Perkembangan
peserta didik merupakan suatu aspek pendidikan dimana seorang guru dituntut
untuk memahami dan mengawal dalam setiap tahap perkembangan, agar proses
pendidikan dapat berhasil sesuai dengan apa yang diinginkan oleh pendidik dan
peserta didik.
Perkembangan itu pun harus dikawal dalam semua lingkungan peserta didik, meliputi: lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Lingkungan-lingkungan itu yang banyak mempengaruhi pola pikir dan dan tingkah laku seorang peserta didik. Dan suasana yang diciptakan dari lingkungan-lingkungan tersebut itu yang akan menjadi budaya bagi peserta didik.
Kebudayaan sekolah mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap pola perilaku anak didik, terutama dalam proses belajar mengajar. Ternyata apa yang dihayati oleh siswa seperti sikap dalam belajar, sikap terhadap kewibawaan, dan sikap terhadap nilai-nilai tidak berasal dari kurikulum sekolah yang formal, melainkan berasal dari kebudayaan sekolah itu.
Maka dari tu, segala aspek yang menjadi unsur sekolah berpengaruh pada pola pikir peserta didik. Baik berupa lokasi sekolah, tata kelas, sistem sosial yang ada di sekolah, dan lain sebagaimana.
Perkembangan itu pun harus dikawal dalam semua lingkungan peserta didik, meliputi: lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Lingkungan-lingkungan itu yang banyak mempengaruhi pola pikir dan dan tingkah laku seorang peserta didik. Dan suasana yang diciptakan dari lingkungan-lingkungan tersebut itu yang akan menjadi budaya bagi peserta didik.
Kebudayaan sekolah mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap pola perilaku anak didik, terutama dalam proses belajar mengajar. Ternyata apa yang dihayati oleh siswa seperti sikap dalam belajar, sikap terhadap kewibawaan, dan sikap terhadap nilai-nilai tidak berasal dari kurikulum sekolah yang formal, melainkan berasal dari kebudayaan sekolah itu.
Maka dari tu, segala aspek yang menjadi unsur sekolah berpengaruh pada pola pikir peserta didik. Baik berupa lokasi sekolah, tata kelas, sistem sosial yang ada di sekolah, dan lain sebagaimana.
PEMBAHASAN
SEKOLAH
SEBAGAI SISTEM SOSIAL
1.
KULTUR SEKOLAH
Sekolah adalah sebuah
konsep yang mempunyai makna ganda. Pertama, sekolah berarti suatu bangunan atau
lingkungan fisik dengan segala perlengkapannya yang merupakan tempat untuk
menyelenggarakan proses pendidikan tertentu bagi kelompok manusia tertentu.
Dengan demikian, apabila kita mendengar perkataan “sekolah” maka yang terbayang
adalah lingkungan fisik seperti itu.
Bayangan sekolah sebagai lingkungan fisik seperti itu diperkuat dengan
keseragaman relative mengenai bentuk bangunan dan perlengkapannya,sehingga
dapat dikatakan bahwa kondisi fisik sekolah-sekolah yang sejenis dan setingkat
relative sama. Kedua,sekolah berarti suatu proses atau kegiatan belajar
mengajar. Kita bisa menggunakan istilah “menyekolahkan” anak, atau
mengatakan”anak saya bersekolah SMP
Negeri 1”. Dalam hal ini apabila mendengar perkataan”sekolah”maka yang
terbayang di kepala kita adalah proses pendidikan itu sendiri.
Jadi dalam hal ini sekolah dipandang sebagai sebuah
pranata untuk memenuhi kebutuhan khusus tertentu. Bisa juga “sekolah”diartikan
sebagai sebuah organisasi ,yaitu organiasi social yang mempunyai struktur
tertentu yang melibatkan sejumlah orang dengan tugas melaksanakan suatu fungsi
untuk memenuhi suatu kebutuhan. Sesungguhnya ketiga pengertian itu selalu berdampingan,karena
proses belajar berjalan dalam sebuah lokasi dan diselenggarakan oleh organisasi
yang mempunyai struktur dan tujuan tertentu. Penampilan keterpaduan antara
ketiga makna tersebut dipengaruhi oleh berbagai factor seperti jumlah,tingkat
usia, serta karakteristik lain yang menandai orang-orang yang terlibat
didalamnya serta tujuan,program kerja dan kegiatan yang dilaksanakan,lama waktu
penyelenggaraan,dan pendekatan yang digunakan. Akan tetapi diantara semuanya
itu terdapat persamaan yaitu bahwa setiap lembaga yang dinamakan sekolah
berperan mengurusi manusia,bukan mengurusi benda-benda mati.
Dalam mengurusi manusia,
sekolah mempunyai ciri-ciri yang bersamaan dengan rumah sakit, rumah
penjara,rumah perawatan anak-anak terlantar. Persamaan karakteristik yang
terdapat pada lembaga atau badan yang mengurusi manusia adalah:
1. Bahwa yang diurusi (klien) itu
bersifat sementara. Ini berarti bahwa sesudah selesai mendapatkan pelayanan
lalu klien itu pergi tanpa terimakasih.
2. Sampai batas-batas tertentu keberhasilan pelayanan
memerlukan partisipasi pihak lain.
3. Klien itu sangat
heterogen,masing-masing membawa karakteristik sendiri,sehingga menimbulkan
masalah-masalah khusus yang harus ditangani secara tersendiri.
4. Semua badan itu harus menyadari bahwa
kliennya dapat mempengaruhi organisasi dan stafnya yang tidak terduga
sebelumnya.
Sekolah dirancang untuki melaksanakan pembimbingan
dalam sebagian perkembangan hidup manusia. Sekoilah melanjutkan proses
sosialisasi yang telah dilakukan sebelumnya yaitu dalam keluarga dan lingkungan
sekitar rumah tangga,dan menyiapkan anak untuk memasuki tahapan hidup
selanjutnya. Hal ini yang membedakan sekolah dari organisasi lain yang
mengurusi manusia adalah bahwa sekolah menghadapi kliennya dalam bentuk
kelompok,bukan sebagai individu seperti yang terjadi dirumah sakit terhadap
pasiennya atau di rumah penjara terhadap tahanan-tahanannya. Juga sekolah
menetapkan terlebih dahulu penerimaan klien dan pengeluaran mereka,sedangkan
rumah sakit dan rumah penjara tidak melakukannya.
Kehidupan merupakan sebuah sistem yang terdiri atas
berbagai sub sistem yang pada gilirannya bisa dipandang sebagai suatu system
pula. Sub system=sub system itu bukan saja berkaitan satu sama lain melainkan
juga saling tergantung. Mereka berbagai fungsi untuk kelangsungan hidup dan
eksistensi sistem secara keseluruhan.
Setiap sekolah memiliki
komponen-komponen sarana fisik seperti lahan,bangunan (kantor, ruang
belajar,jamban,dan lain-lain),kurikulum,dan orang-orang (guru,pimpinan,karyawan
non edukatif, dan pelajar). Komponen-komponen tersebut menyumbang dengan fungsi
dan perannya untuk keberhasilan lembaga. Sebagai sebuah system,sekolah
mempunyai keterkaitan dengan sistem lain yang jumlahnya tidak sedikit. Sistem
luar itu meliputi antara lain orang tua siswa,komuniti sekitar sekolah dll.
Pola hubungan antara sekolah dengan system lain diwarnai dan diisi dengan
informasi-informasi yang berarah timbale balik. Input atau timbal balik itu
dapat berupa dorongan bagi sekolah untuk mengadakan perubahan pada struktur
atau interaksi edukatif di dalamnya atau untuk mempertahankan yang telah ada.
Umpan balik yang menimbulkan perubahan disebut morfogenis,sedangkan yang
mendorong untuk mempertahankan corak struktur dan interaksi yang telah ada
dinamakan umpan balik yang bersifat morfostatis.
2. KELAS SEBAGAI SISTEM SOSIAL
Sekolah terdiri atas
kelas-kelas yang juga dapat dianalisis sebagai sebuah system. Pengertian kelas
dalam konteks sekolah dapat menimbulkan dua macam asosiasi yaitu kelas sebagai
ruangan tempat proses pendidikan berlangsung dan kelas sebagai sekelompok atau
sejumlah pelajar yang bersama-sam menempuh suatu matapelajaran pada suatu
lembaga pendidikan. Yang terakhir Kelas dapat di artikan sebagai sejumlah
pelajar yang untuk periode tertentu,misalnya satu tahun,menempuh paket prigram
yang sam atau hanya untuk sebuah mata pelajaran saja. Disini kelas diartikan
sebagai sekelompok pelajar seperti tersebut tadi tanpa memperhatikan apakah
mereka menempuh satu paket program pendidikan bersama-sama ataukah hanya satu
atau beberapa mata pelajaran saja.
Pada umumnya
disekolah-sekolah tradisional pelajar dalam satu kelas menempuh paket
pendidikan yang sama sehingga karenanya mereka berada pada tingkat ketempuhan
program yang sama. Pada system pendidikan yang baru,setiap pelajar mempunyai
program pendidikan yang tersusun secara individual, dalam arti seorang pelajar
mempunyai program pendidikan yang berlainan dengan pelajar yang lainnya. Dengan
demikian sebuah kelas mungkin terdiri dari atas mahasiswa yang hanya bertemu
dalam mata pelajaran tertentu saja.
Sesungguhnya dalam kelas
ini fungsi dan kesibukan formal yang pokok diselenggarakan suatu sekolah. Di
sekolah dasar, seorang guru mengajar sepanjang tahun pelajaran. Ia mengajarkan
seluruh mata pelajaran di kelas itu kecuali mata pelajaran agama, olahraga dan
kesenian yang telah diajarkan oleh guru khusus. Guru SD umumnya merupakan guru
kelas. Di SLTP dan SLTA guru mengajarkan dan bertanggung jawab mengenai satu
mata pelajaran tertentu saja tetapi untuk semua kelas, setidak-tidaknya yang
setingkat. Di perguruan tinggi lain halnya meskipun seorang dosen pada dasarnya
dosen mata kuliah, ia dapat memiliki latar belakang pendidikan yang tidak
konsisten dengan mata kuliah yang diajarkannya tetapi diakui sebagai ahli dalam
mata kuliah itu. Rekrutmen tenaga dosen dapat mengikuti system terbuka.
Fungsi dan peran sekolah
dalam proses sosialisasi yaitu mempersiapkan seorang agar menjadi warga dewasa
dalam masyarakat, diselenggarakan terutama melalui proses pendidikan dalam
kelas dalam melaksanakan fungsi ini sekolah bekerjasama dengan keluarga,
lingkungan, organisasi, dan lembaga-lembaga lain yang hidup di masyarakat .
kerjasama itu mungkin tidak dilaksanakan
secara formal, meskipun tidak tertutup kemungkinan memformalkannya. Akan tetapi,
selama anak atau pemuda berstatus pelajar, sekolahnyalah yang dipandang sebagai
sosialisasi terpenting. Sekolah harus bertanggung jawab mengenai hasil proses
sosialisasi anak sebelum menjadi pelajar di sekolah itu dan proses sosialisasi
yang berlangsung diluar sekolah selama yang bersangkutan menjadi pelajar itu.
Sebagaimana diketahui sosialisasi
meliputi internalisasi nilai-nilai social cultural, norma-norma dan peran-peran
social. Peran-peran itu dikategorisasikan dalam dua kelompok, yaitu peran-peran
yang dilakukan dengan kompetensi “Teknis” yang berarti mahir dalam melaksanakan
tugas-tugas tertentu dan kompetensi “social” yang berkenaan dengan hubungan
orang lain.
Banyak isu atau
permasalahan dan hipotesis yang masih harus diuji kembali sehubungan dengan
kelas sebagai system pendidikan ini.
Permasalahan pertama adalah mengenai besar kelas dalam arti banyaknya
pelajar per kelas. Dewasa ini sebuah kelas sebanyak 48 orang di SD,SLTP,SLTA
serta 50 orang di Perguruan Tinggi di Negara kita di anggap standar. Di sekolah
swasta dan pada kelas-kelas tertentu di Perguruan
Tinggi jumlah tersebut seringkali dilampaui. Permasalahan yang muncul adalah
apakah besar kelas itu berpengaruh terhadap prestasi atau hasil belajar yang di
capai para pelajar? Tampaknya umum telah sepakat bahwa antara kedua hal
tersebut terdapat korelasi negative yang cukup signifikan. Makin kecil ukuran
kelas,makin baik prestasi belajar yang di capai. Atas dasar inilah rasio
(perbandingan)guru-murid dapat dijadikan indicator kualitas hasil belajar.
Makin besar nilai rasio itu,makin tinggi kemungkinan nilai hasil belajar yang
dihasilkan. Di kalangan guru sering terungkapkan keluhan bahwa kelas yang
terlalu besar sulit dikontrol dan tidak memungkinkan menggunakan metode
mengajar yang lebih efisien. Guru bahkan mendapat kesulitan mengenali anak
didik nya dengan baik,akan tetapi dipihak lain kelas yang terlalu kecil kurang
menarik bagi guru. Situasi semacam itu juga bisa menurunkan prestasi belajar.
Persoalan yang muncul adalah dari situasi itu adalah ukuran kelas yang merupakan
kondisi yang paling optimum. Agaknya mengenai hal ini belum adanya jawaban.
Permasalahan berikut
adalah mengenai homogenitas warga kelas. Dilihat dari segi tertentu pada
umumnya warga sebuah kelas dapat dikatakan homogeny misalnya dari segi usia dan
kemampuan pada bidang tertentu. Di lingkungan taman kanak-kanak sampai SLTA
homogenitas dalam usia itu sangat tinggi.
Homogenitas jenis
kelamin di sekolah-sekolah negri tidak lagi merupakan persoalan , dalam arti
anak laki-laki dan perempuan dapat melamar menjadi pelajar di sekolah manapun.
3. Interaksi Sosial dalam Kelas
Fungsi edukatif formal
yang diemban oleh sekolah terutama berlangsung dalam kelas. Disini berlangsung
interaksi antara guru dengan pelajar yang secara formal diprogramkan dan
dilaksanakan paling intensif. Selain interaksi antara guru dengan pelajar,
dalam kelas juga terjadi interaksi
antar pelajar. Kedua macam hasil interaksi dalam kelas ini berpengaruh besar
terhadap prestasi belajar itulah sebabnya interaksi ini akan mendapat
perhatian-perhatian khusus.
Interaksi atau saling
berhubungan dan saling mempengaruhi antar warga suatu kelompok, dalam hal ini
kelas melahirkan apa yang biasa dinamakan iklim atau suasana kelas. Interaksi
antar individu dalam kelas ini dilandasi oleh peraturan-peraturan yang berlaku
untuk sekolah secara keseluruhan. Akan tetapi peraturan-peraturan mekandasi
interaksi itu sama untuk setiap kelas dalam suatu sekolah, diantara kelas-kelas
terdapat perbedaan suasana yang kadang-kadang cukup jelas. Ini berarti bahwa interaksi
merupakan factor dominan bagi suasana kelas.
Suasana atau iklim kelas
akan terasa apabila kita beberapa saat lamanya berada dalam sebuah kelas. Ada
kelas yang “hidup” dengan pelajar-pelajar yang aktif dan responsive, selain
kelas yang “mati” dengan pelajar yang pasif , dan ada pula kelas yang
bersuasana ribut dan nakal disamping tenang dan tertib. Ada berbagai isu
berkenaan dengan suasana kelas ini. Termasuk didalamnya isu tentang hubungan ,
ketaatan terhadap aturan (disiplin), kepemimpinan, kerjasama, dan toleransi,
persaingan dan pertentangan, dorongan belajar, kekompakan dan persatuan dalam
menghadapi tantangan dari luar, dan dominasi kelompok. Berbagai pertanyaan
dapat disusun atas dasar isu-isu tersebut, yang selanjutnya dapat dijadikan
pertanyaan penelitian.
Dari sejumlah penelitian
mengenai isu-isu tentang suasana atau
iklim kelas tersebut dan isu-isu lainnya. Salah satu diantaranya menyimpulkan
bahwa aspek-aspek iklim atau suasana kelas itu tidak memberikan dampak yang
sama kepada orang-orang atau pelajar yang berlainan. Ini berarti bahwa suasana
yang mendorong seorang pelajar untuk lebih berprestasi belum tentu merupakan
factor yang mendorong pula bagi pelajar yang lain, meskipun pada umumnya
pengaruh kehangatan dan keakraban lebih merata.
4. Pimpinan Lembaga / Sekolah, Guru, dan Karyawan non Guru
Pada tingkat lembaga
atau sekolah terdapat tiga kategori karyawan yaitu pimpinan lembaga atau
sekolah, guru dan karyawan non guru. Ketiga kategori karyawan ini mempunyai
status dan peran yang berlainan, yang karnanya menuntut persyaratan dan
mengemban tugas yang berlainan. Berkenaan dengan itu setiap kategori mempunyai
karakteristik cultural yang berlainan.
Pimpinan sekolah atau
lembaga mungkin hanya terdiri atas satu orang seperti kepala sekolah di SD,
atau dua orang yang meliputi kepala sekolah dan wakilnya di SLTP dan SLTA. Di
perguruan tinggi, tergantung kepada tingkat ke organisasiannya kepemimpinan
lembaga di pegang oleh beberapa orang yang jumlah serta strukturnya
berlain-lainan tergantung pada tingkat ke lembagaannya. Pada dasarnya mereka
mempunyai fungsi yang bersamaan yang meliputi penyelenggaraan fungsi dan tugas
lembaga. Makin besar lembaga yang dipimpinnya makin kompleks organisasinya akan
makin penting peran dan tugas koodinatif yang harus dilakukan,dengan sendirinya
akan makin besar beban tanggung jawabnya yang dipikulnya.
Pimpinan berada pada
posisi persimpangan antara berbagai kepentingan yang kadang berlawanan arah
satu sama lain. Ia di tuntut pertanggung jawabannya mengenai tugas-tugas yang
diberikan dari atas,tetapi ia juga adalah penanggungjawab mengenai hal-hal yang
berhubungan dengan kepentingan guru dan karyawan non guru serta pelajar,antara
terlaksananya kegiatan kurikuler dengan tuntutan masyarakat sekitar dan kepentingan
orang tua pelajar.
Pada umumnya pejabat
dipilih dari guru yang sudah cukup memiliki pengalaman,berdedikasi tinggi dan
memenuhi persyaratan operasional dan moralitas,bahkan kadang-kadang juga
pertimbangan politis. Akan tetapi kenyataan tersebut belum menjawab
pertanyaan-pertanyaan mengenai belum adanya training khusus bagi calon pemimpin
atau in-servise training bagi yang sudah menjabat. Sebenarnya ada dua
kemungkinan strategi yang bisa ditempuh untuk memperoleh kepala-kepala yang
berkualifikasi professional memadai. Selain dari yang diperoleh melalui
pengalaman pribadinya yaitu pertama mempersiapkan calon melalui pendidikan
khusus (latihan-latihan pra jabatan)yang betul-betul terarah,dan kedua
mengangkat lebih dahulu kemudian disusul dengan memberinya latihan jabatan
(in-servise training)dalam berbagai kemahiran dalam melaksanakan
kepemimpinan,yang dalam hal ini sebagai kepala sekolah.
PENUTUP
Sekolah merupakan
institusi sosial yang tidak luput dari pengaruh-pengaruh kebudayaan-kebudayaan.
Sebagai institusi, sekolah mempunyai sistem sosial, organisasi yang unik,
termasuk pola interaksi sosial diantara para anggotanya, yang selanjutnya
disebut dengan kebudayaan sekolah. Sedangkan Ruang kelas merupakan miniatur
dari kelompok yang lebih besar, yaitu masyarakat karena di sana berkumpul
person-person dari latar belakang status sosial dan ekonomi yang berbeda-beda,
meskipun dengan struktur profesi dan peran yang sama.
Pada masyarakat modern kehidupan manusia tidak pernah lepas dari pergulatan aktivitasnya dengan organisasi. Secara historis, keberadaan organisasi merupakan cerminan tingkat kemajuan masyarakat yang sudah tinggi. Masyarakat tersebut telah mengembangkan satu bentuk perekat hubungan yang dinamakan solidaritas organik. Jenis solidaritas ini merupakan bentuk solidaritas yang mengikat masyarakat kompleks, masyarakat yang telah mengenal pembagian kerja secara rinci dan dipersatukan oleh rasa ketergantungan antar bagian. Tiap anggota menjalankan peran berbeda dan di antara berbagai peran tersebut menumbuhkan rasa saling tergantung seperti layaknya sistem hubungan antarbagian dalam organisme biologis.
Maka dari itu, sebagai studi kasus terhadap kajian ini, kita coba membaca realita yang ada di masyarakat hari ini, mengapa masih banyak masyarakat yang tidak berminat unntuk menyhekolahkan putrinya di sekolah tertentu?. Apakah sistem sosial yang dibangun dalam sekolah itu yang terimplementasikan dalam interaksi di kelas-kelas sudah sesuai dengan budaya dan kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat sekitar apa belum?.
Pada masyarakat modern kehidupan manusia tidak pernah lepas dari pergulatan aktivitasnya dengan organisasi. Secara historis, keberadaan organisasi merupakan cerminan tingkat kemajuan masyarakat yang sudah tinggi. Masyarakat tersebut telah mengembangkan satu bentuk perekat hubungan yang dinamakan solidaritas organik. Jenis solidaritas ini merupakan bentuk solidaritas yang mengikat masyarakat kompleks, masyarakat yang telah mengenal pembagian kerja secara rinci dan dipersatukan oleh rasa ketergantungan antar bagian. Tiap anggota menjalankan peran berbeda dan di antara berbagai peran tersebut menumbuhkan rasa saling tergantung seperti layaknya sistem hubungan antarbagian dalam organisme biologis.
Maka dari itu, sebagai studi kasus terhadap kajian ini, kita coba membaca realita yang ada di masyarakat hari ini, mengapa masih banyak masyarakat yang tidak berminat unntuk menyhekolahkan putrinya di sekolah tertentu?. Apakah sistem sosial yang dibangun dalam sekolah itu yang terimplementasikan dalam interaksi di kelas-kelas sudah sesuai dengan budaya dan kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat sekitar apa belum?.
DAFTAR PUSTAKA
·
Drs.Sutardjo
Atmowidjoyo, M.pd(dkk). 2003. Sosiologi Pendidikan Pendekatan Paradigma ganda.
Gorontalo: Nurul jannah
·
HAR
Tilaar (2000), Pendidikan Kebudayaan Dan Masyarakat Madani Indonesia. Bandung:
Remaja Rosda Karya.
·
Padil,
Moch. dan Triyo Supriyatno (2007), Sosiologi Pendidikan. Malang: UIN Press.
·
http/www.sosiologi
pendidikan.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar