A. Menurut Samsul Nizar (2002) beberapa hakikat peserta
didik dan implikasinya terhadap pendidikan Islam, yaitu :
1. Peserta didik bukan merupakan miniatur orang
dewasa, akan tetapi memiliki dunia sendiri.
2. Peserta didik adalah manusia yang memiliki
diferensiasi priodesasi(perbedaan dalam tahap-tahap) perkembangan dan
pertumbuhan.
3. Peserta
didik adalah manusia yang memiliki kebutuhan, baik yang menyangkut kebutuhan
jasmani maupun rohani yang harus dipenuhi.
4. Peserta
didik adalah makhluk Allah yang memiliki perbedaan individual.
5. Peserta
didik terdiri dari dua unsur utama, yaitu jasmani dan rohani.
6. Peserta
didik adalah manusia yang memiliki potensi (fitrah) yang dapat dikembangkan dan
berkembang secara dinamis.
B. Menurut
Raka Joni menyatakan bahwa hakikat peserta didik didasarkan pada 4 hal yaitu:
1. Peserta
didik bertanggung jawab terhadap pendidikan sesuai dengan wawasan pendidikan
seumur hidup.
2. Memiliki
potensi baik fisik maupun psikologi yang berbeda-beda sehingga masing-masing
subjek didik merupakan insan yang unik.
3. Memerlukan
pembinaan individual serta perlakuan yang manusiawi.
·
Sifat dan
Akhlak Peserta Didik
Belakangan
ini pendidikan karakter sedang gencar-gencarnya dilaksanakan dalam program
pendidikan nasional. Pembangunan karakter (character building) melalui
pendidikan karakter (character education) dipercaya sebagai keniscayaan
apabila Indonesia ingin bermetamorfosa menjadi bangsa mampu berkompetisi dengan
bangsa lain di dunia.
Mulai
terdengar sejak tahun 1990-an, terminologi pendidikan karakter semakin nyaring
sekarang ini. Adalah seorang Thomas Lickona yang dianggap sebagai pengusungnya
melalui karyanya, The Retrun of Character
Education. Buku ini membawa perubahan di dunia Barat bahwa pendidikan
karakter adalah sebuah keharusan. Dari sinilah awal kebangkitan pendidikan
karakter.
Karakter
sebagaimana didefinisikan Ryan dan Bohlin, mengandung tiga unsur pokok, yaitu
mengetahui kebaikan (knowing the good), mencintai kebaikan (loving the good),
dan melakukan kebaikan (doing the good). Dalam pendidikan karakter,
kebaikan itu seringkali dirangkum dalam sederet sifat-sifat baik.
Maka
bisa ditarik kesimpulan bahwa pendidikan karakter adalah sebuah upaya untuk
membimbing perilaku manusia menuju standar-standar tertentu atau aturan-aturan
yang disepakati. Upaya ini juga memberi jalan untuk menghargai persepsi dan
nilai-nilai pribadi yang ditampilkan di sekolah. Fokus pendidikan karakter
adalah pada tujuan-tujuan etika, tetapi prakteknya meliputi penguatan
kecakapan-kecakapan yang penting yang mencakup perkembangan sosial siswa.
Lebih
jauh dari itu, karakter bangsa dipercaya akan sangat menentukan
kalanggengannya. Apabila sebuah bangsa mengalami kejatuhan karakter, sangat
boleh jadi bangsa tersebut akan kehilangan segala-galanya. Jepang boleh saja
luluh lantak ketika bom artom dijatuhkan sekutu pada Perang Dunia Ke-2. Namun,
karakter bangsa Jepang yang kuat, dengan memegang teguh nilai-nilai budaya
bangsa dan tetap mempertahankan etos kepahlawanannya, telah mengantar Jepang
tampil sebagai bangsa yang besar dan maju.
Karakter
diyakini sebagai kunci penting bagi tampilnya Jepang sebagai bangsa besar.
Bahkan ketika bencana gempa dan tsunami dahsyat memorakporanda negeri itu,
bangsa Jepang tetap tegar menerima tragedi yang memilukan itu. Karakter seperti
itu menjadi barang sangat mahal di negeri kita. Indonesia kini justru sedang
menghadapi darurat karakter. Korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) masih saja
merajalela, meski Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah bekerja keras dan
perangkat undang-undang antikorupsi sudah dibuat.
Meningkatnya
intensitas tawuran antarwarga, antarpelajar, serta kekerasan dalam rumah tangga
hingga kekerasan terhadap anak, semakin meneguhkan bahwa ada yang tidak beres
dalam karakter bangsa. Keburukan merajalela, sedang kebenaran sulit untuk
mendapatkan tempatnya.
Di
tengah masyarakat juga terjadi keengganan membeli hasil karya anak bangsanya
sendiri, padahal banyak orang di negeri ini hidup dalam kemiskinan absolut.
Sungguh ironis, 80% pasar tekstil dikuasai asing, 80% pasar farmasi dan 92% industri
hampir seluruhnya dikuasai asing. Mainan anak-anak pun didominasi oleh asing.
Meski
sumber daya alam yang dimiliki Indonesia sangat berlimpah, Indonesia tetap tak
mampu lebih maju dari Jepang yang pernah luluh lantak. Kejatuhan karakter jauh
lebih parah dibandingkan kejatuhan ekonomi, kejatuhan karakter bukan hanya
berdampak pada kehidupan ekonomi bangsa, tetapi mengancam kelangsungan bangsa
tersebut. Oleh karenanya, berbagai fenomena di negeri ini kemudian
mengarahkannya pada terbentuknya suatu program pendidikan karakter bagi
generasi muda bangsa.
Moralitas
Di samping itu ada satu lagi jenis pendidikan yang sebelumnya juga menjadi isu dalam pendidikan nasinal yakni pendidikan moral. Terminologi pendidikan moral (moral education) dalam dua dekade terakhir secara umum diajarkan di sekolah-sekolah. Pendidikan moral cenderung disampaikan untuk memberi penekanan kepada peserta didik akan nilai-nilai yang benar dan nilai-nilai yang salah.
Di samping itu ada satu lagi jenis pendidikan yang sebelumnya juga menjadi isu dalam pendidikan nasinal yakni pendidikan moral. Terminologi pendidikan moral (moral education) dalam dua dekade terakhir secara umum diajarkan di sekolah-sekolah. Pendidikan moral cenderung disampaikan untuk memberi penekanan kepada peserta didik akan nilai-nilai yang benar dan nilai-nilai yang salah.
Berbeda
dengan penerapan nilai-nilai itu dalam kehidupan pribadi, keluarga, dan
masyarakat tidak mendapat porsi yang memadai. Dengan kata lain, sangat normatif
dan kurang bersinggungan dengan ranah afektif dan psikomotorik siswa. Namun
demikian, terminologi ini bisa dikatakan sebagai terminologi tertua dalam
menyebut pendidikan yang bertujuan mengajarkan nilai-nilai kebaikan dalam
kehidupan manusia.
Oleh
karenanya para ahli berpendapat bahwa pendidikan karakter memiliki makna lebih
tinggi daripada pendidikan moral. Karena dalam pendidikan karakter, di sana
tidak hanya mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah, pendidikan
karakter menanamkan kebiasaan (habituation) baik sehingga siswa didik
menjadi faham, mampu merasakan, dan mau melakukan yang baik. Kalau moral adalah
pengetahuan seseorang terhadap hal baik atau buruk, sedangkan karakter adalah
tabiat seseorang yang langsung bersumber dari otaknya.
Dari
sudut pandang lain bisa dikatakan bahwa tawaran istilah pendidikan karakter
datang sebagai bentuk kritik dan kekecewaan terhadap praktek pendidikan moral
selama ini. Itulah karenanya, terminologi yang ramai dibicarakan sekarang ini
adalah pendidikan karakter (character education) bukan pendidikan moral (moral education).
Walaupun secara substansial, keduanya tidak memiliki perbedaan yang prinsipil.
Akhlak
John Locke mengemukakan konsep empirisismenya yang mengasumsikan manusia sebagai tabula rasa alias kertas putih bersih yang karakternya menunggu untuk diisi pengajaran dari luar. Kemudian, Arthur Schopenhauer menggagas konsep nativisme yang beranggapan karakter manusia itu tergantung pada bakat bawaan di dalam dirinya.
John Locke mengemukakan konsep empirisismenya yang mengasumsikan manusia sebagai tabula rasa alias kertas putih bersih yang karakternya menunggu untuk diisi pengajaran dari luar. Kemudian, Arthur Schopenhauer menggagas konsep nativisme yang beranggapan karakter manusia itu tergantung pada bakat bawaan di dalam dirinya.
Maka
apabila para peserta didik terus menerus diberi asupan pendidikan karakter
secara konsisten, tentunya akan menghasilkan peserta-peserta didik yang
berkarakter. Hanya saja, pada akhirnya, karakter ini tidak sama dengan akhlak.
Orang yang berkarakter bukan berarti orang yang berakhlak.
Pendidikan
akhlak sebagaimana dirumuskan Ibn Miskawaih, merupakan upaya ke arah
terwujudnya sikap batin yang mampu mendorong secara spontan lahirnya perbuatan
yang bernilai baik dari seseorang. Pemikiran Ibn Miskawaih dalam bidang akhlak
termasuk salah satu yang mendasari konsepnya dalam bidang pendidikan. Ia
menawarkan konsep akhlak yang berdasar pada doktrin jalan tengah(The Golden Mean)
antara lain dengan keseimbangan antara dua ekstrim. Ia membagi jiwa manusia
dalam tiga bagian yaitu jiwa bernafsu (al-bahimmiyah),
jiwa berani (al-Ghadabiyyah) dan jiwa berpikir (an-nathiqah).
Posisi
tengah al-bahimmiyah adalah al-iffah yaitu
menjaga diri dari perbuatan dosa dan maksiat seperti berzina. Selanjutnya
posisi tengah jiwa berani adalah pewira atau keberanian yang diperhitungkan
dengan masak untung ruginya. Sedangkan posisi tengah dari jiwa pemikiran adalah
kebijaksanaan. Adapun perpaduan dari ketiga posisi tengah tersebut adalah
keadilan atau keseimbangan. Ketiga keutamaan akhlak tersebut merupakan induk
akhlak yang mulia. Akhlak-akhlak mulia lainnya seperti jujur, ikhlas, kasih
sayang, hemat, dan sebagainya merupakan cabang dari ketiga induk ahklak
tersebut.
Dapat kita lihat dari pembahasan
di atas, bahwa setiap peserta didik harus memiliki sifat dan akhlak yang baik,
guna menjadikan peserta didik yang baik, etika, moral, berakhlak mulia. Bahwa
sesungguhnya barang siapa yang bersungguh-sungguh maka ia akan berhasil.
Di jelaskan pula bahwa peserta
didik itu mendapatkan ilmu dari guru. Sesungguhnya ilmu dating dari Allah,
sehingga butuh etika mendekatkan diri dengan Allah. Peserta didik pun harus
mempersiapkan kesehatan fisik, akal dan dirinya, sehingga perlu memperhatikan
etika terhadap dirinya sendiri. Dan tidak lupa membersihkan hatinya. Belajar
hakikatnya sama dengan ibadah, yang hanya sah jika dibarengi dengan hati yang
bersih.
https://www.facebook.com/AqilaTambun?bookmark_t=page
https://www.facebook.com/pages/Pondok-Yatim-Daarussalam/146836378807157?ref=hl
https://www.facebook.com/PrismaDaarussalam?ref=hl
Tidak ada komentar:
Posting Komentar