Kamis, 24 Januari 2013

MEMBUKA PINTU IJTIHAD

Islam adalah agama wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad untuk umat Islam. Islam bersumber dari Al Quran dan Hadist yang menjadi pedoman bagi umat Islam. Hanya saja di dalam Al Quran dan Hadist tidak dijelaskan secara menyeluruh tentang definisi-definisi tentang berbagai macam hokum agama.
Oleh karena itu, para ulama melakukan ijtihad, untuk memenuhi keperluan um,at manusia akan pandangan hidup dalam beribadah kepada Allah di waktu dan tempat tertentu.
A.    Pengertian Ijtihad
Ijtihad berasal dari kata ja-ha-da yang artinya bersungguh-sungguh, dapat diartikan pula Al-taghah yaitu daya, kemampuan atau kekuasaan. Menurut Syara’, ijtihad adalah menggunakan seluruh kesanggupan berfikir untuk menetapkan hukum syara’ dengan jalan mengeluarkan hukum dari al kitab dan As Sunnah[1].
Secara harfiyah, Ijtihad adalah suatu ungkapan dari penyerahan daya kemampuan untuk mewujudkan sesuatu yang dituju[2].
Dari pengertian ijtihad diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa ijtihad adalah bersungguh-sungguh dalam mewujudkan sesuatu hukum perkara yang tidak dibahas dalam Al Quran dan Hadits dengan menggunakan akal sehat dan pertimbangan yang matang.
B.     Kedudukan Ijtihad
Dalam arti luas, ijtihad mencakup beberapa bidang termasuk akidah hukum mu’amalah, filsafat, politik, akidah, tasawuf dan falsafah.
Dalam Ilmu Fiqih, Ijtihad Bi Ar-Ra’yu telah ada pada zaman Nabi, beliau sendiri memberi izin untuk berijtihad kepada Mu’adz Ibnu Jabal ketika dia diutus ke Yaman. Apabila tidak menemukan ketentuan hukum dalam Al-Quran dan As sunnah, Umar Ibnu Al Khatab sering menggunakan Ijtihad Bi Al Ra’yu, sehingga beliau dipandang sebagai pemuka Ar Ra’yu.
Pentingnya berijtihad bagi pemuka sahabat, hal itu dikarenakan untuk memecahkan berbagai masalah baru akibat terjadinya akulturasi bangsa dan kebudayaan yang disebabkan semakin luasnya kekuasaan Islam, meliputi Persia, Syam, Mesir Dan Afrika Utara.
Ijtihad terkait ketentuan sebagai berikut, yaitu[3]:
1.    Ijtihad merupakan aktifitas pikiran manusia yang relatif, oleh karena itu, ijtihad tidak dapat melahirkan keputusan yang mutlak absolute.
2.    Keputusan dalam ijtihad hanya berlaku pada satu mujtahid.
3.    Ijtihad hanya berlaku pada satu masa/tempat.
4.    Ibadah yang hanya diatus Allah dan Rasulullah seperti ibadah mahdhah, ijtihad tidak berlaku dalam penambahan ibadah ini.
5.    keputusan mujtahid tidak boleh bertentangan dengan Al Quran dan As Sunnah.
6.    Faktor motivasi akibat kemaslahatan umum, kemanfaatan bersama, dll hendaknya dipertimbangkan dalam proses ijtihad.
C.    Dasar Ijtihad
Dasar ijtihad yang bersumber dari Al Quran dan Hadist yaitu sebagai berikut:
1.    Firman Allah dalam surat An Nisa’ ayat 59 yang artinya:
 “Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu”.
2.    Rasulullah SAW bersabda, yang artinya: “Bila seorang hakim akan memutuskan suatu perkara dan dia melakukan ijtihad terlebih dahulu, kemudian hasilnya benar maka hakim tersebut mendpatkan dua pahala, yaitu pahala berijtihad dan hasil kebenarannya. Dan jika hasilnya salah maka dia mendapatkan satu pahala, yaitu pahala berijtihad”.
3.    Firman Allah dalam surat Al Anfal ayat 1, yang artinya: “Mereka menanyakan kepadamu tentang pemberian harta rampasan perang, katakanlah kepada mereka, rampasan perang itu keputusan Allah dan Rasul-Nya, sebab itu bertaqwalah kepada Allah dan perbaikilah hubungan diantara sesamamu dan taatilah Allah dan Rasul-Nya jika kamu adalah orang-orang yang beriman.”
D.    Syarat Mujtahid
Menjadi seorang mujtahid harus mempunyai kriteria-kriteria, yaitu[4]:
1.    Mengetahui hukum-hukum dalam hadist, mengetahui atas ayat-ayat hukum dalam Al Quran dan Hadist secara etimologi, yaitu memahami makna-makna harfiah kata perkara atau susunan kata, dan memahami secara epistemologi Al Quran dan Hadist itu, yaitu memiliki penegetahuan akan berragam kuasa dari sebuah hukum, variabel-variabel penetetapan hukum dan metode-metode penalaran logis dari sederet lafal, macam-macam petunjuk atas makna, berupa umum, khusus, mustarok (polisemi), mujmat (general), mufassar (interpretable), dll[5].
2.    Mengetahui objek ijma’ mujtahid generasi terdahulu, hal ini akan menetapkan suatu hukum yang tidak menyalahi garis konsensus pendahuluannya.
3.    Mengetahui qiyas baik dari segi tata cara, penerapan, ilat-ilat hukum maupun metode penggaliannya karena qiyas adalah wujud nyata dari Aktitifas mujtahid.
4.    Mengetahui syarat-syarat penerapan berbagai bentuk argumentasi, hal ihwal pendefinisian, metode penyimpulan sehingga memiliki pengetahuan tata cara penalaran.
5.    Memiliki cakrawala yang luas dalam penggunaan Bahasa Arab.
6.    Mengetahui Nasikh (Sumber Hukum) dan Mansukh (Sumber yang Disalin).
7.    Mengetahui kepribadian para periwayat.
Selain syarat tersebut, ada juga beberpa syarat lainnya yang tidak kalah pentingnya untuk seorang mujtahid, yaitu[6]:
1.    Memiliki pengetahuan usul fiqih dan tujuan syariat.
Usul fiqih merupakan ilmu yang mencakup tentang hukum Islam, hal ini menjadi bagian terpenting dari ijtihad yang pada dasar luarnya adalah dari Qoidah Islam, karena Islam itu luas. Islam terbagi menjadi tiga versi, yaitu: syariat (fiqih), thoriqoh dan hakekat.
Seperti buah, syariat adalah kulit, toriqoh adalah daging, sedangkan hakikat adalah buahnya[7].
Syariat diibaratkan perahu, toriqoh diibaratkan lautan, sedangkan hakekat adalah batu mutiara yang berharga, sedangkan seorang mujtahid yang ingin mendapatkan hakikat (buahnya islam), dia harus mengarungi lautan (toriqoh). untuk mengarungi lautan dibutuhkan perahu/kapal yang kuat (syariat), yang berupa yaitu ilmu fiqih yang matang. Karena banyak mujtahid yang tersesat dan menciptakan ajaran baru yang menyesatkan sebab benteng syariat yang mereka miliki itu lemah.
2.    Memiliki pemahaman yang luas tentang teologi (ilmu kalam).
E.     Macam-Macam Metode Ijtihad
Macam-macam metode untuk berijtihad, yaitu:
1.    Qiyas, yaitu membandingkan/menimbang/mengubur sesuatu yang belum ada di masa lalu tetapi ada dimasa sekarang dengan sesuatu yang lain yang sudah ada di masa lalu. Contohnya seperti kegunaan beras untuk bezakat, sehingga untuk mengetahui takaran beras 2.5 kg untuk zakat perlu adanya perbandingan dengan sesuatu yang telah ada di masa lalu seperti gandum.
2.    Ijma’ yaitu mufakat dalam musyawarah para ahli.
3.    Istihsan yaitu menganggap baik sesuatu barang menurut ahli hukum.
4.    Mashalihul Mursalah yaitu keputusan yang berdasarkan kegunaan dan manfaatnya sesuai syari’at Islam.
5.      Sudud dariah, yaitu memutuskan suatu perkara yang hukumnya mubah menjadi makhruh, atau mubah menjadi haram untuk kepentingan kemaslahatan umat
6.      Istishab, yaitu menetapkan suatu perkara sampai ada alas an yang bisa mengubahnya
7.      Urf, yaitu menetapkan suatu adat istiadat yang tidah menyalahi ketentuan dalam Alqur’an.
F.     Wilayah Ijtihad
Wilayah Ijtihad menurut cara pandang Ulama menyangkut masalah fiqhiyah, namun akhirnya mengembang pada berbagai aspek keislaman y ng mencakup aqidah, filsafat, tasawuf dan fiqih itu sendiri. Dalam kaitan wilayah ijtihad, Ustadz Muhammad Al Madani menyatakan bahwa masalah hukum terbagi menjadi dua[8], yaitu:
1.      Masalah Qoth’iyah, yaitu masalah yang sudah berketetapan hukum pasti baik aqli maupun naqli. Masalah aqli dibagi menjadi tiga:
a.       Aqidah, yaitu masalah yang menentukan akan keimanan.
b.      Amali, yaitu amal ibadah yang telah ditentukan oleh nash.
c.       Kaidah-kaidah yang bersumber dari nash yang qoth’i.
2.      Masalah Zhanniyah, yaitu masalah hukum yang belum jelas dalil nashnya di antaranya:
a.       Hasil analisa para teolog, yaitu masalah yang tidak berkaitan dengan keimanan seseorang.
b.      Aspek amaliyah yang zhonni, yaitu masalah yang belum ditentukan kadar kriterianya dalam nash.
c.       Sebagaian kaidah-kaidah zhonni, yaitu masalah qiyas.
Pembagian tersebut disimpulkan bahwa wilayah ijtihad hanya sebatas pada masalah yang hokumnya ditentukan oleh dalil zhonni, yang kemudian terkenal dengan masalah fiqih yang belum disinggung baik oleh Al Quran, As Sunnah dan Ijma’.
G.    Analisis
Dari pokok pembahasan di atas, dapat kita ketahui bahwa pentingnya ber-Ijtihad. Ijtihad bertujuan untuk mengetahui dan memecahkan hukum islam yang belum ada dalil nas dalam Alqur’an maupun Assunah pada zaman sekarang ini.
Selang berkembangnya ilmu pengetahuan, maka segala problematika kehidupan pun akan akan semakin rumit. Dari sinilah penting adanya para Mujtahid-mujtahid yang sesuai syarat ketentuan dalam ber-Ijtihad.
BAB III KESIMPULAN
Dari Pembahasan makalah di atas, kita dapat menarik kesimpulan sebagai berikut:
1.      Ijtihad adalah menggunakan seluruh kesanggupan berfikir untuk menetapkan hukum syara’ dengan jalan mengeluarkan hukum dari al kitab dan As Sunnah.
2.      Ijtihad mencakup beberapa bidang termasuk akidah hukum mu’amalah, filsafat, politik, akidah, tasawuf dan falsafah.
3.      Seorang mujtahid harus mempunyai kriteria-kriteria, seperti: mengetahui hukum-hukum dalam Al Quran dan hadist, mengetahui objek ijma’ mujtahid generasi terdahulu, mengetahui qiyas mengetahui syarat-syarat penerapan berbagai bentuk  argumentasi, memiliki cakrawala yang luas dalam penggunaan Bahasa Arab, mengetahui nasikh dan mansukh, serta mengetahui kepribadian para periwayat.
4.      Macam-macam metode berijtihad yaitu: qiyas, ijma’, Istihsan, Mashalihul Mursalah, Sudud dariah, Istishab dan Urf.
5.      Wilayah ijtihad hanya sebatas hukum yang ditunjukan oleh dalil zhonni.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi. 2005. Tajussholihin. Kudus: Menara Kudus.
Mahfudh, Sahal. 2004. Kilas Balik Teoritis Fiqih Islam. Kediri: Forum Karya Ilmiah Madrasah Hidayatul Mubtadien.
Mas’ud bin Umar Al-Taftaani. Syarh Al Talwih ‘ala Al Taudlih. Mesir: Maktabat Al Shabih, TT.
Muhaimin, dkk. 1994. Dimensi-Dimensi Studi Islam. Surabaya: Karya Abitama.
Putrashared.blogspot.com/2011/10/ringkasan-materi-kuliah-ijtihad.html


[2]Mahfudh, Sahal. 2004. Kilas Balik Teoritis Fiqih Islam. Kediri: Forum Madrasah Hidayatul Mubtadi. hlm.314
[3]Ibid 1.
[4]Mahfud, Sahal. 2004. Kilas Balik Teoritis Fiqih Islam. Kediri: Forum Karya Ilmiah. Hlm.317-322
[5] Mas’ud bin Umar Al-Taftaani. Syarh Al Talwih ‘ala Al Taudlih. Mesir:Maktabat Al Shabih, TT. Juz II, Hlm.235.
[6] Ibid 4.
[7] Ahmadi. 2005. Tajussholihin. Kudus: Menara Kudus. Hlm.5
[8] Muhaimin, dkk. 1994. Dimensi-Dimensi Studi Islam. Surabaya: Karya Abitama. Hlm.203-205 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar