II. PERGESERAN PENGERTIAN ILMU PENGETAHUAN
Kata pengetahuan adalah kosa kata bahasa Indonesia dari kata dasar tahu, atau kata dasar jadian mengetahui. Kata teknologi diambil dari kata Inggris technology yang diambil dari kosa kata bahasa latin teknos dan logos. Teknologi kurang lebih berarti ilmu tentang teknik, sementara teknik berarti seni membuat atau meningkatkan nilai tambah atas proses atau barang.
Adapun IPTEK merupakan akronim (singkatan) gado-gado dari kata ilmu pengetahuan dan teknologi. Kata ilmu berasal dari kosa kata al-Qur’an ‘ilm, jamaknya ‘ulum. Dari kata ini dapat diturunkan kata ‘aliim yang berarti orang yang berilmu dan kata ‘ulama, yaitu kumpulan para ‘aliim. Kata alam juga berasal dari akar kata yang sama. Sesuai dengan pernyataan Al-Qur’an, ilmu merupakan rangkaian informasi dari Allah -’allama al qur’an, ‘allamahu al bayan-yang juga mencakup informasi astronomi dan biologi -wa syamsu wa al qamaru bihusban, wa an najmu wa as syajaru yasjudan, dst.-.
Selengkapnya….Manusia dilahirkan tanpa mengetahui apapun -la ta’lamuuna syai-an. Ia datang ke dunia sebagai makhluq asing, atau lebih tepatnya buta pengetahuan. Panca inderanya menangkap gejala-gejala alam, namun tanpa pengetahuan, gejala tadi tidak dapat dipahaminya. Seakan-akan, gejala alam yang hadir didepannya hanyalah sebuah mosaik tanpa makna, bagaikan batu bata berserakan tanpa guna.
Ibunya-lah yang pertama memberi pelajaran. Adapun Adam, sebagai makhluq manusia sosiologis (berbudaya) yang pertama, diajar langsung oleh Allah swt. Perhatikan Wa ‘allama aadama al asmaa’a kullaha- yang memperkenalkan nama-nama benda di sekitarnya. Nama-nama itu merupakan konsep primitif yang mengabstraksikanbenda-benda dan terekam (melalui bunyi ataupun tulisan) dalam ingatan. Dengan nama-nama itu, manusia mampu mengasosiasikan benda dengan gagasan yang ada dalam ingatannya. Inilah potensi utama manusia -wa ja’ala lakum as sam’a wa al abshar wa al af-idah- supaya kita syukuri – la’allakum tasykuruun.
Konsep berikutnya adalah susunan nama, tepatnya susunan kata, yang biasa disebut frasa. Konsep berikutnya yang lebih kompleks disebut, beturut-turut, kalimat, paragraph, bab, buku, dan akhirnya seluruh khasanah pengetahuan. Khasanah pengetahuan itu berarti juga bahasanya. Khasanah pengetahuan yang tersusun secara sistematik disebut ilmu. Demikianlah ilmu sebagai kumpulan kalimat-kalimat yang mengandung pengertian-pengertian tertentu (-ini berarti pula bahwa penguasaan bahasa merupakan prasyarat bagi pengembangan ilmu-).
Susunan pengetahuan ini kemudian membentuk kesadaran manusia. Susunan pengetahuan yang keliru akan menyesatkan kesadaran manusia, sehingga manusia tidak tahu diri, menyalahgunakan diri dan lingkungannya, dan gilirannya mengembangkan potensi perusakan di atas permukaan bumi ini. Sebaliknya, dengan ilmu itu manusia tidak lagi merasa terlalu asing dengan alam di sekitarnya, ia mulai -sedikit demi sedikit- mengenalinya dan mengembangkan budaya-nya.
Susunan pengetahuan manusia sebagaimana tersirat dalam khasanah ilmupengetahuan ummat manusia, sesungguhnya dapat dikelompokkan berdasarkan pijakan epistemologi ilmu pengetahuan (cara memperoleh pengetahuan). Hal ini disebabkan karena pijakan epistemologi menentukan kesahihan pengetahuan yang diperoleh dari kegiatan pengembangan ilmu pengetahuan itu sendiri.
Sepanjang sejarah perkembangan ilmu pengetahuan, telah terjadi pergeseran epistimologi yang ditandai oleh, diantaranya, pergeseran pengertian ilmu. Saat ini, pengertian ilmu didefinisikan secara berbeda oleh sains kontemporer dari apa yang telah dinyatakan oleh al-Qur’an. Sains kontemporer mendefinisikan ilmu sebagai organized body of knowledge supported by facts, organisasi pengetahuan yang disusun atas dasar fakta: rasional & empiris. Ini berarti bahwa ilmu difahami sebagai hasil karya manusia semata-mata. Pergeseran ini terjadi karena perubahan paradigma (atau grand theory) yang menjadi landasan pengembangan ilmu pengetahuan itu sendiri.
III. PERKEMBANGAN IPTEK & KELAHIRAN SEKULARISME
Pengembangan iptek dapat dipahami dengan memperhatikan apa yang selama ini oleh masyarakat ilmiah disebut sebagai metode ilmiah. Metode ilmiah hanya berlaku untuk masa normal -menurut Thomas Kuhn-. Masa normal ditandai oleh kemapanan paradigma, atau grandtheory tertentu. Hingga pada saat itu (selama masa normal), semua gejala alam dapat dijelaskan -atau akan terpecahkan kemudian oleh sebuah teori- dengan merujuk pada grand theory tersebut. Artinya, grand theory tersebut menjadi asumsi dasar bagi teori-teori tadi.
Kemapanan paradigma ini berakhir pada saat grand theory ini tidak dapat lagi menjelaskan gejala-gejala baru secara memuaskan. Selanjutnya timbul masa krisis. Masa krisis ini berakhir saat ditemukannya grand theory atau paradigma baru yang dapat menjelaskan gejala tadi secara lebih memuaskan. Ini disebut sebagai pergeseran paradigma. Contoh klasik pergeseran paradigma ini terjadi pada mekanika newtonian yang digantikan oleh mekanika kuantum (einsteinian). Pergeseran paradigma ini oleh Kuhn dianggap sebagai sebuah revolusi. Melalui cara inilah iptek modern berkembang. Kelemahan mendasar pada iptek modern adalah ketidaktuntasan khasanah ilmu yang dipakainya dan metode atau cara pemerolehan pengetahuannya. Khasanah ilmu sebagai karya umat manusia dikembangkan oleh berbagai bangsa dengan bahasa yang berbeda-beda dalam kurun waktu yang berbeda pula. Perkembangan iptek memiliki sejarah tersendiri. Perkembangan iptek terpenting terjadi saat ummat Islam menjadi ujung tombak peradaban manusia, merentang sejak sekitar abad VII sampai kurang lebihabad ke XIV (selama 700 tahun). Pada saat itu Qur’an menjadi bagian penting khasanah ilmu umat manusia. Pada saat keruntuhan peradaban Islam yang kemudian diikuti oleh zaman renaissance, qur’an tidak lagi diakui sebagai bagian khasanah ilmu ummat manusia.
Kemudian, iptek berkembang di Eropa dengan semangat anti gereja, dikembangkan secara naturalistik aristotelian. Ilmu didefinsikan sebagai pengetahuan hasil karya manusia semata-mata. Hal ini memuncak dengan berkembangnya aliran pemikiran eksistesialisme yang memproklamirkan kematian Tuhan dan kelahiran manusia superman yang tahu segala-galanya. Ini merupakan sebagian penjelasan atas terjadinya kehancuran ekosistem kita dewasa ini, yaitu eksploitasi alam oleh manusia-manusia yang menganggap dirinya super.
Akibat proklamasi kematian Tuhan ini, manusia merasa menjadi satu-satunya subyek yang dapat memperlakukan alam sepenuhnya sebagai obyek. Pengetahuan manusia modern -baca Barat- tentang alam berkembang sangat pesat, sementara pengetahuannya tentang Tuhan menjadi sangat sedikit.
Sayang sekali, kemunduran dunia Islam diikuti oleh timbulnya cara berpikir idealisme platonian. Berbeda dengan Barat, pengetahuan ummat Islam tentang Tuhan menjadi berlebihan, sementara pengetahuannya tentang alam menjadi sedikit sekali. Pada gilirannya memicusuburnya khurofat, tahayul dst.
Dengan dua cara berpikir itulah, ummat manusia mengalami sekulerisasi, yaitu pemisahan antara dunia dan akhirat, ilmu umum dan ilmu agama, dsb. Cara pandang naturalistik telah menjerumuskan manusia kepada penghambaan terhadap benda (materialisme), sementara cara pandang idealisme telah menjerumuskan manusia pada penghambaan terhadap sesama manusia -paus, kyai, pendeta dan penguasa-.
IV. LANDASAN PENGEMBANGAN IPTEK
Landasan pengembangan iptek dapat dibangun dengan memperhatikan tiga pertanyaan berikut :
1. Obyek apa sajakah yang dapat dikaji sebagai iptek ?
2. Untuk apakah iptek itu, atau apa motif pengembangan iptek ?
3. Bagaimanakah cara pemerolehan pengetahuan yang obyektif ?
Jelas, bahwa tiga pertanyaan ini tidak mungkin dijawab oleh iptek itu sendiri. Pertanyaan pertama menyangkut pijakan ontologi iptek, sementara pertanyaan kedua menyangkut pijakan aksiologinya, dan pertanyaan ketiga menyangkut pijakan epistemologinya.
Pertanyaan terpenting yang harus dijawabmanusia tentu saja tentang siapa dirinya sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat. Pertanyaan ini oleh sains modern telah lama diremehkan. Dan sebagai obyek/disiplin ilmu pengetahuan, ilmu tentang manusia (atau sebutlah ilmu sosial) termasuk yang tertinggal dari segi percepatannya. Ini semata-mata disebabkan karena eksistensi manusia sendiri merupakan pemberian, bukan hasil keputusannya sendiri.
Bilapun pertanyaan pertama dapat dijawab, maka tujuan pengembangan iptek pada dasarnya adalah untuk meningkatkan kualitas eksistensinya sendiri. -Uskun anta wa zaujuka al jannah !-. Namun demikian, tolok ukur apakah yang paling relevan untuk mengukur kualitas eksistensi manusia ? Al-Qur’an mengatakan bahwa tolok ukur ini adalah taqwa -inna akramakum ‘inda Allahi atqaakum-, sementara taqwa ditentukan oleh iman – al muttaqiin : alladziina yu’minuuna bi al ghaib, wa yuqiimuuna as sholaah wa min maa razaqnaahum yunfiquun-.
Motif-motif pengembangan iptek di luar konteks peningkatan iman telah terbukti mengakibatkan kerusakan lingkungan alam, sosial dan psikologis ummat manusia sebagaimana terlihat dalam krisis global yang menjadi persoalan manusia modern di ujung abad 20 ini. Problem kerusakan alam yang telah di-list pada Konferensi Bumi di Brasil 1994; problem kriminalitas, pelacuran dan distabilitas sosial dunia modern; serta penyakit psikomat dan alienasi (keterasingan jiwa)masyarakat urba adalah contoh-contoh aktual atas proses kerusakan atau kerusakan itu sendiri.
Al-Qur’an telah mengajukan pijakan epistemologis-nya sendiri. Cara pandang al-Qur’an menempatkan manusia sebagai wakil subyek -mutawakkil-, sementara Allah sebagai sumber ilmu adalah subyek -wakil- dan alam semesta sebagai wahana ibadah yang selalu dimulai dengan bismillah dan diakhiri dengan alhamdulillah.
Pengembangan teknologi -sebagai sebuah sistem kemampuan membuat barang, proses atau melakukan sesuatu secara profesional-mensyaratkan penguasaan ilmu pengetahuan yang kokoh. Bila syarat ini tidak dipenuhi, maka yang terjadi adalah konsumerisme teknologi. Ini mengantar kita pada ketergantungan teknologi. Akankah ummat Islam mengidap penyakit konsumerisme terus-menerus? Inilah yang harus dijawab oleh generasi muslim sekarang.
V. PENGEMBANGAN IPTEK DALAM KONTEKS AMAL ISLAMI
Sebagai seorang mahasiswa muslim yang akan memasuki situasi dengan proble yang demikian sulit, mensyaratkan kesiapan kita secara sungguh-sunguh. Persiapan inilah yang pada gilirannya melahirkan kekuatan untuk bergerak, beramal dalam hidup ini sesuai dengan tugas masing-masing dalam mengabdi kepada Allah dan membangun peradabanummat manusia sesuai dengan petunjuk dari-Nya.
Aspek teknologi tidak otomatis lebih baik dari aspek lain dalam perdaban ini, atau sebaliknya. Kesadaran kita untuk beramal secara Islami harus diletakkan di atas kesadaran akan kesatupaduan berbagai aspek hidup dan kesadaran akan pentingnya menghadirkan seluruh aspek hidup tersebut menjadi bentuk nyata ajaran Islam. Ini berarti, kesibukan kita belajar dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi haruslah berada dalam konteks tugas hidup sesuai dengan ajarana Islam.
Hanya dengan demikianlah keterjebakan kita pada sekularisme dapat dihindari, dan kekuatan (izzah) kaum muslimin bangkit kembali.
Petiklah hikamah peristiwa sejarah ini di abad kedua Hijriah ini. Adalah Pangeran Retfeil dari Sajistan membangkang untuk membayar al-kharaj (sejenis pajak kepala) kepada para petugas yang dikirim oleh dinasti Ummayyah. Akibat pembangkangan itu, Dinasti Umayyahpun menyerbu wilayah itu, namun sang pangeran belum berhasil ditundukkan. Kemudian pada masa pemerintahan Yazid bin Abdul Malik, sekali lagi dinasti Umayyah ini mengirimkan delegasinya untuk meminta agar pangeran tersebut bersedia membayar al-kharaj. Dan ketika delegasi itu telah menghadap, pangeran itu bertanya kepadanya :
+ “Di mana orang-orang yang dulu pernah menaklukan kami ? Mereka adalah orang-orang yang kempes perutnya karena lapar, memakai terombah usang dengan tanda di dahi bekas sujud?”
- “Mereka telah tiada”, jawab delegasi itu
+”Anda sekalian memang jauh lebih gagah dibandingkan mereka, tetapi mereka jauh lebih memenuhi janji ketimbang anda, dan jauh lebih hebat”.
Sejarah mencatat bahwa pangeran ini tetap membangkang membayar al-kharaj dan dia tak pernah tunduk barang sekejap-pun kepada pemerintahan Islam sepanjang masa pemerintahannya.
Dalam kisah yang lain, setelah balatara Islam tiba di lembah Yordan dan pasukan Abu ‘Ubaidah tiba di Fahl, penduduk Nasrani di negeri itu menulis surat kepada tentara muslim, mengatakan : ” Hai kaum muslimin, kalian lebih kami sukai dari pada orang-orang Romawi kendatipun mereka itu seagama dengan kami. Kalian lebih jujur terhadap kami dan kalian lebih ramah, tidak zalim kepada kami dan lebih baik memberi perlindungan kepada kami. Mereka (orang-orang Romawi) merusak urusan kami dan merampas rumah-rumah kami”. Penduduk Aleppo menutup pintu gerbang kota mereka untuk menahan masukknya pasukan Heraclius dan memberitahu kaum muslimin bahwa perlindungan dan keadilannya lebih mereka sukai dari pada kezaliman dan kesewenang-wenangan orang-orang Romawi.
Demikianlah perasaan penduduk negeri-negeri Syam dalam menghadapi peperangan yang berkobar dari tahun 633 hingga tahun 639 M, yaitu peperangan dimana pasukan muslim berhasil mengusir balatentara Romawi dari negeri-negeri itu secara berangsur-angsur.
Dua kisah di atas adalah cuplikan kecil dari serangkaian peristiwa besar dalam sejarah Islam. Retfiel adalah seorang yang memusuhi Islam dan musuh kaum Muslimin, berdasarkan pengamatannya dan yang ia alami telah mengemukakan kalimat yang sangat tepat dalam menggambarkan hjakekat kekuatan Islam. Pangeran ini menjelaskan bahwa hakekat kekuatan utama bukan semata-mata terletak pada besarnya angkatan bersenjata dan canggih teknologi perang atau pengeraha personal secara besar-besaran, tetapi utamanya terletak pada kekuatan ruhiah dan ketinggian akhlak dan konsistensi mereka kepada ajaran al-Islam.
Kekuatan inilah tidak hanya telah mampu mendobrak pintu dunia tanpa sarana material yang hebat tetapi juga telah dapat merebut hati dari orang-orang yang mendiami wilayah yang sangat luas. Kekuatan ini telah sirna pada masa dinasti Umayyah, sebaliknya pada masa sebelumnya balatentara muslin dibawah pimpinan Abu ‘Ubaidah penuh vitalitas dengan kekuatan ruhiah dan akhlak yang mulia. Sementara apa penghujung abad 20 ini kita menyaksikan negara adi daya Uni Soviet yang memiliki teknologi canggih luar angkasa terkemuka di dunia ambrukberkeping-keping, justru dari kekuatan internal-nya sendiri.
Ini berarti tugas kita untuk belajar dan pengembangan IPTEK sebagai wasail al hayah haruslah tetap berada dalam ajaran al-Qur’an sebagai minhaj a-hayah. Dengan semangat demikian, seorang muslim akan semakin giat dalam belajar, bekerja dan berjuang, sebab sekecil apapun pekerjaan itu ada nilainya tersendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar