Senin, 17 Februari 2014

POSISI PENDIDIKAN AGAMA DALAM SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL

BAB I
PENDAHULUAN
1.1.                      Latar Belakang
Persoalan pendidikan merupakan persoalan yang tidak pernah berhenti dibincangkan, sebab pendidikan erat kaitannya dengan persoalan manusia dalam rangka memberi makna dan arah normal kepada eksistensi dirinya. Pendidikan juga bisa dikatakan suatu proses budaya untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia, dan berlangsung sepanjang hayat, yang dilaksanakan di lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Karena itu, pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara keluarga, masyarakat dan pemerintah. Pendidikan dalam proses mencapai tujuannya perlu dikelola dalam suatu sistem terpadu dan serasi.
Dalam kaitannya dengan nilai kebangsaan, pendidikan diartikan sebagai perjuangan bangsa, yaitu pendidikan yang berakar pada kebudayaan bangsa Indonesia dan berdasarkan pada Pancasila dan UUD 1945, yang dalam pelaksanaannya diatur dalam sistem pendidikan nasional.
Sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang Dasar 1945, bahwa tujuan pendidikan nasional adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Ini berarti bahwa tujuan akhir pendidikan nasional adalah mencipta manusia Indonesia seutuhnya atau yang dalam bahasa agamanya disebut insan kamil, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, berkepribadian mantap dan mandiri serta tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
Berkenaan dengan tujuan pendidikan nasional tersebut, Pendidikan agama mempunyai peran penting dalam mengembangkan potensi peserta didik untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, akhlak mulia dan kepribadian. Karena itu dalam undang-undang sisdiknas 2003, pendidikan agama sebagai sumber nilai dan bagian dari pendidikan nasional.
1.2.        Rumusan masalah
1.    Apakah pengertian pendidikan, pendidikan agama dan pendidikan nasional?
2.    Bagaimana gambaran sistem pendidikan agama (islam) di Indonesia?
3.    Bagaimana posisi pendidikan agama dalam sistem pendidikan nasional?
1.3.      Tujuan penulisan
1.    Untuk mengetahui pengertian pendidikan, pendidikan agama dan pendidikan nasional.
2.    Untuk melihat gambaran pendidikan agama islam di Indonesia.
3.    Untuk mengetahui posisi pendidikan agama dalam sistem pendidikan nasional


BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian pendidikan, pendidikan agama dan pendidikan nasional
Ahmad D. Marimba memaknai pendidikan sebagai bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani peserta didik menuju terbentuknya kepribadian yang utama.[1] Marimba pun merumuskan lima unsur utama dalam pendidikan, yaitu; 1) Usaha yang bersifat bimbingan, pertolongan, atau pimpinan yang dilakukan secara sadar. 2) Ada pendidik, pembimbing atau penolong. 3) Ada yang di didik atau peserta didik. 4) Adanya dasar atau tujuan dalam bimbingan tersebut. 5) Adanya alat yang digunakan dalam usaha tersebut.
Soeganda Poerbakawatja lebih umum mengartikan pendidikan sebagai upaya dan perbuatan generasi tua untuk mengalihkan pengalamannya, pengetahuannya, kecakapannya dan keterampilannya kepada generasi muda untuk melakukan fungsi hidupnya dalam pergaulan bersama sebaik-baiknya.[2]
Sedangkan Abuddin Nata menyimpulkan pendidikan merupakan kegiatan yang dilakukan dengan sengaja, seksama, terencana dan bertujuan yang dilaksanakan oleh orang dewasa dalam arti memiliki bekal ilmu pengetahuan dan keterampilan menyampaikannya kepada secara bertahap.[3]
Sementara pendidikan agama sebagaimana penjelasan Zakiyah Darajat, dalam hal ini agama islam, adalah pembentukan kepribadian muslim atau perubahan sikap dan tingkah laku sesuai dengan petunjuk ajaran Islam.[4] Muhammad Qutb, sebagaimana dikutip Abdullah Idi dan Toto Suharto, memaknai pendidikan Islam sebagai usaha melakukan pendekatan yang menyeluruh terhadap wujud manusia, baik dari segi jasmani maupun ruhani, baik dari kehidupan fisik maupun mentalnya, dalam kegiatan di bumi ini.[5] Jadi tujuan akhir pendidikan Islam adalah pembentukkan tingkah laku islami (akhlak mulia) dan kepasrahan (keimanan) kepada Allah berdasarkan pada petunjuk ajaran Islam (Al-Qur’an dan Hadis). Dengan kata lain tujuan akhir pendidikan Muslim terletak pada realitas kepasrahan mutlak kepada Allah pada tingkat individual, masyarakat, dan kemanusian pada umumnya
Berkenaan dengan pendidikan nasional, sepertinya pendapat Ki Hajar Dewantoro, yang disunting oleh Abuddin Nata, sudah bisa mewakili. Ia berpendapat bahwa pendidikan nasional adalah pendidikan yang beralaskan garis hidup dari bangsanya dan ditujukan untuk keperluan prikehidupan yang dapat mengangkat derajat Negara dan rakyatnya agar dapat bekerjasama dengan bangsa lain untuk kemuliaan segenap manusia di muka bumi.[6] 
Lebih lanjut, Ki Hajar menyoroti pendidikan sebagai upaya memelihara hidup tumbuh ke arah kemajuan. Pendidikan menurutnya adalah usaha kebudayaan berasaskan peradapan, yakni memajukan hidup agar mempertinggi derajat kemanusiaan.
Sementara dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945 dijelaskan bahwa tujuan pendidikan adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Dengan demikian maka tujuan pendidikan yang hendak dicapaipun disesuaikan dengan kepentingan bangsa Indonesia, yang sekarang ini tujuan pendidikan tersebut dirumuskan dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU sisdiknas). Dalam salah satu bab diterangkan Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlaq mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
2.2.  Gambaran Sistem Pendidikan Agama Islam di Indonesia
Ketika kita membicarakan sistem pendidikan agama islam di Indonesia, maka kita tidak bisa lepas dari sejarah perkembangan islam di Indonesia itu sendiri.
Pada awal perkembangan islam di Indonesia, pendidikan agama diberikan dalam bentuk informal. Para pembawa islam, yaitu saudagar dari Gujarat, menyiarkan dan memberi pendidikan agama melalui orang-orang yang membeli dagangannya. Pendidikan yang diberikan lebih mengutama melalui contoh teladan. Mereka berlaku sopan santun, ramah tamah, tulus ihlas, amanah, jujur, adil serta pemurah. Dengan demikian, banyak masyarakat yang tertarik dan mengikutinya.
Setelah tersebarnya islam melalui pendidikan informal ini, pendidikan islam sudah mulai mencari lahan khusus sebagai tempat pendidikan. Surau, langgar atau mushalla dan masjid adalah tempat memberikan pengajaran diluar pendidikan keluarga. Tujuan para pendidik hanya untuk bisa memberikan ilmunya kepada peserta didik tanpa ada imbalan apapun. Pendidikan diberikan dengan sangat sederhana dan inilah yang menjadi embrio terbentuknya sistem pendidikan pesantren dan pendidikan islam yang formal dalam bentuk madrasah.
Sejalan dengan perkembangan zaman dan pergeseran kekuasaan di Indonesia, pendidikan islam juga mengalami perubahan. Pendidikan islam mulai bersentuhan dengan sistem pendidikan formal yang lebih sistematis dan teratur. Tentunya perubahan ini juga berpengaruh terhadap arah tujuan pendidikan islam itu sendiri, yang sebelumnya hanya mengkaji ilmu-ilmu pokok agama meningkat meningkat kepada kajian ilmu yang lain.
Usaha pembaharuan pendidikan islam dapat kita lihat dengan bergesernya pendidikan surau, langgar, masjid, mushalla kepada pendidikan madrasah, pondok pesantren atau lembaga-lembaga yang berdasarkan keagamaan. Dalam pendidikan ini, sistem klasikal mulai diterapkan. Bangku, meja dan papan tulis mulai digunakan dalam melaksanakan pendidikan dan pengajaran agama islam.
Madrasah Adabiyah di Padang merupakan contoh evolusi pendidikan islam, dari tradisional ke modern. Madrasah Adabiyah, didirikan oleh Syaikh Abdullah Ahmad pada 1909, merupakan pendidikan islam pertama kali di Indonesia yang menerapkan sistem klasikal lengkap dengan sarana dan prasarananya. Selain ilmu agama, Al-qur’an sebagai pelajaran wajib, juga diajarkan pengetahuan umum.[7]
Dalam perkembangannya madrasah terbagi atas madrasah diniyah, khusus mengajarkan ilmu agama, dan madrasah umum yang juga memasukkan ilmu umum di samping ilmu agama. Untuk tingkat dasar disebut madrasah ibtida’iyyah, tingkat menengah disebut madrasah tsanawiyyah, dan tingkat menengah atas disebut madrasah aliyah.
Seiring dengan meningkatnya kebutuhan pendidikan dan pengajaran agama islam, maka muncul pula lembaga pendidikan formal yang berdasarkan keagamaan seperti SD Islam, SMP Islam, SMA Islam dan bahkan pendidikan agama juga telah masuk dalam kurikulum pendidikan umum negeri.
2.3. Posisi Pendidikan Agama dalam Sistem Pendidikan Nasional
Undang-undang sistem pendidikan nasional no.20 tahun 2003 bab I tentang ketentuan umum menyebutkan, bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.
Sedangkan pendidikan nasional dalam undang-undang tersebut diartikan sebagai pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman. Sementara sistem pendidikan nasional adalah keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.
Yang dimaksud dengan tujuan pendidikan nasional dalam sisdiknas adalah berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab.[8]
Dari pengertian pendidikan, pendidikan nasional, sistem pendidikan nasional dan tujuan pendidikan nasional, sangat kental nuansa nilai-nilai agamanya. Pada beberapa bab lainnya juga sangat tampak bahwa kata agama dan nilai-nilai agama kerap mengikutinya. Misalnya, dalam bab III tentang prinsip penyelenggaraan pendidikan disebutkan bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa. Begitupula dalam bab IX tentang kurikulum, bahwa dalam penyusunannya diantaranya harus memperhatikan peningkatan iman dan takwa serta peningkatan ahlak mulia.
Dari rumusan diatas menunjukkan bahwa agama menduduki posisi yang sangat penting dan tidak dapat dipisahkan dalam membangun manusia Indonesia seutuhnya. Hal yang wajar jika pendidikan nasional berlandaskan pada nilai-nilai agama, sebab bangsa Indonesia merupakan bangsa yang beragama. Agama bagi bangsa Indonesia adalah modal dasar yang menjadi penggerak dalam kehidupan berbangsa. Agama mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia, hubungan manusia dengan alam dan hubungan manusia dengan diri sendiri. Dengan demikian terjadilah keserasian dan keseimbangan dalam hidup manusia baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat.
Jika hal tersebut dipahami, diyakini dan diamalkan oleh manusia Indonesia dan menjadi dasar kepribadian, maka manusia Indonesia akan menjadi manusia yang paripurna atau insan kamil. Dengan dasar inilah agama menjadi bagian terpenting dari pendidikan nasional yang berkenaan dengan aspek pembinaan sikap, moral, kepribadian dan nilai-nilai ahlakul karimah.
Sejalan dengan hal tersebut, Prof. Mastuhu mengungkapkan bahwa pendidikan islam di Indonesia harus benar-benar mampu menempatkan dirinya sebagai suplemen dan komplemen bagi pendidikan nasional, sehingga sistem pendidikan nasional mampu membawa cita-cita nasional, yakni bangsa Indonesia yang modern dengan tetap berwajah iman dan takwa.[9] 
Tidak jauh beda dengan pendapat Mastuhu, guru besar Ilmu Pendidikan Islam  Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, DR. Ahmadi yang dikutip oleh Endin Surya Solehudin, menyebutkan bahwa implikasi dari pemaknaan pendidikan Islam adalah reposisi pendidikan Islam dalam sistem pendidikan nasional. Mengenai reposisi pendidikan islam dalam pendidikan nasional, Ahmadi mengemukakan tiga alasan, pertama,  nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila sebagai dasar pendidikan tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam (Tauhid); kedua, pandangan terhadap manusia sebagai makhluk jasmani-rohani yang berpotensi untuk menjadi manusia bermartabat (makhluk paling mulia); ketiga, pendidikan bertujuan untuk mengembangkan potensi (fitrah dan sumber daya manusia) menjadi manusia beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur (akhlak mulia), dan memiliki kemampuan untuk memikul tanggung jawab sebagai individu dan anggota masyarakat.[10]
Perbedaan antara keduanya hanya terletak pada posisi konsep. Ditinjau dari tataran universalitas konsep Pendidikan Islam lebih universal karena tidak dibatasi negara dan bangsa, tetapi ditinjau dari posisinya dalam konteks nasional, konsep pendidikan Islam menjadi subsistem pendidikan nasional. Karena posisinya sebagai subsistem, kadangkala dalam penyelenggaraan pendidikan hanya diposisikan sebagai suplemen. Mengingat bahwa secara filosofis (ontologis dan aksiologis) pendidikan Islam relevan dan merupakan bagian integral dari sistem pendidikan nasional, bahkan secara sosiologis pendidikan Islam merupakan aset nasional, maka posisi pendidikan Islam sebagai subsistem pendidikan nasional bukan sekadar berfungsi sebagai suplemen, tetapi sebagai komponen substansial. Artinya, pendidikan Islam merupakan komponen yang sangat menentukan perjalanan pendidikan nasional.
Terlepas dari nilai-nilai agama yang menjadi dasar dari pendidikan nasional, pendidikan agama sempat menjadi masalah ketika masuk dalam sistem pendidikan nasional. Persoalan yang diperdebatkan adalah posisi pendidikan agama tertentu dalam lembaga-lembaga pendidikan yang memiliki latar belakang pemihakan pada agama tertentu. Misalnya, pada lembaga pendidikan muslim terdapat siswa yang bukan muslim, mungkinkah bisa diajarkan pendidikan agama lain pada lembaga tersebut dan atau sebaliknya.[11]  
Persoalan ini sempat menyeruak ketika terjadi pengesahan undang-undang sisdiknas no. 20 tahun 2003. Meski demikian, perdebatan yang menimbulkan pro-kontra tersebut dapat terselesaikan dengan cara yang lebih demokratis, realistik dan sesuai dengan kebebasan serta upaya menjunjung tinggi hak asasi manusia.


BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Pendidikan merupakan bimbingan yang dilakukan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani peserta didik menuju terbentuknya kepribadian yang utama.
Pembentukan kepribadian yang utama tentunya tidak terlepas dari peran pendidikan agama. Oleh karena itu pendidikan agama menempati posisi yang penting dalam lingkup sistem pendidikan nasional.
Dalam undang-undang sistem pendidikan nasional tahun 2003 disebutkan bahwa pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlaq mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Tentunya dari tujuan pendidikan nasional tersebut kita dapat simpulkan bahwa pendidikan nasional berkehendak mencipta manusia yang relegius dan nasionalis. Relegius berkorelasi dengan penciptaan kepribadian mulia atau ahlak mulia, sedang nasionalis lebih kepada rasa tanggung jawab sebagai putra bangsa.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa sistem pendidikan nasional sejalan dengan pendidikan islam bahkan merupakan bagian integral dari sistem pendidikan nasional.


3.2. Saran
Penulis sangat yakin jika makalah ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu masukan yang membangun dari semua pihak sangat diperlukan untuk menyempurnakannya.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah Idi dan Toto Suharto, Revitalisasi Pendidikan Islam, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006.
Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, Ciputat: PT. Logos Wacana Ilmu, 2001.
___________, Tokoh-tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo,2004.
Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: Al-Ma’arif, 1996.

Soeganda Purbakawatja, Pendidikan dalam Alam Indonesia Merdeka, Jakarta: Gunung Agung, 1970.
Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas.
Zakiah daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2000.



[1] Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: Al-Ma’arif, 1996, hlm.166.
[2] Soeganda Purbakawatja, Pendidikan dalam Alam Indonesia Merdeka, Jakarta: Gunung Agung, 1970, hlm. 11.
[3] Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, Ciputat: PT. Logos Wacana Ilmu, 2001. hlm. 10.
[4] Zakiah daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2000, hlm. 28.
[5] Abdullah Idi dan Toto Suharto, Revitalisasi Pendidikan Islam, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006, hlm. 47
[6] Abuddin Nata, Tokoh-tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2004. hlm.130.
[7] Ibid.,hlm. 19.
[8] Undang-undang sisdiknas tahun 2003 bab II pasal 2 tentang dasar fungsi dan tujuan.
[9] Abudin Nata. Tokoh-tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia..hlm.291.
[11] Undang-undang Sisdiknas  tahun 2003 pasal 12 ayat 1a tentang peserta didik, “Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar