Senin, 17 Februari 2014

PEMIKIRAN PENDIDIKAN K.H. HASYIM ASY'ARI

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kota kecil yang bernama Jombang tidak henti-hentinya memunculkan sosok tokoh yang sangat berpengaruh di bumi Indonesia Raya. Sebelum era Gus Dur (Abdurrahman Wahid), Cak Nun (Emha Ainun Najib) dan Cak Nur (Nurkhalis Majid), Jombang telah melahirkan tokoh besar yang mampu mewarnai jalannya NKRI. Beliau adalah KH. Hasyim Asy’ari, yang tak lain juga merupakan kakek Gus Dur.
Sosok fenomenal Hasyim Asy’ari kenyang pengalaman menyinggahi pesantren di Jawa sebelum melanjutkan pendidikan ke tanah Arab. Sekembalinya ke Indonesia beliau mendirikan pesantren Tebuireng Jombang yang terkenal dengan ilmu haditsnya. Kedalaman ilmu, dan pemikirannya dalam pendidikan sangat brilian, sampai-sampai para kiai di Jawa memberinya gelar “Hadratus Syekh” yang berarti “Tuan Guru Besar”.
Hasyim Asy’ari termasuk tokoh utama pendiri lembaga sosial keagamaan terbesar di Indonesia yaitu NU ( Nahdlatul Ulama’). Organisasi ini bertujuan mempertahankan ajaran ahlu sunnah wal jamaah serta tradisi Islam. Sementara corak pendidikan Islam yang diselenggarakan oleh lembaga ini pada mulanya bersikap tradisional dengan hanya mengajarkan agama saja dengan bersistem halaqah. Namun seiring dengan perkembangan, lembaga ini juga memasukkan ilmu umum dengan sistem madrasah.
Dalam kancah perjuangan merebut kemerdekaan dari Belanda dan Jepang, lembaga pendidikan yang berada di bawah naungan NU ini turut pula memanggul senjata dengan mengorbankan jiwa dan raga melawan penjajah. Dalam kaitannya dengan perjuangan melawan penjajah ini tergambar jelas dalam rumusan Resolusi Jihad NU 1945[1].  Resolusi inilah yang memicu perlawanan sengit rakyat Surabaya pada pertempuran tiga hari 27, 28, 29 Oktober 1945 yang berujung pada tewasnya Jenderal Mallaby.
Resolusi Jihad ini muncul tidak lepas dari peran KH. Hasyim Asy’ari yang mengomandoi para ulama untuk merumuskan hukum berperang membela negara. Atas jasa tersebut, sudah selayaknya beliau mendapatkan tanda jasa. Namun ia enggan untuk menerimanya karena khawatir perjuangannya itu menggugurkan niat ikhlasnya.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.  Riwayat Hidup K.H.Muhammad Hasyim Asy’ari
Hasyim Asy’ari lahir di desa Gedang Jombang, Jawa Timur. Pada hari Selasa kliwon, tanggal 24 Dzulhijjah 1287 atau bertepatan tanggal 14 Pebruari 1871 M. Nama lengkapnya adalah Muhammad Hasyim ibn Asy’ari ibn Abd. Al Wahid ibn Abd. Al Halim yang mempunyai gelar Pangeran Bona ibn Abd. Al Rahman Ibn Abd. Al Aziz Abd. Al Fatah ibn Maulana Ushak dari Raden Ain al Yaqin yang disebut dengan Sunan Giri.[2] Dipercaya pula bahwa mereka adalah keturunan raja Muslim Jawa, Jaka Tinggir dan raja Hindu Majapahit, Brawijaya VI. Jadi Hasyim Asy’ari juga dipercaya keturunan dari keluarga bangsawan.
Ibunya, Halimah adalah putri dari kiai Ustman, guru Hasyim Asy’ari sewaktu mondok di pesantren. Ayah Hasyim Asy’ari tergolong santri pandai yang mondok di kiai Ustman, hingga akhirnya karena kepandaian dan akhlak luhur yang dimiliki, ia diambil menjadi menantu dan dinikahkan dengan Halimah. Sementara kiai Ustman sendiri adalah kiai terkenal dan juga pendiri pesantren Gedang yang didirikannya pada akhir abad ke-19. Hasyim Asy’ari adalah anak ketiga dari sepuluh bersaudara, yaitu Nafiah, Ahmad Saleh, Radiah, Hassan, Anis, Fatanah, Maimunah, Maksum, Nahrawi, dan Adnan.
Dengan latar belakang yang tidak diragukan lagi dari segi keilmuan agama, masa kecil Hasyim Asy’ari banyak dihabiskan menimba ilmu agama dari orang tuanya sendiri. Setelah itu, ia melalang buana dari satu pesantren ke pesantren yang lain. Terhitung pesantren Shona, Siwalan Buduran, Langitan Tuban, Demangan, Bangkalan, dan Sidoarjo pernah disinggahinya untuk menempa ilmu agama.
Selama mondok di pesantren Sidoarjo inilah, Hasyim Asyari mendapat perhatian lebih dari sang Kyai, Kyai Ya’qub, hingga kemudian dijodohkan dengan putinya Khadijah pada tahun 1892 atau ketika Hasyim Asy’ari berusia 21 tahun.
Selang beberapa waktu kemudian ia beserta isteri dan mertuanya berangkat haji ke Mekkah yang dilanjutkan dengan belajar di sana. Akan tetapi setelah isterinya meninggal karena melahirkan, membuat ia kembali ke tanah air.
Rasa haus yang tinggi akan ilmu pengetahuan membawa Hasyim Asy’ari berangkat lagi ke tanah suci Mekkah tahun berikutnya. Kali ini ia ditemani saudaranya Anis. Dan ia menetap di sana kurang lebih tujuh tahun dan berguru pada sejumlah ulama, di antaranya Syaikh Ahmad Amin al Aththar, Sayyid Sultan ibn Hasyim, Sayyid Abdullah al Zawawi, Syaikh Shaleh Bafadhal dan Syaikh Sultan Hasyim Dagastani.
Setelah mematangkan ilmunya di Mekah, pada tahun 1899/1900 ia kembali ke Indonesia dan mengajar di pesantren ayah dan kakeknya, hingga berlangsung beberapa waktu. Masa berikutnya Hasyim menikah lagi dengan putri kiai Ramli dari Kemuning (Kediri) yang bernama Nafiah, setelah sekian lama menduda. Sejak itulah beliau diminta membantu mengajar di pesantren mertuanya di Kemuning, dan kemudian mendirikan pesantren sendiri di daerah Cukir, pesantren Tebuireng di Jombang, pada tanggal 6 Pebruari 1906. Pesantren yang baru didirikan tersebut tidak berapa lama berkembang menjadi pesantren yang terkenal di Nusantara, dan menjadi tempat menggodok kader-kader ulama wilayah Jawa dan sekitarnya.
Hasyim Asy’ari meninggal pada tanggal 7 Ramadhan 1366 H bertepatan dengan 25 Juli 1947 M di Tebuireng Jombang dalam usia 79 tahun, karena tekanan darah tinggi. Hal ini terjadi setelah beliau mendengar berita dari Jenderal Sudirman dan Bung Tomo bahwa pasukan Belanda di bawah pimpinan Jenderal Spoor telah kembali ke Indonesia dan menang dalam pertempuran di Singosari (Malang) dengan meminta banyak korban dari rakyat biasa. Beliau sangat terkejut dengan peristiwa itu, sehingga terkena serangan stroke yang menyebabkan kematiannya.
2.2.  Karya K.H. Hasyim Asy'ari
Hasyim Asy’ari termasuk sosok ulama yang sangat produktif dalam menulis karyanya. Namun sangat disayangkan bahwa sejumlah karyanya tidak bisa ditemui oleh masyarakat umum secara bebas dan sebagian belum sempat dipublikasikan karena belum tertibnya pengarsipan yang ada pada masa itu serta kurang tertata rapi sistem dokumentasi dan pengarsipan pada lembaga NU.  Setidaknya dibawah ini dapat kita lihat diantara kitab yang disusunnya, antara lain:
1.      Adab al Alim wa al Muta’allim fima Yahtaj ilah al Muta’alim fi Ahuwal Ta’allum wa ma Yataqaff al Mu’allim fi Maqamat Ta’limih. Tatakrama pengajar dan pelajar. Berisi tentang etika bagi para pelajar dan pendidik, merupakan resume dari Adab al-Mu’allim karya Syekh Muhammad bin Sahnun (w.256 H/871 M); Ta’lim al-Muta’allim fi Thariq at-Ta’allum karya Syeikh Burhanuddin al-Zarnuji (w.591 H); dan Tadzkirat al-Saml wa al-Mutakallim fi Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim karya Syeikh Ibn Jama’ah. Memuat 8 bab, diterbitkan oleh Maktabah at-Turats al-Islamy Tebuireng. Di akhir kitab terdapat banyak pengantar dari para ulama, seperti: Syeikh Sa’id bin Muhammad al-Yamani (pengajar di Masjidil Haram, bermadzhab Syafii), Syeikh Abdul Hamid Sinbal Hadidi (guru besar di Masjidil Haram, bermadzhab Hanafi), Syeikh Hasan bin Said al-Yamani (Guru besar Masjidil Haram), dan Syeikh Muhammad ‘Ali bin Sa’id al-Yamani.
2.      Ziyadat Ta’liqat, Radda fiha Mandhumat al Syaikh “Abd Allah bin Yasin al Fasurani Allati Bihujubiha “ala Ahl Jam’iyyah Nahdhatul Ulama. Catatan seputar nadzam Syeikh Abdullah bin Yasin Pasuruan. Berisi polemik antara Kiai Hasyim dan Syeikh Abdullah bin Yasir. Di dalamnya juga terdapat banyak pasal berbahasa Jawa dan merupakan fatwa Kiai Hasyim yang pernah dimuat di Majalah Nahdhatoel Oelama’.
3.      Al Tanbihat al Wajibat liman Yashna al Maulid al Munkarat Peringatan-peringatan wajib bagi penyelenggara kegiatan maulid yang dicampuri dengan kemungkaran. Ditulis berdasarkan kejadian yang pernah dilihat pada malam Senin, 25 Rabi’ al-Awwal 1355 H., saat para santri di salah satu pesantren sedang merayakan Maulid Nabi yang diiringi dengan perbuatan mungkar, seperti bercampurnya laki-laki dan perempuan, permainan yang menyerupai judi, senda gurau, dll. Pada halaman pertama terdapat pengantar dari tim lajnah ulama al-Azhar, Mesir. Selesai ditulis pada 14 Rabi’ at-Tsani 1355 H., terdiri dari 15 bab setebal 63 halaman, dicetak oleh Maktabah at-Turats al-Islamy Tebuireng, cetakan pertama tahun 1415 H.
4.      Al Risalat al Jamiat, Sharh fiha Ahmaal al Mauta wa Asirath al sa’at ma’bayan Mafhum al Sunnah wa al Bid’ah. . Risalah Ahl Sunnah Wal Jama’ah tentang hadis-hadis yang menjelaskan kematian, tanda-tanda hari kiamat, serta menjelaskan sunnah dan bid’ah. Berisi 9 pasal.
5.      Al Nur al Mubin fi Mahabbah Sayyid al Mursalin, bain fihi Ma’na al Mahabbah Libasul Allah wa ma Yata’allaq biha Man Ittiba’iha wa Ihya al Sunnahih. Cahaya yang jelas menerangkan cinta kepada pemimpin para rasul. Berisi dasar kewajiban seorang muslim untuk beriman, mentaati, meneladani, dan mencintai Nabi Muhammad SAW. Tebal 87 halaman, memuat biografi singkat Nabi SAW mulai lahir hingga wafat, dan menjelaskan mu’jizat shalawat, ziarah, wasilah, serta syafaat. Selesai ditulis pada 25 Sya’ban 1346 H., terdiri dari 29 bab.
6.      Hasyiyah ‘ala Fath al Rahman bi Syarth Risalat al Wali Ruslan li Syaikh al Islam Zakaria al Ansyari.
7.      Al Duur al Muntasirah fi Masail al Tiss’I Asyrat, Sharth fiha Masalat al Thariqah wa al Wilayah wa ma Yata’allq bihima min al Umur al Muhimmah li ahl thariqah. Mutiara yang memancar dalam menerangkan 19 masalah. Berisi kajian tentang wali dan thariqah dalam bentuk tanya-jawab sebanyak 19 masalah. Tahun 1970-an kitab ini diterjemahkan oleh Dr. KH. Thalhah Mansoer atas perintah KH. M. Yusuf Hasyim, dierbitkan oleh percetakan Menara Kudus. Di dalamnya memuat catatan editor setebal xxxiii halaman. Sedangkan kitab aslinya dimulai dari halaman 1 sampai halaman 29.
8.      Al Tibyan fi al Nahy ‘an Muqathi’ah al Ihwan, bain fih Ahammiyat Shillat al Rahim wa Dhurrar qatha’iha. Berisi tentang tata cara menjalin silaturrahim, bahaya dan pentingnya interaksi sosial. Tebal 17 halaman, selesai ditulis hari Senin, 20 Syawal 1360 H., penerbit Maktabah Al-Turats Al-Islami Ma’had Tebuireng.
9.      Al Risalah al Tauhidiyah, wahiya Risalah Shaghirat fi Bayan ‘Aqidah Ahl Sunnah wa al Jamaah.
10.  Al Walaid fi Bayan ma Yajib min al’Aqaid.
11.  Al-Risalah fi at-Tasawwuf. Menerangkan tentang tashawuf; penjelasan tentang ma’rifat, syariat, thariqah, dan haqiqat. Ditulis dengan bahasa Jawa, dicetak bersama kitab al-Risalah fi al-‘Aqaid.
12.  Al-Risalah fi al-’Aqaid. Berbahasa Jawa, berisi kajian tauhid, pernah dicetak oleh Maktabah an-Nabhaniyah al-Kubra Surabaya, bekerja sama dengan percetakan Musthafa al-Babi al-Halabi Mesir tahun 1356 H./1937M. Dicetak bersama kitab Kiai Hasyim lainnya yang berjudul Risalah fi at-Tashawwuf serta dua kitab lainnya karya seorang ulama dari Tuban. Risalah ini ditash-hih oleh syeikh Fahmi Ja’far al-Jawi dan Syeikh Ahmad Said ‘Ali (al-Azhar). Selelai ditash-hih pada hari Kamis, 26 Syawal 1356 H/30 Desember 1937 M.[3]
2.3.  Hasyim Asy’ari ; Organisasi dan Pembaharuan Pendidikan
            Meskipun Hasyim Asy’ari boleh dibilang ulama salaf tradisional yang banyak berkiprah di pesantren, namun beliau juga seorang organisatoris handal. Tercatat dalam organisasi MIAI, yang selanjutnya berevolusi menjadi Masyumi, Hasyim Asy’ari duduk di pucuk pimpinan. Dalam gerakan kepemudaan dan kelaskaran seperti GPII Muslimat, Hizbullah, Sabillilah, Mujahiddin dan lain-lain, Hasyim Asy’ari menjadi penasehat dan penganjurnya. Sementara berdirinya NU yang merupakan lembaga keagamaan dan sosial terbesar di Indonesia juga tidak lepas dari campur tangan Hasyim Asy’ari.
            Selain sukses di organisasi, KH. Hasyim Asy’ari juga sukses mengadakan pembaharuan di bidang pendidikan, khususnya pesantren Tebuireng. Pembaharuan di Tebuireng yang pertama kali adalah dengan pendirian Madrasah Salafiyah (1919) sebagai tangga untuk memasuki tingkat menengah pesantren.[4] Dalam Madrasah Salafiyah pengetahuan umum sudah mulai diajarkan, diantaranya:
1.      Membaca dan menulis huruf latin
2.      Mempelajari bahasa Indonesia
3.      Mempelajari ilmu bumi dan sejarah Indonesia
4.      Mempelajari ilmu hitung
            Kesemuanya ilmu tersebut diajarkan dengan menggunakan buku-buku latin dan sejak saat itulah surat kabar mulai masuk ke dalam pesantren dan dibaca oleh para kyai serta pelajar. Namun pembaharuan ini tidak serta merta mendapat dukungan orang banyak. Bahkan banyak orang tua santri yang menarik anaknya untuk pindah ke pesantren lain.[5]
2.4. Pemikiran Hasyim Asy’ari dalam Bidang Pendidikan
Karena sulitnya untuk mencari tulisan Hasyim Asy’ari yang berkenaan langsung dengan pendidikan, maka penulis banyak menyadur dari tulisan Anwar Syadat dalam blognya yang berjudul Pemikiran Pendidikan Hasyim Asy’ari.[6]
Dalam sebuah kitabnya yang berjudul Adab al Alim wa al Muta’allim fima Yahtaj ilah al Muta’alim fi Ahuwal Ta’allum wama Yataqaff al Mu’allim fi Maqamat Ta’limih, beliau lebih banyak mekankan pada masalah etika dalam pendidikan, meski tidak menafikan beberapa aspek pendidikan lainnya. Di antara pemikiran beliau dalam masalah pendidikan adalah:
A.  Signifikansi Pendidikan
Menurut Hasyim Asyari bahwa tujuan utama ilmu pengetahan adalah mengamalkan. Hal itu dimaksudkan agar ilmu yang dimiliki menghasilkan manfaat sebagai bekal untuk kehidupan akhirat kelak. Terdapat dua hal yang harus diperhatikan dalam menuntut ilmu, yaitu : pertama, bagi murid hendaknya berniat suci dalam menuntut ilmu, jangan sekali-kali berniat untuk hal-hal duniawi dan jangan melecehkannya atau menyepelekannya. Kedua, bagi guru dalam mengajarkan ilmu hendaknya meluruskan niatnya terlebih dahulu, tidak mengharapkan materi semata. Agaknya pemikiran beliau tentang hal tersebut di atas, dipengaruhi oleh pandangannya akan masalah sufisme (tasawuf), yaitu salah satu persyaratan bagi siapa saja yang mengikuti jalan sufi menurut beliau adalah “niat yang baik dan lurus”.
Menuntut ilmu atau belajar menurut Hasyim Asy’ari merupakan ibadah untuk mencari ridha Allah, yang mengantarkan manusia untuk memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat. Karenanya belajar harus diniatkan untuk mengembangkan dan melestarikan nilai-nilai Islam, bukan hanya untuk sekedar menghilangkan kebodohan.
Pendidikan hendaknya mampu menghantarkan umat manusia menuju kemaslahatan, menuju kebahagiaan dunia dan akhirat. Pendidikan hendaknya mampu mengembangkan serta melestarikan nilai-nilai kebajikan dan norma-norma Islam kepada generasi penerus umat, dan penerus bangsa. Umat Islam harus maju dan jangan mau dibodohi oleh orang lain, umat Islam harus berjalan sesuai dengan nilai dan norma-norma Islam.
B. Tugas dan Tanggung Jawab Murid
1. Etika belajar
a.       Membersihkan hati dari berbagai gangguan keimanan dan keduniaan
b.      Membersihkan niat, tidak menunda-nunda kesempatan belajar, bersabar dan qanaah
c.       Pandai mengatur waktu
d.      Menyederhanakan makan dan minum
e.       Berhati-hati (wara’)
f.        Menghindari kemalasan
g.       Menyedikitkan waktu tidur selagi tidak merusak kesehatan
h.       Meninggalkan hal-hal yang kurang berfaedah.
2 Etika seorang murid terhadap guru
a.       Hendaknya selalu memperhatikan dan mendengarkan guru
b.      Memilih guru yang wara’
c.       Mengikuti jejak guru
d.      Memuliakan dan memperhatikan hak guru
e.       Bersabar terdapat kekerasan guru
f.        Berkunjung pada guru pada tempatnya dan minta izin lebih dulu
g.       Duduk dengan rapi bila berhadapan dengan guru
h.       Berbicara dengan sopan dan lembut dengan guru
i.         Dengarkan segala fatwa guru dan jangan menyela pembicaraannya
j.        Gunakan anggota kanan bila menyerahkan sesuatu pada guru.
3. Etika murid terhadap pelajaran
a.       Memperhatikan ilmu yang bersifat fardhu ‘ain
b.      Berhati-hati dalam menanggapi ikhtilaf para ulama
c.       Mendiskusikan dan menyetorkan hasil belajar pada orang yang dipercaya
d.      Senantiasa menganalisa dan menyimak ilmu
e.       Bila terdapat hal-hal yang belum dipahami hendaknya ditanyakan
f.        Pancangkan cita-cita yang tinggi
g.       Kemanapun pergi dan dimanapun berada jangan lupa membawa catatan
h.       Pelajari pelajaran yang telah dipelajari dengan kontinyu (istiqamah)
i.         Tanamkan rasa antusias dalam belajar.
C.  Tugas dan Tanggung Jawab Guru
1) Etika seorang guru
a.       Senantiasa mendekatkan diri pada Allah
b.      Takut pada Allah, tawadhu’, zuhud dan khusu’
c.       Bersikap tenang dan senantiasa berhati-hati
d.      Mengadukan segala persoalan pada Allah
e.       Tidak menggunakan ilmunya untuk meraih dunia
f.        Tidak selalu memanjakan anak
g.       Menghindari tempat-tempat yang kotor dan maksiat
h.       Mengamalkan sunnah Nabi
i.         Mengistiqamahkan membaca al- Qur’an
j.        Bersikap ramah, ceria dan suka menabur salam
k.      Menumbuhkan semangat untuk menambah ilmu
l.         Membiasakan diri menulis, mengarang dan meringkas.
2) Etika guru dalam mengajar
a.       Jangan mengajarkan hal-hal yang syubhat
b.      Mensucikan diri, berpakaian sopan dan memakai wewangian
c.       Berniat beribadah ketika mengajar, dan memulainya dengan do’a
d.      Biasakan membaca untuk menambah ilmu
e.       Menjauhkan diri dari bersenda gurau dan banyak tertawa
f.        Jangan sekali-kali mengajar dalam keadaan lapar, mengantuk atau marah
g.       Usahakan tampilan ramah, lemah lembut, dan tidak sombong
h.       Mendahulukan materi-materi yang penting dan sesuai dengan profesional yang dimiliki
i.         Menasihati dan menegur dengan baik jika anak didik bandel
j.        Bersikap terbuka terhadap berbagai persoalan yang ditemukan
k.      Memberikan kesempatan pada anak didik yang datangnya terlambat dan ulangilah penjelasannya agar tahu apa yang dimaksudkan
l.         Beri anak kesempatan bertanya terhadap hal-hal yang belum dipahaminya.
3) Etika guru bersama murid
a.       Berniat mendidik dan menyebarkan ilmu
b.      Menghindari ketidak ikhlasan
c.       Mempergunakan metode yang mudah dipahami anak
d.      Memperhatikan kemampuan anak didik
e.       Tidak memunculkan salah satu peserta didik dan menafikan yang lain
f.        Bersikap terbuka, lapang dada, arif dan tawadhu’
g.       Membantu memecahkan masalah-masalah anak didik
h.       Bila ada anak yang berhalangan hendaknya mencari ihwalnya.
D.  Etika Terhadap Buku, Alat Pelajaran dan Hal-hal Lain Yang Berkaitan Dengannya
1)      Menganjurkan untuk mengusahakan agar memiliki buku
2)      Merelakan dan mengijinkan bila ada kawan meminjam buku pelajaran, sebaliknya bagi peminjam menjaga barang pinjamannya
3)      Memeriksa dahulu bila membeli dan meminjamnya
4)      Bila menyalin buku syari’ah hendaknya bersuci dan mengawalinya dengan basmalah, sedangkan bila ilmu retorika atau semacamnya, maka mulailah dengan hamdalah dan shalawat Nabi.
BAB III
KESIMPULAN
K.H.Muhammad Hasyim Asy’ari dilahirkan dari keturunan eliet kiai (pesantren) pada tanggal 24 Zulhijjah 1287H bertepatan 14 Pebruari 1871M, tepatnya sebelah Timur Jombang Jawa Timur. Suasana kehidupan pesantren sangat mem-pengaruhi pembentukan karakter Hasyim Asy’ari yang sederhana dan rajin belajar, belajar dari pesantren ke pesantren di Jawa sampai ke Tanah Hijaz.
Sebagai pendidik merupakan bagian yang yang terpisahkan dari perjalanan hidupnya sejak usia muda. Setelah mengajar keliling dari pesantren orangtua hingga mertua, pada tahun 1899 Hasyim Asy’ari mendirikan pesantren sendiri, mewujudkan cita-citanya di daerah Tebuireng Jombang, Jawa Timur.
Pemikiran Hasyim Asy’ari dalam bidang pendidikan lebih menekankan pada etika dalam pendidikan, meski tidak menafikan beberapa aspek pendidikan lainnya. Dalam hal ini banyak dipengaruh dengan keahliannya pada bidang Hadits, dan pemikirannya dalam bidang tasawuf dan fiqih yang sejalan dengan teologi al Asy’ari dan al Maturidi. Juga searah dengan pemikiran al-Ghazali, yang lebih menekankan pada pendidikan rohani. Misalnya belajar dan mengajar harus dengan ikhlas, semata-mata karena Allah, bukan hanya untuk kepentingan dunia tetapi juga untuk kebahagian di akhirat. Dan untuk mencapainya seseorang yang belajar atau mengajar harus punya etika, punya adab dan moral, baik murid ataupun guru sendiri.
K.H. Muhammad Hasyim Asy'ari memandang pendidik sebagai pihak yang sangat penting dalam pendidikan. Baginya, guru adalah sosok yang mampu mentransmisikan ilmu pengetahuan disamping pembentuk sikap dan etika peserta didik.

Daftar Pustaka
http://anwarbook.blogspot.com/2011/11/pemikiran-pendidikan-islam-kh-hasyim.html
Munasichin, Zainal. Resolusi Jihad; Sejarah Yang Dilupakan. Jakarta: DPP PKB. 2011.
Nata, Abuddin. Tokoh-tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Rajagrafindo Persada. 2005
Zuhairi dkk. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara. 2004.


[1] Zainal Munasichin. Resolusi Jihad; Sejarah Yang Dilupakan. Jakarta: DPP PKB. 2011.hlm.22
[2] Abuddin Nata. Tokoh-tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Rajagrafindo Persada. 2005. hlm. 113
[3] http://anwarbook.blogspot.com/2011/11/pemikiran-pendidikan-islam-kh-hasyim.html
[4] Zuhairi dkk. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara. 2004. Hlm. 203.
[5] Ibid,.hlm. 204.
[6] http://anwarbook.blogspot.com/2011/11/pemikiran-pendidikan-islam-kh-hasyim.html, yang diakses tanggal 15 Maret 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar