Nampaknya, epistemologi bukan hal yang dikhawatirkan oleh para filosof muslim. Epistemologi bukan sebagai kajian utama dan inti dalam filsafat Islam. Persoalan-persoalan mendasar yang hadir dalam epistemologi secara implisit telah diulas dan dikaji di sela-sela pembahasan filsafat Islam. Karena itu, disepanjang evolusi pemikiran filsafat Islam tidak akan dijumpai satu karya yang secara terpisah membahas persoalan epistemologi. Akan tetapi, karena persoalan epistemologi sedemikian membengkaknya, para filosof Islam kontemporer menganggap urgen untuk mengkajinya secara mandiri dan terperinci serta memisahkan dari pembahasan filsafat.
Abu Yusuf Ya’qub ibn Ishak Al-Kindi (Wafat 252 H)
Al-Kindi ialah filosof pertama dalam dunia Islam. Ia melihat bahwa penalaran akal dan pengamatan indriawi merupakan sumber pengetahun. Akal bertujuan untuk mempersepsi hal-hal universal dan realitas non-fisik, sementara panca indra yang berhubungan dengan perkara-perkara partikular dan benda-benda fisik. Ia beranggapan bahwa akal dan panca indra itu sebagai persepsi-persepsi yang nyata dan tidak bisa diragukan lagi. Sesungguhnya, menurut Al-Kindi, akal memiliki kemampuan untuk mengungkap, menyingkap, dan menggapai hakikat eksternal.
Abu Nashr Al-Farabi (257-329 H)
Al-Farabi berkesimpulan bahwa sumber pengetahuan adalah penalaran akal dan pengamatan indriawi. Namun, panca indra merupakan tahapan awal bagi lahirnya penalaran-penalaran rasional. Ia membagi ilmu itu menjadi yang gamblang dan teoritis. Dan orang tidak mengetahui bagaimana proses hadirnya ilmu-ilmu gamblang, maka tidak akan berakibat terhadap keyakinannya pada ilmu gamblang itu. Ia juga menerima konsep-konsep universal dan mendefinisikannya sebagai suatu konsep yang bisa meliputi dan mencakup individu-individu eksternal yang banyak.
Abu Ali Al-Husain ibn Sina (370-428 H)
Ia termasuk salah seorang filosof yang banyak menguraikan persoalan yang terkait dengan persepsi dan pengenalan. Salah satu kajian pentingnya adalah pendefinisian ilmu dan pembagian ilmu ke dalam ilmu hushûlî dan hudhûrî. Menurut Ibnu Sina, definisi ilmu ialah penggambaran sesuatu oleh pengindra. Penggambaran ini meliputi pemahaman hakikat sesuatu dan penggambaran bentuk sesuatu.
Dalam pandangannya, persepsi itu adalah akal dan indra. Dan membagi indra itu menjadi indra lahir dan indra batin, serta menempatkan indra itu sebagai sumber awal pengetahuan. Persepsi atas konsep-konsep universal itu merupakan karakteristik-karakteristik manusia. Pengetahuan manusia itu berpijak pada hal-hal yang gamblang dan menganggap bahwa hal-hal yang gamblang (badihi, tak butuh pada argumentasi) itu bersifat yakini dan bersesuaian dengan kenyataan luar. pengetahuan tentang eksistensi jiwa itu adalah bersifat hudhûrî (lawan dari hushûlî) dan menunggal dengan jiwa itu sendiri. Pengetahuan tentang wujud jiwa ini lebih awal dari setiap persepsi, bahkan lebih awal dari ilmu atas keraguan dan semua kondisi jiwa.
Abu Hamid Al-Ghazali (450-505 H)
Setelah ia melewati masa skeptisitasnya, ia mengkaji secara mendalam persoalan-persoalan epistemologi. Menurutnya, makrifat hakiki adalah suatu pengetahuan yang menyingkap hakikat objek pengetahuan (ma’lum) sedemikian sehingga tidak menyisakan satu bentuk keraguan dan tidak menghadirkan kemungkinan kekeliruan atasnya, keyakinan terhadap hakikat objek luar itu sangatlah kuat sehingga apabila seseorang berkata padanya bahwa batu itu adalah emas atau tongkat itu adalah ular naga, maka keyakinannya tidak akan pernah bergeser sedikitpun dan ia tak terpengaruh olehnya.
Al-Ghazali pernah menelusuri lorong-lorong keraguan dan sampai pada puncak keraguan. Namun, pada akhirnya ia terhidayah dan menggapai keyakinan berkat pertolongan cahaya Ilahi. Ia terperosok ke lembah skeptisitas lewat alur logika dan keluar darinya dengan jalan pengalaman mistik dan intuisi irfani.
Dengan menghitung kesalahan dan kekeliruan panca indra, ia lantas meragukan hal-hal yang indriawi dan beranggapan bahwa sebagaimana akal bisa mengungkap semua kesalahan panca indra, sangat mungkin akan hadir seorang pemikir lain yang mampu menyingkap kekeliruan akal dan membatalkan pengetahuan yang dipandang gamblang oleh akal (seperti angka sepuluh lebih besar dari tiga). Dan ia berkata bahwa dari mana kita yakin bahwa kita dalam kondisi tidak tidur dan berkhayal. Oleh karena itu, kita bisa meragukan segala sesuatu.
Menurutnya, pengalaman mistik dan intuisi irfani (al-kasy wa asy-syuhud al-’irfani). Akan tetapi, ia juga meyakini bahwa jalan logika dan penalaran akal, dengan berpegang teguh pada syarat-syaratnya, sebagai metode memahami hakikat eksternal. Ia menekankan bahwa hasil-hasil yang dicapai oleh pengetahuan itu sangat berpijak kepada penguatan argumentasi-argumentasinya.
Tentang konsep-konsep universal, ia memiliki dua pernyataan dimana yang satu sama dengan definisi yang dianut oleh kaum Peripatetik tentang universal (yakni universal itu bisa mencakup individu yang banyak) dan gagasan keduanya ialah bahwa universal itu sama dengan dengan khayal dan imajinasi partikular.
Fakhr al-Din ar-Razi (543-606 H)
Ia sama dengan para filosof sebelumnya yang menganggap indra lahir dan akal sebagai alat untuk memahami realitas luar, dan setelah menerima kenyataan adanya kekeliruan pada indra lahir, ia kemudian meletakkan akal itu sebagai tolok ukur dalam penentuan kesalahan yang dilakukan oleh indra lahir.
Menurutnya, ilmu itu ialah hubungan antara ‘âlim (yang mengetahui) dengan ma’lum bidz-dzat (pengetahuan esensial). Ia juga menjelaskan tentang keraguan-keraguan yang berhubungan dengan pengetahuan-pengetahuan badihi dan gamblang, namun, menurutnya, keberadaan semua keraguan tersebut tidak mampu menafikan kebenaran pengetahuan yang gamblang tersebut.
Shihab al-Din Yahya al-Suhrawardi (549-587 H)
Syaikh Isyraq beranggapan bahwa metode demonstratif dengan akal (burhân, demonstrative proof) dan metode intuitif (‘irfâni, gnosis) merupakan dua metode yang pasti dalam mencerap objek eksternal, kebenaran, dan pengetahuan hakiki.
Akal dan indra itu dipandang olehnya sebagai alat persepsi dan ia membagi ilmu menjadi hushûlî dan hudhûrî. Ilmu terhadap diri sendiri ia kategorikan sebagai pengetahuan hudhûrî. Mengenai kaum skeptis, ia menyatakan: “Apakah pemikiran mereka itu sendiri mereka pandang sebagai kebenaran ataukah kekeliruan? Atau mereka juga meragukan kebenaran pemikirannya. Apabila mereka katakan bahwa pemikiran mereka itu adalah benar, maka mereka mengakui adanya kebenaran sejati dan pengetahuan hakiki. Akan tetapi, apabila mereka anggap pemikiran mereka itu adalah batil, maka ini berarti bahwa mereka menafikan pemikiran mereka sendiri. Dan untuk soal yang ketiga bahwa apakah mereka juga ragu pada keraguan mereka atau yakin padanya? Jika mereka memiliki keyakinan atasnya, maka mereka percaya terhadap wujud ilmu dan keyakinan dan kalau mereka ragu atasnya, maka seluruh perkataan mereka sama sekali tidak berguna dan sebaiknya kita menampakkan kebohongan perkataan mereka tersebut dihadapan mereka sendiri.” Mengenai hal-hal yang gamblang dan badihi itu, ia menganggapnya sebagai hal-hal yang diyakini dan sesuai dengan realitas eksternal serta awal dari pengetahuan hakiki manusia.
Menurutnya, ilmu kita terhadap objek-objek fisik diperoleh secara langsung dengan melihatnya, namun untuk maujud-maujud non-materi dicapai dengan intuisi (hudhûrî). Dalam keadaan maujud-maujud itu tidak lagi berada dalam liputan langsung indra kita, maka yang hadir di alam pikiran adalah gambaran maujud-maujud tersebut (hushûlî) yang sesuai dengan objek-objek eksternalnya. Ia menyusun dalil bagi kesesuaian gambaran itu dengan objek-objek eksternal. Argumentasinya ialah: Jika kita memiliki ilmu terhadap sesuatu, maka sesuatu telah hadir di alam pikiran kita atau sama sekali sesuatu tidak hadir. Kondisi kedua ini adalah batal, karena seharusnya keadaan sebelum berilmu adalah sama dengan keadaan pasca berilmu, sementara kita merasakan adanya satu peruabahan dalam diri kita. Dan apabila sesuatu telah hadir di alam pikiran kita (kita berilmu), namun, tidak sesuai dengan objek-objek eksternal, maka sesungguhnya kita tidak memiliki ilmu terhadap sesuatu itu. Dengan demikian, makrifat dan pengetahuan kita terhadap segala sesuatu mesti sesuai dengan objek-objek eksternalnya.
Khwajah Nashir al-Din al-Thusi (597-672 H)
Sebagaimana Ibnu Sina, ia menerima hal-hal gamblang itu sebagai pengetahuan pertama dan menggolongkan indra dan akal sebagai alat dan sumber pengetahuan manusia. Ada tingkatan dalam hal-hal yang gamblang (al-badihiyyât) itu, dan menurutnya, tingkatan aksioma (al-awwaliyyât) dan benda-benda fisik (al-mahsûsât) merupakan awal dan dasar pengetahuan manusia.
Sadr al-Din Muhammad al-Syirazi (979-1050 H)
Ia dikenal dengan nama Mulla Sadra. Menurutnya, mustahil mendefinisikan ilmu itu, karena tidak ada yang lebih jelas daripada ilmu yang dengannya ia terdefinisikan. Ia membagi ilmu menjadi hushûlî dan hudhûrî serta mengategorikan pengetahuan terhadap diri sendiri ke dalam ilmu hudhûrî. Dalam pandangannya, keyakinan itu memiliki tingkatan, tingkatan pertama ialah ‘ilm al-yaqîn (argumen rasional), ‘ain al-yaqîn (intuisi ‘irfani), dan haqq al-yaqîn (kesatuan wujud). Mengenai konsep-konsep universal itu ia terkadang menafsirkannya sesuai dengan gagasan kaum Peripatetik, namun, ia lebih cenderung untuk mengartikannya sebagai “penyaksian (al-musyâhadah) intuitif maujud-maujud non-materi”.
Hal-hal yang gamblang itu ialah suatu keyakinan yang sesuai dengan objek-objek eksternal. Dan pada hakikatnya, akal bisa mengetahui hakikat-hakikat eksternal dan jiwa manusia berpotensi menerima manisfestasi dan tajalli seluruh hakikat luar.
Mulla Sadra membagi konsep-konsep universal itu menjadi kuiditas (mahiyah), filosofis, logikal. Konsep-konsep filosofis dan logikal itu disebut sebagai “kategori kedua yang dicerap oleh akal” (secondary intelligibles). Perbedaan keduanya adalah bahwa konsep-konsep kedua filosofis (philosophical secondary intelligibles) terabstraksi dari objek-objek eksternal dan sementara konsep-konsep kedua logikal (logical secondary intelligibles) terabstraksi dari objek-objek dalam pikiran. Apakah konsep-konsep kedua filosofis ini bersifat hakiki atau majasi? Ia menyatakan bahwa konsep-konsep ini merupakan ungkapan dari tingkatan-tingkatan wujud eksternal, dimana setiap maujud yang lemah, pancaran dan pengungkapannya pun akan lemah dan berada pada batas “kemungkinan” untuk dicerap oleh akal. Dan begitu pula sebaliknya, suatu maujud yang kuat dan sempurna maka pengungkapan dan pancaran wujudnya pun akan semakin kuat dan berada pada batas “kemestian” untuk bisa diindra oleh akal. Perlu diketahui bahwa batas “kemungkinan” dan “kemestian” untuk dicerap ini merupakan ungkapan derajat-derajat eksistensi.
Pembahasan lain yang dijabarkan Mulla Sadra ialah mengenai wujud pikiran. Materi ini ia jelaskan secara terperinci Dalam kajian tentang wujud pikiran ini, ditegaskan tentang kesatuan kuiditas. objek pikiran dan objek eksternal dimana hal ini sangat ampuh menyelesaikan persoalan rumit mengenai kesesuaian ilmu manusia dengan objek-objek eksternal. Mulla Sadra dalam hal ini, berupaya menganalisa secara teliti dan cermat persoalan tersebut dan memberikan solusi secara akurat, komprehensif, dan sempurna sedemikian sehingga tak menyisakan lagi hal yang perlu dibahas. Ia mengajukan metode baru dalam menyelesaikan persoalan tersebut dan sekaligus menyempurnakan argumentasi dan burhan yang dikonstruksi oleh Syaikh Isyraq. Ia berkata, “Ketika kita meraih suatu ilmu, maka sesuatu telah hadir dalam jiwa kita dimana hal itu tidak ada sebelumnya. Dan terdapat pengaruh yang berbeda antara kehadiran sesuatu tertentu dan kehadiran sesuatu yang lain dalam jiwa. Oleh sebab itu, pengaruh kehadiran sesuatu tertentu tidak lain karena kesesuaiannya dengan objek eksternalnya.
Al-Hajj Mulla Hadi al-Sabzawari (1212-1277 H)
Gagasannya mengenai pembagian ilmu, tentang aksioma yang merupakan pijakan utama bagi ilmu-ilmu lain serta kajian mengenai wujud pikiran tidak berbeda dengan perspektif Mulla Sadra. Namun, dalam pembahasan tentang philosophical and logical secondary intelligibles, ia menjelaskannya secara khusus:
a. Konsep-konsep kuiditas adalah suatu sifat khusus bagi objek-objek eksternal dan juga diatributkan kepada subyeknya di alam eksternal. Masing-masing konsep itu mempunyai objek abstrasi tersendiri
b. Konsep-konsep filosofis adalah suatu sifat khusus bagi objek-objek di alam eksternal, akan tetapi, dipredikasikan pada subyeknya di alam pikiran. Di alam luar tidak akan ditemukan dua realitas yang berbeda, jadi perbedaan itu hanya ada di alam pikiran. Kedua konsep yang berbeda terabstraksi pada satu objek eksternal.
c. Konsep-konsep logikal adalah kebalikan dari konsep-konsep kuiditas yakni suatu sifat khusus bagi perkara-perkara di alam pikiran (subjektivitas) dan dipredikasikan kepada subyeknya juga di alam pikiran. Konsep ini tidak berhubungan dengan maujud-maujud alam eksternal (objektivitas) dan tidak menyatu dengannya serta tidak terabstraksi dari objek-objek luar. Konsep-konsep ini adalah sifat-sifat dan karakteristik-karakteristik bagi perkara-perkara pikiran semata.
Ia juga beranggapan bahwa pengetahuan hakiki itu adalah suatu kebenaran yang sesuai dengan objek-objek eksternalnya dan kebenaran setiap proposisi itu berbanding lurus dengan proposisi itu sendiri, yakni hakikat setiap sesuatu berdasarkan asumsi yang terdapat dalam proposisi itu, terkadang asumsinya ialah ketiadaan, terkadang keberadaan, terkadang memiliki objek abstraksi di luar, atau memiliki bentuk-bentuk eksistensi yang lain. Gagasannya ini merupakan poin penting dalam pembahasan epistemologi.
Muhammad Husain Thabathabai (1281-1360 H)
Ia adalah filosof Islam pertama yang meletakkan epistemologi sebagai disiplin ilmu baru. Segala keraguan dan kritikan yang di alamatkan kepada epistemologi, ia kaji secara cermat dan berupaya mencarikan jawabannya yang akurat serta membahas poin-poin penting epistemologi. Ia sepakat dengan filosof-filosof sebelumnya yang menempatkan penalaran akal dan pengamatan indriawi sebagai alat dan sumber pengetahuan, begitu pula, ia menerima pembagian ilmu menjadi hushûlî dan hudhûrî.
Yang sangat menarik dalam kajian-kajian epistemologinya adalah bahwa ia bersandar pada ilmu hushûlî dan mengembalikan semua ilmu hushûlî itu kepada ilmu hudhûrî. Ia menganggap bahwa hakikat ilmu adalah penyingkapan (kâsyifiyyah). Esensi ilmu adalah penyingkapan, penyibakan, dan penampakan objek eksternal. Dikarenakan ilmu hudhûrî itu tidak memiliki penghubung antara subjek yang mengetahui dan objek yang diketahui, maka diyakini tidak memiliki kesalahan dan kekeliruan. Dengan kata lain, ilmu hudhûrî secara langsung menangkap objek-objek eksternal.
Menurutnya, indra lahir dan batin itu merupakan alat dan sumber pengetahuan manusia dan segala ilmu hushûlî itu dicapai lewat indra batiniah atau konsep-konsep pikiran, yakni konsep-konsep itu ia anggap bersumber dari indra batinyang mencerap apa-apa yang dihasilkan oleh indra lahir seperti mendengar, melihat, dan mencium. Ia memandang bahwa perbuatan melihat itu misalnya merupakan pengkondisian untuk hadirnya reaksi fakultas penglihatan (al-quwwah al-bâshirah) dan kita mendapatkan gambaran-gambaran objek eksternal itu dari reaksi fakultas jiwa, bukan dari penglihatan langsung mata terhadap objek luar itu. Penglihatan mata itu akan menghasilkan reaksi khusus fakultas jiwa dan segala gambaran dan konsep pikiran yang dicerap dari fakultas tersebut pada dasarnya adalah pengetahuan esensial (ma’lum bidz- dzat, essential known). Dari hal ini, menurutnya, objek-objek eksternal pada hakikatnya adalah pengetahuan aksidental (ma’lum bil ‘aradh, accidental known) bagi manusia.
Poin penting lain dari gagasan-gagasannya yang tidak dipaparkan oleh para filosof sebelumnya adalah masalah sumber abstraksi konsep-konsep filosofis seperti konsep sebab, akibat, substansi, aksiden, wujud, tiada, dan lain-lain. Ia menganggap bahwa konsep-konsep tersebut bersumber dari ilmu hudhûrî. Pada prinsipnya, perspektif seperti ini sekaligus merupakan jawaban atas keraguan David Hume dan Immanuel Kant yang menolak konsep-konsep seperti sebab, akibat, dan sejenisnya dan menganggap segala konsep seperti itu adalah buatan pikiran semata, hal ini karena, menurutnya, konsep-konsep seperi itu tidak bisa dicerap langsung oleh indra lahir. Namun, menurut Thabathabai, tidaklah demikian bahwa apabila suatu konsep yang tidak bisa dicerap oleh indra lahir lantas dikategorikan sebagai konsep-konsep non-hakiki, tidak riil, buatan pikiran, dan khayalan semata.
Ia pun sama dengan beberapa para filosof Islam sebelumnya yang memandang hal-hal gamblang dan aksioma itu sebagai awal ilmu yang melandasi pengetahuan-pengetahuan selanjutnya. Dalam hal yang berhubungan dengan keraguan, kritikan, dan pemikiran kaum Skeptis, jawaban ia atasnya senada dengan Syaikh Isyraq.
Syahid Murtadha Muthahhari ( 1298-1358 H)
Ia adalah murid utama Allamah Thabathabai dan menulis tafsir atas karya gurunya sendiri, Ushul-e Falsafeh wa Realism. Ia dianugerahi kesyahidan oleh Sang Maha Pencipta, Tuhan, di awal-awal kemenangan revolusi Islam Iran yang dimotori oleh Ayatullah Ruhullah Khomeni, pemimpin spiritual mazhab Syiah saat itu.
Mengenai ilmu, ia beranggapan bahwa ilmu itu merupakan hasil dari pendefinisian sesuatu dan membagi ilmu itu menjadi indriawi, imajinasi, dan rasional. Indra juga berperan sebagai sumber ilmu, namun tak mencukupi dan dibutuhkan suatu fakultas lain yang berfungsi sebagai analisator, pengurai, dan penyusun memori yang disebut dengan fakultas akal dan rasional.
Menurutnya, aksioma-aksioma itu merupakan basis awal segala pengetahuan dan juga yakin bahwa pembenaran (tashdiq) mesti berpijak pada rasionalitas. Apabila dalam “pembenaran” itu bersandar kepada indra lahir, maka niscaya akan berujung kepada Skeptisisme, karena dalam kondisi itu, aksioma-aksioma tidaklah bermakna dan semua pengetahuan teoritis tidak akan memiliki pijakan. Dalam pandangannnya, konsep-konsep seperti sebab dan akibat itu berasal dari hubungan antara jiwa dan iradah. Idenya ini sebenarnya merupakan jawaban keraguan dan kritikan David Hume dan Immanuel Kant serta ia juga tidak menerima bahwa konsep-konsep itu dikatakan buatan pikiran manusia semata.
Muthahhari berkeyakinan bahwa validitas argumentasi akal merupakan hal yang gamblang dan tidak butuh pada pembuktian rasional lagi. Ia sependapat dengan gurunya dalam subyek wujud pikiran dimana menekankan “kesesuaian pengetahuan rasional” dengan objek-objek eksternalnya, karena kalau tak demikian halnya akan terperangkap dalam lembah Skeptisisme, tertutup ruang pengkajian filsafat, dan mustahil meraih satu pun pengetahuan.
Abu Yusuf Ya’qub ibn Ishak Al-Kindi (Wafat 252 H)
Al-Kindi ialah filosof pertama dalam dunia Islam. Ia melihat bahwa penalaran akal dan pengamatan indriawi merupakan sumber pengetahun. Akal bertujuan untuk mempersepsi hal-hal universal dan realitas non-fisik, sementara panca indra yang berhubungan dengan perkara-perkara partikular dan benda-benda fisik. Ia beranggapan bahwa akal dan panca indra itu sebagai persepsi-persepsi yang nyata dan tidak bisa diragukan lagi. Sesungguhnya, menurut Al-Kindi, akal memiliki kemampuan untuk mengungkap, menyingkap, dan menggapai hakikat eksternal.
Abu Nashr Al-Farabi (257-329 H)
Al-Farabi berkesimpulan bahwa sumber pengetahuan adalah penalaran akal dan pengamatan indriawi. Namun, panca indra merupakan tahapan awal bagi lahirnya penalaran-penalaran rasional. Ia membagi ilmu itu menjadi yang gamblang dan teoritis. Dan orang tidak mengetahui bagaimana proses hadirnya ilmu-ilmu gamblang, maka tidak akan berakibat terhadap keyakinannya pada ilmu gamblang itu. Ia juga menerima konsep-konsep universal dan mendefinisikannya sebagai suatu konsep yang bisa meliputi dan mencakup individu-individu eksternal yang banyak.
Abu Ali Al-Husain ibn Sina (370-428 H)
Ia termasuk salah seorang filosof yang banyak menguraikan persoalan yang terkait dengan persepsi dan pengenalan. Salah satu kajian pentingnya adalah pendefinisian ilmu dan pembagian ilmu ke dalam ilmu hushûlî dan hudhûrî. Menurut Ibnu Sina, definisi ilmu ialah penggambaran sesuatu oleh pengindra. Penggambaran ini meliputi pemahaman hakikat sesuatu dan penggambaran bentuk sesuatu.
Dalam pandangannya, persepsi itu adalah akal dan indra. Dan membagi indra itu menjadi indra lahir dan indra batin, serta menempatkan indra itu sebagai sumber awal pengetahuan. Persepsi atas konsep-konsep universal itu merupakan karakteristik-karakteristik manusia. Pengetahuan manusia itu berpijak pada hal-hal yang gamblang dan menganggap bahwa hal-hal yang gamblang (badihi, tak butuh pada argumentasi) itu bersifat yakini dan bersesuaian dengan kenyataan luar. pengetahuan tentang eksistensi jiwa itu adalah bersifat hudhûrî (lawan dari hushûlî) dan menunggal dengan jiwa itu sendiri. Pengetahuan tentang wujud jiwa ini lebih awal dari setiap persepsi, bahkan lebih awal dari ilmu atas keraguan dan semua kondisi jiwa.
Abu Hamid Al-Ghazali (450-505 H)
Setelah ia melewati masa skeptisitasnya, ia mengkaji secara mendalam persoalan-persoalan epistemologi. Menurutnya, makrifat hakiki adalah suatu pengetahuan yang menyingkap hakikat objek pengetahuan (ma’lum) sedemikian sehingga tidak menyisakan satu bentuk keraguan dan tidak menghadirkan kemungkinan kekeliruan atasnya, keyakinan terhadap hakikat objek luar itu sangatlah kuat sehingga apabila seseorang berkata padanya bahwa batu itu adalah emas atau tongkat itu adalah ular naga, maka keyakinannya tidak akan pernah bergeser sedikitpun dan ia tak terpengaruh olehnya.
Al-Ghazali pernah menelusuri lorong-lorong keraguan dan sampai pada puncak keraguan. Namun, pada akhirnya ia terhidayah dan menggapai keyakinan berkat pertolongan cahaya Ilahi. Ia terperosok ke lembah skeptisitas lewat alur logika dan keluar darinya dengan jalan pengalaman mistik dan intuisi irfani.
Dengan menghitung kesalahan dan kekeliruan panca indra, ia lantas meragukan hal-hal yang indriawi dan beranggapan bahwa sebagaimana akal bisa mengungkap semua kesalahan panca indra, sangat mungkin akan hadir seorang pemikir lain yang mampu menyingkap kekeliruan akal dan membatalkan pengetahuan yang dipandang gamblang oleh akal (seperti angka sepuluh lebih besar dari tiga). Dan ia berkata bahwa dari mana kita yakin bahwa kita dalam kondisi tidak tidur dan berkhayal. Oleh karena itu, kita bisa meragukan segala sesuatu.
Menurutnya, pengalaman mistik dan intuisi irfani (al-kasy wa asy-syuhud al-’irfani). Akan tetapi, ia juga meyakini bahwa jalan logika dan penalaran akal, dengan berpegang teguh pada syarat-syaratnya, sebagai metode memahami hakikat eksternal. Ia menekankan bahwa hasil-hasil yang dicapai oleh pengetahuan itu sangat berpijak kepada penguatan argumentasi-argumentasinya.
Tentang konsep-konsep universal, ia memiliki dua pernyataan dimana yang satu sama dengan definisi yang dianut oleh kaum Peripatetik tentang universal (yakni universal itu bisa mencakup individu yang banyak) dan gagasan keduanya ialah bahwa universal itu sama dengan dengan khayal dan imajinasi partikular.
Fakhr al-Din ar-Razi (543-606 H)
Ia sama dengan para filosof sebelumnya yang menganggap indra lahir dan akal sebagai alat untuk memahami realitas luar, dan setelah menerima kenyataan adanya kekeliruan pada indra lahir, ia kemudian meletakkan akal itu sebagai tolok ukur dalam penentuan kesalahan yang dilakukan oleh indra lahir.
Menurutnya, ilmu itu ialah hubungan antara ‘âlim (yang mengetahui) dengan ma’lum bidz-dzat (pengetahuan esensial). Ia juga menjelaskan tentang keraguan-keraguan yang berhubungan dengan pengetahuan-pengetahuan badihi dan gamblang, namun, menurutnya, keberadaan semua keraguan tersebut tidak mampu menafikan kebenaran pengetahuan yang gamblang tersebut.
Shihab al-Din Yahya al-Suhrawardi (549-587 H)
Syaikh Isyraq beranggapan bahwa metode demonstratif dengan akal (burhân, demonstrative proof) dan metode intuitif (‘irfâni, gnosis) merupakan dua metode yang pasti dalam mencerap objek eksternal, kebenaran, dan pengetahuan hakiki.
Akal dan indra itu dipandang olehnya sebagai alat persepsi dan ia membagi ilmu menjadi hushûlî dan hudhûrî. Ilmu terhadap diri sendiri ia kategorikan sebagai pengetahuan hudhûrî. Mengenai kaum skeptis, ia menyatakan: “Apakah pemikiran mereka itu sendiri mereka pandang sebagai kebenaran ataukah kekeliruan? Atau mereka juga meragukan kebenaran pemikirannya. Apabila mereka katakan bahwa pemikiran mereka itu adalah benar, maka mereka mengakui adanya kebenaran sejati dan pengetahuan hakiki. Akan tetapi, apabila mereka anggap pemikiran mereka itu adalah batil, maka ini berarti bahwa mereka menafikan pemikiran mereka sendiri. Dan untuk soal yang ketiga bahwa apakah mereka juga ragu pada keraguan mereka atau yakin padanya? Jika mereka memiliki keyakinan atasnya, maka mereka percaya terhadap wujud ilmu dan keyakinan dan kalau mereka ragu atasnya, maka seluruh perkataan mereka sama sekali tidak berguna dan sebaiknya kita menampakkan kebohongan perkataan mereka tersebut dihadapan mereka sendiri.” Mengenai hal-hal yang gamblang dan badihi itu, ia menganggapnya sebagai hal-hal yang diyakini dan sesuai dengan realitas eksternal serta awal dari pengetahuan hakiki manusia.
Menurutnya, ilmu kita terhadap objek-objek fisik diperoleh secara langsung dengan melihatnya, namun untuk maujud-maujud non-materi dicapai dengan intuisi (hudhûrî). Dalam keadaan maujud-maujud itu tidak lagi berada dalam liputan langsung indra kita, maka yang hadir di alam pikiran adalah gambaran maujud-maujud tersebut (hushûlî) yang sesuai dengan objek-objek eksternalnya. Ia menyusun dalil bagi kesesuaian gambaran itu dengan objek-objek eksternal. Argumentasinya ialah: Jika kita memiliki ilmu terhadap sesuatu, maka sesuatu telah hadir di alam pikiran kita atau sama sekali sesuatu tidak hadir. Kondisi kedua ini adalah batal, karena seharusnya keadaan sebelum berilmu adalah sama dengan keadaan pasca berilmu, sementara kita merasakan adanya satu peruabahan dalam diri kita. Dan apabila sesuatu telah hadir di alam pikiran kita (kita berilmu), namun, tidak sesuai dengan objek-objek eksternal, maka sesungguhnya kita tidak memiliki ilmu terhadap sesuatu itu. Dengan demikian, makrifat dan pengetahuan kita terhadap segala sesuatu mesti sesuai dengan objek-objek eksternalnya.
Khwajah Nashir al-Din al-Thusi (597-672 H)
Sebagaimana Ibnu Sina, ia menerima hal-hal gamblang itu sebagai pengetahuan pertama dan menggolongkan indra dan akal sebagai alat dan sumber pengetahuan manusia. Ada tingkatan dalam hal-hal yang gamblang (al-badihiyyât) itu, dan menurutnya, tingkatan aksioma (al-awwaliyyât) dan benda-benda fisik (al-mahsûsât) merupakan awal dan dasar pengetahuan manusia.
Sadr al-Din Muhammad al-Syirazi (979-1050 H)
Ia dikenal dengan nama Mulla Sadra. Menurutnya, mustahil mendefinisikan ilmu itu, karena tidak ada yang lebih jelas daripada ilmu yang dengannya ia terdefinisikan. Ia membagi ilmu menjadi hushûlî dan hudhûrî serta mengategorikan pengetahuan terhadap diri sendiri ke dalam ilmu hudhûrî. Dalam pandangannya, keyakinan itu memiliki tingkatan, tingkatan pertama ialah ‘ilm al-yaqîn (argumen rasional), ‘ain al-yaqîn (intuisi ‘irfani), dan haqq al-yaqîn (kesatuan wujud). Mengenai konsep-konsep universal itu ia terkadang menafsirkannya sesuai dengan gagasan kaum Peripatetik, namun, ia lebih cenderung untuk mengartikannya sebagai “penyaksian (al-musyâhadah) intuitif maujud-maujud non-materi”.
Hal-hal yang gamblang itu ialah suatu keyakinan yang sesuai dengan objek-objek eksternal. Dan pada hakikatnya, akal bisa mengetahui hakikat-hakikat eksternal dan jiwa manusia berpotensi menerima manisfestasi dan tajalli seluruh hakikat luar.
Mulla Sadra membagi konsep-konsep universal itu menjadi kuiditas (mahiyah), filosofis, logikal. Konsep-konsep filosofis dan logikal itu disebut sebagai “kategori kedua yang dicerap oleh akal” (secondary intelligibles). Perbedaan keduanya adalah bahwa konsep-konsep kedua filosofis (philosophical secondary intelligibles) terabstraksi dari objek-objek eksternal dan sementara konsep-konsep kedua logikal (logical secondary intelligibles) terabstraksi dari objek-objek dalam pikiran. Apakah konsep-konsep kedua filosofis ini bersifat hakiki atau majasi? Ia menyatakan bahwa konsep-konsep ini merupakan ungkapan dari tingkatan-tingkatan wujud eksternal, dimana setiap maujud yang lemah, pancaran dan pengungkapannya pun akan lemah dan berada pada batas “kemungkinan” untuk dicerap oleh akal. Dan begitu pula sebaliknya, suatu maujud yang kuat dan sempurna maka pengungkapan dan pancaran wujudnya pun akan semakin kuat dan berada pada batas “kemestian” untuk bisa diindra oleh akal. Perlu diketahui bahwa batas “kemungkinan” dan “kemestian” untuk dicerap ini merupakan ungkapan derajat-derajat eksistensi.
Pembahasan lain yang dijabarkan Mulla Sadra ialah mengenai wujud pikiran. Materi ini ia jelaskan secara terperinci Dalam kajian tentang wujud pikiran ini, ditegaskan tentang kesatuan kuiditas. objek pikiran dan objek eksternal dimana hal ini sangat ampuh menyelesaikan persoalan rumit mengenai kesesuaian ilmu manusia dengan objek-objek eksternal. Mulla Sadra dalam hal ini, berupaya menganalisa secara teliti dan cermat persoalan tersebut dan memberikan solusi secara akurat, komprehensif, dan sempurna sedemikian sehingga tak menyisakan lagi hal yang perlu dibahas. Ia mengajukan metode baru dalam menyelesaikan persoalan tersebut dan sekaligus menyempurnakan argumentasi dan burhan yang dikonstruksi oleh Syaikh Isyraq. Ia berkata, “Ketika kita meraih suatu ilmu, maka sesuatu telah hadir dalam jiwa kita dimana hal itu tidak ada sebelumnya. Dan terdapat pengaruh yang berbeda antara kehadiran sesuatu tertentu dan kehadiran sesuatu yang lain dalam jiwa. Oleh sebab itu, pengaruh kehadiran sesuatu tertentu tidak lain karena kesesuaiannya dengan objek eksternalnya.
Al-Hajj Mulla Hadi al-Sabzawari (1212-1277 H)
Gagasannya mengenai pembagian ilmu, tentang aksioma yang merupakan pijakan utama bagi ilmu-ilmu lain serta kajian mengenai wujud pikiran tidak berbeda dengan perspektif Mulla Sadra. Namun, dalam pembahasan tentang philosophical and logical secondary intelligibles, ia menjelaskannya secara khusus:
a. Konsep-konsep kuiditas adalah suatu sifat khusus bagi objek-objek eksternal dan juga diatributkan kepada subyeknya di alam eksternal. Masing-masing konsep itu mempunyai objek abstrasi tersendiri
b. Konsep-konsep filosofis adalah suatu sifat khusus bagi objek-objek di alam eksternal, akan tetapi, dipredikasikan pada subyeknya di alam pikiran. Di alam luar tidak akan ditemukan dua realitas yang berbeda, jadi perbedaan itu hanya ada di alam pikiran. Kedua konsep yang berbeda terabstraksi pada satu objek eksternal.
c. Konsep-konsep logikal adalah kebalikan dari konsep-konsep kuiditas yakni suatu sifat khusus bagi perkara-perkara di alam pikiran (subjektivitas) dan dipredikasikan kepada subyeknya juga di alam pikiran. Konsep ini tidak berhubungan dengan maujud-maujud alam eksternal (objektivitas) dan tidak menyatu dengannya serta tidak terabstraksi dari objek-objek luar. Konsep-konsep ini adalah sifat-sifat dan karakteristik-karakteristik bagi perkara-perkara pikiran semata.
Ia juga beranggapan bahwa pengetahuan hakiki itu adalah suatu kebenaran yang sesuai dengan objek-objek eksternalnya dan kebenaran setiap proposisi itu berbanding lurus dengan proposisi itu sendiri, yakni hakikat setiap sesuatu berdasarkan asumsi yang terdapat dalam proposisi itu, terkadang asumsinya ialah ketiadaan, terkadang keberadaan, terkadang memiliki objek abstraksi di luar, atau memiliki bentuk-bentuk eksistensi yang lain. Gagasannya ini merupakan poin penting dalam pembahasan epistemologi.
Muhammad Husain Thabathabai (1281-1360 H)
Ia adalah filosof Islam pertama yang meletakkan epistemologi sebagai disiplin ilmu baru. Segala keraguan dan kritikan yang di alamatkan kepada epistemologi, ia kaji secara cermat dan berupaya mencarikan jawabannya yang akurat serta membahas poin-poin penting epistemologi. Ia sepakat dengan filosof-filosof sebelumnya yang menempatkan penalaran akal dan pengamatan indriawi sebagai alat dan sumber pengetahuan, begitu pula, ia menerima pembagian ilmu menjadi hushûlî dan hudhûrî.
Yang sangat menarik dalam kajian-kajian epistemologinya adalah bahwa ia bersandar pada ilmu hushûlî dan mengembalikan semua ilmu hushûlî itu kepada ilmu hudhûrî. Ia menganggap bahwa hakikat ilmu adalah penyingkapan (kâsyifiyyah). Esensi ilmu adalah penyingkapan, penyibakan, dan penampakan objek eksternal. Dikarenakan ilmu hudhûrî itu tidak memiliki penghubung antara subjek yang mengetahui dan objek yang diketahui, maka diyakini tidak memiliki kesalahan dan kekeliruan. Dengan kata lain, ilmu hudhûrî secara langsung menangkap objek-objek eksternal.
Menurutnya, indra lahir dan batin itu merupakan alat dan sumber pengetahuan manusia dan segala ilmu hushûlî itu dicapai lewat indra batiniah atau konsep-konsep pikiran, yakni konsep-konsep itu ia anggap bersumber dari indra batinyang mencerap apa-apa yang dihasilkan oleh indra lahir seperti mendengar, melihat, dan mencium. Ia memandang bahwa perbuatan melihat itu misalnya merupakan pengkondisian untuk hadirnya reaksi fakultas penglihatan (al-quwwah al-bâshirah) dan kita mendapatkan gambaran-gambaran objek eksternal itu dari reaksi fakultas jiwa, bukan dari penglihatan langsung mata terhadap objek luar itu. Penglihatan mata itu akan menghasilkan reaksi khusus fakultas jiwa dan segala gambaran dan konsep pikiran yang dicerap dari fakultas tersebut pada dasarnya adalah pengetahuan esensial (ma’lum bidz- dzat, essential known). Dari hal ini, menurutnya, objek-objek eksternal pada hakikatnya adalah pengetahuan aksidental (ma’lum bil ‘aradh, accidental known) bagi manusia.
Poin penting lain dari gagasan-gagasannya yang tidak dipaparkan oleh para filosof sebelumnya adalah masalah sumber abstraksi konsep-konsep filosofis seperti konsep sebab, akibat, substansi, aksiden, wujud, tiada, dan lain-lain. Ia menganggap bahwa konsep-konsep tersebut bersumber dari ilmu hudhûrî. Pada prinsipnya, perspektif seperti ini sekaligus merupakan jawaban atas keraguan David Hume dan Immanuel Kant yang menolak konsep-konsep seperti sebab, akibat, dan sejenisnya dan menganggap segala konsep seperti itu adalah buatan pikiran semata, hal ini karena, menurutnya, konsep-konsep seperi itu tidak bisa dicerap langsung oleh indra lahir. Namun, menurut Thabathabai, tidaklah demikian bahwa apabila suatu konsep yang tidak bisa dicerap oleh indra lahir lantas dikategorikan sebagai konsep-konsep non-hakiki, tidak riil, buatan pikiran, dan khayalan semata.
Ia pun sama dengan beberapa para filosof Islam sebelumnya yang memandang hal-hal gamblang dan aksioma itu sebagai awal ilmu yang melandasi pengetahuan-pengetahuan selanjutnya. Dalam hal yang berhubungan dengan keraguan, kritikan, dan pemikiran kaum Skeptis, jawaban ia atasnya senada dengan Syaikh Isyraq.
Syahid Murtadha Muthahhari ( 1298-1358 H)
Ia adalah murid utama Allamah Thabathabai dan menulis tafsir atas karya gurunya sendiri, Ushul-e Falsafeh wa Realism. Ia dianugerahi kesyahidan oleh Sang Maha Pencipta, Tuhan, di awal-awal kemenangan revolusi Islam Iran yang dimotori oleh Ayatullah Ruhullah Khomeni, pemimpin spiritual mazhab Syiah saat itu.
Mengenai ilmu, ia beranggapan bahwa ilmu itu merupakan hasil dari pendefinisian sesuatu dan membagi ilmu itu menjadi indriawi, imajinasi, dan rasional. Indra juga berperan sebagai sumber ilmu, namun tak mencukupi dan dibutuhkan suatu fakultas lain yang berfungsi sebagai analisator, pengurai, dan penyusun memori yang disebut dengan fakultas akal dan rasional.
Menurutnya, aksioma-aksioma itu merupakan basis awal segala pengetahuan dan juga yakin bahwa pembenaran (tashdiq) mesti berpijak pada rasionalitas. Apabila dalam “pembenaran” itu bersandar kepada indra lahir, maka niscaya akan berujung kepada Skeptisisme, karena dalam kondisi itu, aksioma-aksioma tidaklah bermakna dan semua pengetahuan teoritis tidak akan memiliki pijakan. Dalam pandangannnya, konsep-konsep seperti sebab dan akibat itu berasal dari hubungan antara jiwa dan iradah. Idenya ini sebenarnya merupakan jawaban keraguan dan kritikan David Hume dan Immanuel Kant serta ia juga tidak menerima bahwa konsep-konsep itu dikatakan buatan pikiran manusia semata.
Muthahhari berkeyakinan bahwa validitas argumentasi akal merupakan hal yang gamblang dan tidak butuh pada pembuktian rasional lagi. Ia sependapat dengan gurunya dalam subyek wujud pikiran dimana menekankan “kesesuaian pengetahuan rasional” dengan objek-objek eksternalnya, karena kalau tak demikian halnya akan terperangkap dalam lembah Skeptisisme, tertutup ruang pengkajian filsafat, dan mustahil meraih satu pun pengetahuan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar