STIT AT-TAQWA CIPARAY BANDUNG

Senin, 03 Oktober 2011

Landasan dan Pemikiran Teknologi Pembelajaran

1. Landasan Filsafat dan Landasan Teoritik
A. Landasan Filsafat
Berdasarkan tinjauan filsafat ilmu, setiap pengetahuan mempunyai tiga komponen yang merupakan tiang penyangga tubuh pengetahuan yang didukungnya, termasuk Teknologi Pembelajaran sebagai disiplin ilmu. Ketiga tiang penyangga dimaksud yaitu landasan ontologi (apa), landasan epitimologi (bagaimana) dan landasan aksiologi (siapa). Ontologi merupakan azas dalam menetapkan ruang lingkup ujud yang menjadi objek penelaahan, serta penafsiran tentang hakikat realitas dari objek tersebut. Epistemologi merupakan azas mengenai cara bagaimana materi pengetahuan diperoleh dan disusun menjadi suatu tubuh pengetahuan. Sedangkan aksiologi merupakan azas dalam menggunakan pengetahuan yang telah diperoleh dan disusun dalam tubuh pengetahuan. Dalam kaitannya dengan hal tersebut, maka yang menjadi ruang lingkup objek penelaahan (azas ontologi) teknologi pembelajaran sebagai suatu bidang ilmu adalah masalah “BELAJAR”
pada manusia, karena : belajar merupakan hak semua orang dan berlangsung sepanjang hayat, mengenai apa, dari siapa, bagaimana saja belajar tersebut. Akan tetapi kesempatan belajar yang ada masih terbatas, sumber tradisional juga semakin terbatas, serta sumber yang ada dan potensial belum didayagunakan. Oleh karena itu, perlu adanya usaha khusus untuk mewujudkan kesempatan belajar dengan mengoptimalkan sumber dan potensial yang ada, perlu adanya pengelolaan yang inovatif, dan reformatif tentang belajar pada manusia. Alasan lain, kenapa masalah belajar menjadi objek formal kajian (azas ontologi) teknologi pembelajaran adalah tidak lepas dari pemikiran tentang pendidikan itu sendiri. Dimana, agar pendidikan dalam praktek terbebas dari keragu-raguan, maka objek formal ilmu pendidikan dibatasi pada manusia seutuhnya di dalam fenomena atau situasi pendidikan. Didalam situasi sosial manusia itu sering berperilaku tidak utuh, hanya menjadi makhluk berperilaku individual dan/atau makhluk sosial yang berperilaku kolektif. Hal itu boleh-boleh saja dan dapat diterima terbatas pada ruang lingkup pendidikan makro yang berskala besar mengingat adanya konteks sosio-budaya yang terstruktur oleh sistem nilai tertentu. Akan tetapi pada latar mikro, sistem nilai harus terwujud dalam hubungan inter dan antar pribadi yang menjadi syarat mutlak (conditio sine qua non) bagi terlaksananya mendidik dan mengajar, yaitu kegiatan pendidikan yang berskala mikro. Sedangkan Dasar epistemologis dari teknologi pembelajaran adalah berangkat dari sebuah konsesi dasar filsafati bahwa dasar epistemologis diperlukan oleh pendidikan atau pakar ilmu pendidikan demi mengembangkan ilmunya secara produktif dan bertanggung jawab. Demikianpun dalam teknologi pembelajaran sebagai bidang kajian (bidang ilmu). Dalam kaitan dengan ini, pendekatan dalam menyusun dan membangun pengetahuan (azas pistemologis) yang dikembangkan dalam teknologi pembelajaran memiliki ciri sebagai berikut: (1) keseluruhan masalah belajar dan upaya pemecahannya ditelaah secara simultan. Semua situasi yang ada diperhatikan dan dikaji saling kaitannya, dan bukannya dikaji secara terpisah-pisah; (2) unsur-unsur yang berkepentingan diintegrasikan dalam suatu proses kompleks secara sistemik, yaitu dirancang, dikembangkan, dinali dan dikelola sebagai suatu kesatuan dan ditujukan untuk memecahkan masalah; (3) penggabungan ke dalam proses yang kompleks dan perhatian atas gejala secara menyeluruh, harus mengandung daya lipat atau sinergisme, berbeda dengan hal di mana masing-masing fungsi berjalan sendiri-sendiri. Kemudian, azas aksiologi teknologi pembelajaran di sini berkenaan dengan kegunaan dan pemanfaatan pengetahuan yang telah tersusun secara sistematis yang meliputi 5 kawasan teknologi pembelajaran. Dalam kaitannya dengan hal ini, berikut kegunaan potensial teknologi pembelajaran: (1) meningkatkan produktifitas pendidikan dengan jalan memperlaju penahapan belajar, membantu guru untuk menggunakan waktunya secara lebih baik, dan mengurangi beban guru dalam menyajikan informasi, sehingga guru dapat lebih banyak membina dan mengembangkan kegairahan belaar anak; (2) memberikan kemungkinan pendidikan yang sifatnya lebih individual, dengan jalan mengurangi kontrol guru yang kaku dan tradisional, memberikan kesempatan anak berkembang sesuai dengan kemampuannya; (3) memberikan dasar pengajaran yang lebih ilmiah, dengan jalan perencanaan program pengajaran yang lebih sistemik, pengembangan bahan pengajaran yang dilandasi dengan penelitian tentang perilaku; (4) lebih memantapkan pengajaran, dengan jalan meningkatkan kapasitas manusia dengan berbagai media komunikasi, penyajian informasi dan data secara lebih kongkrit; (5) memungkinkan belajar secara lebih akrab karena dapat mengurangi jurang pemisah antara pelajaran di dalam dan di luar sekolah, memberikan pengetahuan tangan pertama; (6) memungkinkan penyajian pendidikan lebih luas dan merata, terutama dengan jalan pemanfaatan bersama tenaga atau kejadian yang langka secara lebih luas, penyajian informasi menembus batas geografi. Disamping itu, manfaat lain yang dapat diambil dengan adanya bidang teknologi pembelajaran ialah antara lain: Peningkatan mutu pendidikan (menarik, efektif, efisien, relevan), penyempurnaan system pendidikan, meluas dan meratanya kesempatan serta akses pendidikan, penyesuaian dengan kondisi pembelajaran, penyelarasan dengan perkembangan lingkungan, peningkatan partisipasi masyarakat dalam bidang pendidikan.
B. Landasan Teoritis
Landasan Teori dari Ilmu Perilaku
Lumsdaine menyatakan bahwa teori belajar behavioristik memiliki andil besar dalam perkembangan teknologi pembelajaran. Bahkan Deterline berpendapat bahwa teknolgi pembelajaran merupakan aplikasi teknologi perilaku, yaitu untuk menghasilkan perilaku tertentu secara sistemik guna keperluan pembelajaran. Selanjutnya, Saetler melalui stdi penelusurannya terhadap sejarah perkembangan teknologi pembelajaran kemudian sampai kepada kesimpulan bahwa pemikiran Thorndike dengan teori psikologi perkembangannya yang beraliran behavioristik merupakan landasan pertama kearah teknologi pembelajaran. Tiga hukum utama yang diajukan oleh thorndike yaitu: (1). Law of exercise (hukum latihan). Prinsip yang melekat pada hukum ini yaitu bahwa makin sering diulang respons yang berasal dari stimulus tertentu, makin besar kemungkinan dicamkan. Terkait dengan hukum ini, Thorndike memperkenalkan dua prinsip yaitu prinsip law of use dan prinsip law of disuse. Law of use atau hukum penggunaan ialah koneksi antara stimulus dan respons akan menguat saat keduanya dipakai. Dengan kata lain, melatih koneksi (hubungan) antara situasi yang menstimulasi dengan suatu respons akan memperkuat koneksi diantara keduanya. Sementara Law of disuse atau hukum ketidakgunaan ialah koneksi antara situasi dan respons akan melemah apabila praktik hubungan dihentikan, atau jika ikatan neural tidak dipakai; (2) Law of Effect (hukum efek). Prinsip mendasar dari hukum effek ini adalah bahwa suatu respon akan semakin diperkuat bilamana diikuti oleh rasa senang, dan akan diperlemah bila diikuti rasa tidak senang; (3) Law of Readiness (hukum kesiapan). Hukum kesiapan ini dikemukakan oleh Thorndike dalam bukunya yang berjudul The Original Nature of Man, (Thorndike 1913a,p.125), dapat dijelaskan disini antara lain adalah; (1) apabila suatu konduksi siap menyalurkan (to conduct), maka penyaluran dengannya akan memuaskan, (2) apabila suatu konduksi siap untuk menyalurkan, maka tidak menyalurkannya akan menjengkelkan, (3) apabila suatu unit konduksi belum siap untuk penyaluran dan dipaksa untuk menyalurkan, maka penyaluran dengannya akan menjengkelkan. Selanjutnya, pemikiran inilah yang menjadi landasan awal perkembangan teknologi pembelajaran. Disamping itu, rumusannya tentang prinsip-prinsip aktivitas diri, minat/motivasi, kesiapan mental, individualisasi dan sosialisasi pada fase berikutnya “menurut Saettler” menjadi entri point dalam perkembangan teknologi pembelajaran selanjutnya. Untuk melaksanakan prinsip-prinsip tersebut seorang guru harus mengendalikan kegiatan belajar anak di dalam kelas ke arah yang dikehendaki, namun tetap dengan memperhatikan minat dan respons anak terhadap stimulus yang diberikan. Stimulus yang diberikan tersebut perlu disesuaikan dengan kesiapan mental anak serta perbedaan karakteristik masing-masing individu. Oleh karena itu situasi dan lingkungan belajar perlu dirancang sedemikian rupa serta dalam praksis pembelajarannya sedapat mungkin menggunakan media, agar terjadi hubungan antara apa yang sudah diketahui anak dengan hal yang baru. Kemudian, teori berikutnya yang menjadi landasan perkembangan teknologi pembelajaran adalah teori penguatan (reinforcement) yang dikemukakan oleh Skiner. Skiner menyaatakan bahwa belajar dengan memperoleh jawaban yang tepat menjadi suatu hal yang tidak penting dalam pendidikan. Dia menyatakan bahwa fokus nyata pada pendidikan haruslah pada pemberian penguatan yang konsisten, segera dan positif bagi tingkah laku yang tepat dan bagi pencapaian tujuan pendidikan yang diinginkannya. Lebih lanjut dia menyimpulkan bahwa dari hasil-hasil percobaannya menunjukkan bahwa siswa akan lebih mudah menjawabnya apabila dilengkapi dengan suatu pengalaman belajar. Pelajaran diawali dengan tugas-tugas yang relatif mudah dan sudah dikenal kemudian meningkat secara perlahan-lahan melalui tugas-tugas dan bahan baru. Berangkat dari pandangannya inilah kemudian Skiner mengembangkan Mesin Pengajaran yang disebut dengan Theaching Machine sebagai media untuk memberikan pengalaman belajar kepada siswa. Prinsip kerja mesin ini, yaitu jika jawaban siswa salah maka mesin tidak akan memberikan reaksi namun sebaliknya jika jawaban siswa benar mesin akan memberikan reaksi dalam bentuk menghadirkan pertanyaan baru. Reaksi pemberian pertanyaan baru ini lah yang kemudian disebut dengan proses reinforcement. Dalam kaitannya dengan penguatan ini, Skiner mengemukakan tiga variabel penting yaitu: (1) peristiwa dimana perilaku berlangsung; (2) perilaku itu sendiri; (3) akibat dari perilaku itu. Kalau semula mengajar hanya memperhatikan bagaimana mengatur stimulus atau pesan yang disampaikan kepada siswa, maka dengan pendapat ini yang lebih diperhatikan adalah respons dari siswa serta tanggapan kepada siswa atas responsnya itu. Kemudian beberapa prinsip yang dijabarkan dari teori penguatan ini, diantaranya adalah perilaku yang diperkuat, cenderung untuk lebih bertahan; penguatan positif lebih berarti dari yang negatif; penguatan langsung lebih efektif dari penguatan tertunda; penguatan yang sering diberikan lebih efektif dari pada yang jarang. Berangkat dari paradigma Skiner inilah kemudian menjadi landasan perkembangan teknologi pembelajaran sebagai teori dan praktek dalam desain, pengembangan, pemanfaatan, pengelolaan serta evaluasi tentang proses dan sumber untuk belajar. Teori selanjutnya yang menjadi landasan perkembangan teknologi pembelajaran adalah teori kurikulum dan pembelajaran. Teori ini mulai muncul pada sekitar akhir tahun 1950-an bersamaan dengan gerakan pembaharuan kurikulum. Pada saat itu dirasakan perlunya landasan yang lebih ilmiah dan sistematik untuk penyusunan kurikulum. Brunner (1966) mengemukakan teori penyusunan dan pelaksanaan kurikulum dengan suatu paradigma di mana suatu tim besar yang terdiri dari ahli bidang studi, guru, dan ahli psikologi mulai menyusun kurikulum yang kemudian dijadikan bahan untuk membuat buku, media atau bahan lain dan saran kegiatan di kelas. Keseluruhan bahan ini lebih lanjut oleh tim lokal (wilayah) untuk penyempurnaan dan penentuan cara penyajian, yaitu melalui pembelajaran di kelas atau pembelajaran bermedia, yang keduanya saling berkaitan. Bruner, mendasarkan pandangannya ini pada dua premis dasar yaitu; (1) guru kelas tidak mungkin dapat mengikuti perkembangan bidang studi sambil mengajar dengan penuh; dan (2) guru kelas tidak mempunyai keterampilan metodologi yang cukup untuk melaksanakan pendekatan pemecahan masalah. Keterampilan ini akan diperoleh dengan melaksanakan suatu model yang disajikan melalui pembelajaran bermedia.
Landasan Teori dari Ilmu Komunikasi
Sebagaimana telah dipahami bahwa teknologi pembelajaran tumbuh dari praktek pendidikan dan gerakan komunikasi audio visual. Edgar Dale yang terkenal dengan “kerucut pengalamannya” (cone of exsperience) menyatakan bahwa teori komunikasi merupakan suatu metode yang paling berguna dalam usaha meningkatkan efektifitas bahan audiovisual. Pemikiran Edgar Dale ini merupakan upaya awal untuk memberikan alasan atau dasar tentang keterkaitan antara teori belajar dan komunikasi audiovisual. Kerucut pengalaman Edgar Dale dengan rentangan tingkat pengalaman dari yang bersifat langsung hingga ke pengalaman melalui simbol-simbol komunikasi, dari yang bersifat kongkrit ke yang abstrak telah menyatukan teori pendidikan John Dewey dengan gagasan-gagasan dalam bidang psikologi. Selanjutnya, teori komunikasi lainnya yang menjadi landasan perkembangan teknologi pembelajaran sebagai bidang studi adalah teori komunikasi yang dikemukakan oleh Shanon dan Weaver. Teori komunikasi yang dikemukakan oleh Shanon dan Weaver bersifat linear dengan arah tertentu dan tetap yaitu dari sumber (komunikator) kepada penerima (komunikan). Satu unsur yang perlu diperhatikan menurut teori ini bahwa dalam proses komunikasi pasti terdapat gangguan (noise), yang senantiasa ada dalam setiap situasi komunikasi. Teori Shannon dan Weaver ini kemudian disempurnakan oleh Schramm dengan menambahkan dua unsur baru yaitu adanya lingkup pengalaman (field of experience) dan umpan balik. Dengan adanya dua unsur baru ini Schramm menekankan pada adanya kesaaan interpretasi akan arti lambang yang dipakai. Kemudian, teori komunikasi berikutnya yang melandasi perkembangan teknologi pembelajaran adalah teori komunikasi yang dikembangkan oleh Berlo dan teori komunikasi konvergensi yang dikembangkan oleh Rogers dan Kincaid. Teori komunikasi yang dikembangkan oleh Berlo membawa implikasi dalam perkembangan teknologi pembelajaran, dimana dimasukkannya orang dan bahan sebagai sumber yang merupakan bagian integral dari teknologi pembelajaran. Isi pesan beserta struktur dan penggarapannya juga merupakan bagian dari teknologi pembelajaran. Segala bentuk pesan (lambang, verbal, taktil, serta ujud nyata) merupakan bagian dari keseluruhan proses komunikasi, dan dengan demikian juga menjadi bagian dari teknologi pembelajaran. Sedangkan dalam teori komunikasi konvergensi yang dikembangkan oleh Rogers dan Kincaid mendasarkan pada sebuah prinsip bahwa komunikasi itu berlangsung tanpa awal dan akhir, sepanjang manusia sadar akan diri dan lingkungannya. Proses komunikasi tidak berlangsung antar individu saja melainkan dalam suatu realitas sosial. Pengaruh teori ini dalam pendidikan adalah: (1) pendidikan seumur hidup yang berlangsung sepanjang orang sadar akan diri dan lingkungannya; (2) pendidikan gerak cepat dan tepat yang lebih mengacu pada kemampuan untuk hidup di masyarakat; (3) pendidikan yang mudah dicerna dan diresapi; (4) pendidikan yang menarik perhatian dengan cara penyajian yang bervariasi dan merangsang sebanyak mungkin indera; (5) pendidikan yang menyebar, baik pelayanannya maupun peranannya; dan (6) pendidikan yang mustari (tepat saat) menyusup tanpa niat sebelumnya, yaitu pada saat ada kekosongan pikiran. Kesemunya itu, merupakan landasan strategis dalam perkembangan teknologi pembelajaran sebagai sebuah bidang kajian. Pada bagian lain, teknologi pembelajaran sebagai sebuah bidang profesi sekaligus sebagai sebuah bidang kajian, tentunya mengalami proses pengkajian jati diri kearah yang lebih baik. Proses ini, tentunya melalui tahapan-tahapan pengkajian yang sistematis dan terencana dengan hasil yang terukur. Proses dimaksud dilakukan melalui kegiatan penelitian untuk menopang perkembangan ke lima kawasan teknologi pembelajaran.
2. Kedudukan penelitian pada domain teknologi pembelajaran.
Minimal ada empat sebab yang melatar belakangi orang melakukan penelitian termasuk dalam mengembangkan teknologi pembelajaran sebagai bidang kajian menurut Sukmadinata (2008 : 2) yaitu Pertama, karena pengetahuan, pemahaman dan kemampuan manusia sangat terbatas dibandingkan dengan lingkungannya yang begitu luas. Banyak hal yang tidak diketahui, dipahami, tidak jelas dan meimbulkan keraguan dan pertanyaan tentang teknologi pembelajaran baik yang berkenaan dengan landasan perkembangannya, sejarah dan berbagai aspek yang terkait dengan kawasan teknologi pembelajaran. Ketidaktahuan, ketidakpahaman, dan ketidakjelasan seringkali menimbulkan rasa takut dan rasa terancam. Oleh karena itu, penelitian menjadi pilihan untuk menguraikan ketidakjelasan tersebut . Kedua, manusia memiliki dorongan untuk mengetahui atau cariousity. Manusia selalu bertanya, apa itu, bagaimana itu, mengapa begitu dan sebagainya. Bagi kebanyakan orang, jawaban-jawaban sepintas dan sederhana mungkin sudah memberikan kepuasan, tetapi bagi orang-orang tertentu, para ilmuwan, peneliti dan para pemimpin dibutuhkan jawaban yang lebih mendalam, lebih rinci dan lebih komrehensif. Pertanyaan-pertanyaan yang berangkat dari dorongan cariousity tersebut juga berlaku dalam teknologi pembelajaran sebagai bidang kajian. Pertanyaan itu misalnya, bagaimana mengembangkan teknologi pembelajaran, apa yang harus dilakukan untuk meningkatkan kualitas teknolog pembelajaran, dan berbagai pertanyaan lainnya. Jawaban dari berbagai pertanyaan itu tentunya harus lahir dari proses analisa berdasarkan data yang dapat dipertangungjawabkan secara ilmia. Untuk kepentingan itu, maka penelitian dalam teknologi pembelajaran berkedudukan sebagai alat untuk menyediakan data-data ilmiah dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Ketiga, manusia di dalam kehidupannya selalu dihadapkan kepada masalah, tantangan, ancaman, kesulitan baik di dalam dirinya, keluarganya, masyarakat sekitarnya serta dilingkungan kerjanya. Masalah, tantangan dan kesulitan tersebut membutuhkan penjelasan, pemecahan dan penyelesaian. Tidak semua masalah dan kesulitan dapat segera dipecahkan. Masalah-masalah yang pelik, sulit dan kompleks membutuhkan penelitian untuk pemecahan dan penyelesaiannya. Keempat, manusia merasa tidak puas dengan apa yang telah dicapai, dikuasai, dan dimilikinya, ia selalu ingin yang lebih baik, lebih sempurna, lebih memberikan kemudahan, selalu ingin menambah dan meningkatkan “kekayaan” dan fasilitas hidupnya. Dari hasil penelitian, manusia dapat mengembangkan pengetahuan yang bermakna bagi kehidupan ilmiah maupun kehidupan sosial. Berangkat dari kerangka pikir tersebut di atas, maka berlaku pula dalam mengembangkan domain/kawasan teknologi pembelajaran. Sebab disadari bahwa setiap bidang kajian termasuk teknologi pembelajaran dapat berkembang secara maksimal bila didukung oleh pengkajian ilmiah yang dilakukan secara terus menerus. Penelitian merupakan salah satu bentuk sistematis dari kegiatan pengkajian ilmiah. Jadi penelitian dalam domain/kawasan teknologi pembelajaran berkedudukan sebagai model pengkajian ilmiah yang sistematis untuk menjawab dan memecahkan berbagai masalah yang timbul dalam domain/kawasan teknologi pembelajaran. Disamping itu, lewat penelitian akan dapat diketahui mengenai kelayakan dan efektifitas berbagai inovasi baru yang ditemukan dan dikembangkan pada ke lima kawasan teknologi pembelajaran. Contohnya, pada kawasan desain. Ciri utama desain adalah adanya dugaan prinsip-prinsip dan prosedur-prosedurnya didasarkan pada hasil penelitian. Misalnya, kita ingin mengembangkan sebuah model desain pesan yang dapat dipergunakan pada pembelajaran anak-anak tuna netra. Maka dalam proses pengembangan sampai validasi produk harus dilakukan secara sistematis melalui mekanisme penelitian yang terencana dengan prosedur yang ketat pula. Hal ini dilakukan agar model desain pesan yang tengah kita kembangkan benar-benar valid dan dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah.
3. Implementasi teori preskriptif dalam pembelajaran
pembelajaran harus dikelola secara kompetitif dan inovatif. Sebab, lewat pembelajaran yang kompetitif, diyakini akan dapat melahirkan manusia-manusia yang memiliki kemampuan kompetisi pula. Pribadi yang kompetitif disini bukan berarti pribadi yang egoistik (Tilaar, 2000: 15). Pribadi yang kompetitif disini adalah pribadi yang inovatif melalui pembudayaan sikap kerja sama. Dengan kerja sama, dapat dikembangkan kompetisi yang sehat sehingga produk IPTEK yang dihasilkan berkualitas. Pembelajaran harus menyentuh aspek kontekstual masyarakat sekitar. Artinya, pembelajaran memiliki relevansi dengan kehidupan keseharian. Oleh karena itu, materi yang diberikan harus terintegrasi satu sama lain. Contoh, misalnya ketika seorang anak belajar tentang hukum dan demokrasi pada mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan harusnya disamping dia belajar tentang teori “namun” dia seharusnya mengalami proses hukum dan demokratisasi dalam bentuk miniatur kehidupan yang dilandaskan oleh hukum dan demokrasi di kelas. Hal ini dapat diwujudkan melalui praktek “Role Playing” dan atau “demonstrasi” yang berkaitan dengan isu-isu hukum dan demokrasi. Di sisi lain, anak didik dapat dihadapkan dengan situasi nyata, melalui metode penugasan kepada anak didik untuk mereview proses hukum yang terjadi dilembaga-lembaga hukum yang ada seperti lembaga peradilan dan kepolisian. Dengan proses pembelajaran seperti tersebut, anak didik akan memiliki kekayaan teori dan praktek yang terkait dengan hukum dan demokrasi yang selanjutnya menjadi informasi penting bagi pembentukan pribadi yang sadar hukum dan demokratis. Implikasinya adalah dalam praktek pendidikan lewat praksis pembelajaran dikelas harus dikelola dan diselenggarakan dengan pendekatan pendidikan “andragogy”. Knowlis sebagaimana dikutip oleh Wiliam F. O’neil (2002: xviii) menjelaskan bahwa andragogy atau pendekatan pendidikan orang dewasa merupakan pendekatan yang menempatkan peserta didik sebagai orang dewasa. Di balik pengertian ini, Knowles ingin menempatkan murid sebagai subjek dari sistem pendidikan. Murid sebagai orang dewasa diasumsikan memiliki kemampuan aktif untuk merencanakan arah, memilih bahan dan materi yang dianggap bermanfaat, memikirkan cara terbaik untuk belajar, menganalisis dan menyipulkan serta mampu mengambil manfaat pendidikan. Fungsi guru adalah sebagai fasilitator dan bukan menggurui. Oleh karena itu, relasi antara guru dan murid bersifat “multicomunication” (Knowles, 1970). Dengan pendekatan ini, maka anak didik deberikan ruang untuk mengkontruk pengetahuan berdasarkan kemampuan dan pengetahuan yang dimilikinya. Peran guru dalam pembelajaran hanya sebatas menyiapkan iklim belajar yang kondusif sehingga siswa dapat membelajarkan dirinya dari sumber-sumber belajar yang ada dan media belajar yang disediakan guru.
4. Desain Pembelajaran berdasarkan aspek perkembangan teknologi informasi.
Sebagaimana diketahui bahwa kawasan desain adalah suatu proses untuk menentukan kondisi belajar dengan tujuan untuk menciptakan strategi dan produk. Terkait dengan hal ini, maka guru sebagai pengelola pembelajaran pada era teknologi informasi saat sekarang dalam mendesain pembelajaran harus mampu menghadirkan materi dari berbagai sumber informasi yang bervariasi. Langkah ini tentunya dilandasi pada sebuah prisnsip bahwa semakin banyak informasi yang diperoleh siswa tentang sebuah masalah, maka semakin mudah lah bagi siswa untuk memecahkan masalah tersebut Prinsip ini mensyaratkan bahwa belajar adalah suatu proses pengolahan, pemanfaatan dan penggunaan informasi. Dalam konteks ini, maka semakin beragamnya informasi yang diterima oleh siswa dari berbagai sumber belajar tentunya akan semakin memperkaya pengetahuan dan pemahaman siswa itu sendiri tentang suatu objek yang sedang dibahas. Untuk kepentingan itu, maka guru harus mampu memanfaatkan dan mengembangakan berbagai teknologi informasi baik dalam bentuk CD Pemebelajaran maupun lewat WEB pembelajaran yang sedang trend saat ini. Dengan meningkatnya daya muat untuk mengumpulan, menyimpan, memanipulasikan dan meyajikan informasi pada era saat ini maka seyogyanya guru harus mampu mendayagunakan kelebihan tersebut dalam penyampaian materi pembelajaran kepada siswa. Misalnya desain pembelajaran berbasis internet. Sebagai media yang diharapkan akan menjadi bagian dari suatu proses belajar mengajar di sekolah, internet mampu memberikan dukungan bagi terselenggaranya proses komunikasi interaktif antara guru dan siswa sebagaimana yang dipersyaratkan dalam suatu kegiatan pembelajaran. Poin penting lainnya, desain pembelajaran dengan pendekatan teknologi informasi adalah bahwa guru harus mampu mendesain materi sebaik mungkin, materi yang mudah dicerna oleh siswa, materi yang dapat ditangkap oleh berbagai indera yang dimiliki oleh siswa mulai indera pendengaran sampai indera penglihatan, materi yang dianggap penting dan relevan dengan kebutuhan belajar siswa. Dengan cara itu, maka informasi yang diperoleh siswa dalam bentuk materi tersebut akan tersimpan lama dalam long term memory, yang pada gilirannya nanti akan dapat dimanfaatkan oleh siswa secara tekstual.
5. Cara menjembatani perkembangan teknologi informasi yang bergitu cepat yang tidak didukung dengan ketersediaan sarana dan prasarana di sekolah.
Satu hal yang harus menjadi catatan penting bahwa esensi dari pembelajaran adalah bagaimana terjadinya interaksi komunikatif antara beragai unsur yang terlibat dalam proses pembelajaran, baik interaksi antara siswa dengan siswa maupun interaksi antara siswa dengan guru. Lewat interaksi yang terbangun itu kemudian, siswa akan memperoleh berbagai pengalaman belajar yang dibutuhkan dalam meningkatkan kualitas pengetahuan dan pemahamannya terhadap sebuah persoalan atau materi tertentu. Meski trend saat ini, pembelajaran lebih bersifat online namun tidak serta merta trend ini menjadi sesuatu yang harus diterapkan pada seluruh situasi pembelajaran. Sebab, bagaimanapun juga sarana dan prasara menjadi faktor kunci bagi kelancaran kegiatan dengan memanfaatkan teknologi informasi yang bergitu canggih saat ini. Untuk itu, dalam menjembatani hal ini tiada jalan lain, selain dengan memaksimalkan dan mendayagunakan berbagai sumber belajar yang tersedia disekitar lingkungan peserta didik. Proses memaksimalkan ini dapat dilakukan baik dengan cara memanipulasi atau merekayasa media dan sumber belajar yang tersedia ke arah yang lebih baik dan representatif sehingga kaya akan berbagai informasi yang berimplikasi positif bagi kegiatan pembelajaran. Di samping itu, harus dipahami pula bahwa teknologi informasi baik berupa internet, email dan lain sebagainya hanya merupakan alat dan sarana pendukung kelancaran kegiatan pembelajaran, yang terpenting adalah bagaimana dalam proses pembelajaran terbangun proses yang kompleks dan terpadu. Kompleks dan terpadu disini tentunya terkait dengan pelibatan orang, prosedur, gagasan, peralatan meski seadanya namun telah dimanipulasi sehingga kaya akan informasi-informasi yang relevan dengan kegiatan pembelajaran, dan organisasi dalam menganalisis masalah, mencari jalan pemecahannya, melaksanakan, mengevaluasi dan mengelola pemecahan masalah yang menyangkut semua aspek belajar siswa. Inilah inti dari teknologi pembelajaran, bukan hanya dalam hal pemanfaatan teknologi informasi dalam bentuk peralatan namun yang lebih penting bagaimana proses tersebut di atas dapat diwujudkan sehingga keterbatasan sarana dan prasarana tidak menjadi kendala yang berarti dalam membelajarkan peserta didik.
6. Implementasi aspek budaya dalam pembelajaran di era global yang sarat dengan perkembangan TIK
Dalam era global seperti saat ini, setuju atau tidak, mau atau tidak mau, kita harus berhubungan dengan teknologi khususnya teknologi informasi dan komunikasi. Hal ini disebabkan karena teknologi tersebut telah mempengaruhi kehidupan kita sehari-hari. Oleh karena itu, maka proses ini tentunya akan berimplikasi pada pembentukan budaya baru dalam pembelajaran. Kalau selama ini, siswa tidak melek pada perkembangan TIK maka seiring dengan semakin menguatnya arus TIK, anak didik harus dibiasakan untuk bersentuhan dengan berbagai produk teknologi khususnya yang memiliki relevansi dengan kegiatan pembelajaran. Pembudayaan nilai kerjasama menjadi catatan penting dalam penerapan pembelajaran berbasis TIK. Hal ini dapat dilakukan dengan menugaskan kepada siswa untuk mengumpulkan berbagai informasi yang terkait dengan materi tertentu dalam pembelajaran, selanjutnya meminta masing-masing siswa untuk memverifikasi dan saling bertukar informasi satu sama lain. Dengan proses tersebut, maka kerjasama antar siswa dapat terbangun dan dikembangkan secara sistematis. Pada bagian lain, pembudayaa budaya saling ketergantungan dan membutuhkan dapat dilakukan dalam pembelajaran berbasis TIK. Siswa akan terhubung dengan berbagai orang di dunia maya misalnya, saling bertukar informasi, berbagi materi dan lain sebagainya. Proses ini kemudian lambat laun akan memunculkan budaya ketergantungan dikalangan siswa dengan berbagai orang yang tergabung dalam dunia maya, pada akhirnya proses ini pula akan memunculkan budaya menghargai dan menghormati sesama bangsa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar