunnah mengatakan bahwa islam menganjurkan agar perlindungan daerah strategis itu dijaga dengan jalan menyiapkan pasukan. Dengan begitu negeri-negeri islam tetap kaut dan terlindungi.
            Para ulama sependapat bahwa penjagaan terhadap daerah strategis ini lebih utama dari pada tetap tinggal di kota Mekkah. Dalam hal ini Allah berfirman :
تُفْلِحُونَ لَعَلَّكُمْ اللَّهَ وَاتَّقُوا وَرَابِطُوا وَصَابِرُوا اصْبِرُوا نُوا آمَالَّذِينَ أَيُّهَايَا
“Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu beruntung” (QS. Ali Imran : 200)
Dalil diatas merupakan suatu pertanda, bahwa perlindungan terhadap Negara islam, merupakan sasaran jihad yang benar.
4.      Membunuh orang orang kafir, mencelakakan dan membinasakan mereka.
Membunuh orang-orang kafir dlakukan karena kekufuran mereka, di ibaratkan seperti penyakit kangker, ia ganas serta membahayakan jiwa. Jika orang mau tidak mau tunduk, tidak mau mematuhi hukum islam tentu kita harus memusnahkannya.
            Firman Allah :
            الْكَافِرِينَ دَابِرَ وَيَقْطَعَ بِكَلِمَاتِهِ الْحَقَّ يُحِقَّ أَنْ اللَّهُ وَيُرِيدُ
Dan Allah menghendaki untuk membenarkan yang benar dengan ayat-ayat-Nya dan memusnahkan orang-orang kafir” (QS. Al Anfaal : 7)
5.      Membuat orang-orang kafir ketakutan, hina dan marah.
Firman Allah SWT :
وَعَدُوَّكُمْ اللَّهِ عَدُوَّ بِهِ تُرْهِبُونَ الْخَيْلِ رِبَاطِ وَمِنْ قُوَّةٍ مِنْ اسْتَطَعْتُمْ مَا لَهُمْ وَأَعِدُّوا
Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu” (QS. Al Anfaal : 60)
Ayat tersebut melegitimasi, bahwa salah satu tujuan jihad adalah agar musuh menjadi takut dan gentar.
Ibnu Qayyim berkata : “Tidak ada sesuatu yang lebih dicintai Allah dari pada orang yang mencari perlindungan (dari kejahatan) musuhnya yang membuat mereka murka kepadanya”
Umat islam dituntut agar mau melaksanakan tujuan jihad ini sebagai pengejawantahan kesempurnaan penghambaannya kepada Allah SWT.
E.   Manfaat Jihad di Jalan Allah
Dalam jihad terdapat manfaat dan sasaran yang ingin dicapai. Ini harus terwujud bagi setiap muslim. Diantara manfaatnya adalah :
1.      Tersingkapnya kaum munafiq.
Adalah kenyataan, bahwa sifat munafiq, rakus, material oriented yang destruktif terhadap tegaknya kalimat Allah terhadap diantara kaum muslimin.
Jihad merupakan salah satu alat untuk menyingkap kedok mereka. Sebab didalam jihad terdapat pengorbanan yang sangat besar, artinya menyangkut segala sesuatu yang menjadi potensi manusia, bahkan nyawa sekalipun dapat dikorbankan. Orang munafik tidak akan mau memberikan potensinya, kecuali untuk menyelamatkan nyawanya dan memperoleh kenikmatan dunia. Terbukti ketika ada seruan untuk berjihad, dimana sebagai taruhannya adalah nyawa, niscaya mereka menolak. Hal ini disinyalir dalam firman Allah SWT :
            رَأَيْتَ الْقِتَالُ فِيهَا وَذُكِرَ مُحْكَمَةٌ سُورَةٌ أُنْزِلَتْ فَإِذَا سُورَةٌ نُزِّلَتْ لَوْلا آمَنُوا الَّذِينَ وَيَقُولُ
                    لَهُمْ فَأَوْلَى الْمَوْتِ مِنَ عَلَيْهِ الْمَغْشِيِّ نَظَرَ إِلَيْكَ يَنْظُرُونَ مَرَضٌ قُلُوبِهِمْ فِي الَّذِينَ
Dan orang-orang yang beriman berkata: "Mengapa tiada diturunkan suatu surat?" Maka apabila diturunkan suatu surat yang jelas maksudnya dan disebutkan di dalamnya (perintah) perang, kamu lihat orang-orang yang ada penyakit di dalam hatinya memandang kepadamu seperti pandangan orang yang pingsan karena takut mati, dan kecelakaanlah bagi mereka” (QS. Muhammad : 20)
Kenalnya orang-orang mukmin terhadap orang-orang munafik mempunyai manfaat yang sangat banyak. Mereka ini sesungguhnya musuh dalam selimut dan sangat berbahaya dari musuh eksternal.
Jika identitas mereka diketahui, mereka bisa dicegah untuk bergabung dengan kaum muslimin dalam berjihad. Sebab mereka selalu menyebarkan berita-berita bohong dan enggan (berlambat-lambat) melakukan perintah. Hendaknya orang-orang mukmin berjihad menghadapi mereka sesuai dengan perintah Allah SWT.
Hal ini tertera dalam firman_Nya :
عَلَيْهِمْوَاغْلُظْ وَالْمُنَافِقِينَالْكُفَّارَ جَاهِدِ النَّبِيُّ يَا أَيُّهَا
“Hai Nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan bersikap keraslah terhadap mereka” (QS. At Taubah : 73)
2.      Membersihkan Orang-orang mukmin dari dosa-dosa mereka.
Sesungguhnya bagi orang mukmin berjihad dengan niat ikhlas karena Allah semata. Kemudian dimedan perang dia membunuh orang-orang kafir, maka baginya pahala yang besar
            Sebagaimana Hadist Nabi :
            “orang kafir dan orang yang membunuhnya tidak akan pernah disatukan dalam neraka”
Jika hatinya disertai rasa takut kepada Allah dalam berjihad dijalannya, berguguranlah kesalahan-kesalahannya itu dari sisinya. Dan jiak ia gugur di tangan-tangan orang-orang kafir, maka baginya setinggi-tingginya kesuksesan, yakni Syahid.
            Rosulullah SAW bersabda :
”Tak seorangpun yang masuk surga menyukai untuk kembali kedunia lagi. Sekalipun tidak memiliki sesuatu kekayaan apapun di dunia kecuali orang mati syahid. Ia menghendaki kembali ke dunia agar dapat terbunuh sampai sepuluh kali dalam berjihad dijalan Allah. Sebab ia telah menyaksikan balasab penghormatan kepadanya (pahala berjihad)” (HR. Bukhari).
            Maksudnya adalah bahwa syahid dijalan Allah serta tertebusnya dosa-dosa itu merupakan sasaran yang tinggi dan mengandung banyak manfaat yang patut diberikan kepada kaum muslimin atas jihad merka.
3.      Mendidik orang-orang beriman kepada kesabaran, keteguhan, ketaatan dan pemurah.
Sesungguhnya sikap santai dan tidak siap menghadapi berbagai kesulitanakan mengantarkan seorang beriman kepada kehinaan, kemanjaan dan ketergantungan kepada kehidupan dunia. Sedang pergolakan dalam kancah jihad untuk memperoleh ridho Allah akan mengasah dan mendidik jiwa menjadi sabar, berani, kuat, semangat dan mempunyai rasa persaudaraan, serta sifat-sifat terfuji lainnya. Disisi lain akan menghilangkan sifat-sifat tercela, seperti egoisme, pengecut dan lain sebagainya.
4.      Memperoleh harta rampasan dan tawanan perang.
Nabi SAW memberiakn hak prajurit yang membunuh guna memperoleh harta rampasan dari yang dibunuhnya. Nabi juga memberi bagian dari ghonimah (harta rampasan) kepada sebagian kaum muslimin yang turut berperang sesuai dengan kemampuan mereka.
Nabi SAW bersabda kepada sebagian sahabatnya ketika sampai berita tentang kafilah Abu Sofyan. Kaflah ini merupakan kafilah yang kuat dan lengkap perbekalannya yang baru datang dari negeri Syam. Yang artinya :
“Ini kafir Quraisy yang padanya terdapat harat mereka. Sebab itu keluarlah kalian kepadanya. Semoga Allah memberikan karunia kepada kalian untuk memperolehnya” (Kitab Al Bidayah Wan Nihayah, Ibnu Katsir)
            Ghonimah merupakan salah satu diantara sekian sasaran jihad. Akan tetapi bukan sasaran inti, melainkan saasran tambahan. Sedang bagi orang-orang yang berjihad semata-mata untuk mendapatkan Ghonimah, maka tidak ada nilai jihad baginya.
F.   Tujuan Jihad Fiisabilillah
Adalah merupakan tujuan utama dari pada jihad seandainya seluruh penduduk dunia menganut agama Islam.
Bagi ahli kitab dan majusi, jika mereka menolak masuk islam, mereka harus membayar jizyah (Upeti). Seandainya menolak, tidak ada pilihan lain kecuali masuk islam dan tunduk pada hukum-hukumnya.
Jihad islam tidak akan pernah padam selama-lamanya, sebab syetan terus-menerus menyesatkan umat islam. Sesungguhnya pertarungan antara hak dan batil tidak akan pernah selesai hingga akhir zaman.
Dari Jubair bin Nafir, bahwa Salmah bin Nafil membritahukan kepada para sahabat, bahwasanya ia telah mendatangi Nabi SAW, lalu berkata : “Aku bosan menunggang kuda dan perang telah berhenti dan tidak ada peperangan lagi. Maka Nabi SAW bersabda : “sekarang ini datang waktu perang. Tak ada henti-hentinya akan datang sekelompok dari umatku yang gigih membela kebenaran atas umat manusia. Allah membuat angkuh hati suatu kaum, sehingga mereka (kelompok itu) bangkit memeranginya. Allah berkenan member rejeki kepada mereka dari kaum tersebut, sampai datang keputusan Allah, sedang mereka tetap gigih membela kebenaran”.  (Musnad Ahmad bin Hanbal).
Berkata Imam Bukhari didalam kitab shohihnya, Rasulullah SAW bersabda :
“Pada kuda yang terlambat, pada tambatannya terdapat kebaikannya hingga hari kiamat”
Menurut interpretasi Ibnu Hajar dalam kitab syarahnya mengemukakan, bahwa perkataan “Kebaikkan yang ada pada kuda yang tertambat hingga hari kiamat”, artinya adalah mendapatkan pahala dan ghonimah (Harta rampasan). Pahala dan ghonimah yang didapat itu hanya jika kuda tersebut digunakan untuk bejihad.
Dengan demikian jelaslah, bahwa kontinuitas dalam berjihad adalah hingga datangnya hari kiamat. Hukum perintah dalam berjihad melawan orang-orang kafir tidak akan hilang hingga mereka komitmen dan mau menyatakan ke islamannya atau membayar jizyah bagi ahli kitab dan majusi.
Mengenai penentuan yang diharuskan membayar jizyah diantara golongan kafir, para Ulama berlainan pendapat. Namun mereka sepakat, bahwa Yahudi dan Nasrani dari luar Arab (yang bukan orang Arab),  jika mereka menolak membayar jizyah wajib untuk diperangi. Adapun untuk golongan kafir selain mereka, maka disini terdapat perbedaan pendapat.
Pendapat para ulama tersebut dibagi kepada empat kelompok :
a.       Pendapat Imam Syafi’I, Imam Ahmad Abu Tsauri dan pengikutnya, berpendapat bahwa jizyah orang musyrik (selain ahli kitab) tidak boleh diterima. Orang musyrik hany mempunyai dua pilihan, masuk islam atau dibunuh.
Sebagaimana sabda Nabi SAW : “Aku diutus untuk memerangi manusia sehingga mereka bersaksi, bahwa tiada Tuhan selain Allah SWT”
Masih banyak dalil dan hadits lain yang menegaskan, bahwa tujuan jihad adalah agar manusia masuk islam, kecuali untuk ahli kitabdan majusi. Jika mereka menolak, maka bagi mereka harus membayar jizyah.
b.      Pendapat Imam Hanafi, bahwa Rasulullah SAW melarang jizyah dipungut dari orang Arab tetapi dipungut dari orang kafir.
c.       Pendapat Imam Malik, bahwa jizyah tidak bisa diterima dari orang Quraisy, namun dapat diterima dari orang kafir selain mereka.
d.      Bahwa jizyah diterima dari setiap orang kafir yang ada di muka bumi, tanpa terkecuali. Hal ini diriwayatkan dari Imam Malik dan Auza’I, serta Ibnu Qayyim, dan juga disepakati oleh ulama masa kini.
Kalau ada orang lebih cenderung  kepada pendapat yang pertama, dimana jizyah tidak dapat dipungut dari orang musyrik, itu dikarenakan mengartikan lafadz “musyrik” dalam hadits muslim diatas, dengan ahli kitab.
Allah SWT berfirman :
اللَّهِ ابْنُ الْمَسِيحُ النَّصَارَى وَقَالَتِ اللَّهِ ابْنُ عُزَيْرٌ الْيَهُودُ وَقَالَتِ
Orang-orang Yahudi berkata: "Uzair itu putra Allah" dan orang Nasrani berkata: "Al Masih itu putra Allah".” (QS. At Taubah : 30)
Kami melihat, pendapat yang paling kuat diantara yang empat diatas adalah pendapat yang pertama, yaitu tidak diterima jizyah dari orang-orang musyrik kecuali ahli kitab dan majusi. Karena orang musyrik hanya punya dua alternative, masuk islam atau diperangi.
Adapun mengenai ketentuan, bahwa selama Ahli kitab berdomosili di areal islam harus dipungut jizyah. Itu dikarenakan khawatir berdampak negative bagi kaum muslimin, sebagaiman yang terjadi pada akhir masa kejayaan dinasti Abbasiyah, dimana sebagian Khalifahnya terbiasa memaafkan Ahli Kitab, yaitu dengan tidak memungut jizyah kepada mereka.
Dalam hal ini Ibnu Qayyim memberikan komentar mengenai diharuskannya membayar jizyah bagi Ahli Kitab dan Majusi didalam wilayah Islam, dengan menyebutkan, bahwa didalamnya terdapay beberapa hikmah, yaitu: “Agar kekufuran dan kemusyrikan hilang dimuka bumi dan menjadikan Dienullah sebagai satu-satunya Dien, seperti firman Allah SWT :
“Dan Perangilah mereka sehingga tidak ada lagi fitnah dan agar Dien itu seluruhnya milik Allah SWT”.
Demikianlah akhir dari pada tujuan dan sasaran jihad yang harus ditegakkan di muka bumi ini dengan keadilan dan kebenaran.
BAB III
KESIMPULAN
Setelah melakukan pembahsan Makalah kami Jihad Fiisabilillah yang memfokuskan pada tujuan dan Sasaran jihad yang terjadi pada zaman Rasulullah, sehingga kita bisa mengambil Ibrah dan maksud tujuan jihad uang sebenarnya yang terjadi pada zaman Rasul. Dan akhirnya sampailah kepada kesimpulan sebagai berikut :
ü  Jihad mempunyai sasaran yang esensial, yaitu menuntut manusia untuk mengabdikan diri hanya kepada Allah SWT semata dan manafikan kepada selain-Nya.
ü  Jihad sebagai salah satu media untuk menyingkap oaring-orang munafik dengan segala bentuk propagandanya.
ü  Mengislamkan manusia seluruh dunia merupakan dasar dari pada tujuan jihad.
ü  Kita dituntut untuk senantiasa menegakkan dan menjadikan jihad sebagai salah satu upaya mensyi’arkan Islam yang tidak boleh berhenti hingga tiba hari Kiamat.
DAFTAR PUSTAKA
ü  Al-Qur’an Al-Kariim.
ü  Fahmi Abu, Marjan Ibnu , Tujuan dan Sasaran Jihad, Dar al-Fikr, Beirut, 1411 H.
ü  Dr. Ali bin Nafayyi’ al-‘Alyani, Ahdaf Al- Jihad Wa Ghayatuhu,
ü  Al-Hafizh Ibnu hajar Al-Asqalani, Terjemah Bulughul Maram dan Penjelasannya, Pustaka Amani, Jakarta, 2000 M.
ü  Imam Nawawi, Ringkasan Syarah Arba’in An-Nawawi & Terjemah Riyadhus Shalihin, Pustaka Amani, Jakarta, 1999 M.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar