PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Istilah kurikulum (curriculum) berasal dari kata curir (pelari) dan
curere (tempat berpacu), dan pada awalnya digunakan dalam dunia
olahraga. Pada saat itu kurikulum diartikan sebagai jarak yang harus
ditempuh oleh seorang pelari mulai dari start sampai finish untuk
memperoleh medali/penghargaan. Kemudian, pengertian tersebut diterapkan
dalam dunia pendidikan menjadi sejumlah mata pelajaran (subject) yang
harus ditempuh oleh seorang siswa dari awal sampai akhir program
pelajaran untuk memperoleh penghargaan dalam bentuk ijazah.
Berbicara tentang sejarah perjalanan kurikulum pendidikan di Indonesia,
maka hal itu tidak terlepas dari sejarah perkembangan pendidikan bangsa
Indonesia itu sendiri. Sejak zaman kolonialisme, bangsa Indonesia sudah
mengenal sekolah, yang tentu saja juga ada kurikulum. Setiap generasi
memiliki sejarah kurikulum yang berbeda antara satu dengan yang lain.
Kurikulum pendidikan di Indonesia senantiasa berubah sesuai dengan
zamannya. Bahkan tak jarang juga terdapat keterkaitan dengan unsur-unsur
politis yang mengiringinya. Dalam pengertian bahwa kurikulum di
Indonesia kerapkali mengikuti kehendak pemimpin yang berkuasa ketika
itu. Ketika masa kolonialisme, maka kurikulum yang berkembang
disesuaikan dengan tujuan melanggengkan imprialisme. Begitupula dengan
beberapa masa setelahnya.
Dalam perjalanan sejarah sejak Indonesia merdeka atau tahun 1945,
kurikulum pendidikan nasional telah mengalami perubahan, yaitu pada
tahun 1947, 1952, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994, 2004, dan 2006, ( bahkan
rencananya akan kembali terjadi perubahan kurikulum di 2013 ini ).
Perubahan tersebut merupakan konsekuensi logis dari terjadinya perubahan
sistem politik, sosial budaya, ekonomi, dan iptek dalam masyarakat
berbangsa dan bernegara. Sebab, kurikulum sebagai seperangkat rencana
pendidikan perlu dikembangkan secara dinamis sesuai dengan tuntutan dan
perubahan yang terjadi di masyarakat.
Atas dasar inilah penulis akan membuat makalah sederhana yang mengupas
tentang perkembangan sejarah kurikulum di Indonesia dari sebelum
kemerdekaan hingga orde reformasi saat ini.
1.2.Rumusan Masalah
Bagaimanakah perkembangan kurikulum prakemerdekaan?
Bagaimana perkembangan kurikulum orde lama?
Bagaimana perkembangan kurikulum orde baru?
Bagaimana perkembangan kurikulum orde reformasi?
1.3.Tujuan Makalah
1. Untuk mengetahui perkembangan kurikulum prakemerdekaan
2. Untuk mengetahui perkembangan kurikulum orde lama
3. Untuk mengetahui perkembangan kurikulum orde baru
4. Untuk mengetahui perkembangan kurikulum orde reformasi
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Kurikulum Pendidikan Pra Kemerdekaan
Pendidikan pada prakemerdekaan dipengaruhi oleh kolonialisme. Hasilnya
bangsa ini dididik untuk mengabdi kepada penjajah. Karena, pada saat
penjajahan semua bentuk pendidikan dipusatkan untuk membantu dan
mendukung kepentingan penjajah. Pada mulanya, mereka tidak pernah
terpikirkan untuk memperhatikan pendidikan namun murni hanya mencari
rempah-rempah. Meski demikian, bangsa Eropa ini juga memiliki misi
penyebaran agama. Karena itu pada abad ke-16 dan 17, mereka mendirikan
lembaga pendidikan dalam upaya penyebaran agama Kristen di Nusantara.
Pendidikan tersebut tidak hanya diperuntukkan bagi mereka tapi juga
penduduk pribumi yang beragama Kristen.
Selanjutnya, pihak penjajah yang merasakan perlu adanya pegawai rendahan
yang dapat membaca dan menulis guna membantu pengembangan usaha,
khususnya tanam paksa, maka dibentuklah lembaga-lembaga pendidikan.
Namun kelas ini masih hanya diperuntukkan untuk kalangan terbatas, yaitu
anak-anak priyai. Konsep ideal pendidikan kolonialis adalah pendidikan
yang mampu mencetak para pekerja yang dapat dipekerjakan oleh penjajah
pula. Tujuan pendidikan kolonial tidak terarah pada pembentukan dan
pendidikan orang muda untuk mengabdi pada bangsa dan tanah airnya
sendiri, akan tetapi dipakai untuk menanamkan nilai-nilai dan
norma-norma masyarakat penjajah agar dapat ditransfer oleh penduduk
pribumi dan menggiring penduduk pribumi menjadi budak dari pemerintahan
kolonial. Pendidikan model bentukan Belanda pada masa ini terdapat dua
macam. Pertama, Sekolah Kelas Dua untuk anak pribumi dengan lama
pendidikan 3 tahun. Sementara kurikulum yang diajarkan meliputi
berhitung, menulis dan membaca. Kedua, Sekolah Kelas Satu yang
diperuntukkan untuk anak pegawai pemerintah Hindia Belanda. Lama
pendidikan ini awalnya 4 tahun, kemudian 5 tahun dan terakhir 7 tahun.
Kurikulum yang diajarkan meliputi ilmu bumi, sejarah, ilmu hayat/
menggambar dan ilmu mengukur tanah. Sementara bahasa pengantarnya
menggunakan Bahasa Melayu dan Bahasa Belanda.
Diberlakukannya politik etis pada awal-awal abad ke-20 berpengaruh pula
terhadap perkembangan pendidikan di Indonesia. Pada masa ini, di Jawa
khususnya, Sekolah Kelas Dua yang mulanya hanya 3 tahun berubah menjadi 5
tahun. Kemudian pada tahun 1914 didirikan sekolah sambungan yang
lamanya 2 tahun.
Pada prinsipnya Undang-Undang Hindia Belanda membagi jenis penduduk
menjadi 3 golongan, yaitu Eropa, Timur Asing, dan Bumiputera.
Klasifikasi ini berpengaruh pula terhadap sistem pendidikan ketika itu,
yaitu:
1. ELS (Europe Lagere School) yaitu sekolah untuk anak-anak Eropa,
Tionghoa, dan Indonesia yang menurut undang-undang disamakan haknya
dengan bangsa Eropa.
2. HCS (Holand Chinese School) yaitu sekolah untuk golongan Tionghoa.
3. HIS (Holand Inlandse School) yaitu sekolah untuk rakyat pribumi atau bumiputra golongan atas.
Ini merupakan gambaran pendidikan rendah di Indonesia masa Belanda yang berlangsung sampai dengan tahun 1942.
Sementara untuk kelas menengah didirikan Gymnasium yang terbatas
siswanya hanya orang-orang Barat atau golongan ningrat. Masa belajar
pendidikan ini berlangsung selama 3 tahun. Pendidikan ini bertujuan
untuk menciptakan pegawai-pegawai menengah dan tingkat tinggi. Sedang
mata pelajaran yang diajarkan meliputi Bahasa Belanda, bahasa Inggris,
Ilmu Hitung, Aljabar, ilmu ukur, ilmu alam atau kimia, ilmu hayat, ilmu
bumi, sejarah dan tatabuku. Perkembangan selanjutnya, Gymnasium berubah
menjadi OSVIA dan HBS. OSVIA sebagian diperuntukkan golongan ningrat
bumiputera, sedang HBS (Hogore Burgere School) untuk orang Belanda dari
golongan tinggi. Dari model pendidikan ini kemudian menjelma menjadi
MULO (Meer Uifgebried Order Wijs) yang lama pendidikannya ditambahkan 1
tahun dengan dasar bahwa anak-anak pribumi dianggap kesulitan memahami
pelajaran. Bahasa pengantar yang digunakan adalah bahasa Melayu.
Sementara untuk tingkatan atas, Belanda mendirikan AMS (Algemene
Midelbare School). Sekolah ini didirikan pada 1919, sebagai lanjutan
dari sekolah lanjutan pertama atau MULO. Lama pendidikan ini berlangsung
selama 3 tahun yang terbagi pada bagian A dan bagian B. Bagian A
spesifikasinya adalah ilmu kebudayaan yaitu kesusatraan timur dan
kesusatraan klasik barat. Kesusastraan timur meliputi bahasa Jawa,
Melayu, Sejarah Indonesia dan ilmu bangsa-bangsa. Sedang kesusatraan
klasik barat lebih kepada bahasa latin. Sedang bagian B spesifikasi
pelajarannya adalah Ilmu Pengetahuan Kealaman yang meliputi ilmu pasti
dan ilmu alam.
Sementara ketika kependudukan beralih dari Belanda ke Jepang, maka
pendidikan yang berbau Belanda disingkirkan dengan diganti pendidikan
berciri khas Jepang dan sesuai dengan tujuan mereka. Pada pendidikan
tingkat rendahan Jepang menggantinya dengan sebutan Kokumin Gako dengan
lama pendidikan 6 tahun. Kurikulum pendidikan ini lebih menitik beratkan
pada olahraga kemiliteran yang memang bertujuan untuk membantu
pertahanan Jepang. Anak-anak masa ini diajarkan untuk mengumpulkan
kerikil dan pasir untuk pertahanan, serta menanam pohon jarak untuk
membuat minyak sebagai kepentingan perang. Namun masa ini, bahasa
pengantar yang digunakan adalah bahasa Indonesia. Dengan demikian
penggunaan bahasa Indonesia hampir merata di semua sekolah. Materi yang
dipelajari sebenarnya tidak jauh beda dengan masa pendudukan Belanda,
namun hanya saja yang awalnya semua hal yang berbau Belanda tergantikan
dengan model-model Jepang.
2.2. Kurikulum Pendidikan Masa Orde Lama
Sebagaimana yang disebutkan pada pendahuluan, bahwa kurikulum pendidikan
nasional telah beberapa kali mengalami perubahan. Perubahan kurikulum
disesuaikan dengan tujuan yang ingin dicapai oleh para penguasa. Tentu
saja ada beberapa hal yang memang tujuannya disesuaikan dengan tuntutan
kondisi zaman.
Jika kita berbicara tentang kurikulum, maka sudah sepatutnya kita
membicarakan seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi,
dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman
penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan
tertentu. Kurikulum pada era Orde Lama dibagi manjadi 2 kurikulum di
antaranya:
1) Kurikulum 1947
Kurikulum pertama yang lahir pada masa kemerdekaan memakai istilah dalam
bahasa Belanda “leer plan”artinya rencana pelajaran. Perubahan arah
pendidikan lebih bersifat politis, dari orientasi pendidikan Belanda ke
kepentingan nasional. Sedangkan, asas pendidikan ditetapkan Pancasila.
Kurikulum yang berjalan saat itu dikenal dengan sebutan “Rencana
Pelajaran 1947”, yang baru dilaksanakan pada tahun 1950. Orientasi
Rencana Pelajaran 1947 tidak menekankan pada pendidikan pikiran. Yang
diutamakan adalah: pendidikan watak, kesadaran bernegara dan
bermasyarakat.
Pada masa tersebut siswa lebih diarahkan bagaimana cara bersosialisasi
dengan masyarakat. Proses pendidikan sangat kental dengan kehidupan
sehari-hari. Aspek afektif dan psikomotorik lebih ditekankan dengan
pengadaan pelajaran kesenian dan pendidikan jasmani. Oleh karena itu,
yang lebih penting adalah bagaimana menumbuhkan kesadaran bela negara.
Kemungkinan model ini masih terkontamninasi dengan model pendidikan yang
diterapkan oleh Jepang sebelumnya.
2) Kurikulum 1952-1964
Kurikulum ini lebih merinci setiap mata pelajaran yang disebut “Rencana
Pelajaran Terurai 1952”. Silabus mata pelajarannya jelas sekali, dan
seorang guru mengajar satu mata pelajaran. Pada masa ini memang
kebutuhan peserta didik akan ilmu pengetahuan lebih diperhatikan, dan
satuan mata pelajaran lebih dirincikan. Namun, dalam kurikulum ini siswa
masih diposisikan sebagai objek karena guru menjadi subjek sentral
dalam pentransferan ilmu pengetahuan. Guru yang menentukan apa saja yang
akan diperoleh siswa di kelas, dan guru pula yang menentukan
standar-standar keberhasilan siswa dalam proses pendidikan.
Sistem pendidikan masa ini dikenal dengan Sistem Panca Wardana atau
sistem lima aspek perkembangan yaitu perkembangan moral, perkembangan
intelegensia, perkembangan emosional/artistik, perkembangan keprigelan
dan perkembangan jasmaniah. Sistem panca wardana ini dapat diuraikan
menjadi beberapa mata pelajaran.
1. Perkembangan moral; pendidikan kemasyarakatan dan pendidikan agama/budi pekerti.
2. Perkembangan intelegensia; bahasa Indonesia, bahasa daerah, berhitung dan pengetahuan alamiah.
3. Perkembangan emosional/artistik; seni sastra/musik, seni lukis/rupa, seni tari, seni drama.
4. Perkembangan keprigelan; pertanian/peternakan, industry
kecil/pekerjaan tangan, koperasi/tabungan dan keprigelan-keprigelan
lain.
5. Perkembangan jasmaniah; pendidikan jasmaniah dan pendidikan kesehatan.
Fokus kurikulum 1964 ini lebih menekankan pada pengetahuan dan kegiatan
fungsional praktis. Pada kurikulum 1964 ini, arah pendidikan mulai
merambah lingkup praksis. Dalam pengertian bahwa setiap pelajaran yang
diajarkan disekolah dapat berkorelasi positif dengan fungsional praksis
siswa dalam masyarakat. Kurikulum masa ini dapat pula dikategorikan
sebagai Correlated Curriculum.
2. 3. Kurikulum Pendidikan Masa Orde Baru
1) Kurikulum 1968
Kurikulum 1968 merupakan tonggak awal pendidikan masa orde baru.
Kelahiran Kurikulum 1968 bersifat politis, mengganti Rencana Pendidikan
1964 yang dicitrakan sebagai produk Orde Lama. Dengan suatu pertimbangan
untuk tujuan pada pembentukan manusia Pancasila sejati.
Dasar pendidikan masa ini adalah Falsafah Negara Pancasila sesuai dengan
Ketetapan MPRS No. XXVI/MPRS/1966. Sedang Tujuan pendidikan nasional
adalah membentuk manusia pancasila sejati berdasarkan ketentuan
ketentuan seperti yang dikehendaki oleh pembukaan Undang-Undang Dasar
1945 dan isi Undang-Undang Dasar 1945 ( Tap. MPRS No. XXVII/MPRS/1966).
Sementara isi pendidikan nasionalnya adalah; memperingati mental budi
pekerti dan memperkuat keyakinan agama, mempertinggi kecerdasan dan
keterampilan, membina dan mempertimbangkan fisik yang kuat dan sehat (
Tap. MPRS No. XXVII/MPRS/1966).
Kurikulum pada tingkatan SD 1968 dibagi menjadi tiga kelompok besar.
Pertama, kelompok pembinaan Pancasila; pendidikan agama, pendidikan
kwarganegaraan, pendidikan bahasa Indonesia, bahasa daerah dan olahraga.
Kedua, Kelompok pembinaan pengetahuan dasar; berhitung, ilmu
pengetahuan alam, pendidikan kesenian, pendidikan kesejahteraan keluarga
(termasuk ilmu kesehatan). Ketiga, Kelompok kecakapan khusus; kejuruan
agragia (pertanian, peternakan, perikanan), kejuruan teknik (pekerjaan
tangan/perbekalan), kejuruan ketatalaksanaan/jasa (koperasi, tabungan).
Pada masa ini siswa hanya berperan sebagai pribadi yang masif, dengan
hanya menghapal teori-teori yang ada, tanpa ada pengaplikasian dari
teori tersebut. Aspek afektif dan psikomotorik tidak ditonjolkan pada
kurikulum ini. Praktis, kurikulum ini hanya menekankan pembentukkan
peserta didik hanya dari segi intelektualnya saja.
2) Kurikulum 1975
Kurikulum 1975 menekankan pada tujuan, agar pendidikan lebih efektif dan
efisien berdasar MBO (management by objective). Metode, materi, dan
tujuan pengajaran dirinci dalam Prosedur Pengembangan Sistem
Instruksional (PPSI), yang dikenal dengan istilah “satuan pelajaran”,
yaitu rencana pelajaran setiap satuan bahasan. Setiap satuan pelajaran
dirinci menjadi : tujuan instruksional umum (TIU), tujuan instruksional
khusus (TIK), materi pelajaran, alat pelajaran, kegiatan
belajar-mengajar, dan evaluasi.
Pada kurikulum ini peran guru menjadi lebih penting, karena setiap guru
wajib untuk membuat rincian tujuan yang ingin dicapai selama proses
belajar-mengajar berlangsung. Tiap guru harus detail dalam perencanaan
pelaksanaan program belajar mengajar. Setiap tatap muka telah diatur dan
dijadwalkan sedari awal. Dengan kurikulum ini semua proses belajar
mengajar menjadi sistematis dan bertahap.
Dasar pendidikan masa ini adalah KTPD, MPR-RI No. IV/MPR/1973, yaitu;
pendidikan nasional berdasarkan atas Pancasila dan bertujuan untuk
meningkatkan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, kecerdasan,
keterampilan, mempertinggi budi pekerti, memperkuat kepribadian dan
mempertebal semangat kebangsaan agar menumbuhkan manusia-manusia
pembangunan yang dapat membangun diri sendiri dan bersama-sama
bertanggung jawab atas pembangunan bangsa.
Sementara tujuan pendidikan dan pengajaran terbagi pada tujuan
pendidikan umum, tujuan institusional, tujuan kurikuler, tujuan
instruksional umum dan tujuan instruksional khusus.
3) Kurikulum 1984
Kurikulum 1984 mengusung “process skill approach”. Proses menjadi lebih
penting dalam pelaksanaan pendidikan. Peran siswa dalam kurikulum ini
menjadi mengamati sesuatu, mengelompokkan, mendiskusikan, hingga
melaporkan. Model ini disebut Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) atau
Student Active Leaming (SAL). CBSA memposisikan guru sebagai
fasilitator, sehingga bentuk kegiatan ceramah tidak lagi ditemukan dalam
kurikulum ini. Pada kurikulum ini siswa diposisikan sebagai subjek
dalam proses belajar mengajar. Siswa juga diperankan dalam pembentukkan
suatu pengetahuan dengan diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapat,
bertanya, dan mendiskusikan sesuatu. Sementara dasar dan tujuan
pendidikan sama dengan kurikulum 1975
4) Kurikulum 1994
Kurikulum 1994 merupakan hasil upaya untuk memadukan kurikulum-kurikulum
sebelumnya, terutama kurikulum 1975 dan 1984. Dalam ranah pendidikan
dasar, isi kurikulum sekurang-kurangnya wajib memuat bahan kajian dan
pelajaran: pendidikan pancasila, pendidikan agama, pendidikan
kewarganegaraan, bahasa Indonesia, membaca dan menulis, matematika,
pengantar sains dan teknologi, ilmu bumi, sejarah nasional dan sejarah
umum, kerajinan tangan dan kesenian, pendidikan jasmani dan kesehatan,
menggambar, bahasa Inggris.(PP. No. 28 tahun 1990. Pasal 14:2).
Sementara materi muatan lokal disesuaikan dengan kebutuhan daerah
masing-masing, misalnya bahasa daerah kesenian, keterampilan daerah, dan
lain-lain.
Dalam kurikulum pendidikan kelas dasar (SD/MI/SMP/MTS) ini, pengantar
Sains dan Tekhnologi menempati peran penting untuk dipelajari anak didik
meskipun tidak mengabaikan aspek yang lain. Hal ini dimungkinkan
sebagai upaya mempersiapkan anak didik memasuki era industrialisasi abad
ke-21 dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat Indonesia.
Sementara berkaitan dengan isi kurikulum tingkat pendidikan menengah,
maka setidaknya wajib memuat tiga aspek kajian dan pelajaran yaitu;
Pendidikan Pancasila, Pendidikan Agama, Pendidikan Kewarganegaraan.
Disamping itu, kurikulum sekolah menengah dapat menjabarkan dan
menambahkan mata pelajaran sesuai dengan keadaan lingkungan dan ciri
khas sekolah menengah yang bersangkutan dengan tidak mengurangi
kurikulum yang berlaku secara nasional (Pasal 15:5)
Atas dasar inilah berbagai kepentingan kelompok-kelompok masyarakat
mendesak agar isu-isu tertentu masuk dalam kurikulum. Akhirnya,
Kurikulum 1994 menjelma menjadi kurikulum super padat. Siswa dihadapkan
dengan banyaknya beban belajar yang harus mereka tuntaskan, dan mereka
tidak memiliki pilihan untuk menerima atau tidak terhadap banyaknya
beban belajar yang harus mereka hadapi.
Terdapat ciri-ciri yang menonjol dari pemberlakuan kurikulum 1994, di antaranya sebagai berikut:
Pembagian tahapan pelajaran di sekolah dengan sistem catur wulan.
Pembelajaran di sekolah lebih menekankan materi pelajaran yang cukup padat (berorientasi kepada materi pelajaran/isi).
Kurikulum 1994 bersifat populis, yaitu yang memberlakukan satu sistem
kurikulum untuk semua siswa di seluruh Indonesia. Kurikulum ini bersifat
kurikulum inti sehingga daerah yang khusus dapat mengembangkan
pengajaran sendiri disesuaikan dengan lingkungan dan kebutuhan
masyarakat sekitar.
Pengajaran dari hal yang konkrit ke hal yang abstrak, dari hal yang
mudah ke hal yang sulit dan dari hal yang sederhana ke hal yang
kompleks.
Pengulangan-pengulangan materi yang dianggap sulit perlu dilakukan untuk
pemantapan pemahaman.Selama dilaksanakannya kurikulum 1994 muncul
beberapa permasalahan, terutama sebagai akibat dari kecenderungan kepada
pendekatan penguasaan materi (content oriented), di antaranya sebagai
berikut:
Beban belajar siswa terlalu berat karena banyaknya mata pelajaran dan banyaknya materi/ substansi setiap mata pelajaran.
Materi pelajaran dianggap terlalu sukar karena kurang relevan dengan
tingkat perkembangan berpikir siswa, dan kurang bermakna karena kurang
terkait dengan aplikasi kehidupan sehari-hari.
2.4. Pendidikan pada Masa Reformasi
Era reformasi telah memberikan ruang yang cukup besar bagi perumusan
kebijakan-kebijakan pendidikan baru yang bersifat reformatif dan
revolusioner. Bentuk kurikulum menjadi berbasis kompetensi. Begitu pula
bentuk pelaksanaan pendidikan berubah dari sentralistik (orde lama)
menjadi desentralistik. Pada masa ini pemerintah menjalankan amanat UUD
1945 dengan memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20%
dari anggaran pendapatan belanja negara. Dengan didasarkan oleh UU No.
22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah, yang diperkuat dengan UU No.
25 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah, maka
pendidikan digiring pada pengembangan lokalitas, di mana keberagaman
sangat diperhatikan. Masyarakat dapat berperan aktif dalam pelaksanaan
satuan pendidikan.
Pendidikan di era reformasi 1999 mengubah wajah sistem pendidikan
Indonesia melalui UU No 22 tahun 1999, dengan ini pendidikan menjadi
sektor pembangunan yang didesentralisasikan. Pemerintah memperkenalkan
model “Manajemen Berbasis Sekolah”. Sementara untuk mengimbangi
kebutuhan akan sumber daya manusia yang berkualitas, maka dibuat sistem
“Kurikulum Berbasis Kompetensi” atau yang kerap disebut kurikulum KBK.
Memasuki tahun 2003 pemerintah membuat UU No.20 tahun 2003 tentang
sistem pendidikan nasional menggantikan UU No 2 tahun 1989, dan sejak
saat itu pendidikan dipahami sebagai: “usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik
secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak
mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa
dan Negara.”.
1) Kurikulum Berbasis Kompetensi (2004)
Pada pelaksanaan kurikulum ini, posisi siswa kembali ditempatkan sebagai
subjek dalam proses pendidikan dengan terbukanya ruang diskusi untuk
memperoleh suatu pengetahuan. Siswa justru dituntut untuk aktif dalam
memperoleh informasi. Peran guru diposisikan kembali sebagai fasilitator
dalam perolehan suatu informasi. KBK berupaya untuk menekankan pada
ketercapaian kompetensi siswa baik secara individual maupun klasikal,
berorientasi pada hasil belajar (learning outcomes) dan keberagaman.
Kegiatan pembelajaran menggunakan pendekatan dan metode yang bervariasi,
sumber belajar bukan hanya guru, tetapi juga sumber belajar lainnya
yang memenuhi unsur edukatif. Hal ini mutlak diperlukan mengingat KBK
juga memiliki visi untuk memperhatikan aspek afektif dan psikomotorik
siswa sebagai subjek pendidikan.
KBK merupakan seperangkat rencana dan pengaturan tentang kompetensi dan
hasil belajar yang harus dicapai siswa, penilaian, kegiatan belajar
mengajar, dan pemberdayaan sumber daya pendidikan dalam pengembangan
kurikulum sekolah (Depdiknas, 2002). Kurikulum ini menitik beratkan pada
pengembangan kemampuan melakukan (kompetensi) tugas-tugas dengan
standar performasi tertentu, sehingga hasilnya dapat dirasakan oleh
peserta didik, berupa penguasaan terhadap serangkat kompetensi tertentu.
KBK diarahkan untuk mengembangkan pengetahuan, pemahaman, kemampuan,
nilai, sikap dan minat peserta didik, agar dapat melakukan sesuatu dalam
bentuk kemahiran, ketepatan dan keberhasilan dengan penuh
tanggungjawab.
Diantara karakteristik utama KBK, yaitu:
1. Menekankan pencapaian kompetensi siswa, bukan tuntasnya materi.
2. Kurikulum dapat diperluas, diperdalam, dan disesuaikan dengan potensi siswa (normal, sedang, dan tinggi).
3. Berpusat pada siswa.
4. Orientasi pada proses dan hasil.
5. Pendekatan dan metode yang digunakan beragam dan bersifat kontekstual.
6. Guru bukan satu-satunya sumber ilmu pengetahuan.
7. Buku pelajaran bukan satu-satunya sumber belajar.
8. Belajar sepanjang hayat;
9. Belajar mengetahui (learning how to know),
10. Belajar melakukan (learning how to do),
11. Belajar menjadi diri sendiri (learning how to be),
12. Belajar hidup dalam keberagaman (learning how to live together).
Meski demikian, kurikulum 2004 merupakan kurikulum eksperimen yang
diterapkan secara terbatas di beberapa sekolah/madrasah. Ketentuan ini
belum mendapatkan payung hukum dari peraturan pemerintah. Namun
demikian, pemerintah tetap menghargai terhadap sekolah/madrasah yang
menerapkan kurikulum KBK tersebut. Setidaknya ini tercermin dari
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI No. 20/2005 tentang ujian
nasional tahun ajaran 2005/2006 yang menyatakan bahwa bahan ujian
nasional disusun berdasarkan kurikulum 1994 atau standar kompetensi
lulusan kurikulum 2004.
2) Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006
Secara umum KTSP tidak jauh berbeda dengan KBK namun perbedaan yang
menonjol terletak pada kewenangan dalam penyusunannya, yaitu mengacu
pada desentralisasi sistem pendidikan. Pemerintah pusat menetapkan
standar kompetensi dan kompetensi dasar, sedangkan sekolah dituntut
untuk mampu mengembangkan dalam bentuk silabus dan penilaiannya sesuai
dengan kondisi sekolah dan daerahnya.
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) merupakan kurikulum
operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di masing-masing satuan
pendidikan (sekolah/madrasah). Sedangkan pemerintah pusat hanya memberi
rambu-rambu yang perlu dirujuk dalam pengembangan kurikulum. Jadi pada
kurikulum ini sekolah sebagai satuan pendidikan berhak untuk menyusun
dan membuat silabus pendidikan sesuai dengan kepentingan siswa dan
kepentingan lingkungan. KTSP lebih mendorong pada lokalitas pendidikan.
Karena KTSP berdasar pada pelaksanaan KBK, maka siswa juga diberikan
kesempatan untuk memperoleh pengetahuan secara terbuka berdasarkan
sistem ataupun silabus yang telah ditetapkan oleh masing-masing sekolah.
Dalam kurikulum ini, unsur pendidikan dikembalikan kepada tempatnya
semula yaitu unsur teoritis dan praksis. Namun, dalam kurikulum ini
unsur praksis lebih ditekankan daripada unsur teoritis. Setiap kebijakan
yang dibuat oleh satuan terkecil pendidikan dalam menentukan metode
pembelajaran dan jenis mata ajar disesuaikan dengan kebutuhan siswa dan
lingkungan sekitar.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Perjalanan kurikulum pendidikan di Indonesia sejalan dengan sejarah
perkembangan bangsa Indonesia itu sendiri. Ketika Indonesia dalam
cengkeraman kolonial, maka kurikulum pendidikan yang dikembangkan adalah
demi kepentingan penjajah itu sendiri, baik penjajahan Belanda maupun
Jepang. Masa kolonialisme yang panjang dan begitu mengakar dalam
kebudayaan Indonesia, disadari ataupun tidak, turut pula memberikan
pengaruh terhadap pola pendidikan Indonesia ketika merdeka meskipun
dalam hal ini nuansanya lebih keindonesiaannya.
Pendidikan di Indonesia juga tidak jarang masuk dalam bidikan politisi.
Ketika orde lama berkuasa, pertentangan ideologi juga menyusupi dalam
kurikulum pendidikan di Indonesia. Sekolah sempat dijadikan wahana
ideologisasi atau proses internalisasi sosial komunis. Begitu pula
ketika orde baru memimpin, maka pelanggengan kekuasaan juga dikoarkan
dalam dunia pendidikan dengan pendidikan Pancasilanya, dan menghilangkan
hal-hal yang berbau orde lama.
Meski demikian, sejarah kurikulum pendidikan nasional senantiasa mencari
formula sesuai dengan perkembangan zaman. Ketika posisi sentralisasi
pendidikan dianggap sudah usang dan kurang relevan dengan otonomi
daerah, maka pendidikan juga turut mengalami desentralisasi dengan
memberikan daerah otonomi sendiri. Bahkan terakhir, pemerintah pusat
memberikan kebijakan kepada masing-masing satuan pendidik untuk
menentukan silabus yang sesuai dengan kondisi peserta didik. Pemerintah
pusat dalam hal ini hanya menentukan standar kompetensi dan kompetensi
dasarnya.
3.2. Saran
Penulis sangat menyadari jika dalam makalah sederhana ini masih banyak
kekurangan. Karena itu, penulis membuka diri untuk menerima kritik yang
membangun guna tersempurnanya makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
http://malikabdulkarim.blogspot.com/2011/05/sejarah-perkembangan-kurikulum.html
http://filsufgaul.wordpress.com/2009/08/30/sejarah-pendidikan-indonesia/http://ebookbrowse.com/sejarah-pendidikan-dari-zaman-kolonial-belanda-sampai-kurikulum-ktsp-pdf-d339796568
Idi, Abdullah. Pengembangan Kurikulum; Teori dan Praktik. Yogyakarta: Arruz Media. 2011
Nata, Abuddin. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.1997.
Foto nya
BalasHapusPerhiasan dunia
trimksh....................
BalasHapus