Senin, 29 Juli 2013

Pengertian dan Ruang Lingkup Tarikh Tasyri'

BAB I
PENDAHULUAN
Latar belakang
Dalam konteks apapun, tarikh (sejarah) dianggap sebagai entitas yang sangat mendasar dalam kehidupan. Sejarah adalah gambaran riil dari potret kehidupan yang sangat varian dan dinamis. Akumulasi perilaku sosial keagamaan maupun perilaku sosial lainnya dalam kehidupan masyarakat plural dapat diamati dan dikritisi melalui fakta empirik peninggalan sejarah kehidupan manusia. Dengan demikian semua perilaku sosial, baik perilaku positif maupun negatif akan dapat dilacak melalui data-data historis. Atas dasar ini, fungsi maupun kontribusi sejarah bagi generasi kemudian adalah memberikan pelajaran mendasar bagi kehidupannya yang tentu dianggap mampu memberikan inspirasi bagi praktik kehidupan yang akan datang. Dengan demikian sejarah pada hakikatnya tidak bisa lepas dari kehidupan manusia. Sejarah akan menjadi inspirasi kehidupan mereka, dan kehidupan mereka pada gilirannya juga akan menjadi sejarah baru bagi generasi yang akan datang. Inilah potret sebuah kehidupan yang selalu terdaur ulang (siklus), perputaran yang tiada henti.Sejarah mewarnai realitas dan realitas mewarnai sejarah, sebuah proses dialektik yang dinamis. 
Oleh karena itu sangat beruntung bagi siapa saja yang dapat mengukir dan mewarisi sejarah kehidupan ini dengan baik, sebaliknya celaka dan rugi mereka yang hidupnya hanya mengotori sejarah kehidupan ini. Lebih-lebih terkait dengan sejarah penetapan dan penentuan hukum fiqih dalam Islam. Sebab dengan mengetahui sejarah penetapannya ( tarikh tasyri’) berarti masyarakat telah memiliki ilmu yang sangat tepat untuk mengetahui periodesasi perkembangann fiqih. Dimulai dari masa Rasulullah SAW hingga masa kini, seperti yang kita rasakan sekarang ini. Pada bab ini, akan diawali dengan kajian-kajian normatif-ontologis, menyangkut tentang pengertian syari’ah dan tasyri’, macam-macam tasyri’, pengertian tarikh tasyri’ al-Islami, periodesasi tarikh tasyri’, serta kegunaan mempelajarinya.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian  Syari’ah  dan Tasyri’
    Syari’ah berasal dari bahasa Arab, yang antara lain berarti jalan yang lurus. Menurut fuqaha’  syari’ah atau syari’at, berarti hukum atau ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dan diwahyukan oleh Allah kepada Rasul-Nya, yaitu Muhammad SAW untuk hamba-Nya, agar mereka menaati tiga hal prinsip, yaitu prinsip keimanan, baik yang berkaitan dengan aqidah, ibadah, dan muamalah, maupun yang berkaitan dengan akhlak.  Pada satu sisi syari’ah kadang juga diidentikkan dengan din (agama) dan milah. Lebih luas syari’ah dapat juga difahami sebagai apa saja yang telah ditetapkan oleh Allah SWT untuk hambanya dengan perantara Rasulullah Muhammad SAW, baik berupa aqidah, ibadah, akhlak, muamalat, serta sistem kehidupan yang mengatur hubungan mereka dengan Tuhannya dan antar sesama makhluk, agar dapat terwujudnya kebahagiaan  dunia maupun akhirat.
    Di dalam Al Mausatu al-Arabiyah Al-Muyassarah, disebutkan bahwa: syari’ah dahulu secara mutlak diartikan: “ajaran-ajaran Islam yang terdiri dari aqidah, dan hukum-hukum amaliah”, yang kini telah dikhususkan dengan istilah:


مجموعة الأحكام الشرعية العملية المستنبطة من الكتاب و السنة او الرأي و الإجماع
 

Artinya:
“ Sejumlah hukum syar’i yang amaliah (praktis) yang diistinbat dari Al Kitab (Qur’an) dan sunnah atau ra’yu dan ijma’”.
    Syari’ah menurut Fazlur Raman diartikan sebagai menandai atau menggambar,  lebih mendalam lagi beliau mengatakan bahwa syari’ah merupakan penentuan jalan yang subjeknya adalah Tuhan sendiri, sedangkan agama adalah tindakan untuk mengikuti jalan tersebut. Sementara itu Ismail Muhammad Syah mengartikan sebagai jalan yang jelas menuju sumber air.  Tidak jauh berbeda dari itu, M. Noer Asyik menyatakan bahwa: “syara’ atau syari’ah ialah firman Allah SWT yang ditujukan kepada orang-orang mukallaf yang mengandung tuntutan atau hak memilih atau tanda bagi sah atau tidaknya suatu perbuatan”.
    Ahmad Hanafi juga menyatakan bahwa pengertian syari’ah menurut istilah syara’ ialah “firman pembuat syara’ (syar’i) yang berhubungan dengan perbuatan orang dewasa (mukallaf), yang mengandung tuntutan, membolehkan sesuatu atau menjadikan sesuatu sebagai adanya yang lain”.  
    Berikut secara ontologis beberapa pendapat para pakar hukum Islam mengenai syari’at. Di antara beberapa pendapat tersebut adalah pendapat Imam Abu Ishak Asy Syatibi dalam bukunya “Al Muwafaqat fi Ushulil Ahkam” mengatakan:
ان معنى الشريعة انها تحد للمكفين حدودا في افعالهم و اقوالهم و اعتقاداتهم
Artinya:
“ Bahwasanya arti syari’at itu, sesungguhnya , menetapkan batas tegas bagi orang-orang mukallaf, dalam segala perbuatan, perkataan, dan aqidah mereka”.
Syekh Muhammad Ali At Thahanawi dalam bukunya: “Kasyaf Istilahatil
Funun”, mengatakan:
و على نبينا سواء كانتمتعلقة بكيفية عمل و تسمىفرعية و عمليةالشريعة ما شرع الله تعالى لعباده من الأحكام التى جاء بها نبي من الأنبياء صلى الله
  و دون لها علم الفقه او بكيفية الإعتقاد و تسمى اصلية إعتقا
Artinya:
“Syari’ah ialah: segala yang telah disyari’atkan Allah untuk para hamba-Nya, dari hukum-hukum yang telah dibawa oleh seorang Nabi dari para nabi Allah alaihimus shalat wassalam; baik yang berkaitan dengan cara pelaksanaannya, dan disebut dengan far’iyah amaliah, lalu dihimpun dalam ilmu fiqhi; atau cara beraqidah, yang disebut dengan pokok aqidah, dan dihimpun oleh ilmu Kalam; dan syari’ah ini dapat disebut juga dengan din (agama), dan millah. 
Mahmud Syaltut dalam bukunya “Al Islamu Aqidah wa Syari’ah” memberikan pengertian “ syari’ah” dengan tegas dan terinci sebagai berikut:


الشريعة هي النظم التي شرعها الله او شرع أصولها ليأخذ الإنسان بها نفسه في علاقته بربهو
 
 علاقته بأخيه المسلم و علاقته بأخيه الإنسان و علاقته بالكون و علاقته بالحياة
Artinya:
“Syari’ah ialah: Segala peraturan yang telah disyari’atkan Allah, atau Ia telah mensyari’atkan dasar-dasarnya, agar manusia melaksanakannya, untk dirinya sendiri, dalam berkomunikasi dengan Tuhannya, berkomunikasi dengan sesama muslim, berkomunikasi dengan sesama manusia, berkomunikasi dengan alam (semesta), dan berkomunikasi dengan kehidupan”.  
    Dari ragam padangan secara ontologism mengenai syari’ah, di atas kiranya secara umum dapat difahami bahwa konsepsi syari’ah bukan saja merupakan konsep praktis yang dapat berhubungan dengan pribadi ansich, melainkan menyangkut seluruh tingkah laku, baik yang berkenaan dengan keyakinan maupun praktik.
Sedangkan pemahaman konsep tasyri’, sangat berbeda halnya dengan konsep syari’ah, sekalipun berasal dari satu akar kata, yaitu syara’a. Konsep tasyri’ menurut bahasa berarti penetapan atau pemberlakuan. Sementara itu, pengertian tasyri’ menurut istilah syara’ dan undang-undang adalah pembuatan/pembentukan Undang-undang yang berlangsung sejak diutusnya Rasulullah SAW., dan berakhir hingga wafatnya. Lebih dari itu sebagian ulama mengatakan bahwa tasyri’ adalah mencakup perkembangan fiqih Islam, proses kodifikasinya, serta ijtihad yang dilakukan oleh para ulama di sepanjang sejarah kehidupan umat Islam. Hal itu dimaksudkan untuk mengetahui hukum-hukum bagi perbuatan orang dewasa, dan ketentuan-ketentuan hukum serta peristiwa yang terjadi di kalangan mereka.
    Dengan demikian, tasyri’ akan menjelaskan bagaimana cara seseorang ulama menetapkan suatu ketentuan hukum atau fiqih yang bersumber kepada nash atau syari’at, baik yang bersumber dari wahyu Allah ataupun dari penjelasan Rasulullah dengan mengkait-kaitkan kondisi sosio-kultural yang melingkupinya. Oleh karena itu rentang dan lingkup kajian tarikh tasyri’ dimulai sejak pertama kali wahyu diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW hingga masa kini.
    Lebih jauh Muhammad Ali al-Sayis mengatakan bahwa tarikh tasyri’ adalah ilmu yang membahas keadaan hukum Islam secara pereodik dari masa kerasulan hingga masa kini kaitannya dengan bagaimana epistemologi para fuqaha, mujtahid dalam merelasikan antara teks suci dan konteks secara holistikal, hingga melahirkan produk fiqih tertentu. Inilah yang membedakan secara prinsip antara produk fiqih (perjumpaan kompromistik antara teks suci dan masalah sosial) dengan produk penalaran, yaitu produk yang murni digali dan dikembangkan dari masalah-masalah sosial kaitannya dengan penalaran rasional.
    Atas dasar itulah aturan perundang-undangan atau fiqih Islam mempunyai ciri-ciri tertentu dan berbeda dengan hukum dan perundang-undangan yang tidak bersumber kepada agama.
Beberapa ciri produk fiqih tersebut antara lain adalah sebagai berikut :
1.    Tasyri’ Islam atau pembentukan hukum Islam bersumber dari Allah SWT. Oleh sebab itu hukum Islam sesuai dengan kebutuhan manusia, berbeda dengan Undang-Undang yang dibentuk oleh suatu badan atau bangsa tertentu.
2.    Tasyri’ Islam atau pembentukan hukum Islam bersifat menyeluruh.
Maksudnya, dalam menetapkan suatu hukum selalu mencakup hak-hak dan kewajiban secara menyeluruh dan terpadu  
3.    Aturan perundang-undangan islam bertujuan untuk mendatangkan manfaat dan menolak mudharat. Setiap perintah disertai dengan janji mendapat pahala serta melarang pekerjaan-pekerjaan yang jahat dengan menjanjikan ancaman dan azab. Dengan demikian umat manusia didorong untuk mengamalkan suatu perintah atau meninggalkan larangan karena kesadaran hukum.
4.    Hukum islam memiliki kekuatan untuk mendorong umat Islam untuk mematuhi atau tunduk kepadanya. Hal ini disebabkan oleh karena ketentuan-ketentuan dalam hukum Islam mempunyai dua macam sanksi, yakni balasan di dunia dan balasan di akhirat. Bagi hukum Islam, sanksi di akhirat adalah jauh lebih berat daripada ganjaran yang ada di dunia. Oleh karena itu setiap orang mukmin memiliki kesadaran yang mampu mendorong dirinya untuk mentaati ketentuan-ketentuan hukum Islam dan melaksanakan perintah-perintah serta menjauhi laranganNya, meskipun mereka berkesempatan dan mampu untuk menghindari diri dari kutukan hukum di dunia. Keadaan ini dimaksudkan untuk membentuk masyarakat bahagia di dunia dan akhirat.
5.    Tasyri’ atau pembentukan hukum islam memiliki suatu ciri yang khusus, yakni dasar-dasar hukumnya adalah umum, artinya kita dapat memperoleh semua segi hukum yang bermacam-macam karena aturan perundang-undangan islam dasarnya adalah Al-Qur’an dan al-Hadist. 

B. Ruang Lingkup Tarikh Tasyri’ Islam
Secara umum ruang lingkup kajian tarikh tasyri’ hanya dibatasi pada keadaan perundang-undangan Islam dari zaman-ke zaman dimulai dari zaman Rasul hingga zaman masa kini yang ditinjau dari sudut pertumbuhan perundang-undangan Islam. Sementara itu menurut Kamil Musa dalam al-Madkhal ila Tarikhi al-Tasyri’ al-Islami mengatakan bahwa ruang lingkup tarikh tasyri’ tidak hanya terbatas pada sejarah pembentukan al-Qur’an dan al-Sunnah, melainkan juga mencakup pemikiran, gagasan, dan ijtihad para ulama pada kurun waktu tertentu. Secara spesifik ruang lingkup kajian tarikh tasyri’ islami itu adalah sebagai berikut:
a.    Ibadah
    Bab Ibadah khusus berbicara tentang hubungan manusia dengan Tuhan. Pembentukan hukumnya bersumber pada nash-nash syariat langsung, oleh karena itu ketetapan hukum yang berhubungan dengan lapangan ibadah ini bersifat abadi, tidak memerlukan perubahan dan sesuai dengan segala zaman dan tempat.
b.    Hukum Keluarga
    Lapangan pembahasan hukum  keluarga adalah lebih luas daripada lapangan munakahat, karena membahas masalah pernikahan, warisan, wasiat dan wakaf.
c.    Muamalat
    Bab muamalat berisi tentang hak-hak manusia dalam hubungannya dengan satu sama lain.
d.    Jinayat atau hudud
Pembahasannya meliputi aturan-aturan yang mengatur tata cara melindungi dan menjaga keselamatan hak-hak dan kepentingan ketentraman manusai.
e.    Hukum Kenegaraan
Hukum ini membahas tentang hubungan antara pemerintah dengan rakyatnya dalam berbagai ruang kehidupan.
f.    Hukum Internasional
Lapangan pembahasan hukum internasional ini terdapat dua pembagian yang spesifik, pertama berkenaan dengan hukum perdata Internasional, yaitu aturan-aturan yang menerangkan hukum mana yang berlaku, dari dua hukum atau lebih. Kedua adalah hukum publik Internasional, lapangan hukum ini mengatur antara Negara Islam dengan Negara lain yang bukan dalam lapangan keperdataan.

C. Macam-macam Tasyri’
    Dari ta’rif tentang tasyri’ di atas dapatlah diketahui bahwa tasyri’ adalah suatu ilmu khusus yang membicarakan tentang tata cara atau proses pembentukan hukum Islam.
    Dengan demikian tasyri’ akan menjelaskan bagaimana cara seorang ulama menetapkan suatu ketentuan hukum atau fiqh, yang bersumber kepada nash atau syari’at, baik yang bersumber dari wahyu Allah maupun dari penjelasan Rasulullah.
    Pembentukan undang-undang Islam (tasyri’) ada dua sumber yakni:
1.    Tasyri’ Samawi
Tasyri’ Samawi adalah kumpulan perintah, larangan, petunjuk dan kaidah-kaidah yang disyari’atkan Allah kepada umat, melalui tangan rasul yang diutus dari bangsa mereka sendiri. Rasul mengajak umat untuk mengamalkan semua itu dan menyampaikan apa yang dijanjikan Allah, yang terdiri dari pahala bagi orang yang taat dan siksa bagi orang yang melakukan maksiat.  Secara singkat tasyri’ samawi adalah hukum yang berasal dari ketetapan agama atau peraturan-peraturan yang bersumber dari Al-Qur’an dan al-Hadits.
2.    Tasyri’ Wadh’i
Tasyri’ Wadh’i adalah peraturan-peraturan yang ditetapkan oleh para mujtahidin, baik mujtahidin para sahabat, maupun mujtahidin para tabi’in atau tabi’ tabi’in dan seterusnya dengan jalan mengistinbatkan dari nash Al-qur’an maupun al-Hadits dan mereka melaksanakan sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh hukum itu.
Sedangkan perbedaan dari kedua tasyri’ tersebut dapat dipandang dari berbagai segi, diantaranya :
a.    Hukum samawi bermaksud membentuk seseorang seperti berakhlak baik, maka di dalamnya dididik kesucian hati, ketinggian jiwa, ketanggapan perasaan, menyebarluaskan kewajiban, dan memperhatikan kuatnya hubungan diantara seseorang dengan saudaranya dan dengan penciptanya secara sempurna. Berbeda dengan hukum wadh’i yang tidak memperhatikan itu kecuali apa yang wajib bagi seseorang menurut pandangan manusia, walaupun menyalahi apa yang dikhususkan seseorang bagi jiwanya.
b.    Hukum samawi itu positif dan negatif, dalam arti ia memerintah dan menghendaki kebaikan melalui janji yang baik, serta mencegah dari kemungkaran, dan macam-macam penyakit serta menjauhi itu semua dengan ancaman yang menakutkan dan larangan keras. Sedangkan undang-undang wadh’i, ia hanya memperhatikan, pertama-tama larangan berbuat kejahatan demi menolak kerusakan dalam masyarakat. Karena itu, hukum wadh’i dipandang yang negatifnya saja atau lebih banyak segi negatifnya daripada segi positifnya.
c.    Hukum samawi merupakan agama yang dianut, maka mengerjakannya merupakan ketaatan dan diberi pahala karenanya, dan menyalahinya merupakan maksiat yang diberi siksa. Sedangkan hukum wadh’i, balasannya langsung di dunia dan bersifat materi, dilaksanakan oleh penguasa badan eksekutif dan yudikatif.
d.    Hukum samawi memperhitungkan amal perbuatan, baik lahir maupun batin dan yang akan datang, yang merupakan wasilah pada yang lainnya. Sedangkan hukum wadh’i tidak memperhitungkan itu, kecuali sebagian perbuatan lahir yang mempunyai hubungan dengan yang lainnya.
e.    Hukum samawi itu merupakan ciptaan Allah, ia meliputi semua perbuatan hamba-hamba-Nya, baik yang nampak maupun yang tidak Nampak. Ia selalu abadi, adil dan memenuhi apa yang mereka maksud, dari segi kemaslahatan yang Allah ajarkan kepada mereka hingga habis waktu yang ditentukan untuk hukum itu. Berbeda dengan hukum wadh’i, ia adalah hasil produkn penguasa dalam masyarakat, dan tidak diragukan lagi bahwa dalam penyusunannya dipengaruhi oleh situasi dan kondisi, serta dalam pengamalannya dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial, ‘urf (kebiasaan), adat dan lingkungan, serta dipengaruhi oleh faktor-faktor alam seperti waktu, tempat, dan cuaca. 
f.    Terkadang hukum wadh’i boleh menghidupkan apa yang diharamkan hukum samawi, seperti menjual khamer, membuka rumah bordil, melakukan riba, dengan alasan bahwa ini mencukupi kemaslahatan manusia, atau bahayanya hanya sedikit. Sebagaimana juga melarang yang dibolehkan atau diwajibkan oleh hukum samawi, seperti melarang manusia berkumpul, melarang menanam kapas umpamanya dengan ukuran tertentu, menghalangi mereka menikah kecuali pada umur tertentu atau tidak melakukan potong tangan bagi pencuri atau mendera peminum khamer, dengan alasan bahwa hukum had itu menafikan kasih sayang dan peradaban.
Itulah segi-segi perbedaan antara dua hukum secara global. Dari sini jelaslah bahwa hawa nafsu, kehendak, faktor yang tumpang tindih, pandangan pembuat hukum, kadar peradaban dan ilmunya berpengaruh besar dalam hukum wadh’i.

D. Pengertian Tarikh Tasyri’ AL-Islami
    Tarikh tasyri’ adalah dua term terdiri dari tarikh, yang berarti sejarah dan tasyri’ yang berarti penetapan hukum. Dengan demikian tarikh tasyri’ al-Islami secara sederhana dapat difahami sebagai sejarah penetapan suatu huku. Dari pengalaman itu para fuqaha terkemudian dapat memahami siapa para mujtahidin itu dan bagaimana mereka melakukan proses penetapan hukum relevansinya terhadap situasi dan kondisi budaya yang melingkupinya. Secara literer tarikh tasyri’ juga dapat difahami sebagai ilmu yang membahas tentang keadaan fiqih Islam pada masa kerasulan (Nabi Muhammad SAW) dan masa-masa sesudahnya, dimana masa-masa itu dapat menolong dalam pembentukan hukum, dan dapat menjelaskan hukum yang tiba-tiba datang, baik terdiri dari nasakh, takhsis, dan sebagainya, maupun membahas tentang keadaan para fuqaha dan mujtahidin serta hasil karya mereka dalam menyikapi hukum tersebut. 
    Dengan demikian, pada hakikatnya tarikh tasyri’ tumbuh dan berkembang di masa Nabi SAW sendiri karena Nabi SAW mempunyai wewenang untuk mentasyri’kan hukum dan berakhir dengan wafatnya Nabi SAW. Dan dalam hal ini, nabi SAW berpegang kepada wahyu.
    Para fuqaha, ahli-ahli fiqh, hanyalah menerapkan kaidah-kaidah kulliyah, kaidah-kaidah yang umum meliputi keseluruhan, kepada masalah-masalah juz-iyah, kejadian-kejadian yang detail dengan mengistinbathkan, mengambil hukum dari nash-nash syara’, atau ruhnya, di kala tidak terdapat nash-nashnya yang jelas. Ringkasnya tarikh tasyri’ merupakan kata lain dari sejarah fiqh.  
    Secara umum, kaidah-kaidah syari’at itu telah dikokohkan, ditegakkan asasnya dan disempurnakan pokok-pokoknya pada zaman Nabi SAW. yang menjadi saksinya adalah firman Allah:
اليوم أكملت لكم دينكم وأتممت عليكم نعمتي و رضيت لكم الإسلام دينا
    “ Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama bagimu.”  (Al-Maidah: 3)
Nabi SAW bersabda:
    “ Aku tinggalkan untukmu dua perkara, niscaya kamu tidak akan tersesat selagi kamu berpegang pada keduanya, yaitu kitab Allah (Al-Qur’an) dan Sunnah nabi-Nya.” 
    Dari keterangan-keterangan di atas jelaslah bahwa Nabi SAW tidak akan meninggalkan kehidupan ini kecuali setelah menyempurnakan pembangunan syari’at. Adapun hukum setelah beliau wafat yang ditetapkan melalui hasil ijtihad para sahabat dan tabi’in, pada hakikatnya adalah perluasan terhadap kaidah-kaidah universal dan penyesuaian terhadap peristiwa-peristiwa parsial yang baru muncul, serta merupakan hasil pengambilan hukum-hukum dari nash yang dipahami mereka (sahabat dan tabi’in), dan qiyas (analogi) terhadap nash dalam masalah yang tidak terdapat dalam nash. Jadi, dengan demikian tidak ada sumber tasyri’ yang melebihi Al-Qur’an dan Sunnah tingkat keuniversalannya, sekalipun sudah lama berlaku. 
    Namun demikian banyak para fuqaha yang berbeda cara pandangnya dalam memahami ruang lingkup dan rentang tarikh tasyri’. Ada beberapa pakar yang memahami tarikh tasyrik tidak hanya berhenti pada era Rasul, melainkan proses sejarah penetapan hukum Islam sejak Rasul hingga kini disebut sebagai fenomena tarikh tasyri’ dalam Islam.

E. Periode Tarikh Tasyri’ AL-Islami
    Ulama membagi periode-periode yang dilalui hukum Islam. Setiap periode mempunyai ciri khusus pada keadaan sosial kaum muslimin yang mana hal itu mempunyai pengaruh signifikan dalam ijtihad dan fatwa mereka yang sampai kepada saat ini. Periode-periode tersebut dibagi menjadi enam periode, antara lain:
1.    Tasyri’ pada masa Rasulullah SAW.
Periode ini hanya berlangsung beberapa tahun saja, walaupun demikian periode ini membawa pengaruh-pengaruh atau kesan-kesan yang besar dan penting sekali, sebab pada periode ini sudah meninggalkan beberapa ketetapan hukum dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan juga sudah meninggalkan berbagai dasar atau pokok tasyri’ yang menyeluruh, disamping sudah menunjuk berbagai sumber dan dalil hukum yang digunakan untuk mengetahui hukum bagi suatu persoalan yang belum ada ketetapan hukumnya.
Dengan demikian periode Rasul ini sudah meninggalkan dasar pembentukan Undang-undang yang sempurna. Periode ini terdiri dari dua fase atau masa yang masing-masing mempunyai corak yang berbeda-beda, yaitu :
a.    Fase Makkah
Fase pertama adalah Fase Makkah yakni semenjak Rasulullah masih menetap di Makkah sampai beliau berhijrah ke Madinah. Dalam fase ini umat Islam masih sedikit, masih lemah keadaannya dan belum bisa membentuk umat yang mempunyai pemerintahan yang kuat. Oleh karena itu perhatian Rasulullah SAW hanya dicurahkan kepada penyebaran da’wah untuk mengakui Allah serta berusaha memalingkan perhatian manusia dari menyembah berhala dan patung.

b.    Fase Madinah
Fase kedua adalah fase Madinah, yakni semenjak Rasulullah berhijrah ke Madinah sampai beliau wafat. Pada fase ini Islam sudah kuat dan jumlah umat islam pun bertambah banyak. Sudah terbentuk suatu umat yang sudah mempunyai suatu pemerintahan.

Sumber tasyri’ pada periode ini dipegang sendiri oleh Rasulullah SAW. Sedangkan sumber hukum pada periode Rasulullah adalah Al-Qur’an dan sunah beliau sendiri.
2.    Tasyri’ pada masa Sahabat atau al-Khulafaau al-Raasyiduun.
Periode ini dimulai sejak wafatnya Rasulullah SAW dan berakhir pada pertengahan abad ke-2 Hijriah. Periode ini dinamakan dengan periode sahabat dikarenakan otoritas tasyrik pada masa ini dipegang oleh para sahabat. Pada saat itu para sahabat dihadapkan pada keadaan yang sukar dan masalah yang besar. Hal ini terjadi karena kekuasaan islam sudah sangat meluas. Kaum muslimin mendapatkan dirinya dihadapan kejadian dan peristiwa yang belum pernah dialaminya sepanjang hidupnya. Peristiwa dan kejadian itu yang mendorong mereka menyelidiki Al-qur’an dan As-sunnah Rasulullah untuk menyelesaikan masalah-masalah yang datang. Sementara kedua sumber hukum tersebut jelas tidak menetapkan hukum setiap kejadian dan peristiwa yang telah dan akan terjadi.  Rasulullah menyediakan cara-cara berijtihad bagi mereka, melatih dan meridlai mereka. Mereka mencurahkan kemampuannya dan bersemangat mengeluarkan hukum permasalahan-permasalahan yang di hadapi.
Dalam periode inilah timbulnya penafsiran nash-nash yang diterima dari rasul dan terbukalah pintu istinbat terhadap masalah-masalah yang tidak ada nashnya yang jelas. Dalam periode ini Islam berkembang sangat luas mulai dari Timur ke Barat serta Utara ke Selatan, meliputi : Irak, Syiria, Mesir, Afrika dan lain-lain.
Para sahabat pada periode ini menafsirkan nash-nash hukum baik dari Al-Qur’an maupun Hadits, yang kemudian menjadi pegangan untuk menafsirkan dan menjelaskan nash-nash tersebut. Selain Al-Qur’an dan Hadits, sumber hukum pada periode ini adlah Ijma’ dan Ar-ra’yu para sahabat.
3.    Tasyri’ pada masa sahabat kecil dan tabi’in.
Di akhir abad pertama, terdapat golongan tabi’in yang selalu menyertai para sahabat yang mempunyai keahlian dalam bidang fatwa dan tasyri’. Dari para sahabat itulah para tabi’in mempelajari Al-qur’an dan menerima riwayat hadits serta bermacam-macam fatwa.
Sumber tasyri’ di masa ini ada empat macam  :
a.    Al-Qur’an
b.    Al-Hadist
c.    Al-Ijma’, dan
d.    Al-Qiyas ( Al-Ijtihad dengan jalan qiyas atau dengan jalan istinbat yang lain )
Para Ulama mufti berhenti pada nash yang mereka peroleh di dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Mereka tidak beranjak lagi dari nash-nash itu. Apabila mereka tidak mendapati di Al-Qur’an dan Hadist mengenai suatu peristiwa yang memerlukan keputusan hukum, akan tetapi mereka mengetahui bahwa ulama salaf telah berijma’ mengenai hukum itu, merekapun mengamalkannya berdasarkan ijma’ ulama salaf tersebut. Apabila mereka tidak mejumpai dalam nash dan ijma’, barulah mereka berijtihad dan beristinbath.
4.  Tasyri’ pada masa at-Baut Tabi’in
Kondisi hukum pada masa ini mulai berjalan pada kekuatan yang komprehensif, melangkah dalam wilayah yang luas sehingga hukum hampir menjadi kesatuan yang independen dalam keistimewaannya dan sempurna kematangannya dari sebelumnya. Luas cakupannya dalam kesulitan dan tangkapannya, penyusun percerai beraiannya, membantu perjuangan dalam menampakkan ketersembunyiannya dan menguatkan kaidah-kaidahnya. Sehingga hukum Islam menjadi berjaya yang menfaat bagi generasi berikutnya dan kaum muslimin tidak perlu bersusah payah dalam memahami bagian-bagiannya atau menguatkan keumumannya.
Pada periode ini periode pertumbuhan kekuatan, kematangan pemikiran, kehidupan ilmiah yang luas, pembahasan yang mendalam dan mengahasilkan, keindahan fiqih, ijtihad mutlak. Pada masa ini dibukukan ilmu-ilmu Al-Qur’an, Sunnah, Kalam, Bahasa, dan bermunculan ahli Qori’ ahli Hadist dan lain-lain. Pembinaan hukum pada masa ini sudah menjadi cabang ilmu pengetahuan. Di dalamnya lahir para fuqaha’ yang menjadi tumpuan taqlid keagamaan.
5.  Tasyri’ pada masa tarjih
Pada periode ini wilayah kekuasaan islam telah terbagi-bagi dalam beberapa bagian yang setiap bagian dipimpin oleh seorang gubernur (Amirul Mukminin). Akibat pembagian ini umat islam tertimpa kelemahan dan kemerosotan karena negara-negara ini saling berbantah-bantahan, banyak terjadi fitnah, ujian berturut-turut, terputusnya berbagai sarana transportasi, permusuhan dan perpecahan banyak terjadi. Meskipun Ulama dalam periode ini telah merintangi dirinya dan menetapkannya agar mengikuti imam tertentu dalam penetapannya dan fatwanya, ternyata mereka juga memiliki usaha-usaha yang agung yang dapat mengangkat keadaannya dan meninggikan derajatnya. Karena mereka tidak berhenti secara total dengan menghadapi batas taklid secara murni, tetapi mereka mengumpulkan atsar-atsar, mentarjih riwayat-riwayat, mengeluarkan ilat-ilat hukum, mengeluarkan problematika dari berbagai masalah dan cabang-cabang hukum.
Pada periode ini tidak ada mujtahid mustaqil dan usaha para ulama ketika itu dapat diringkaskan pada tiga hal, yaitu : penta’lilan hokum-hukum, tarjih dan dukungan terhadap madzhab.
6.    Tasyri’ pada masa taqlid
Masa ini adalah lesunya himmah ulama untuk mencapai ijtihad mutlak dan kembali kepada dasar tasyri’ yang asasi untuk mengeluarkan hukum-hukum dari Al-Qur’an dan Sunnah dan mengistinbatkan hukum-hukum yang tak ada nashnya dari sesuatu dalil syariat. Pada masa ini ulama membatasi diri dalam mengikuti cara yang telah dibentangkan oleh para mujtahidin yang telah lalu. Pada masa ini umat islam dipengaruhi oleh faktor-faktor politik dan pengaruh dari luar. Semua pengaruh itu menolak kemerdekaan berfikir dan menyeretnya kepada taqlid, menjadi pengikut madzhab-madzhab yang ada.

F. Kegunaan Mempelajari Tarikh Tasyri’ AL-Islami
    Dari beberapa penjelasan tentang tarikh tasyri’dapat diketahui bahwa mempelajari tarikh tasyri’ mempunyai beberapa kegunaan antara lain :
1.    mengetahui pertumbuhan dan perkembangan hukum.
2.    Mengetahui sumber-sumber hukum dan madzhab-madzhabnya serta mengungkap keistimewaan dan tujuan-tujuannya.
3.    Mengetahui kaum muslimin terdahulu dalam mengerahkan kemampuan dan semangat mereka dalam mempertahankan syariat dan berusaha mengungkap rahasia-rahasianya
4.    Menyelidiki hukum dan hikmah-hikmahnya yang dapat memenuhi kebutuhan hidup manusia.
5.    Mengetahui para fuqoha’, para mujtahid dan sejarah kehidupan intelektual dalam kapasitasnya sebagai para pejuang dan pembela agama islam.
Itulah gambaran global kehidupan apabila tidak ada batasan-batasan dan keterbukaan moral. Dengan tujuan ini, Allah menetapkan kelompok manusia sejak dulu merasa butuh penetapan aturan yang dapat mengikat mereka dari perpecahan, menyejahterakan kehidupan dan dapat menjaga keberlangsungan faktor-faktor kebangkitan.    
BAB III
KESIMPULAN

    Dari beberapa pembahasan di atas dapat diambil beberapa kesimpulan, bahwasanya pengertian syariah adalah hukum yang ditetapkan oleh Allah melalui rasul-Nya untuk hamba-Nya, agar mereka mentaati hukum itu atas dasar iman, baik yang berkaitan dengan aqidah, amaliyah (ibadah dan muamalah), dan yang berkaitan dengan akhlak. Sedangkan tasyri’ adalah pembuatan/pembentukan Undang-undang untuk mengetahui hukum-hukum bagi perbuatan orang dewasa, dan ketentuan-ketentuan hukum serta peristiwa yang terjadi di kalangan mereka.
    Adapun tasyri’ dibagi menjadi dua macam, yaitu : Tasyri’ Samawi dan Tasyri’ Wadh’i. Sedangkan pengertian tarikh tasyri’ adalah ilmu yang membahas tentang keadaan fiqih Islam pada masa kerasulan (Nabi Muhammad SAW) dan masa-masa sesudahnya, dimana masa-masa itu dapat menolong dalam pembentukan hukum, dan dapat menjelaskan hukum yang tiba-tiba datang, baik terdiri dari nasakh, takhsis, dan sebagainya, maupun membahas tentang keadaan para fuqaha dan mujtahidin serta hasil karya mereka dalam menyikapi hukum tersebut.
    Periodesasi tarikh tasyri’ dibagi atas enam periode antara lain : masa Rasulullah, masa sahabat, masa tabi’in, masa at-baut tabi’in, masa ulama murajjihun dan masa ulama muqallidun. Sementara itu tarikh tasyri’ berguna untuk kemaslahatan manusia

DAFTAR PUSTAKA
Ø  Muhammad Ali As-Sayis, Sejarh Fikih Islam, Pustaka Al-Kautsar Jakarta Cetakan pertama 2003
Ø  Muhammad Zuhri, Terjemah Tarikh Tasyri’ Al-Islami, Darul Ihya’ Semarang 1980
Ø  Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqih, PT. Pustaka Rizki Putra Semarang 1997
Ø  Abdul Fatah, Zulkifli, Tarikh Tasyri’ 1,  Gunung Jati Jakarta 1985
Ø  Muhammadiyah Dja’far, Pengantar Ilmu Fiqih, Kalam Mulia Jakarta 1992
Ø  Abdul Wahhab Kholaf, Ringkasan Sejarah Perundang-undangan Islam, Ramadani Solo 1974

Tidak ada komentar:

Posting Komentar