STIT AT-TAQWA CIPARAY BANDUNG

Selasa, 28 Juni 2011

MUSAQAH

Pengertian Musaqah.
Secara etimologi, Musaqah berasal dari bahasa Arab, fi’il madli-nya adalah saqa yang artinya mengalirkan, karena mengikuti wazan mufa’alah maka kalimat saqa juga berubah menjadi musaqah.
Secara terminologi, Fuqoha berbeda-beda dalam mengertikan musaqah. Perbedaan ini tidak hanya dalam hal redaksional seperti pendapat mereka dalam mengartikan akad-akad yang lain, namun juga menyangkut masalahsubtansial dari musaqah itu sendiri..
Wahbah Zuhaily yang tenar sebagai Fuqoha kontemporer mendefinisikan Musaqah sebagai berikut:
عبارة عن العقد على العمل بالشجر ببعض الخارج, او هي معاقدة على الاشجر الى من يعمل فيها على ان الثمرة بينهما
"Musaqah secara fiqh adalah sebuah istilah dari akad mengenai pekerjaan yang berhubungan dengan pepohonan dengan sebgaian yang dihasilkan olehnya (buahnya), atau perikatan atas beberapa pohon kepada orang yang yang menggarapnya dengan ketetapan buah itu milik keduanya. "
Pengistilahan az-Zuhaily tersebut berbeda dengan pendapat Syafi’iyah, menurut mereka Musaqah adalah:
ان يعامل شحص يملك نخلا اوعنبا سخصا اخز على ان يباشر ثنيهما النخل او العنب بالسقي والتربية والحنظ ونحو ذالك وله في نظير عمله جزاء معين من الثمر اللذي يخرج منه
“Orang yang memilki pohon tamar (kurma) dan anggur Memberikan pekerjaan kepada orang lain untuk kesenangan keduanya dengan menyiram, memelihara dan menjaganya, dan bagi pekerja ia memperoleh bagian tertentu dari buah yang dihasilkan dari pohon-pohon tersebut.”
Imam al-jaziri, penulis kitab madzahibul Arba’ah merumuskan pengertian musaqah sebagai berikut: “akad untuk memelihara pohon ; kurma, tanaman (pertanian) dan yang lainnya dengan syarat-syarat tertentu”.
Hasby as-shiddiqy yang dikenal sebagai ahli hukum islam Indonesia mengartikan musaqoh secara global dan ringkas, yakni:
شركة زراعية على استثمار الشجر
“ kerjasama perihal tanaman menyangkut buah-buahan dari pepohonan”.
Pendapat ulama mengenai Musaqah dan Landasan Hukumnya.
1. Pendapat yang membolehkan.
Ibnu Rusyd dalam Bidayatul mujtahid-nya menuliskan, Jumhur ulama-yakni imam Malik, ats-Tsauri, Abu Yusuf, Muhammad bin al-Hasan (dua orang terakhir ini adalah pengikut Abu Hanifah) serta Ahmad dan Dawud-memegang kebolehan bagi hasil. Menurut mereka, bagi hasil ini dikecualikan dari sebuah hadits yang melarang menjual sesuatu yang belum terjadi dan sewa-menyewa yang tidak jelas.
Mereka berpegangan pada hadits shaahih dari Ibnu Umar r.a yang berbunyi:
ان رسول الله صلى الله عليه وسلم رفع ال يهود خيبر نخل خيبر وارضنا على ان يعملوها من اموالهم ولرسولله صلى الله عليه وسلم شطر ثمرها (اخرجه البخاري ومسلم)
“Rasulullah menyerahkan kepada orang-orang yahudi Khaibar pohon kurma dan tanah khaibar dengaan syarat mereka menggarapnya dari harta mereka, dan bagi Rasulullah adalah separuh dari buahnya” (HR. Bukhari-Muslim).
Dalam satu riwayat juga disebutkan:
انه صلى الله عليه وسلم سا قاهم على نصف ما تخرجه الرض والثمرة (اخرجه البخاري ومسلم)
“Rasulullah saw. Mengadakan transaksi muusaqah dengan mereka (Yahudi Khaibar) atas separuh dari hasil tanah dan buah”(HR. Bukhari-Muslim).
Menurut Imam Malik bahwa masaqah dibolehkan untuk semua pohon yang memiliki akar kuat, seperti delima, tin, zaitun dan pohon-pohon yang serupa dengan itu dan dibolehkan pula untuk pohon-pohon yang berakar tidak kuat, seperti semangka, dalam keadaan pemilik tidak lagi memiliki kemampuan untuk menggarapnya.
Menurut Madzhab Hambali, musaqah diperbolehkan untuk semua pohon yang buahnya dapat dimakan, dalam kitab al-mughni, Imam malik berkata; musaqah diperbolehkan untuk pohon tadah hujan dan diperbolehkan pula untuk pohon-pohon yang perlu disiram. Menurut Hanafiyah semua pohon yang mempunyai akar ke dasar bumi, dapat di-musaqah-kan, seperti tebu.
Ulama-ulama fiqh kontemporer juga mengikuti pendapat ini, di antaranya adalah Wahbah az-Zuhaili (pengarang Fiqh al-Mu’amalah al-Muashirah), Sayyid Sabiq (pengarang fiqh as-Sunnah), dan Afzalur Rahman (pengarang Economic Doctrines of Islam). Di Indonesia, ulama sepakat atas kebolehan musaqah. Disamping itu, teknis, rukun ,dan syarat Musaqah di telah diatur dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah pasal 266, 267, 268, 269, dan 270.
2. Pendapat yang tidak membolehkan.
Ibnu Rusyd juga menuliskan, menurut Abu Hanifah dan orang-orang yang mengikuti pendapatnya , Musaqah itu tidak diperbolehkan sama sekali. Dasarnya ialah bahwa hadits-hadits yang dipakai sebagai hujjah oleh jumhur ulama yang membolehkan, itu bertentangan dengan aturan-aturan pokok, disamping karena hadits tersebut merupakan keputusan terhadap orang-orang yahudi. Boleh jadi, pengakuan Nabi saw. terhadap orang yahudi itu karena mereka dianggap sebagai hamba dan mungkin pula sebagai warga negara dzimmi (kafir warga negara islam). Hanya saja, jika mereka itu dianggap sebgai warga negara dzimmi, maka anggaan ini berlawanan dengan aturan-aturan pokok, karena yang demikian itu berarti menjual sesuatu yang belum terjadi.
Abu Hanifah juga berpendapat bahwa bagaimanapun juga hal tersebut tidak dapat dipandang halal, karena ada kemungkinan bentuk pembagian hasil hasil kebun yang populer saat itu mengandung sifat-sifat yang sama sehingga mengganggu hak-hak salah satu dari kedua belah pihak atau mendorong timbulnya perselisihan. Beliau memandang bahwa kejahatan-kejahatan seperti inilah yang membuat sistem tersebut terlarang.
Jika dikaji lebih lanjut, Abu Hanifah memang pada awalanya sudah mengharamkan akad muzara’ah. Lebih dari itu, beliau dan pengikutnya menyamakan musaqah dan muzara’ah karena Illat yang paling mempengaruhi terhadap pendapat mereka ialah hasil dari akad ini belum ada ( المعدوم) dan tidak jelas (الجهالة) ukurannya sehingga keuntungan yang dibagi sejak semula tidak jelas.
Landasan hadits yang digunakan Abu hanifah adalah :
من كانت له ارض فليزرعها ولا يكريها بثلث ولا بربع ولا بطعام مسمى (متفق عليه)
“ barangsiapa yang memiliki tanah hendaklah mengelolanya, tidak boleh menyewakannya dengan sepertiga atau seperempat, dan tidak pula dengan memakan yang ditentukan”
3. Pendapat yang membolehkan musaqah hanya terbatas pada kurma dan anggur.
Ini adalah pendapat golongan syafi’iyah. Untuk kebolehan keduanya, mereka mempunyai alasan sendiri-sendiri. Untuk kebolehan kurma, mereka beralasan bahwa bagi hasil itu merupakan suatau rukhsah, Oleh karena itu, musaqah tidak berlaku pada semua jenis pertanian kecuali yang disebutkan dalam as-sunnah. Sedangkan dasar Syafi’i membolehkan musaqah pada anggur ialah karena penentuan bagi hasil itu melalui taksiran atas tangkai .
Mereka mendasarkan pendapatnya pada hadits yang diriwayatkan oleh Utab bin Usaid r.a;
ان رسول الله صلى الله عليه وسلم بعثه وامره ان يخرص العنب وتوءديزكاة النخل تمرا (اخرجه ابو داوود)
“Rasulullah saw. mengutus utab dan menyuruhnya untuk menaksir angggur ditangkainya, kemudian zakatnya dikeluarkan berupa zabib (anggur kering), zakat kurma juga dikeluarkan berupa kurma kering (tamar)”
Dalam hadits diatas disebutkan tentang penentuan melalui taksiran atas tangkai pada pohon kurma dan anggur, hal itu berkenaan dengan zakat. Maka seolah-olah syafi’I mengqiyaskan bagi hasil itu pada pohon-pohon tersebut dengan zakat. Dawud (ad-dzahiri-pen.) menolak hadits ini dengan alasan hadits tersebut mursal dan yang meriwayatkan hanya Abdurrahman bin Ishaq, padahal ia bukan orang yang kuat hafalan dan integritasnya.

Perbedaan Musaqah dan Muzara’ah.
Wahbah az-zuhaili merumuskan perbedaan antara Musaqah dan Muzaraah menjadi empat, yaitu:
1. Dalam musaqah, apabila salah satu dari ‘aqidain tidak berkenan untuk meneruskan akad, maka ia boleh dipaksa (untuk meneruskan akad-pen). karena hal itu tidak akan membahayakan (terhadap kebun-pen) disisa akadnya. Berbeda dengan muzaraah, apabila pemilik biji memutuskan akad sebelum biji ditanam, maka ia tidak boleh dipaksa meneruskan, karena akan menimbulkan dlarurat bila diteruskan. Lebih dari itu, akad musaqah adalah akad yang lazim sedangkan muzaraah adalah akad ghairu lazim. Muzaraah tidak lazim kecuali bijinya sudah ditanam.
2. Apabila masa musaqah sudah habis, maka akad tetap berlangsung tanpa upah, dan penggarap menunaikan pekerjaanya kepeda pemilik kebun tanpa upah. Sedangkan dalam muzaraah penggarap harus meneruskan akadnya dengan ujrah mitsl, karena bolehnya menyewakan tanah dan menggarapnya pada muzaraah.
3. Jika pohon diminta oleh selain pemilik tanah, penggarap diberi upah. Sedangkan dalam muzaraah, jika diminta sebelum menghasilkan sesuatu, penggarap tidak mendapatkan apa-apa.
4. Dalam musaqah lebih baik (istihsan) jika tidak disebutkan masa akadnya, cukup hanya dengan mengetahui waktunya (waktu berbuah-pen) menurut adat. Berbeda dengan menanam, karena waktu panennya bisa lebih awal juga bisa terlambat dari perkiraan. Sedangkan dalam muzaraah, hal itu justru disyaratkan menurut asal madzhab hanafi. Ulama lain tidak mensyaraatkan hal ini.




Rukun dan Syarat Musaqah
Ulama hanafiyah berpendapat bahwa rukun musyaqah adalah ijab dan qabul, seperti pada mujara’ah. Adapun yang bekerja adalah penggarap saja, tidak seperti dalam mujara’ah. Ulama Malikiyah berpendapat bahwa ijab-qabul tidak cukup hanya dengan pekerjaan, tetapi harus dengan lafadz. Menurut Ulama Hanabilah, qabul dalam musyaqah, seperti dalam muzara’ah yang tidak memerlukan lafadz, cukup dengan menggarapnya. Sedangkan ulama Syafi’iyah mensyaratkan dalam qabul dengan lafadz (ucapan) dan ketentuannya didasarkan pada kebiasaan umum.

Jumhur Ulama menetapkan bahwa rukun musyaqah ada lima, yaitu berikut ini.
1. Dua orang yang akad (al-aqidani)
Al-aqidani disyaratkan harus baligh dan berakal
2. Objek musyaqah
Objek musyaqah menurut ulama Hanafiyah adalah pohon-pohon yang berbuah, seperti kurma. Akan tetapi, menurut sebagian ulama Hanafiyah lainnya dibolehkan musyaqah atas pohon yang tidak berbuah sebab sama-sama membutuhkan pengurusan dan siraman.
Ulama Malikiyah berpendapat bahwa objek musyaqah adalah tumbuh-tumbuhan, seperti kacang, pohon yang berbuah dan memiliki akar yang tetap di tanah, seperti anggur, kurma yang berbuah, dan lain-lain, dengan dua syarat:
a. Akad dilakukan sebelum buah tampak dan dapat diperjualbelikan
b. Akad ditentukan dengan waktu tertentu
Ulama Hanabilah berpendapat bahwa musyaqah dimaksudkan pada pohon-pohon berbuah yang dapat dimakan.
Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa musyaqah hanya dapat dilakukan pada kurma dan anggur saja. Kurma didasarkan pada perbuatan Rasulullah saw terhadap orang Khaibar, sedangkan anggur hampir sama hukumnya dengan kurma bila ditinjau dari segi wajib zakatnya. Akan tetapi, madzhab qadim membolehkan semua jenis pepohonan.
3. Buah
Disyaratkan menentukan buah ketika akad untuk kedua pihak
4. Pekerjaan
Disyaratkan penggarap harus bekerja sendiri. Jika disyaratkan bahwa pemilik harus bekerja atau dikerjakan secara bersama-sama, akad menjadi tidak sah.
Ulama mensyaratkan penggarap harus mengetahui batas waktu, yaitu kapan maksimal berbuah dan kapan minimal berbuah.
Ulama Hanafiyah tidak memberikan batasan waktu, baik dalam muzara’ah maupun musyaqah sebab Rasulullah saw pun tidak memberikan batasan ketika bermuamalah dengan orang khaibar.
5. Sighat
Menurut Ulama Syafi’iyah, tidak dibolehkan menggunakan kata ijarah (sewaan) dalam akad musyaqah sebab berlainan akad. Adapun Ulama Hanabilah membolehkannya sebab yang terpenting adalah maksudnya.
Bagi orang yang mampu berbicara, qabul harus diucapkan agar akad menjadi lazim, seperti pada ijarah. Menurut Ulama Hanabilah, sebagaimana pada muzara’ah, tidak disyaratkan qabul dengan ucapan, melainkan cukup dengan mengerjakannya.
Apabila waktu lamanya musaqah tidak ditentukan ketika akad, maka waktu yang berlaku adalah jatuh hingga pohon itu menghasilkan yang pertama setelah akad, sah pula untuk pohon yang berbuah secara berangsur sedikit demi sedikit, seperti terong.
Secara rinci, Sayyid Sabiq mengemukakan syarat-syarat musaqaah sebagai berikut .
a. Pohon yang dimusaqahkan dapat diketahui dengan melihat atau menerangkan sifat – sifat yang tidak berbeda dengan kenyataannya. Akad dinyatakan tidak sah apabila tidak diketahui dengan jelas
b. Jangka waktu yang dibutuhkan diketahui dengan jelas hal itu merupakan musaqah akad lazim (keharusan) yang menyerupai akad sewa – menyewa. Dengan kejelasan ini maka tidak dapat unsur ghoror. Abu Yusuf dan Muhammad berpendapat bahwa penjelasan jangka waktu bukan syarat musaqah tetapi itu disunahkan.
Menurut kalangan madzhab Hanafi apabila jangka waktu musaqah telah berakhir sebelum buahnya matang maka pohon itu wajib dibiarkan kepada pihak penggarap, agar ia tetap menggarap hingga pohon tersebut berbuah matang.
c. Akad harus dilakukan sebelum buah tampak, karena dengan keadaan seperti itu, pohon memerlukan penggarapan. Namun apabila terklihat hasilnya, menurut sebagian ahli fiqh tidak dibolehkan musaqah karena tidak membutuhkan penggarapan walaupun tetap dilakukan maka namanya ijarah (sewa – menyewa) bukan lagi musaqah. Ada ulama yang membolehkannya.
d. Imbalan yang diterima oleh penggarap berupa buah diketahui dengan jelas misalnya separuh atau sepertiga. Jika dalam perjanjian ini syaratkan untuk penggarap atau pemilik pohon mengambil hasil dari pohon – pohon tertentu saja, atau keadaan tertentu maka musaqah tidak sah

Ketentuan-ketentuan Lain dalam Pelaksanaan Musaqah.
a. Tugas Penggarap.
Kewajiban penyiram (musaqi) menurut Imam Nawawi adalah bahwa musaqi berkewajiban mengerjakan apa saja yang dibutuhkan pohon-pohon dalam rangka pemeliharaannya untuk mendapatkan buah, ditambahkan pula untuk setiap pohon yang berbuah musiman diharuskan menyiram, membersihkan saluran air, mengurus pertumbuhan pohon, memisahkan pohon-pohon yang merambat, memelihara buah dan pertumbuhan batangnya.
Adapun yang dimaksud memelihara asalnya (pokoknya) dan tidak berulang tiap tahun adalah pemeliharaan hal-hal tertentu yang terjadi sewaktu-waktu (incidental), seperti membangun pematang, menggali sungai, mengganti pohon-pohon yang rusak atau pohon yang tidak produktif adalah kewajiban pemilik tanah dan pohon-pohonnya (pengadaan bibit).
b. Hukum Musyaqah Sahih dan Fasid (Rusak)
1. Hukum musyaqah Sahih
Musyaqah sahih menurut para Ulama memiliki beberapa hukum atau ketetapan .
Menurut Ulama Hanafiyah, hukum musyaqah sahih adalah berikut ini.
i. Segala pekerjaan yang berkenaan dengan pemeliharaan pohon diserahkan kepada para penggarap, sedangkan biaya yang diperlukan dalam pemeliharaan dibagi dua.
ii. Hasil dari musyaqah dibagi berdasarkan kesepakatan.
iii. Jika pohon tidak menghasilkan sesuatu, keduanya tidak mendapatkan apa-apa
iv. Akad adalah lazim dari kedua belah pihak. Dengan demikian, pihak yang berakad tidak dapat membatalkan akad tanpa izin salah satunya.
v. Pemilik boleh memaksa penggarap untuk bekerja , kecuali ada uzur
vi. Boleh menambah hasil dari ketetapan yang telah disepakati
vii. Penggarap tidak memberikan musyaqah kepada penggarap lain, kecuali jika diizinkan oleh pemilik. Namun demikian, penggarap awal tidak mendapat apa-apa dari hasil, sedangkan penggarap kedua berhak mendapat upah sesuai dengan pekerjaannya.

Ulama Malikiyah pada umunya menyepakati hokum-hukum yang ditetapkan ulam Hanafiyah di atas. Namun demikian, mereka berpendapat dalam penggarapan:
i. Sesuatu yang tidak berhubungan dengan buah tidak wajib dikerjakan dan tidak boleh disyaratkan
ii. Sesuatu yang berkaitan dengan buah yang membekas di tanah, tidak wajib dibenahi oleh penggarap
iii. Sesuatu yang berkaitan dengan buah, tetapi tidak tetap adalah kewajiban penggarap, seperti menyiram atau menyediakan alat garapan, dan lain-lain

Ulama Syafi’iyah dan hanabilah sepakat dengan ulama malikiyah dalam membatasi pekerjaan penggarap di atas, dan menambahkan bahwa segala pekerjaan yang rutin setiap tahun adalah kewajiban penggarap, sedangkan pekerjaan yang tidak rutin adalah kewajiban pemilik tanah.

Hukum dan Dampak Musyaqah Fasid
Musyaqah fasid adalah akad yang tidak memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan syara’. Beberapa keadaan yang dapat dikategorikan musyaqah fasidah menurut ulama Hanafiyah, antara lain:
i. Mensyaratkan hasil musyaqah bagi salah seorang dari yang akad
ii. Mensyaratkan salah satu bagian tertentu bagi yang akad
iii. Mensyaratkan pemilik untuk ikut dalam penggarapan
iv. Mensyaratkan pemetikan dan kelebihan kepada penggarap hanya berkewajiban memelihara tanaman sebelum dipetik hasilnya. Dengan demikian, pemeriksaan dan hal-hal tambahan merupakan kewajiban dua orang yang akad
v. Mensyaratkan penjagaan kepada penggarap setelah pembagian.
vi. Mensyaratkan kepada penggaarap untuk terus bekerja setelah habis waktu akad
vii. Bersepakat sampai batas waktu menurut kebiasaan.
viii. Musyaqah digarap oleh banyak orang sehingga penggarap membagi lagi kepada penggarap lainnya.


Dampak musyaqah fasid menurut para ulama:
1. Dampak musyaqah fasid menurut ulama Hanafiyah:
a. Pemilik tidak boleh memaksa penggarap untuk bekerja
b. Semua hasil adalah hak pemilik kebun
c. Jika musyaqah rusak, penggarap berhak mendapatkan upah

2. Menurut ulama Malikiyah, jika musyaqah rusak sebelum penggarapan, upah tidak diberikan. Sebaliknya, apabila musyaqah rusak setelah penggarap bekerja atau pada pertengahan musyaqah, penggarap berhak mendapatkan upah atas pekerjaannya, baik sedikit maupun banyak.
Di antara contoh musyaqah fasidah menurut golongan ini adalah penggarap mensyaratkan adanya tambahan tertentu dari pemilik, seakan-akan penggarap bekerja untuk mendapatkan upah.
Namun demikian, jika musyaqah rusak karena kemadaratan atau ada halangan, masalah musyaqah tetap diteruskan sekadarnya (musyaqah mitsil).
3. Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa jika buah yang keluar setelah penggarapan ternyata bukan milik orang yang melangsungkan akad dengannya, si penggarap berhak mendapatkan upah atas pekerjaannya sebab dia telah kehilangan manfaat dari jerih payahnya dalam musyaqah.
Di antara hal-hal yang menyebabkan musyaqah rusak, menurut golongan ini, adalah dua pihak tidak mengetahui bagiannya masing-masing; mensyaratkan uang dengan jumlah yang ditentukan; mensyaratkan jumlah buah tertentu, mensyaratkan pemilik harus bekerja; mensyaratkan mengerjakan sesuatu selain pohon.

Habis Waktu Musyaqah
Menurut Ulama Hanafiyah
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa musyaqah sebagaimana dalam mujara’ah dianggap selesai dengan adanya tiga perkara:
1. Habis waktu yang telah disepakati oleh kedua belah pihak yang akad
Jika waktu telah habis, tetapi belum menghasilkan apa-apa, penggarap boleh berhenti. Akan tetapi, jika penggarap meneruskan bekerja diluar waktu yang telah disepakati, ia tidak mendapatkan upah.


Jika penggarap menolak untuk bekerja, pemilik atau ahli warisnya dapat melakukan tiga hal:
a. Membagi buah dengan memakai persyaratan tertentu
b. Penggarap memberikan bagiannya kepada pemilik
c. Membiayai sampai berbuah, kemudian mengambil bagian penggarap sekadar pengganti pembiayaan.

2. Meninggalnya salah seorang yang akad
Jika penggarap meninggal, ahli warisnya berkewajiban meneruskan musyaqah, walaupun pemilik tanah tidak rela. Begitu pula jika pemilik meninggal, penggarap meneruskan pemeliharaanya walaupun ahli waris pemilik tidak menghendakinya. Apabila kedua orang yang akad meninggal, yang paling berhak meneruskan adalah ahli waris penggarap. Jika ahli waris itu menolak, musyaqah diserahkan kepada pemilik tanah.
3. Membatalkan, baik dengan ucapan secara jelas atau adanya uzur
Di antara uzur yang dapat membatalkan musyaqah:
i. Penggarap dikenal sebagai pencuri yang dikhawatirkan akan mencuri buah-buahan yang digarapnya.
ii. Penggarap sakit sehingga tidak dapat bekerja.

Menurut Ulama Malikiyah
Ulama Malikiyah berpendapat bahwa musyaqah adalah akad yang dapat diwariskan. Dengan demikian, ahli waris penggarap berhak untuk meneruskan garapan. Akan tetapi, jika ahli warisnya menolak, pemilik harus menggarapnya.
Musyaqah dianggap tidak batal jika penggarap diketahui seorang pencuri, tukang berbuat zalim atau tidak dapat bekerja. Penggarap boleh memburuhkan orang lain untuk bekerja. Jika tidak mempunyai modal, ia boleh mengambil bagiannya dari upah yang akan diperolehnya bila tanaman telah berbuah. Ulama Malikiyah beralasan bahwa musyaqah adalah akad yang lazim yang tidak dapat dibatalkan dengan pembatalan sepihak sebab harus ada kerelaan diantara keduanya.
Menurut Ulama Syafi’iyah
Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa musyaqah tidak batal dengan adanya uzur, walaupun diketahui bahwa penggarap berkhianat. Akan tetapi, pekerjaan penggarap harus diawasi oleh seorang pengawas sampai penggarap menyelesaikan pekerjaannya. Jika pengawas tidak mampu mengawasinya, tanggungjawab penggarap dicabut kemudian diberikan kepada penggarap yang upahnya diambil dari harta penggarap.
Menurut ulama Syafi’iyah, musyaqah selesai jika habis waktu. Jika buah keluar setelah habis waktu, penggarap tidak berhak atas hasilnya. Akan tetapi, jika akhir waktu musyaqah buah belum matang, penggarap berhak atas bagiannya dan meneruskan pekerjaannya. Musyaqah dipandang batal jika penggarap meninggal, tetapi tidak dianggap batal jika pemilik meninggal. Penggarap meneruskan pekerjannya sampai mendapatkan hasilnya. Akan tetapi, jika ahli waris yang mewarisinya pun meninggal, akad menjadi batal.
Menurut Ulama Hanabilah.
Ulama Hanabilah berpendapat bahwa musyaqah sama dengan mujara’ah, yakni termasuk akad yang dibolehkan, tetapi tidak lazim. Dengan demikian, setiap sisi dari musyaqah dapat membatalkannya. Jika musyaqah rusak setelah tampak buah, buah tersebut dibagikan kepada pemilik dan penggarap sesuai dengan perjanjian waktu akad.
Penggarap memiliki hak bagian dari hasilnya jika tampak. Dengan demikian, penggarap berkewajiban menyempurnakan pekerjaannya meskipun musyaqah rusak.
Jika penggarap meninggal, musyaqah dipandang tidak rusak, tetapi dapat diteruskan oleh ahli warisnya. Jika ahli waris menolak, mereka tidak boleh dipaksa, tetapi hakim dapat menyuruh orang lain untuk mengelolanya dan upahnya diambil dari tirkah (peninggalannya). Akan tetapi, jika tidak memiliki tirkah, upah tersebut diambil dari bagian penggarap sebatas yang dibutuhkan sehingga musyaqah sempurna.
Jika penggarap kabur sebelum penggarapannya selesai, ia tidak mendapatkan apa-apa sebab ia dipandang telah rela untuk tidak mendapatkan apa-apa.
Jika pemilik membatalkan musyaqah sebelum tampak buah, pekerja berhak mendapatkan upah atas pekerjaannya.
Apabila ada uzur yang tidak menyebabkan batalnya akad, misalnya penggarap lemah untuk mengelola amanat tersebut, pekerjaannya diberikan kepada orang lain, tetapi tanggungjawabnya tetap ditangan penggarap, sebagaimana pendapat ulama Syafi’iyah. Seandainya betul-betul lemah secara menyeluruh, pemilik mengambil alih dan mengambil upah untuknya.
Ulama Hanabilah pun berpendapat bahwa musyaqah dipandang selesai dengan habisnya waktu. Akan tetapi, jika keduanya menetapkan pada suatu tahun yang menurut kebiasaan akan ada buah, tetapi ternyata tidak, penggarap tidak mendapatkan apa-apa.

Masalah-masalah yang Terjadi dalam Musaqah.
a. Penggarap Tidak Mampu Bekerja
Penggarap terkadang tidak selamanya mempunyai waktu untuk mengurus pohon-pohon yang ada di kebun, tetapi kadang-kadang ada halangan untuk mengurusnya, seperti karena sakit atau bepergian. Apabila penggarap tidak mampu bekerja keras karena sakit atau bepergian yang mendesak, maka musaqah menjadi fasakh (batal), apabila dalam akad musaqah disyaratkan bahwa penggarap harus menggarap secara langsung (tidak dapat diwakilkan), jika tidak disyaratkan demikian, maka musaqah tidak menjadi batal, akan tetapi pengarap diwajibkan untuk mendapatkan penggantinya selama ia berhalangan itu. Pendapat ini dikemukakan oleh mazhab Hanafi.
Apabila penggarap tidak mampu menggarap tugasnya mengurus pohon-pohon, sedangkan penjualan buah sudah waktunya, menurut Imam malik, penggarap berkewajiban menyewa orang lain untuk menggantikan tugasnya, yaitu mengurus pohon-pohon, orang kedua ini tidak memperoleh bagian yang dihasilkan dari musaqah karena orang kedua dibayar oleh musaqi sesuai dengan perjanjian. Sedangkan Imam Syafi’i berpendapat bahwa musaqah adalah batal, apabila pengelola tidak lagi mampu bekerja untuk mengurus pohon-pohon yang ada di kebun atau di sawah yang di musaqah-kan, sebab penggarap telah kehilangan kemampuan utuk menggarapnya.

b. Wafat Salah Seorang ‘Aqid
Menurut Mazhab hanafi, apabila salah seorang yang berakad meninggal dunia, sedangkan pada pohon tersebut sudah tampak buah-buahnya (hampir bisa dipanen) walaupun belum tampak kebagusan buah tersebut, demi menjaga kemaslahatan, maka penggarap melangsungkan pekerjaan atau dilangsungkan oleh salah seorang atau beberapa orang ahli warisnya, sehingga buah itu masak atau pantas untuk dipanen, sekalipun hal ini dilakukan secara paksa terhadap pemilik, jika pemilik keberatan, karena dalam keadaan seperti ini tidak ada kerugian. Dalam masa fasakh-nya, akad dan matangnya buah, penggarap tidak berhak memperoleh upah.
Apabila penggarap atau ahli waris berhalangan bekerja sebelum berakhirnya waktu atau fasakhnya akad, mereka tidak boleh dipaksa, tetapi jika mereka memetik buah yang belum layak untuk dipanen, maka hal itu mustahil. Hak berada pada pemilik atau ahli warisnya, maka dalam keadaan seperti ini dapat dilakukan beberapa hal, sebagai berikut:
1. Memetik buah dan dibaginya oleh dua belah pihak sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati
2. Memberikan kepada penggarap atau ahli warisnya sejumlah uang, karena dialah yang berhak memotong atau memetik
3. Pembiayaan pohon sampai buahnya matang (pantas untuk dipetik), kemudian hal ini dipotong dari bagian penggarap, baik potongan itu dari buahnya atau nilai harganya (uang).


Relevansi Musaqah dalam Perekonomian Modern.
Musaqah seperti yang sudah dibahas sebelumnya merupakan akad kerjasama dalam pengolahan pertanian antara pemilik lahan dan penggarap, dimana pemilik lahan memberikan lahan pertanian kepada si penggarap untuk ditanami dan dipelihara dengan imbalan tertentu berdasarkan nisbah yang disepakati dari hasil panen yang benihnya berasal dari pemilik lahan.
Aplikasi dalam lembaga keuangan syariah, musaqah merupakan produk khusus yang dikembangkan di sektor pertanian atau agribisnis dimana si penggarap hanya bertanggung jawab atas penyiraman dan pemeliharaan.
Syafi’I Antonio dalam bukunya Bank Syariah dari Teori ke Praktik menuliskan, ada lima prinsip dasar dalam perbankan syariah. Yaitu: prinsip titipan atau simpanan (depeosito/ al-wadi’ah), jual beli (sale and purchase), sewa (operational lease and financial lease), jasa (fee-based services), dan bagi hasil (profit sharing).
Dalam prinsip dasar yang disebutkan terakhir (bagi hasil) ini, terdapat musyarakah, mudharabah, muzara’ah, dan yang terakhir adalah yang dibahas dalam makalah ini, yaitu musaqah (plantantion management fee based on certaain portion of yield). Dalam konteks ini, lembaga keuangan islam dapat memberikan pembiayaan bagi nasabah yang bergerak dalam bidang plantation atas dasar prinsip bagi hasil dari hasil panen kebun.
Dari semua pendapat ulama mengenai objek musaqah, tentuna yang lebih relevan adalah pendapat yang memboilehkan musaqah untuk semua tanaman atau pepohonan baik yaang berbuah ataupun tidak seperti sayur-sayuran. Hal ini dikarenakan jika melihat pendapat ulama yang membolehkan musaqah hanya sebatas pada kurma dan anggur, maka hal ini akan menyia-nyiakan tanaman yang lain yang juga mempunyai banyak manfaat. Apalagi, tidak semua pemilik kebun yang bisa menggarap kebunnnya sendiri. Disamping itu, banyak juga orang yang mempunyai skill untuk merawat kebun akan tetapi tidak memilki kebun. Dari sinilah, hubungan antara pemilik kebun dan tukang kebun saling melengkapi.
Contoh konkritnya diperbankan adalah ketika seorang nasabah bekerja sama dengan bank yang mengembangkan dananya melalui sektor riil semacam agrobisnis dan perkebunan. Dalam hal ini, bank mencari seseorang atau beberapa pekerja yang dijadikan sebagai tukang kebun yang bertugas merawat, menjaga, dan yang paling inti adalah menyirami kebun tersebut. Ketika kebun tersebut sudak berbuah, maka bank dan tukang kebun berbagi hasil sesuai dengan prosentase yang sudah ditentukan pada awal akad.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar