PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kota kecil yang bernama Jombang tidak henti-hentinya
memunculkan sosok tokoh yang sangat berpengaruh di bumi Indonesia Raya. Sebelum
era Gus Dur (Abdurrahman Wahid), Cak Nun (Emha Ainun Najib) dan Cak Nur
(Nurkhalis Majid), Jombang telah melahirkan tokoh besar yang mampu mewarnai
jalannya NKRI. Beliau adalah KH. Hasyim Asy’ari, yang tak lain juga merupakan
kakek Gus Dur.
Sosok fenomenal Hasyim Asy’ari kenyang pengalaman
menyinggahi pesantren di Jawa sebelum melanjutkan pendidikan ke tanah Arab. Sekembalinya
ke Indonesia beliau mendirikan pesantren Tebuireng Jombang yang terkenal dengan
ilmu haditsnya. Kedalaman ilmu, dan pemikirannya dalam pendidikan sangat
brilian, sampai-sampai para kiai di Jawa memberinya gelar “Hadratus Syekh”
yang berarti “Tuan Guru Besar”.
Hasyim Asy’ari termasuk tokoh utama pendiri lembaga sosial keagamaan
terbesar di Indonesia yaitu NU ( Nahdlatul Ulama’). Organisasi ini bertujuan
mempertahankan ajaran ahlu sunnah wal jamaah serta tradisi Islam. Sementara
corak pendidikan Islam yang diselenggarakan oleh lembaga ini pada mulanya
bersikap tradisional dengan hanya mengajarkan agama saja dengan bersistem halaqah.
Namun seiring dengan perkembangan, lembaga ini juga memasukkan ilmu umum
dengan sistem madrasah.
Dalam kancah perjuangan merebut kemerdekaan dari Belanda dan
Jepang, lembaga pendidikan yang berada di bawah naungan NU ini turut pula
memanggul senjata dengan mengorbankan jiwa dan raga melawan penjajah. Dalam
kaitannya dengan perjuangan melawan penjajah ini tergambar jelas dalam rumusan
Resolusi Jihad NU 1945[1].
Resolusi inilah yang memicu perlawanan
sengit rakyat Surabaya pada pertempuran tiga hari 27, 28, 29 Oktober 1945 yang
berujung pada tewasnya Jenderal Mallaby.
Resolusi Jihad ini muncul tidak lepas dari peran KH. Hasyim
Asy’ari yang mengomandoi para ulama untuk merumuskan hukum berperang membela
negara. Atas jasa tersebut, sudah selayaknya beliau mendapatkan tanda jasa.
Namun ia enggan untuk menerimanya karena khawatir perjuangannya itu
menggugurkan niat ikhlasnya.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.
Riwayat Hidup K.H.Muhammad Hasyim
Asy’ari
Hasyim Asy’ari lahir di desa Gedang Jombang, Jawa Timur.
Pada hari Selasa kliwon, tanggal 24 Dzulhijjah 1287 atau bertepatan tanggal 14
Pebruari 1871 M. Nama lengkapnya adalah Muhammad Hasyim ibn Asy’ari ibn Abd. Al
Wahid ibn Abd. Al Halim yang mempunyai gelar Pangeran Bona ibn Abd. Al Rahman
Ibn Abd. Al Aziz Abd. Al Fatah ibn Maulana Ushak dari Raden Ain al Yaqin yang
disebut dengan Sunan Giri.[2]
Dipercaya pula bahwa mereka adalah keturunan raja Muslim Jawa, Jaka Tinggir dan
raja Hindu Majapahit, Brawijaya VI. Jadi Hasyim Asy’ari juga dipercaya
keturunan dari keluarga bangsawan.
Ibunya, Halimah adalah putri dari kiai Ustman, guru Hasyim Asy’ari
sewaktu mondok di pesantren. Ayah Hasyim Asy’ari tergolong santri pandai yang
mondok di kiai Ustman, hingga akhirnya karena kepandaian dan akhlak luhur yang
dimiliki, ia diambil menjadi menantu dan dinikahkan dengan Halimah. Sementara
kiai Ustman sendiri adalah kiai terkenal dan juga pendiri pesantren Gedang yang
didirikannya pada akhir abad ke-19. Hasyim Asy’ari adalah anak ketiga dari
sepuluh bersaudara, yaitu Nafiah, Ahmad Saleh, Radiah, Hassan, Anis, Fatanah,
Maimunah, Maksum, Nahrawi, dan Adnan.
Dengan latar belakang yang tidak diragukan lagi dari segi
keilmuan agama, masa kecil Hasyim Asy’ari banyak dihabiskan menimba ilmu agama
dari orang tuanya sendiri. Setelah itu, ia melalang buana dari satu pesantren
ke pesantren yang lain. Terhitung pesantren Shona, Siwalan Buduran, Langitan
Tuban, Demangan, Bangkalan, dan Sidoarjo pernah disinggahinya untuk menempa
ilmu agama.
Selama mondok di pesantren Sidoarjo inilah, Hasyim Asyari
mendapat perhatian lebih dari sang Kyai, Kyai Ya’qub, hingga kemudian
dijodohkan dengan putinya Khadijah pada tahun 1892 atau ketika Hasyim Asy’ari
berusia 21 tahun.
Selang beberapa waktu kemudian ia beserta isteri dan
mertuanya berangkat haji ke Mekkah yang dilanjutkan dengan belajar di sana. Akan
tetapi setelah isterinya meninggal karena melahirkan, membuat ia kembali ke
tanah air.
Rasa haus yang tinggi akan ilmu pengetahuan membawa Hasyim
Asy’ari berangkat lagi ke tanah suci Mekkah tahun berikutnya. Kali ini ia
ditemani saudaranya Anis. Dan ia menetap di sana kurang lebih tujuh tahun dan
berguru pada sejumlah ulama, di antaranya Syaikh Ahmad Amin al Aththar, Sayyid
Sultan ibn Hasyim, Sayyid Abdullah al Zawawi, Syaikh Shaleh Bafadhal dan Syaikh
Sultan Hasyim Dagastani.
Setelah mematangkan ilmunya di Mekah, pada tahun 1899/1900
ia kembali ke Indonesia dan mengajar di pesantren ayah dan kakeknya, hingga
berlangsung beberapa waktu. Masa berikutnya Hasyim menikah lagi dengan putri
kiai Ramli dari Kemuning (Kediri) yang bernama Nafiah, setelah sekian lama
menduda. Sejak itulah beliau diminta membantu mengajar di pesantren mertuanya
di Kemuning, dan kemudian mendirikan pesantren sendiri di daerah Cukir,
pesantren Tebuireng di Jombang, pada tanggal 6 Pebruari 1906. Pesantren yang
baru didirikan tersebut tidak berapa lama berkembang menjadi pesantren yang
terkenal di Nusantara, dan menjadi tempat menggodok kader-kader ulama wilayah
Jawa dan sekitarnya.
Hasyim Asy’ari meninggal pada tanggal 7 Ramadhan 1366 H
bertepatan dengan 25 Juli 1947 M di Tebuireng Jombang dalam usia 79 tahun,
karena tekanan darah tinggi. Hal ini terjadi setelah beliau mendengar berita
dari Jenderal Sudirman dan Bung Tomo bahwa pasukan Belanda di bawah pimpinan
Jenderal Spoor telah kembali ke Indonesia dan menang dalam pertempuran di
Singosari (Malang) dengan meminta banyak korban dari rakyat biasa. Beliau
sangat terkejut dengan peristiwa itu, sehingga terkena serangan stroke yang
menyebabkan kematiannya.
2.2.
Karya K.H. Hasyim Asy'ari
Hasyim Asy’ari termasuk sosok ulama yang sangat produktif
dalam menulis karyanya. Namun sangat disayangkan bahwa sejumlah karyanya tidak
bisa ditemui oleh masyarakat umum secara bebas dan sebagian belum sempat
dipublikasikan karena belum tertibnya pengarsipan yang ada pada masa itu serta
kurang tertata rapi sistem dokumentasi dan pengarsipan pada lembaga NU. Setidaknya dibawah ini dapat kita lihat
diantara kitab yang disusunnya, antara lain:
1.
Adab al Alim wa al Muta’allim fima Yahtaj ilah al Muta’alim
fi Ahuwal Ta’allum wa ma Yataqaff al Mu’allim fi Maqamat Ta’limih. Tatakrama pengajar dan pelajar.
Berisi tentang etika bagi para pelajar dan pendidik, merupakan resume dari Adab
al-Mu’allim karya Syekh Muhammad bin Sahnun (w.256 H/871 M); Ta’lim
al-Muta’allim fi Thariq at-Ta’allum karya Syeikh Burhanuddin al-Zarnuji (w.591
H); dan Tadzkirat al-Saml wa al-Mutakallim fi Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim
karya Syeikh Ibn Jama’ah. Memuat 8 bab, diterbitkan oleh Maktabah at-Turats
al-Islamy Tebuireng. Di akhir kitab terdapat banyak pengantar dari para ulama,
seperti: Syeikh Sa’id bin Muhammad al-Yamani (pengajar di Masjidil Haram, bermadzhab
Syafii), Syeikh Abdul Hamid Sinbal Hadidi (guru besar di Masjidil Haram,
bermadzhab Hanafi), Syeikh Hasan bin Said al-Yamani (Guru besar Masjidil
Haram), dan Syeikh Muhammad ‘Ali bin Sa’id al-Yamani.
2.
Ziyadat Ta’liqat, Radda fiha Mandhumat al Syaikh “Abd Allah
bin Yasin al Fasurani Allati Bihujubiha “ala Ahl Jam’iyyah Nahdhatul Ulama. Catatan seputar nadzam Syeikh
Abdullah bin Yasin Pasuruan. Berisi polemik antara Kiai Hasyim dan Syeikh
Abdullah bin Yasir. Di dalamnya juga terdapat banyak pasal berbahasa Jawa dan
merupakan fatwa Kiai Hasyim yang pernah dimuat di Majalah Nahdhatoel Oelama’.
3.
Al Tanbihat al Wajibat liman Yashna al Maulid al Munkarat Peringatan-peringatan wajib bagi
penyelenggara kegiatan maulid yang dicampuri dengan kemungkaran. Ditulis
berdasarkan kejadian yang pernah dilihat pada malam Senin, 25 Rabi’ al-Awwal
1355 H., saat para santri di salah satu pesantren sedang merayakan Maulid Nabi
yang diiringi dengan perbuatan mungkar, seperti bercampurnya laki-laki dan
perempuan, permainan yang menyerupai judi, senda gurau, dll. Pada halaman
pertama terdapat pengantar dari tim lajnah ulama al-Azhar, Mesir. Selesai
ditulis pada 14 Rabi’ at-Tsani 1355 H., terdiri dari 15 bab setebal 63 halaman,
dicetak oleh Maktabah at-Turats al-Islamy Tebuireng, cetakan pertama tahun 1415
H.
4.
Al Risalat al Jamiat, Sharh fiha Ahmaal al Mauta wa Asirath
al sa’at ma’bayan Mafhum al Sunnah wa al Bid’ah. . Risalah Ahl Sunnah Wal Jama’ah
tentang hadis-hadis yang menjelaskan kematian, tanda-tanda hari kiamat, serta
menjelaskan sunnah dan bid’ah. Berisi 9 pasal.
5.
Al Nur al Mubin fi Mahabbah Sayyid al Mursalin, bain fihi
Ma’na al Mahabbah Libasul Allah wa ma Yata’allaq biha Man Ittiba’iha wa Ihya al
Sunnahih. Cahaya
yang jelas menerangkan cinta kepada pemimpin para rasul. Berisi dasar kewajiban
seorang muslim untuk beriman, mentaati, meneladani, dan mencintai Nabi Muhammad
SAW. Tebal 87 halaman, memuat biografi singkat Nabi SAW mulai lahir hingga
wafat, dan menjelaskan mu’jizat shalawat, ziarah, wasilah, serta syafaat. Selesai
ditulis pada 25 Sya’ban 1346 H., terdiri dari 29 bab.
6.
Hasyiyah ‘ala Fath al Rahman bi Syarth Risalat al Wali
Ruslan li Syaikh al Islam Zakaria al Ansyari.
7.
Al Duur al Muntasirah fi Masail al Tiss’I Asyrat, Sharth
fiha Masalat al Thariqah wa al Wilayah wa ma Yata’allq bihima min al Umur al
Muhimmah li ahl thariqah.
Mutiara yang memancar dalam menerangkan 19 masalah. Berisi kajian tentang wali
dan thariqah dalam bentuk tanya-jawab sebanyak 19 masalah. Tahun 1970-an kitab
ini diterjemahkan oleh Dr. KH. Thalhah Mansoer atas perintah KH. M. Yusuf
Hasyim, dierbitkan oleh percetakan Menara Kudus. Di dalamnya memuat catatan
editor setebal xxxiii halaman. Sedangkan kitab aslinya dimulai dari halaman 1
sampai halaman 29.
8.
Al Tibyan fi al Nahy ‘an Muqathi’ah al Ihwan, bain fih
Ahammiyat Shillat al Rahim wa Dhurrar qatha’iha. Berisi tentang tata cara menjalin
silaturrahim, bahaya dan pentingnya interaksi sosial. Tebal 17 halaman, selesai
ditulis hari Senin, 20 Syawal 1360 H., penerbit Maktabah Al-Turats Al-Islami
Ma’had Tebuireng.
9.
Al Risalah al Tauhidiyah, wahiya Risalah Shaghirat fi Bayan
‘Aqidah Ahl Sunnah wa al Jamaah.
10.
Al Walaid fi Bayan ma Yajib min al’Aqaid.
11.
Al-Risalah fi at-Tasawwuf. Menerangkan tentang tashawuf;
penjelasan tentang ma’rifat, syariat, thariqah, dan haqiqat. Ditulis dengan
bahasa Jawa, dicetak bersama kitab al-Risalah fi al-‘Aqaid.
12.
Al-Risalah fi al-’Aqaid. Berbahasa Jawa, berisi kajian tauhid, pernah dicetak oleh
Maktabah an-Nabhaniyah al-Kubra Surabaya, bekerja sama dengan percetakan
Musthafa al-Babi al-Halabi Mesir tahun 1356 H./1937M. Dicetak bersama kitab
Kiai Hasyim lainnya yang berjudul Risalah fi at-Tashawwuf serta dua kitab
lainnya karya seorang ulama dari Tuban. Risalah ini ditash-hih oleh syeikh
Fahmi Ja’far al-Jawi dan Syeikh Ahmad Said ‘Ali (al-Azhar). Selelai ditash-hih
pada hari Kamis, 26 Syawal 1356 H/30 Desember 1937 M.[3]
2.3.
Hasyim Asy’ari ; Organisasi dan
Pembaharuan Pendidikan
Meskipun Hasyim Asy’ari boleh
dibilang ulama salaf tradisional yang banyak berkiprah di pesantren, namun beliau
juga seorang organisatoris handal. Tercatat dalam organisasi MIAI, yang
selanjutnya berevolusi menjadi Masyumi, Hasyim Asy’ari duduk di pucuk pimpinan.
Dalam gerakan kepemudaan dan kelaskaran seperti GPII Muslimat, Hizbullah,
Sabillilah, Mujahiddin dan lain-lain, Hasyim Asy’ari menjadi penasehat dan
penganjurnya. Sementara berdirinya NU yang merupakan lembaga keagamaan dan
sosial terbesar di Indonesia juga tidak lepas dari campur tangan Hasyim
Asy’ari.
Selain sukses di organisasi, KH.
Hasyim Asy’ari juga sukses mengadakan pembaharuan di bidang pendidikan,
khususnya pesantren Tebuireng. Pembaharuan di Tebuireng yang pertama kali
adalah dengan pendirian Madrasah Salafiyah (1919) sebagai tangga untuk memasuki
tingkat menengah pesantren.[4]
Dalam Madrasah Salafiyah pengetahuan umum sudah mulai diajarkan, diantaranya:
1.
Membaca dan menulis huruf latin
2.
Mempelajari bahasa Indonesia
3.
Mempelajari ilmu bumi dan sejarah Indonesia
4.
Mempelajari ilmu hitung
Kesemuanya
ilmu tersebut diajarkan dengan menggunakan buku-buku latin dan sejak saat
itulah surat kabar mulai masuk ke dalam pesantren dan dibaca oleh para kyai
serta pelajar. Namun pembaharuan ini tidak serta merta mendapat dukungan orang
banyak. Bahkan banyak orang tua santri yang menarik anaknya untuk pindah ke
pesantren lain.[5]
2.4.
Pemikiran Hasyim Asy’ari dalam Bidang Pendidikan
Karena sulitnya untuk mencari tulisan Hasyim Asy’ari yang
berkenaan langsung dengan pendidikan, maka penulis banyak menyadur dari tulisan
Anwar Syadat dalam blognya yang berjudul Pemikiran Pendidikan Hasyim Asy’ari.[6]
Dalam sebuah kitabnya yang berjudul Adab al Alim wa al
Muta’allim fima Yahtaj ilah al Muta’alim fi Ahuwal Ta’allum wama Yataqaff al
Mu’allim fi Maqamat Ta’limih, beliau lebih banyak mekankan pada masalah
etika dalam pendidikan, meski tidak menafikan beberapa aspek pendidikan
lainnya. Di antara pemikiran beliau dalam masalah pendidikan adalah:
A.
Signifikansi Pendidikan
Menurut Hasyim Asyari bahwa tujuan utama ilmu pengetahan
adalah mengamalkan. Hal itu dimaksudkan agar ilmu yang dimiliki menghasilkan
manfaat sebagai bekal untuk kehidupan akhirat kelak. Terdapat dua hal yang
harus diperhatikan dalam menuntut ilmu, yaitu : pertama, bagi murid
hendaknya berniat suci dalam menuntut ilmu, jangan sekali-kali berniat untuk
hal-hal duniawi dan jangan melecehkannya atau menyepelekannya. Kedua,
bagi guru dalam mengajarkan ilmu hendaknya meluruskan niatnya terlebih dahulu,
tidak mengharapkan materi semata. Agaknya pemikiran beliau tentang hal tersebut
di atas, dipengaruhi oleh pandangannya akan masalah sufisme (tasawuf),
yaitu salah satu persyaratan bagi siapa saja yang mengikuti jalan sufi menurut
beliau adalah “niat yang baik dan lurus”.
Menuntut ilmu atau belajar menurut Hasyim Asy’ari merupakan
ibadah untuk mencari ridha Allah, yang mengantarkan manusia untuk memperoleh
kebahagiaan dunia dan akhirat. Karenanya belajar harus diniatkan untuk
mengembangkan dan melestarikan nilai-nilai Islam, bukan hanya untuk sekedar
menghilangkan kebodohan.
Pendidikan hendaknya mampu menghantarkan umat manusia menuju
kemaslahatan, menuju kebahagiaan dunia dan akhirat. Pendidikan hendaknya mampu
mengembangkan serta melestarikan nilai-nilai kebajikan dan norma-norma Islam
kepada generasi penerus umat, dan penerus bangsa. Umat Islam harus maju dan
jangan mau dibodohi oleh orang lain, umat Islam harus berjalan sesuai dengan
nilai dan norma-norma Islam.
B.
Tugas dan Tanggung Jawab Murid
1. Etika belajar
a.
Membersihkan
hati dari berbagai gangguan keimanan dan keduniaan
b.
Membersihkan
niat, tidak menunda-nunda kesempatan belajar, bersabar dan qanaah
c.
Pandai
mengatur waktu
d.
Menyederhanakan
makan dan minum
e.
Berhati-hati
(wara’)
f.
Menghindari
kemalasan
g.
Menyedikitkan
waktu tidur selagi tidak merusak kesehatan
2 Etika seorang murid terhadap guru
a.
Hendaknya
selalu memperhatikan dan mendengarkan guru
b.
Memilih
guru yang wara’
c.
Mengikuti
jejak guru
d.
Memuliakan
dan memperhatikan hak guru
e.
Bersabar
terdapat kekerasan guru
f.
Berkunjung
pada guru pada tempatnya dan minta izin lebih dulu
g.
Duduk
dengan rapi bila berhadapan dengan guru
h.
Berbicara
dengan sopan dan lembut dengan guru
i.
Dengarkan
segala fatwa guru dan jangan menyela pembicaraannya
3. Etika murid terhadap pelajaran
a.
Memperhatikan
ilmu yang bersifat fardhu ‘ain
b.
Berhati-hati
dalam menanggapi ikhtilaf para ulama
c.
Mendiskusikan
dan menyetorkan hasil belajar pada orang yang dipercaya
d.
Senantiasa
menganalisa dan menyimak ilmu
e.
Bila
terdapat hal-hal yang belum dipahami hendaknya ditanyakan
f.
Pancangkan
cita-cita yang tinggi
g.
Kemanapun
pergi dan dimanapun berada jangan lupa membawa catatan
h.
Pelajari
pelajaran yang telah dipelajari dengan kontinyu (istiqamah)
C.
Tugas dan Tanggung Jawab Guru
1) Etika seorang guru
a.
Senantiasa
mendekatkan diri pada Allah
b.
Takut
pada Allah, tawadhu’, zuhud dan khusu’
c.
Bersikap
tenang dan senantiasa berhati-hati
d.
Mengadukan
segala persoalan pada Allah
e.
Tidak
menggunakan ilmunya untuk meraih dunia
f.
Tidak
selalu memanjakan anak
g.
Menghindari
tempat-tempat yang kotor dan maksiat
h.
Mengamalkan
sunnah Nabi
i.
Mengistiqamahkan
membaca al- Qur’an
j.
Bersikap
ramah, ceria dan suka menabur salam
k.
Menumbuhkan
semangat untuk menambah ilmu
2) Etika guru dalam mengajar
a.
Jangan
mengajarkan hal-hal yang syubhat
b.
Mensucikan
diri, berpakaian sopan dan memakai wewangian
c.
Berniat
beribadah ketika mengajar, dan memulainya dengan do’a
d.
Biasakan
membaca untuk menambah ilmu
e.
Menjauhkan
diri dari bersenda gurau dan banyak tertawa
f.
Jangan
sekali-kali mengajar dalam keadaan lapar, mengantuk atau marah
g.
Usahakan
tampilan ramah, lemah lembut, dan tidak sombong
h.
Mendahulukan
materi-materi yang penting dan sesuai dengan profesional yang dimiliki
i.
Menasihati
dan menegur dengan baik jika anak didik bandel
j.
Bersikap
terbuka terhadap berbagai persoalan yang ditemukan
k.
Memberikan
kesempatan pada anak didik yang datangnya terlambat dan ulangilah penjelasannya
agar tahu apa yang dimaksudkan
3) Etika guru bersama murid
a.
Berniat
mendidik dan menyebarkan ilmu
b.
Menghindari
ketidak ikhlasan
c.
Mempergunakan
metode yang mudah dipahami anak
d.
Memperhatikan
kemampuan anak didik
e.
Tidak
memunculkan salah satu peserta didik dan menafikan yang lain
f.
Bersikap
terbuka, lapang dada, arif dan tawadhu’
g.
Membantu
memecahkan masalah-masalah anak didik
D.
Etika Terhadap Buku, Alat Pelajaran dan
Hal-hal Lain Yang Berkaitan Dengannya
1)
Menganjurkan
untuk mengusahakan agar memiliki buku
2)
Merelakan
dan mengijinkan bila ada kawan meminjam buku pelajaran, sebaliknya bagi
peminjam menjaga barang pinjamannya
3)
Memeriksa
dahulu bila membeli dan meminjamnya
4)
Bila
menyalin buku syari’ah hendaknya bersuci dan mengawalinya dengan basmalah,
sedangkan bila ilmu retorika atau semacamnya, maka mulailah dengan hamdalah dan
shalawat Nabi.
BAB III
KESIMPULAN
K.H.Muhammad Hasyim Asy’ari dilahirkan dari keturunan eliet
kiai (pesantren) pada tanggal 24 Zulhijjah 1287H bertepatan 14 Pebruari 1871M,
tepatnya sebelah Timur Jombang Jawa Timur. Suasana kehidupan pesantren sangat
mem-pengaruhi pembentukan karakter Hasyim Asy’ari yang sederhana dan rajin
belajar, belajar dari pesantren ke pesantren di Jawa sampai ke Tanah Hijaz.
Sebagai pendidik merupakan bagian yang yang terpisahkan dari
perjalanan hidupnya sejak usia muda. Setelah mengajar keliling dari pesantren
orangtua hingga mertua, pada tahun 1899 Hasyim Asy’ari mendirikan pesantren
sendiri, mewujudkan cita-citanya di daerah Tebuireng Jombang, Jawa Timur.
Pemikiran Hasyim Asy’ari dalam bidang pendidikan lebih
menekankan pada etika dalam pendidikan, meski tidak menafikan beberapa aspek
pendidikan lainnya. Dalam hal ini banyak dipengaruh dengan keahliannya pada
bidang Hadits, dan pemikirannya dalam bidang tasawuf dan fiqih yang sejalan
dengan teologi al Asy’ari dan al Maturidi. Juga searah dengan pemikiran
al-Ghazali, yang lebih menekankan pada pendidikan rohani. Misalnya belajar dan
mengajar harus dengan ikhlas, semata-mata karena Allah, bukan hanya untuk
kepentingan dunia tetapi juga untuk kebahagian di akhirat. Dan untuk
mencapainya seseorang yang belajar atau mengajar harus punya etika, punya adab
dan moral, baik murid ataupun guru sendiri.
K.H. Muhammad Hasyim Asy'ari memandang pendidik sebagai
pihak yang sangat penting dalam pendidikan. Baginya, guru adalah sosok yang
mampu mentransmisikan ilmu pengetahuan disamping pembentuk sikap dan etika
peserta didik.
Daftar
Pustaka
http://anwarbook.blogspot.com/2011/11/pemikiran-pendidikan-islam-kh-hasyim.html
Munasichin, Zainal. Resolusi
Jihad; Sejarah Yang Dilupakan. Jakarta: DPP PKB. 2011.
Nata, Abuddin. Tokoh-tokoh
Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Rajagrafindo Persada. 2005
Zuhairi dkk. Sejarah Pendidikan
Islam. Jakarta: Bumi Aksara. 2004.
[1] Zainal
Munasichin. Resolusi Jihad; Sejarah Yang Dilupakan. Jakarta: DPP PKB.
2011.hlm.22
[2] Abuddin Nata. Tokoh-tokoh
Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Rajagrafindo Persada.
2005. hlm. 113
[3]
http://anwarbook.blogspot.com/2011/11/pemikiran-pendidikan-islam-kh-hasyim.html
[4] Zuhairi dkk.
Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara. 2004. Hlm. 203.
[5] Ibid,.hlm.
204.
[6]
http://anwarbook.blogspot.com/2011/11/pemikiran-pendidikan-islam-kh-hasyim.html,
yang diakses tanggal 15 Maret 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar