STIT AT-TAQWA CIPARAY BANDUNG

Selasa, 28 Juni 2011

Filsafat Administrasi Pendidikan

1. Filsafat
Banyak pengertian mengenai filsafat yang dikemukakan oleh para filosof, antara lain:
a. Plato: Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang bersifat untuk mencapai kebenaran asli.
b. Deskartes: Filsafat adalah kumpulan segala pengetahuan dimana Tuhan, alam, dan manusia menjadi pokok penyelidikan.
c. Immanuel Kant: Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang menjadi pokok dan pangkal segala pengetahuan yang tercakup dalam empat persoalan yaitu metafisika, etika, agama, dan antropologi.
d. Filsafat adalah pemeriksaan kritis tentang dasar untuk kepercayaan fundamental, serta analisis dari konsep dasar yang dipakai untuk menyatakan kepercayaan itu.
Kesimpulan:
Filsafat secara etimologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu philosophia yang terdiri dari kata philos yang berarti cinta, atau philia yang berarti persahabatan, dan sophos yang berarti inteligensi, kebijaksanaan, keterampilan, pengalaman, dan pengetahuan. Jadi filsafat adalah cinta kepada kebijaksanaan. Berfilsafat berarti berfikir menurut tata tertib (logika) dengan bebas (tidak terikat pada tradisi, dogma dan agama) dan dengan sedalam-dalamnya sampai ke dasar-dasar persoalan. Filsafat adalah induk dari segala ilmu pengetahuan yang berusaha mencari kebenaran dengan mencari sebab- sebabnya yang terdalam dengan mempergunakan metodologi yang sistematis, radikal, dan universal sehingga filsafat merupakan suatu proses dan hasil dari pemikiran yang mendalam dan menyeluruh. Objek kajian filsafat adalah persoalan-persoalan yang berkaitan dengan alam, manusia dan Tuhan.
Landasan Filosofik (Filsafat Ilmu).
Martin Heidegger, yang semula dikenal sebagai filosof eksistensialis, sejak 1947, dengan bukunya Letter of Humanism mulai dikenal perubahannya, dan selanjutnya dikenal sebagai tokoh yang memberi landasan ontology modern yang phenomenologist. Dalam pandangan Heidegger, ilmu tentang yang ada pilah dari ilmu positif. Ilmu tentang yang ada merupakan teanscendental temporal science, ilmu transenden yang temporal. Makna transenden pada pustaka Barat umumnya diartikan dunia obyektif universal. Demikian pula makna metafisik, sebaga dataran obyektif universal. Berbeda dengan makna transenden dan metaphisi dalam pustaka keagamaan. Menurut Heidegger, humanisme dapat berakar pada dataran metafisik atau setidaknya pada sesuatu yang lebih tinggi dan bearakar pada konsep human being sebagai animal rasional. Being sebagai being momot commonality (ontology) dan momot dasar mutlak dari being, yaitu a supreme Being (teologi), sehingga Heidegger mengenalkan konsep Being atau Da-Sein (d artinya disini; dan Sein artinya Being)
(Muhadjir, 1998:51-52)..
Telaah aksiologi terhadap aliran Humanisme dapat didekati dengan teori etika hak asasi manusia dari John Locke (1632-1704). Menurut John Locke, hak asasi ditafsirkan sangat individualistic. Hak kebebasan individual, pada hak negatifnya menjadi tidak mencampuri kehidupan orang lain. Melden (1977) berpendapat bahwa hak moral kebebasan individu mempunyai saling keterkaitan antarindividu.
Filsafat ilmu pendidikan: Merupakan Filsafat Khusus atau Filsafat Terapan yang mempunyai objek kenyataan salah satu aspek kehidupan manusia yang penting, menyelidiki hakikat pelaksanaan pendidikan yang bersangkut paut dengan tujuan latar belakang, cara, dan hasilnya, serta hakikat ilmu pendidikan yang bersangkut paut dengan analisis kritis terhadap struktur dan kegunaannya.Rasionalisme
2. a. ALIRAN POISSITIVISME
Pandangan Khas August Comte
Positivisme dirintis oleh August Comte (1798-1857), yang dianggap sebagai Bapak ilmu Sosiologi Barat. Positivisme sebagai perkembangan Empirisme yang ekstrim, adalah pandangan yang menganggap bahwa yang dapat diselidiki atau dipelajari hanyalah “data-data yang nyata/empirik”, atau yang mereka namakan positif. Nilai-nilai politik dan sosial menurut Positivisme dapat digeneralisasikan berdasarkan fakta-fakta yang diperoleh dari penyelidikan terhadap kehidupan masyarakat itu sendiri. Nilai-nilai politik dan sosial juga dapat dijelaskan secara ilmiah, dengan mengemukakan perubahan historis atas dasar cara berpikir induktif. Jadi, nilai-nilai tersebut tumbuh dan berkembang dalam suatu proses kehidupan dari suatu masyarakat itu sendiri.
August Comte adalah pendiri mazhab Positivisme, dia menginginkan seluruh fenomena-fenomena sosial dianalisa dan diobservasi, sama seperti kita mengobservasi dan menganalisa fenomena-fenomena alam. Selain pandangan di atas, Comte juga menerima pandangan lain yang disebut sebagai Fungsionalisme, yang menyelidiki fenomena-fenomena sosial berdasarkan fungsi-fungsinya. Selain kedua pandangan di atas, Comte juga menerima pandangan Evolusionisme, dan dengan ketiga pandangan tersebut ia mencoba meneliti dan menganalisa masyarakat. Comte meyakini bahwa faktor mendasar sebuah perubahan dalam masyarakat adalah pengetahuan, dan tahapan-tahapan evolusi masyarakat dan pengkategorian pengetahuan merupakan titik fokus bangunan pemikirannya. Sekarang kita akan mencoba meringkas pandangannya mengenai agama. Oleh karena itu, dalam pandangan Comte, walaupun masyarakat modern butuh pada agama, namun agamanya haruslah dalam ruang lingkup ilmu, positivistik dan sesuai dengan masyarakat modern. Artinya bahwa setiap tahapan dari evolusi pemikiran masyarakat, menciptakan sebuah institusi sosial yang sesuai dengan tahapan tersebut. Oleh karena itu, jika terdapat dua atau beberapa institusi yang hadir dalam masyarakat yang satu, mungkin saja akan menyebabkan sebuah krisis dalam masyarakat. Comte meyakini bahwa krisis sosial yang terjadi dalam masyarakat disebabkan oleh bercampurnya system-sistem pemikiran klasik dan modern.

b. Aliran Empirisme
Aliran ini beranggapan bahwa pengalamanlah sumber dari segala pengetahuan. Pengalaman dapat bersifat lahiriah ( yang menyangkut dunia ), maupun yang bathiniah ( menyangkut pribadi manusia. Dalam hal ini, pengenalan inderawi merupakan bentuk pengenalan yang paling jelas dan sempurna. Tokoh- tokohnya:
1. Francis Bacon (1210 -1292)
2. Thomas Hobbes ( 1588 -1679)
3. John Locke ( 1632 -1704)
4. George Berkeley ( 1665 -1753)
5. David Hume ( 1711 -1776)
6. Roger Bacon ( 1214 -1294)
c. Aliran Materialisme
Aliran yang menganggap bahwa asal atau hakikat segala sesuatu adalah materi. Di antara tokohnya ialah Feuerbach (1804-1872), Karl Marx (1818-1883) dan Fredericht Engels (1820-1895). Karl Marx menerima konsep Dialektika Hegel, tetapi tidak dalam bentuk aslinya (Dialektika Ide). Kemudian dengan mengambil Materialisme dari Feuerbach, Karl Marx lalu mengubah Dialektika Ide menjadi Dialektika Materialisme, sebuah proses kemajuan dari kontradiksi-kontradiksi tesis-antitesis-sintesis yang sudah diujudkan dalam dunia materi. Dialektika Materialisme lalu digunakan sebagai alat interpretasi terhadap sejarah manusia dan perkembangannya. Interpretasi inilah yang disebut sebagai Historis Materialisme, yang menjadi dasar ideologi Sosialisme-Komunisme (Marxisme).
Posisi pendidikan dalam belantara filsafat metafisika adalah sebagai sarana untuk berfikir ilmiah untuk mendapatkan kebenaran yang selalu dipertanyakan dalam filsafat. Pendidkan juga menjembatani antara kondisi- kondisi actual dengan kondisi- kondisi ideal. Artinya pendidikan adalah merupakan objek kajian atau penelitian dari masalah filsafat ilmu pendidikan.
Dimensi-dimensi utama filsafat ilmu, yaitu : ontology, epistemology, dan aksiologi. Ontologi adalah hakikat yang Ada (being, sein) yang merupakan asumsi dasar bagi apa yang disebut sebagai kenyataan dan kebenaran.
Epistemologi adalah sarana, sumber, tatacara untuk menggunakannya dengan langkah-langkah progresinya menuju pengetahuan (ilmiah).
Aksiologi adalah nilai-nilai (value) sebagai tolok ukur kebenaran (ilmiah), etik, dan moral sebagai dasar normative dalam penelitian dan penggalian, serta penerapan ilmu (Wibisono, 2001).
Persoalan pendidikan adalah persoalan filsafat. Pendidikan dan filsafat tidak terpisahkan karena akhir dari pendidikan adalah akhir dari filsafat, yaitu kearifan (wisdom). Dan alat dari filsafat adalah alat dari pendidikan, yaitu pencarian (inquiry), yang akan mengantar seseorang pada kearifan.
Filsafat pendidikan memang suatu disiplin yang bisa dibedakan tetapi tidak terpisah baik dari filsafat maupun juga pendidikan, ia beroleh asupan pemeliharaan dari filsafat. Ia mengambil persoalannya dari pendidikan, sedangkan metodenya dari filsafat. Berfilsafat tentang pendidikan menuntut suatu pemahaman yang tidak hanya tentang pendidikan dan persoalan-persoalannya, tetapi juga tentang filsafat itu sendiri. Filsafat pendidikan tidak lebih dan tidak kurang dari suatu disiplin unik sebagaimana halnya filsafat sains atau sains yang disebut mikrobiologi.
Filsafat secara ringkas berkenaan dengan pertanyaan seputar analisis konsep dan dasar-dasar pengetahuan, kepercayaan, tindakan, dan kegiatan. Jadi dalam filsafat terkandung pengertian dua hal, yaitu (1) analisis konsep, dan (2) pendalaman makna atau dasar dari pengetahuan dan sejenisnya. Dengan menganalisis suatu konsep, hakikat makna suatu kata dieksplorasi baik secara tekstual dengan padanannya maupun juga secara kontekstual dalam penggunaannya. Sehingga akan terkuak dimensi-dimensi moral yang khas dalam pemakaiannya, yang membedakannya dari kata yang lainnya. Jadi, memasukkan makna suatu kata sebagai konsep yang khas dalam kesadaran sehingga memiliki asumís-asumsi moral guna membantunya lebih cermat dalam fungsionalisasinya.
Analisis konseptual akan mengantar kita pada setidaknya 2 hal penting: (1) memungkinkan kita melihat secara lebih jernih bagaimana suatu konsep terkait tidak saja dengan konsep-konsep lainnya tetapi juga dengan bentuk-bentuk kehidupan sosial yang berada pada jaringan asumsi-asumsi yang saling bertautan seperti tanggung jawab manusia, hak-hak yang terkait dengan kewenangan, dan peran penderitaan dalam kehidupan kita. Hal tersebut akan mengantar kita pada pemahaman yang lebih baik tentang kehidupan sosial kita. (2) dengan memahami struktur konseptual tertentu, akan memungkinkan kita untuk bisa mencermati asumsi-asumsi moral terkait isu yang ada. Diskusi tentang ini akan mengantar kita lebih jauh pada filsafat moral.
4. Secara bahasa, kata administrasi berasal dari bahasa Latin yang terdiri dari kata ad dan ministrrte . Kata ad mempunyai arti yang sama dengan kata to dalam bahasa Inggris, yang berarti "ke" atau "kepada". Dan kata ministrare sama artinya dengan kata to serve atau to conduct yang berarti "melayani", "membantu" atau "mengarahkan". Dalam bahasa Inggris to administer berarti pula "mengatur", "memelihara" (to look after dan "mengarahkan). Jadi kata "administrasi dapat diaertikan sebagai suatu kegiatan atau usaha untuk membantu, melayani, mengarahkan atau mengatur semua kegiatan di dalam mencapai tujuan.
Administrasi pendidikan adalah disiplin ilmu yang mempelajari usaha kerjasama dengan melibatkan segenap sumber daya yang ada untuk mengembangkan potensi peserta didik dalam mencapai tujuan pendidikan secara efektif dan efisien.tujuan administrasi pendidikan dapat dicapai apabila adanya serangkaian usaha, yang terdiri atas planning, organizing, staffing, directing, dan controlling, serta adanya kerjasama antara para pelaku kegiatan administrasi pendidikan yang memanfaatkan asas pengefektifan dan efisiensi. Adanya tanggung jawab, pembagian tugas, adanya kerja, juga adanya human organization merupakan factor pendukung tercapainya tujuan yang hendak dicapai.



Keuntungan kerjasama manusia dalam berkelompok:
a. The economic incentive is not the only significant motivator. In fact noneconomic social sanctions limit the effectiveness of economic incentives
b. Workers respond to management as members of an informal group, not as individuals.
c. Production levels are limited more by the social norms of the informal organization than by physiological capacities.
d. Specialization does not necessary create the most efficient organization of the work group.
e. Workers use informal organization to protect themselves against arbitrary decisions of management.
f. Informal social organizations will interact with management.
g. Informal leaders are often as important as formal supervisors.
Individuals are active human beings, not passive cogs in amachine.

Artikel

KEUNTUNGAN MANUSIA DALAM KERJASAMA
Manusia, ternyata memiliki kelebihan.Manusia bersedia menolong dan mengulurkan tangan, melewati kelompok keluarga, kenalan atau komunitasnya. Mereka siap menolong orang tidak dikenal, dari etnis atau bangsa lain tanpa pamrih dan tanpa meminta imbalan.
Tentu saja di balik tindakan tanpa pamrih itu, selalu muncul pertanyaan, apakah memang betul-betul tindakannya tidak mengharap imbalan? Apakah dalam dunia yang sudah sangat materialistik, dimana segala sesuatu diukur dengan uang dan imbalan, sikap tanpa pamrih dan sukarela masih dapat eksis? Keuntungan apa yang dapat diperoleh dengan sikap semacam itu? Rangkaian pertanyaan semacam itu, selama bertahun-tahun dilontarkan oleh para ilmuwan.
Penelitian lebih lanjut selama beberapa dekade ini menunjukan, sikap tanpa pamrih pada manusia adalah produk evolusi. Baik itu evolusi genetis maupun evolusi kebudayaan. Keduanya berkaitan amat erat, karena jika evolusi terjadi hanya di satu sektor saja, pola tindakan tanpa pamrih manusia seperti saat ini, diduga tidak akan berkembang. Boleh dikatakan, paguyuban manusia merupakan sebuah anomali. Sebab, paguyubannya berbasis pemisahan yang amat rinci, antara pekerjaan dan kerjasama diantara individu yang tidak memiliki hubungan kekerabatan.
Dalam masyarakat modern, dimana paguyuban manusia dipisah-pisahkan menjadi komunitas atau negara, ternyata sikap dan naluri paguyuban pemburu di zaman purba masih bertahan. Dalam arti, masing-masing kelompok tetap menjalin jaringan relasi tukar-menukar. Serta tetap mempraktekan bentuk yang lebih canggih dari saling membagi bahan pangan, perburuan dan perang kolektif. Interaksi saling menguntungkan
Penelitian dengan dua responden, memang menunjukkan apa yang disebut tindakan murah hati yang saling menguntungkan. Tetapi, ketika polanya diperluas menjadi sebuah paguyuban masyarakat, sikap saling menguntungkan dari dua individu tidak berlaku lagi. Penyebabnya, hubungan timbal balik dalam paguyuban yang lebih besar, menjadi jauh lebih rumit. Selain itu, pola interaksi dan upaya menaikan reputasi lintas kelompok, memiliki dampak besar dalam kerjasama antar man
5. Hubungan antara Filsafat Metafisika, Ilmu Pendidikan, serta Administrasi Pendidikan:
Ketiga unsur di atas sebenarnya saling pengaruh mempengaruhi,,antara Filsafat, Ilmu Pendidikan, dan Administrasi pendidikan. Filsafat terlahir dari keyakinan manusia akan sesuatu yang diawali dengan penyadaran akan sesuatu hal hasil dari sebuah pemikiran. Dari sana lahirlah filsafat ilmu pendidikan, yang kemudian lebih terspesifikasi menjadi filsafat ilmu administrasi pendidikan. Dalam konsep di atas perlu adanya ilmu pendidikan teoritis dan praktik supaya tercipta sebuah perbuatan pendidikan yang akan kembali melahirkan keyakinan baru.
6. Karena dalam mempelajari ilmu administrasi pendidikan kita perlu memahami dan mendalaminya secara menyeluruh, radikal dan universal. Dalam hal ini peranan filsafat besar pengaruhnya karena dalam filsafat dipelajari tentang pencarian- pencarian kebenaran, jelasnya yang lebih mengacu pada ilmu administrasi pendidikan supaya kita lebih memahami konsep tentang administrasi pendidikan.

DAFTAR PUSTAKA

Siagian, Sondang. 1979. Filsafat Administrasi. Jakarta: Gunung Agung.
Mudyahardjo, Redja. 2004.Filsafat Ilmu Pendidikan. Bandung: Rosda.
Suhardan, Dadang. 2006. Supervisi Bantuan Profesional. Bandung: Mutiara Ilmu.
Woodhouse, Mark. 2006. Berfilsafat. Yogyakarta: Kanisius.
Lorens, Bagus. 1996. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia.
Saifullah. 1982.Antara Filsafat dan Pendidikan. Surabaya: Usaha Nasional.
Kattsoff, Louis. 2004. Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Tiara Wacana.
www.te.ugm.ac.id
haqiqie.wordpress.com
www.icas-indonesia.org
www.geocities.com, diambil Maret 2004 Ahmadi, H. Abu dan Nur Uhbiyati. Ilmu Pendidikan. Cet. II; Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2001.
 Daradjat, Zakiah, dkk. Materi Pokok Dasar-dasar Agama Islam. Jakarta: Univ. Terbuka, 1999.Departemen Agama RI. Islam untuk Disiplin Ilmu Pendidikan: Buku Daras Pendidikan Agama Islam pada Perguruan Tinggi Umum Fakultas /Jurusan / Program Studi Pendidikan. Jakarta: tp., 2000.
Gie, The Liang. Sejarah Ilmu-ilmu dari Masa Kuno samapi Zaman Modern. Yogyakarta: Sabda Persada, 2003.
Hanafi, A. Ihktisar Sejarah Filsafat Barat, Jakarta: Pustaka alhusna, 1981.
Nasution, Harun. Falsafat Agama. Cet. VIII; Jakarta: Bulan Bintang, 1991.
Rasjidi, M. dan Harifuddin Cawidu. Islam untuk Disiplin Ilmu Filsafat. Jakarta: Bulan Bintang, 1988.
Suriasumantri, Jujun S. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Popular. Cet. XVIII; Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2005.
Semarna, Cecep. Filsafat Ilmu dari Hakekat Menuju Nilai. Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004.
Semiawan, Conny dkk. Panorama Filsafat Ilmu Landasan Perkembangan Ilmu Sepanjang Zaman. Jakarta: Teraju, 2005.
Shihab, M. Quraish. Membumikan al-Quran: Fungís dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Cet. XVIII; Bandung: Mizan, 1998.
----------------- Wawasan al-Quran: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Amat. Cet. III; Bandung: Mizan, 1996.
Undang-undang No. 20 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pasal 1 ayat 1 tahun 2003.
Barnadib,Imam,1988, Filsafat Pendidikan, Sistem Dan Metode, Andi Offset, Yogyakarta.
Bashori,Tauhid,2004, Pragmatisme Pendidikan, telaah Pemikiran John Dewey, http://www.geocities.com/HotSprings/6774/j-13.html, diambil tahun Maret 2004
Brubacher,1950, Modern Philosophies of Education, New York, Mac Graw Hill Book Company, inc
Hadiwiyono,Harun,1980, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Yogyakarta, Kanisius.
Hamersma,Harry,1984, Tokoh-Tokoh Filsafat Modern, Jakarta, PT Gramedia.
Mudhofir,Ali,1988, Kamus Teori dan Aliran dalam Filsafat, Yogyakarta, Liberty.
Sudiarja,A, 2001, Pendidikan Radikal Tapi Dialogal, Basis No.01-02, Tahun ke-50, Januari-Februari, Yayasan BP Basis, Yogyakarta.
Sunarto, 2003, Konstruksi Epistemologi Max Horkheimer: Kritik Atas Manusia Modern, dalam Epistemologi Kiri, (ed) Listiyono S, Sunarto, Abd, Qadir Shaleh, Penerbit AR RUZZ, Yogyakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar