Senin, 29 Juli 2013

Kedudukan Peserta Didik


A.      Menurut Samsul Nizar (2002) beberapa hakikat peserta didik dan implikasinya terhadap pendidikan Islam, yaitu :
1.   Peserta didik bukan merupakan miniatur orang dewasa, akan tetapi memiliki dunia sendiri.
2.   Peserta didik adalah manusia yang memiliki diferensiasi priodesasi(perbedaan dalam tahap-tahap) perkembangan dan pertumbuhan.
3.   Peserta didik adalah manusia yang memiliki kebutuhan, baik yang menyangkut kebutuhan jasmani maupun rohani yang harus dipenuhi.
4.   Peserta didik adalah makhluk Allah yang memiliki perbedaan individual.
5.   Peserta didik terdiri dari dua unsur utama, yaitu jasmani dan rohani.
6.   Peserta didik adalah manusia yang memiliki potensi (fitrah) yang dapat dikembangkan dan berkembang secara dinamis.
B.      Menurut Raka Joni menyatakan bahwa hakikat peserta didik didasarkan pada 4 hal yaitu:
1.      Peserta didik bertanggung jawab terhadap pendidikan sesuai dengan wawasan pendidikan seumur hidup.
2.      Memiliki potensi baik fisik maupun psikologi yang berbeda-beda sehingga masing-masing subjek didik merupakan insan yang unik.
3.      Memerlukan pembinaan individual serta perlakuan yang manusiawi.
4.      Pada dasarnya merupakan insan yang aktif menghadapi lingkungan.
·         Sifat  dan  Akhlak  Peserta  Didik
Belakangan ini pendidikan karakter sedang gencar-gencarnya dilaksanakan dalam program pendidikan nasional. Pembangunan karakter (character building) melalui pendidikan karakter (character education) dipercaya sebagai keniscayaan apabila Indonesia ingin bermetamorfosa menjadi bangsa mampu berkompetisi dengan bangsa lain di dunia.
Mulai terdengar sejak tahun 1990-an, terminologi pendidikan karakter semakin nyaring sekarang ini. Adalah seorang Thomas Lickona yang dianggap sebagai pengusungnya melalui karyanya, The Retrun of Character Education. Buku ini membawa perubahan di dunia Barat bahwa pendidikan karakter adalah sebuah keharusan. Dari sinilah awal kebangkitan pendidikan karakter.
Karakter sebagaimana didefinisikan Ryan dan Bohlin, mengandung tiga unsur pokok, yaitu mengetahui kebaikan (knowing the good), mencintai kebaikan (loving the good), dan melakukan kebaikan (doing the good). Dalam pendidikan karakter, kebaikan itu seringkali dirangkum dalam sederet sifat-sifat baik.
Maka bisa ditarik kesimpulan bahwa pendidikan karakter adalah sebuah upaya untuk membimbing perilaku manusia menuju standar-standar tertentu atau aturan-aturan yang disepakati. Upaya ini juga memberi jalan untuk menghargai persepsi dan nilai-nilai pribadi yang ditampilkan di sekolah. Fokus pendidikan karakter adalah pada tujuan-tujuan etika, tetapi prakteknya meliputi penguatan kecakapan-kecakapan yang penting yang mencakup perkembangan sosial siswa.
Lebih jauh dari itu, karakter bangsa dipercaya akan sangat menentukan kalanggengannya. Apabila sebuah bangsa mengalami kejatuhan karakter, sangat boleh jadi bangsa tersebut akan kehilangan segala-galanya. Jepang boleh saja luluh lantak ketika bom artom dijatuhkan sekutu pada Perang Dunia Ke-2. Namun, karakter bangsa Jepang yang kuat, dengan memegang teguh nilai-nilai budaya bangsa dan tetap mempertahankan etos kepahlawanannya, telah mengantar Jepang tampil sebagai bangsa yang besar dan maju.
Karakter diyakini sebagai kunci penting bagi tampilnya Jepang sebagai bangsa besar. Bahkan ketika bencana gempa dan tsunami dahsyat memorakporanda negeri itu, bangsa Jepang tetap tegar menerima tragedi yang memilukan itu. Karakter seperti itu menjadi barang sangat mahal di negeri kita. Indonesia kini justru sedang menghadapi darurat karakter. Korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) masih saja merajalela, meski Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah bekerja keras dan perangkat undang-undang antikorupsi sudah dibuat.
Meningkatnya intensitas tawuran antarwarga, antarpelajar, serta kekerasan dalam rumah tangga hingga kekerasan terhadap anak, semakin meneguhkan bahwa ada yang tidak beres dalam karakter bangsa. Keburukan merajalela, sedang kebenaran sulit untuk mendapatkan tempatnya.
Di tengah masyarakat juga terjadi keengganan membeli hasil karya anak bangsanya sendiri, padahal banyak orang di negeri ini hidup dalam kemiskinan absolut. Sungguh ironis, 80% pasar tekstil dikuasai asing, 80% pasar farmasi dan 92% industri hampir seluruhnya dikuasai asing. Mainan anak-anak pun didominasi oleh asing.
Meski sumber daya alam yang dimiliki Indonesia sangat berlimpah, Indonesia tetap tak mampu lebih maju dari Jepang yang pernah luluh lantak. Kejatuhan karakter jauh lebih parah dibandingkan kejatuhan ekonomi, kejatuhan karakter bukan hanya berdampak pada kehidupan ekonomi bangsa, tetapi mengancam kelangsungan bangsa tersebut. Oleh karenanya, berbagai fenomena di negeri ini kemudian mengarahkannya pada terbentuknya suatu program pendidikan karakter bagi generasi muda bangsa.
Moralitas
Di samping itu ada satu lagi jenis pendidikan yang sebelumnya juga menjadi isu dalam pendidikan nasinal yakni pendidikan moral. Terminologi pendidikan moral (moral education) dalam dua dekade terakhir secara umum diajarkan di sekolah-sekolah. Pendidikan moral cenderung disampaikan untuk memberi penekanan kepada peserta didik akan nilai-nilai yang benar dan nilai-nilai yang salah.
Berbeda dengan penerapan nilai-nilai itu dalam kehidupan pribadi, keluarga, dan masyarakat tidak mendapat porsi yang memadai. Dengan kata lain, sangat normatif dan kurang bersinggungan dengan ranah afektif dan psikomotorik siswa. Namun demikian, terminologi ini bisa dikatakan sebagai terminologi tertua dalam menyebut pendidikan yang bertujuan mengajarkan nilai-nilai kebaikan dalam kehidupan manusia.
Oleh karenanya para ahli berpendapat bahwa pendidikan karakter memiliki makna lebih tinggi daripada pendidikan moral. Karena dalam pendidikan karakter, di sana tidak hanya mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah, pendidikan karakter menanamkan kebiasaan (habituation) baik sehingga siswa didik menjadi faham, mampu merasakan, dan mau melakukan yang baik. Kalau moral adalah pengetahuan seseorang terhadap hal baik atau buruk, sedangkan karakter adalah tabiat seseorang yang langsung bersumber dari otaknya.
Dari sudut pandang lain bisa dikatakan bahwa tawaran istilah pendidikan karakter datang sebagai bentuk kritik dan kekecewaan terhadap praktek pendidikan moral selama ini. Itulah karenanya, terminologi yang ramai dibicarakan sekarang ini adalah pendidikan karakter (character education) bukan pendidikan moral (moral education). Walaupun secara substansial, keduanya tidak memiliki perbedaan yang prinsipil.
Akhlak
John Locke mengemukakan konsep empirisismenya yang mengasumsikan manusia sebagai tabula rasa alias kertas putih bersih yang karakternya menunggu untuk diisi pengajaran dari luar. Kemudian, Arthur Schopenhauer menggagas konsep nativisme yang beranggapan karakter manusia itu tergantung pada bakat bawaan di dalam dirinya.
Maka apabila para peserta didik terus menerus diberi asupan pendidikan karakter secara konsisten, tentunya akan menghasilkan peserta-peserta didik yang berkarakter. Hanya saja, pada akhirnya, karakter ini tidak sama dengan akhlak. Orang yang berkarakter bukan berarti orang yang berakhlak.
Pendidikan akhlak sebagaimana dirumuskan Ibn Miskawaih, merupakan upaya ke arah terwujudnya sikap batin yang mampu mendorong secara spontan lahirnya perbuatan yang bernilai baik dari seseorang. Pemikiran Ibn Miskawaih dalam bidang akhlak termasuk salah satu yang mendasari konsepnya dalam bidang pendidikan. Ia menawarkan konsep akhlak yang berdasar pada doktrin jalan tengah(The Golden Mean) antara lain dengan keseimbangan antara dua ekstrim. Ia membagi jiwa manusia dalam tiga bagian yaitu jiwa bernafsu (al-bahimmiyah), jiwa berani (al-Ghadabiyyah) dan jiwa berpikir (an-nathiqah).
Posisi tengah al-bahimmiyah adalah al-iffah yaitu menjaga diri dari perbuatan dosa dan maksiat seperti berzina. Selanjutnya posisi tengah jiwa berani adalah pewira atau keberanian yang diperhitungkan dengan masak untung ruginya. Sedangkan posisi tengah dari jiwa pemikiran adalah kebijaksanaan. Adapun perpaduan dari ketiga posisi tengah tersebut adalah keadilan atau keseimbangan. Ketiga keutamaan akhlak tersebut merupakan induk akhlak yang mulia. Akhlak-akhlak mulia lainnya seperti jujur, ikhlas, kasih sayang, hemat, dan sebagainya merupakan cabang dari ketiga induk ahklak tersebut.

Dapat kita lihat dari pembahasan di atas, bahwa setiap peserta didik harus memiliki sifat dan akhlak yang baik, guna menjadikan peserta didik yang baik, etika, moral, berakhlak mulia. Bahwa sesungguhnya barang siapa yang bersungguh-sungguh maka ia akan berhasil.
Di jelaskan pula bahwa peserta didik itu mendapatkan ilmu dari guru. Sesungguhnya ilmu dating dari Allah, sehingga butuh etika mendekatkan diri dengan Allah. Peserta didik pun harus mempersiapkan kesehatan fisik, akal dan dirinya, sehingga perlu memperhatikan etika terhadap dirinya sendiri. Dan tidak lupa membersihkan hatinya. Belajar hakikatnya sama dengan ibadah, yang hanya sah jika dibarengi dengan hati yang bersih.

https://www.facebook.com/AqilaTambun?bookmark_t=page
https://www.facebook.com/pages/Pondok-Yatim-Daarussalam/146836378807157?ref=hl
https://www.facebook.com/PrismaDaarussalam?ref=hl

Tidak ada komentar:

Posting Komentar