STIT AT-TAQWA CIPARAY BANDUNG

Rabu, 13 Juli 2011

Qira’ah Sab’ah (Qira’ah al-Qur’an)

Qiraat adalah jamak dari qira�ah, yang berarti �bacaan�, dan ia adalah masdar (verbal noun) dari qara�a. Menurut istilah ilmiah, qiraat adalah salah satu mazhab (aliran) pengucapan Qur�an yang dipilih oleh salah seorang imam ahli qiaraat sebagai suatu mazhab yang berbeda dengan mazhab lainnya.
Qiraat ini ditetapkan berdasarkan sanad-sanadnya sampai kepada Rasulullah. Periode qurra (ahli atau imam qiraat) yang mengajarkan bacaan Qur�an kepada orang-orang menurut cara mereka-mereka masing adalah dengan berpedoman kepada masa para sahabat. Diantara para sahabat yang terkenal mengajar qiraat ialah Ubai ra, Ali bin Abi Thalib ra, Zaid ra, Ibn Masud ra dan Abu Musa al Ansary ra serta masih banyak lagi yang lainnya. Dari mereka itulah sebagian besar sahabat dan tabi`in di berbagai negeri belajar qiraat. Mereka itu semuanya bersandar kepada Rasulullah.

Az Zahabi menyebutkan di dalam kitab Tabaqatul Qurra, bahwa sahabat yang terkenal sebagai guru dan ahli qiraat Qur�an ada tujuh orang, yaitu :
1. Usman bin Al-`Affan ra
2. Ali bin Abi Thalib ra
3. Ubai bin Kaab ra
4. Zaid bin Haritsah ra
5. Abu Darda ra
6. Abu Musa al Anshary ra.
7. Ibnu Mas`ud ra.
Lebih lanjut ia menjelaskan, segolongan besar sahabat mempelajari qiraat dari Ubai, diantaranya Abu Hurairah, Ibn Abbas, dan Abdullah bin Sa`id, Ibn Abbas belajar pula kepada Zaid. Kemudian kepada para sahabat itulah sejumlah besar tabi�in disetiap negri mempelajari qiraat.
Diantara para tabi�in tersebut ada yang tinggal di Madinah yaitu Ibnul Musayyab, �Urwah, Salim, Umar bin Abdul Aziz, Sulaiman dan �Ata�- keduanya putra Yasar-, Muaz bin Haris yang terkenal dengan Muaz al Qari�, Abdurrahman bin Hurmuz al A�raj, Ibn Syihab az Zuhri, Muslim bin Jundab dan Zaid bin Aslam.
Yang tinggal di Mekkah ialah : Ubaid bin Umar, �Ata�, bin Abu Rabah, Tawus, Mujahid, Ikrimah dan Ibn Abu Malikah.
Tabi�in yang tinggal di Kuffah ialah : Alqamah, al Aswad, Masruq, Ubaidah, Amr, bin Syurahbil, al Haris bin Qais, Amr bin Maimun, Abu abdurahman as Sulami, Said bin Jubair, an Nakha�i, dan as Sya�bi.
Yang tinggal di Basyrah ialah : Abu Aliyah, Abu Raja�, Nasr bin �Asim, Yahya bin Ya�mar, al Hasan, Ibn Sirin dan Qatadah.
Sedang yang tinggal di Syam ialah : al Mughirah bin Abu Syihab al Makhzumi-murid Usman, dan Khalifah bin Sa�d- sahabat Abu Darda�.
Pada permulaan abad pertama Hijrah dimasa tabi�in, tampilah sejumlah ulama yang membulatkan tenaga dan perhatiannya terhadap masalah qiraat secara sempurna karena keadaan menuntut demikian, dan menjadikannya sebagai suatu disiplin ilmu yang berdiri sendiri sebagaimana mereka lakukan terhadap ilmu-ilmu syariat yang lainnya, sehingga mereka menjadi imam dan ahli qiraat yang diikuti dan dipercaya. Bahkan dari generasi ini dan generasi sesudahnya terdapat tujuh orang terkenal sebagai imam yang kepada mereka dihubungkan;ah (dinisbahkanlah) qiraat hingga sekarang ini.
Para qiraat tersebut di madinah ialah : Abu Ja�far Yazid bin Qa�qa�, kemudian Nafi� bin Abdurrahman, ahli qiraat di mekkah ialah : Abdullah bin Kasir dan Humaid bin Qais al A�raj. Di Kufah ialah : Asim bin Abu Najud, Sulaiman al A�masy, kemudian Hamzah dan kemudian al Kisa�i. Di Basrah ialah : Abdullah bin Abu Ishaq,, Isa Ibn Amr, , Abu A�mar �Ala�, Asim al Jahdari dan Ya;kub al Hadrami. Dan di Syam ialah : Abdullah bin Amir, Ismail bin Abdullah bin Muhajir, kemudian Yahya bin Haris dan kemudian Syuraih bin Yazid al Hadrami.
Ketujuh orang yang terkenal sebagai ahli qiraat diseluruh dunia diantara nama-nama tersebut ialah Abu �Amr, Nafi� , Asim, Hamzah, al Kisa�I, Ibn �Amir dan Ibn Kasir.�
Qiraat-qiraat itu bukanlah tujuh huruf- sebagaimana yang dimaksdkan dalam hadis pada bab diatas- menurut pendapat yang paling kuat. Meskipun kesamaan bilangan diantara keduanya mengesankan demikian. Sebab qiraat-qiraat hanya merupakan madzhab bacaan qur�an para imam, yang secara ijma� masih tetap exis dan digunakan umat hingga kini. Dan sumbernya adalah perbedaan langgam, cara pengucapan dan sifatnya, seperti : tafkhim, tarqiq, imalah, idgham, izhar, isyba�, madd, qasr, tasydid, takhfif dan lain sebagainya. Namun semuanya itu hanya berkisar dalam satu huruf, yaitu huruf quraisy.
Sedangkan maksud tujuh huruf adalah berbeda dengan qiraat, seperti yangvtelah kita jelaskan. Dan persoalannya sudah berakhir sampai pada pembacaan terakhir ( al �Urdah al �Akhirah), yaitu ketika wilayah expansi bertambah luas dan ikhtilaf tentang huruf-huruf itu menjadi kekhawatiran bagi timbulnya fitnah dan kerusakan, sehingga para sahabata pada masa Usman terdorong untuk mempersatukan umat islam pada satu huruf, yaitu huruf quraisy, dan menuliskan mushaf-mushaf dengan huruf tersebut sebagaimana telah kita jelaskan.
Popularitas Tujuh Imam Qiraat
Imam atau guru qiraat itu cukup banyak jumlahnya, namun yang populer hanya tujuh orang. Qiraat tujuh orang imam ini adalah qiraat yang telah disepakati. Akan tetapi disamping itu para ulama memilih pula tiga orang imam qiraat yang qiraatnya dipandang sahih dan mutawatir. Mereka adalah Abu Ja�far Yazin bin Qa�qa� al Madani, Ya�kub Bin Ishaq al Hadrami dan Khalaf bin Hisyam. Ketiga imam terakhir ini dan tujuh imam diatas dikenal dengan imam qiraat. Dan qiraat diluar yang sepuluh ini dipandang qiraat syaz. Seperti qiraat Yazidi, Hasan, A�masy, Ibn Jubair dan lain-lain. Meskipun demikian, bukan berarti tidak satupun dari qiraat sepuluh dan bahkan qiraat tujuh yang masyhur itu terlepas dari kesyazan, sebab didalam qiraat-qiraat tersebut masih terdapat juga beberapa kesyazan sekalipun hanya sedikit.
Pemilihan qurra (ahli qiraat) yang tujuh itu dilakukan oleh para ulama terkemudian pada abad ketiga hijri. Bila tidak demikian maka sebenarnya para imam yang dapat mempertanggungjawabkan ilmunya itu cukup banyak jumlahnya. Pada abad permulaan kedua umat islam di Basrah memilih qiraat Ibn �Amr dan Ya�kub; di Kufah orang-orang memilih qiraat Hamzah dan �Asim; di Syam mereka memilih qiraat Ibn �Amir; di mekkah mereka meilih qiraat Ibn Kasir, dan di madinag memilih qiraat Nafi�. Mereka itulah tujuh orang qari, tetapi pada permulaan abad ke tiga Abu Bakar bin Mujahid menetapkan nama al Kisa�I dan membuang nama Ya�kub dari kelompok tujuh huruf tersebut.
Berkata as Suyuti : �Orang pertama yang menyusun kitab tentang qiraat ialah Abu Ubaid al Qasim bin Salam, kemudian Ahmad bin Jubair al Kufi, kemudian Ismail bin Ishaq al Maliki, murid Qalun, kemudian Abu Ja�far bin Jarir at Tabari, kemudian Abu Bakar Muhammad bin Ahmad bin Umar ad Dajuni. Kemudian Abu Bakar bin Mujahid. Kemudian pada masa Ibn Mujahid ini dan sesudahnya, tampulah para ahli yang menyusun buku mengenai berbagai macam qiraat, baik yang mencakup qiraat maupun tidak, secara singkat maupun panjang lebar. Imam-imam qiraat itu sebenarnya tidak terhitung jumlahnya. Hafizul islam Abu Abdullah Az Zahabi telah mentusun tabaqat (sejarah hidup) mereka, kemudian diikuti pula oleh Hafizul Qurra Abul Khair bin Jaziri.�
Imam Ibn Jaziri didalam an Nasyr mengemukakan, Imam pertama yang dipandang telah menghimpun bermacam-macam qiraat dalam satu kitab adalah Abu Ubaid al Qasim Ibn Salam. Menurut perhitunganku, ia mengumpulkan dua puluh lima orang ulama ahli qiraat selain yang tujuh itu. Ia wafat pada 224. kemudian al Jaziri mengatakan pula, sesudah itu, Abu Bakar Ahmad bin Musa bin Abbas bin Mujahid merupakan orang pertama yang membatasi hanya pada qiraat tujuh imam saja. Ia wafat pada 324. selanjutnya ia mengatakan, kami mendapat berita dari sebagian orang yang tidak berpengetahuan bahwa qiraat yang benar ialah qiraat-qiraat yang berasal dari tujuh imam. Bahkan dalam pandangan sebagian besar orang yang jahil, qiraat-qiraat yang benar itu hanyalah yang terdapat didalam asy- Syatibiyyah dan at-Taisir.
Sebab-sebab mengapa hanya tujuh imam qiraat saja yang masyhur pada hal masih banyak imam-imam qirat lain yang lebih tinggi kedudukannya atau setingkat dengan mereka dan jumlahnya pun lebih dari tujuh, ialah karena sangat banyaknya periwayat qiraat mereka. Ketika semangat dan perhatian para generasi sesudahnya menurun, mereka lalu berupaya untuk membatasi hanya pada qiraat yang sesuai dengan khat mushaf serta dapat mempermudah penghafalan dan pen-dabi-tan qiraatnya. Langkah yang ditempuh generasi penerus ini ialah memperhatikan siapa diantara ahli qiraat itu yang lebih populer kredibilitas dan amanahnya, lamanya waktu dalam menekuni qiraat adan adanya kesepakatn untuk diambil serta dikembangkan qiraatnya. Kemudian dari setiap negeri dipilihlah seorang imam. Tetapi tanpa mengabaikan penukilan qiraat imam diluar yang tujuh orang itu, seperti qiraat Ya�kub al Hadrami, Abu Ja�far al Madani, Syaibah bin Nassa� dsb.
Para penulis kitab tentang qiraat telah memberikan andil besar dalam membatasi qiraat pada jumlah tertentu, sebab pembatasannya pada sejumlah imam qiraat tertentu tersebut, merupakan faktor bagi popularitas mereka padahal masih banyak qari-qari lain yang lebih tinggi kedudukannya dari mereka. Dan ini menyebabkan orang menyangka bahwa para qari� yang qiraat-qiraatnya dituliskan itulah imam-imam qiraat terpercaya. Ibn Jabr al Makki telah menyusun sebuah kitab tentang qiraat, yang hanya membatasi hanya pada lima orang qari saja. Ia memilih seorang Imam dari setiap negeri, dengan pertimbangan bahwa mushaf yang dikirimkan Usman kenegeri-negeri itu hanya lima buah. Sementara itu seebuah pendapat mengatakan bahwa Usman mengirimkan tujuh buah mushaf; lima buah seperti ditulis oleh al makki ditambah satu mushaf ke Yaman dan satu mushaf lagi ke Bahrain. Akan tetapi kedua mushaf terakhir ini tidak terdengar kabar beritanya. Kemudian Ibn Mujahid dan lainnya berusaha untuk menjaga bilangan mushaf yang disebarkan Usman tersebut. Maka dari mushaf Bahrain dan mushaf Bahrain itu mereka mencantumkan pula ahli qiraatnya untuk menyempurnakan jumlah bilangan (tujuh). Oleh karena itu, para ulama berpendapat bahwa berpegang pada qiraat tujuh ahli qiraat itu, tanpa yang lain, tidaklah berdasarkan pada asar maupun sunah.sebab jumlah itu hanyalah hasil usaha pengumpulan oleh beberapa orang terkemudian, yang kemudian kumpulan tersebut tersebar luas. Seandainya Ibn Mujahid menuliskan pula qari itupun akan terkenal pula. Abu Bakar Ibnul Arabi berkata : Penentuan ketujuh orang qari ini tidak dimaksudkan behwa qiraat yang boleh dibaca itu hanya terbatas tujuh sehingga qiraat yang lainnya tidak boleh dipakai, seperti qiraat Abu Ja�fa, Syaibah, al A�masyi dll. Karena para qari ini pun kedudukannya sama dengan tujuh atau bahkan lebih tinggi,� pendapat ini dikatakan pula oleh banyak ahli qiraat lainnya.
Abu Hayyan berkata : � Dalam kitab karya Ibn Mujahid dan orang yang mengikutinyasebenarnya tidak terdapat qiraat yang masyhur, kecuali sedikit sekali. Sebagai misal Abu Amr Ibnul A�la, ia terkenal mempunyai tujuh belas perawi-kemudian disebutkanlah nama-nama mereka itu. Tetapi dalam kitab Ibn Mujahid hanya disebutkan al Yazidi, dan dari al Yazidi inipun diriwayatkan oleh sepuluh orang perawi. Maka bagaimana ia dapat merasa cukup dengan hanya menyebutkan as Susi dan ad Dauri, padahal keduanya tidak mempunyai kelebihan apa-apa dari yang lain ? sedang para perawi itu sama dalam tingkat ke-dabit-an, keahlian dan kesetaraannya untuk diambil.� Dan katanya pula:� aku tidak mengetahui alasan sikap Ibn Mujahid ini selain dari kurangnya ilmu pengetahuan yang dimilikinya,�
Macam-macam Qiraat, Hukum dan Kaidahnya
Sebagian ulama menyebutkan bahwa qiraat itu ada yang mutawatir, ahad dan syaz. Menurt mereka, qiraat mutawatir ialah qiraat yang tujuh, sedang qiraat ahad ialah tiga qiraat yang menggenapkannya menjadi sepuluh qiraat ditambah qiraat pra sahabat, dan selain itu adalah qiraat syaz. Dikatakan, bahwa qiraat yang sepuluh adalah dalam hal ini baik dalam qiraat yang termasuk qiraat tujuh, qiraat sepuluh maupun lainnya adalah dabit atau kaidah tentang qiraat yang sahih. Abu Syamah dalam al Mursyidul Wajiz mengungkapkan, tidak sepantasnya kita tertipu oleh setiap qiraat yang disandarkan kepada salah satu ahli qiraat tujuh dengan menyatakannya sebagai qiraat yang sahih (benar) dan seperti itulah qiraat tersebut diturunkan kecuali bila qiraat itu telah memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan dalam dabit. Dengan begitu, maka seorang penyusun tidak seyogyanya hanya memindahkan (menukil) qiraat yang dikatakannya berasal dari seorang imam tersebut tanpa menukil qiraat dari yang lain, atau khusus hanya menukilkan qiraat dari imam tujuh orang saja. Tetapi hendaknya ia menukilkan semua qiraat berasal dari qurra lain. Cara demikian ini tidak mengeluarkan sesuatu qiraat dari kesahihannya. Sebab, yang menjadi pedoman ialah terpenuhinya sifat-sifat atau syarat-syarat , bukan siapa yang kepadanya qiraat itu dihubungkan. Hal ini karena qiraat yang dihubungkan kepada stiap qari yang tujuh atau yang lain itu, ada yang disepakati (mujma� �alaih) da ada pula yang syaz. Hanya saja karena popularitas qari yang tujuh dan banyaknya qiraat mereka yang telah disepakati kesahihannya maka jiwa merasa lebih tenteram dan cenderung menerima qiraat yang berasal darimereka melebihi qiraat yang bersumber dari qari-qari lainnya.
Menurut mereka, dabit atau kaidah qiraat yang sahih adalah sebagai berikut:
1. Kesesuaian qiraat tersebut sesuai dengan kaidah bahasa arab sekalipun dalam satu segi, baik segi itu fasih ataupun lebih fasih, sebab qiraat adalah sunah yang harus diikuti, diterima apa adanya dan menjadi rujukan dengan berdasarkan pada isnad, bukan ra�yu (penalaran).
2. Qiraat sesuai dengan salah satu mushaf Usmani, sekalipun hanya mendekati saja. Sebab dalam penulisan mushaf-mushaf itu para sahabat teah bersungguh-sungguh dalam membuat rasm (cara ppenulisan mushaf) sesuai dengan bermacam-macam dialek qiraat yang mereka ketahui. Misalnya mereka akan menuliskan �asshiratha� dalam ayat �ihdinassirathalmustaqim� (al Fatihah: 6) dengan shad sebagai ganti dari sin. Mereka tidak menuliskan sin yakni �assiratha�. Meskipun dalam satu segi berbeda dalam satu rasm. Namun qiraat dengan sin pun telah memenuhi atau sesuai dengan bahasa asli lafaz tersebut yang dikenal, sehingga kedua bacaan itu dianggap sebanding. Dan bacaan isymam untuk itupun dimungkinkan pula.
Yang dimaksud dengan sesuai yang hanya sekadar mendekati saja (muwafaqah ihtimaliyah) adalah seperti contoh diatas. Misal yang lainnya seperti �Maalikiyaumiddin� (al Fatihah: 4), lafal �Maliki� dituliskan dalam semua mushaf dengan membuang �Alif�, sehingga dibaca �ãÇ ááÆ � sesuai dengan rasm secara tahqiq (jelas) dan dibaca pula �Maliki� sesuai dengan rasm secara ihtimal (kemungkinan). Dan demikian pula contoh yang lain.
Contoh qiraat-qiraat yang berbeda tetapi sesuai dengan rasm secara tahqiq adalah �Ta�lamuun�, dengan �Ta� dan �Ya�. Juga �Yaghfirlakum� dengan �Ya� dan �nun� dan lain-lain. Kekosongan rasm dari titik dan dan syakal baik ketika dihilangkan maupun ketika ditetapkan merupakan bukti betapa tingginya para sahabat dalam ilmu ejaan khususnya dan dalam pemahaman yang cemerlang terhadap kajian setiap ilmu.
Dalam menentukan qiraat yang sahih tidak disyaratkan qiraat itu harus sesuai dengan semua mushaf, cukup dengan apa yang tedapat dalam sebagian mushaf saja. Misalnya qiraat Ibn �Amr �Wabizzuburi wabalkitabi� (Ali-�Imran: 184) dengan menetapkan �Ba� pada kedua lafaz itu, qiraat ini dipandang sahih karena yang demikian ditetapkan pula dalam mushaf Syami.
3.Qiraat itu harus sahih isnadnya, sebab qiraat merupakan sunah yang diikuti yang didasarkan pada keselamatan penukilan dan kesahihan riwayat. Sering kali ahli bahasa arab mengingkari sesuatu qiraat hanya karena qiraat itu tidak sejalan dengan aturan atau lemah menurut kaidah bahasa, namun demikian para imam qiraat tidak menanggung beban apapun atas keingkaran mereka itu.
Itulah syarat-syarat yang ditentukan dalan dabit bagi qiraat yang sahih. Apa bila ketiga syarat ini yang terpenuhi, yaitu: 1) sesuai dengan bahasa arab 2) sesuai degan rasm mushaf dan 3) sahih sanadnya, maka qiraaat tersebut adalah qiraat yang sahih. Dan bila salah satu syarat atau lebih tidak terpenuhi maka qiraat itu dinamakan qiraaat yang lemah, syaz atau batil.
Yang mengherankan ialah bahwa sebagian ahli nahwu masih juga menyalahkan qiraat sahih yang telah memenuhi ayarat-syarat tersebut, hanya semata-mata qiraat tersebut bertentangan dengan kaidah ilmu nahwu yang mereka jadikan tolok ukur bagi kesahihan bahasa. Seharusnya qiraat yang sahih itu dijadikan sebagai hakim atau pedoman bagi kaidah-kaidah nahwu dan kebahasaan, bukan sebaliknya, menjadikan khaidah ini sebagai pedoman bagi qur�an. Hal ini karena qur�an adalah sumber pertama dan pokok bagi pengambilan kaidah-kaidah bahasa, sedang qur�an sendiri didasarkan pada kesahihan, penukilan dan riwayat yang menjadi landasan para Qari; bagaimanapun juga adanya. Ibn Jaziri ketika memberikan komentar terhadap syarat pertama kaidah qiraaat yang sahih ini menegaskan, kata-kata dalam kaidah diatas meskipun hanya dalam satu segi, yang kami maksudkan adalah satu segi dari ilmu nahwu, baik segi itu fasih maupun lebih fasih, disepakati maupun diperselisihkan. Sedikit berlawanan dengan kaidah nahwu tidaklah mengurangi kesahihan, sesuatu qiraat jika qiraat tersebut telah tersebar luas, populer dan diterima para imam berdasarkan isnad yang sahih, sebab hal terakhir inilah yang menjadi dasar terpenting dan sendi paling utama. Memang, tidak sedikit qiraat yang diingkari oleh ahli nahwu atau sebagian besar mereka, tetapi keingkaran mereka iti tidak perlu dihiraukan. Seperti mensukunkan �Baari� kum� dan �Ya� murkum� mengkhafadkan �Walarham� , menasabkan �Liyujzi ya qauman� dan memisahkan antara mudhaf dengan mudhaf ilaih, seperti dalam ayat �Qatlu aula dahum syuraka ihim� dan sebagainya;
Berkata Abu �Amr ad Dani, para imam qiraat tidak memperlakukan sedikitpun huruf-huruf qur�an menurut aturan yang paling populer dalam dunia kebahasaan dan paling sesuai dengan kaidah bahasa arab, tetapi menurut yang paling mantap (tegas) dan sahih dalam riwayat dan penukilan. Karena itu bila riwayat itu mentap maka, aturan kebahasaan dan popularitas bahasa tidak bisa menolak atau mengingkarinya, sebab qiraat adalah sunah yang harus diikuti dan wajib diterima seutuhnya serta dijadikan sumber acuan. Zaid bin Sabit berkata� qiraat adalah sunah muttaba�ah, sunah yang harus diikuti.
Baihaqi menjelaskan maksud perkataan tersebut ialah bahwa mengikuti orang-orang sebelum kita dalam hal qiraat qur�an merupakan sunah atau tradisi yang harus diikuti, tidak boleh menyalahi mushaf dan merupakan imam dan tidak pula menyalahi qiraat-qiraat yang masyhur, meskipun tidak berlaku dalam bahasa arab. Sebagian utama menyimpulkan macam-macam qiraat menjadi enam macam :
1. Mutawatir ; yaitu qiraat yang dinukil oleh sejumlah besar periwayat yang tidak mungkin bersepakat untuk berdusta, dari sejumlah orang yang seperti itu dan sanadnya bersambung hingga penghabisannya, yakni Rasulullah. Dan inilah yang umum dalam hal qiraat.
2. Masyhur, yaitu qiraat yang sahih sanadnya, tetapi tidak mencapai derajat mutawatir, sesuai dengan kaidah bahasa arab dan rasm Usmani serta terkenal pula dikalangan para ahli qiraat, sehingga karenanya tidak dikategorikan qiraat yang salah atau syaz. Para ulama menyebutkan bahwa qiraat semacam ini termasuk qiraat yang dapat diapakai atau digunakan.
3. Ahad, yaitu qiraat yang sahih sanadnya tetapi menyalahi rasm Usmani, menyalahi kaidah bahasa arab atau tidaj terkenal seperti halnya qiraat masyhur yang telah disebutkan. Qiraat macam ini tidak termasuk qiraat yang dapat diamalkan bacaannya. Diantara contohnya ialah seperti yang diriwayatkan dari Abu Bakrah, bahwa Nabi membaca �Mutta kiina �ala rafa rifa khudrin wa aba qariya hisanin� (ar Rahman : 76) dan yang diriwayatkan dari Ibn Abbas bahwa ia membaca �Laqad ja akum rasulun min anfusikum� (at Taubah :128), dengan membaca fathah huruf �Fa�.
4. Syaz, yaitu qiraat yang tidak sahih sanadnya, sepeti qiraat arab �Malaka yaumad daini� (al Fatihah: 4), dengan bentuk fi�l madi dan menasabkan �Yauma�.
5. Maudu,� yaitu qiraat yang tidak ada asalnya.
6. Mudraj, yaitu yang ditambahkan kedalam qiraat sebagai penafsiran, seerti qiraat Ibn Abbas; � Laisa �alaikum junahun an tabtaghu fadlan min rab bakum fi mawasimil hajja faidzak fad tum min �arafatin � (al Baqarah :198). . kalimat �fi mawasimil hajja� adalah penafsiran yang disisipkan kedalam ayat.
Keenam macam terakhir ini tidak boleh diamalkan bacaannya. Jumhur berpendapat bahwa qiraat yang tujuh itu mutawatir. Dan yang tidak mutawatir, seperti Masyhur, tidak boleh dibaca didalam maupun diluar salat.
An-Nawawi dalam kitab beliau Al-Majmu` Syarh Al Muhazzab berkata: �qiraat yang syaz tidak boleh dibaca baik di dalam maupun diluar salat, karena ia bukan qur�an. Qur�an yang ditetapkan dengan sanad yang mutawatir, sedang qiraat yang syaz tidak mutawatir. Orang yang berpendapat selain ini adalah salah satu jahil. Seandainya seseorang menyalahi pendapat ini dan membaca dengan qiraat yang syaz, maka ia harus diingkari baik bacaab itu didalam maupun diluar salat. Para fuqaha bagdad sepakat bahwa orang yang membaca qur�an dengan qiraat yang syaz harus disusruh bertobat. Ibn Abdil Barr menukilkan �ijma� kaum muslimin bahwa qur�an tidak boleh dibaca dengan qiraat yang syaz dan juga tidak syah salat di belakang orang yang membaca qur�an dengan qiraat-qiraat yang syaz itu.��
1. Menunjukkan betapa terjaga dan terpeliharanya kitab Allah dari perubahan dan penyimpangan pada hal kitab ini mempunyai sekian banyak segi bacaan yang berbeda-beda.
2. Meringankan umat islam dan memudahkan mereka untuk membaca qur�an.
3. Bukti kemukjizatan qur�an dari segi kepadatan makna (I�jaz)nya, karena setiap qiraat menunjukkan sesuatu hukum syara� tertentu tanpa perlu pergulangan lafaz. Misalnya ayat �Wam sahu bi ru�u sikum wa arjulikum ila ka�baini� (al Midah:6) dengan m,enasbkan dan mengkhafadkan kata �Waarjulikum�. Dalam qiraat yang menasabkan dalam penjelasan qiraat dengan jar (khafad) menjelaskan hukum dengan alasan lafaz itu di �athafkan kepada ma;mul fi�il masaha �Wa am sahu biru�usikum waarjulikum� dengan demikian, maka kita dapat menyimpulkan dua hukum tanpa berpanjang lebar kata. Inilah sebagian makna kemukjizatan qur�an dari segi kepadatan maknanya.
4. Penjelasan terhadap apa yang mungkin masih global dalam qiraat lain.misalnya, lafaz �yathhurna� dalam ayat �Wala taq rabu hunna hatta yathhurna� (al Baqarah: 222), yang dibaca dengan tasydid, �yaththharna� dan takhfif �yath hurna�.
Qiraat dengan tasydid menjelaskan makna qiraat dengan tahfif, sesuai dengan pendapat jumhur ulama. Karena itu isteri yang haid tidak halal dicampuri oleh suaminya. Karena telah suci dari haid, yaitu terhentinya darah haid, sebelum isteri tersebut bersuci dari air.
Dan qiraat �Fam dzu ila dzikrillah� menjelaskan arti yang dimaksud qiraat �Fas aw� yaitu pergi, bukan berjalan cepat- dalam firmanNya : �Ya ayyuhall ladzina amanu idza nu diya ti lissalati min yaumil jum�ati fas aw ila dzikrillah� ( al Maidah: 3 sebagai ganti kata �Aidiya huma� juga menjelaskan tangan mana yang harus dipotong.
Demikian pula qiraat �Wallahu akhun aw ukhtun min umma falikulla wahidin min humas sudusu� (an Nisa; 12) menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan saudara dalam ayat tersebut adalah saudara laki-laki seibu. Oleh karena itu para ulama mengatakan bahwa dengan adanya perbedaan qiraat, maka timbulah perbedaan dalam hukumnya.
Berkata Abu Ubaidah dalam fada�ilul qur�an, : maksud qiraat yang syaz ialah ; menafsirkan qiraat yang masyhur dan menjelaskan makna-maknanya. Misalnya qiraat Aisyah dan Hafsah �Washalatil wustha shalatil ashri�(al Bqarah:238). Qiraat Ibn Maus�ud � Faqtha�u aimana huma� (al Maidah:38), dan qiraat Jabir �Fainnallaha min ba�di ikri hinna lahunna ghafururrahim (an Nur: 33) katanya pula : huruf-huruf (qiraat) ini dan yang serupa dengannya telah menjadi penafsiran qur�an.
Qiraat- penafsiran- ini adalah diriwayatkan dari tabi�in dan kemudian dianggap baik. Maka bagaimana pula bila yang demikian itu diriwayatkan dari tokoh-tokoh sahabat dan bahkan kemudian menjadi bagian dari suau qiraat ? tentu hal ini lebih baik dan labih kuat dari pada sekedar tafsir. Setidak-tidaknya, manfaat yang dapat dipetik dari huruf-huruf ini ialah pengetahuan tentang ta�wil yang benar (sahih).
Ketujuh imam qiraat yang masyhur dan disebutkan secara khusus oleh Abu Bakar bin Mujahid karena menurutnya mereka adalah ulama yang terkenal hafalan, ketelitian dan cukup lama menekuni dunia qiraat serta telah disepakati untuk diambil dan dikembangkan qiraatnnya adalah :
1. Abu �Amirbin �Ala
Beliau seorang guru besar para perawi. Nama lengkapnya adalah Zabban bin �Ala bin �Amr Al Mazini Al Basri. Ada yang mengataklan bahwa namanya adalah Yahya. Juga dikatakan bahwa nama aslinya adalah Kunyah-nya itu. ia wafat di Kufah 154 H. dan dua orang perawinya adalah ad Dauri dan as Susi.
Ad-Dauri adalah Abu Umar Hafs bin Umar bin Abdul Aziz adDauri anNahwi. Ad Dauri nama tempat di Bagdad. Ia wafat pada 264 H.
As-Susi adalah Abu Syu�aib Salih bin Ziyad bin Abdullah asSusi. Ia wafat pada 261 H.
2. Ibn Kasir.
Nama lengkapnya Abdullah bin Kasir al Makki. Dia termasuk seorang tabi�in dan wafat dimekkah tahun 120 H. dua orang perawinya ialah al Basyi dan qunbul.
Al Bazi adalah Ahmad bin Muhammad bin Abdullah bin Abu Baza, muadzin di mekkah dia diberi kunyah Abu Hasan. Dan wafat di mekkah pada 250 H.
Sedang Qunbul adalah Muhammad bin Abdurrahman bin Muhammad bin Khalid bin Said al Makki al Makhzumi, ia diberi kunyah Abu Amr dan diberi julukan (panggilan) Qunbul. Dikatakan bahwa ahlul bait di Mekah ada yang dikenal dengan nama Qanabailah. Ia wafat di mekkah pada 291 H.
3. Nafi� al Madani.
Nama lengkapnya adalah Abu Ruwain Nafi� bin Abdrrahman bin Abu Nua�im al Laisi, berasal dari sifahan, dan wafat di madinah pada 169 H. Dua orang perawinya ialah Qalun dan Warasy.
Qalun ialah Isa bin Munya al Madani. Ia adalah seorang guru bahasa arab yang mempunyai kunyah Abu Musa dan mempunyai julukan Qalun. Diriwayatkan bahwa Nafi� memberinya nama panggilan Qalun karena keindahan suaranya. Sebab kata Qalun dalam bahasa rumawi berarti baik. Ia wafat dimedinah pada 220 H.
Sedang Warasy ialah �Usman bin Said al Misry. Ia diberi kunyah Abu Said dan diberi julukan Warasy karena teramat putihnya. Ia wafat di Mesir 198 H.
4. Ibn Amir asy Syami.
Nama lengkapnya ialah Abdullah bin Amir al Yahsubi, seorang qadi (hakim) didamaskus pada masa pemerintahan Walid bin Abdul Malik. Nama panggilanya adalah Abu Imran, ia termasuk seorang tabi�in. wafat didamaskus pada 118 H. Dua orang perawinya ialah Hisyam dan Ibn Zakwan.
Hisyam ialah Hisyam bin Imar bin Nusair, qadi Damaskus. Ia diberi kunyah Abul Walid. Dan wafat pada 245 H.
Sedang Ibn Zakwan adalah Abdullah bin Ahmad bin Basir bin Zakwan al Qurasyi ad Dimasyqi. Ia diberi kunyah Abu Amr. Dilahirkan pada 173 H. dan wafat di Damaskus pada 242 H.
5. `Asim al Kufi.
Ia adalah Asim bin Abu Najud, dan dinamakan pula Abu Bahdalah, Abu Bakar. Ia termasuk seorang tabi�in, dan wafat di kufah pada 128 H. dua orang perawinya ialah Syu�bah dan Hafs.
Syu�bah ialah Abu Bakar Syu�bah bin Abbas bin Salim al Kufi. Wafat 193 H.
Sedang Hafs adalah Hafs bin Sulaiman bin Mughirah al Bazzaz al Kufi. Nama pangilannya adalah Abu Amr, ia adalah orang terpercaya. Menurut Ibn Muin, ia lebih pandai qiraatnya dari pada Abu Bakar. Wafat pada 180 H.
6. Hamzah AlKufi.
Ia adalah Hamzah bin Habib bin Imarah Az Zayyat al Fardi at Taimi. Ia diberi kunyah Abu Imarah. Dan wafat di Halwan pada masa pemerintahan bu Ja�far al Mansyur tahun 156 H. Dua orang perawinya ialah Khalaf dan Khalad.
Khalaf ialah Khalaf bin Hisyam al Bazzaz. Ia diberi kunyah Abu Muhhamad. Wafat dibagdad 229 H. Sedang Khalad adalah Khalad bin Walid,dn dikatakan pula Ibn Khalid as Sairafi al Kufi. Ia diberi kunyah Abu �Isa, wafat 220 H.
7. Al Kisa�i Al-Kufi
Beliau adalah Ali bin Hamzah. Seorang imam ilmu nahwu di Kufah. Ia diberi kunyah Abul Hasan. Dinamakan dengan al Kisai karena ia memakai �kisa� disaat ihram. Ia wafat di Barnabawaih, sebuah perkampungan di Ray, dalam perjalanan menuju Khurasan bersama arRsyid pada 189 H. Dua orang perawinya adalah Abul Haris dan Hafs ad Dauri.
Abul haris adalah al Lais bin Khalid al Bagdadi, wafat pada 240 H.
Sedang Hafs ad Dauri adalah juga perawi Abu Amr yang telah disebutkan terdahulu.
Adapun ketiga imam qiraat yang menyempurnakan imam qiraat tujuh, menjadi sepuluh ialah :
8. Abu Ja�far al Madani.
Beliau adalah Yazid bin Qa�qa�, wafat dimadinah pada 128 H. dan dikatakan pula 132 H. Dua orang perawinya ialah Ibn Wardan dan Ibn Jimaz.
Ibn Wardan adalah Abul Haris Isa bin Wardan al Madani, wafat dimadinah pada awal 160 H. Sedang Ibn Jimaz adalah Abur Rabi� Sulaiman bin Muslim bin Jimas al Madani, wafat pada akhir 170 H.
9. Ya`kub al Basyri.
Beliau adalah Abu Muhhammad Ya;kub bin Ishaq bin Zaid al Hadrami, wafat di basrah pada 205 H, tetapi dikatakan pula 185 H. Dua orang perawinya ialah Ruwais dan Rauh.
Ruwais adalah Abu Abdullah Muhammad bin Mutawakkil al Lu�lu�I al Basyri. Ruwais adalah julukannya, wafat di Basrah pada 238 H.
Sedang Rauh adalah Abul Hasan Rauh bin Abdul Mu�min al Basri an Nahwi, wafat pada 234 H atau 235 H.
10. Khalaf.
Beliau adalah Abu Muhammad Khalaf bin Hisyam bin Sa�lab al Bazar al Baghdadi, ia wafat pada 229 H, tetapi dikatakan pula bahwa tahun kewafatannya tidak diketahui. Dua orang perawinya ialah Ishaq dan Idris.
Ishaq adalah Abu Ya;kub Ishaq bin Ibrahim bin Usman al Waraq al Marwazi kemudian al Bagdadi. Wafat pada 286 H.
Sedang Idris adalah Abul Hasan Idris bin Abdul Karim al Bagdadi al Haddad. Ia wafat pada hari Idul adha 292 H.
Sebagian ulama menambahkan pula empat qiraat kepada yang sepuluh itu, keempat qiraat itu adalah :
1. Qiraat al Hasanul Basri, maula (mantan sahaya) kaum anshar dan kaum tabi�in besar yang terkenal dengan kezuhudannya.wafat pada 110 H.
2. Qiraat Muhammad bin Abdurrahman yang dikenal dengan Ibn Muhaisin, wafat pada 123 H. dan ia adalah syaikh. Guru Abu Amr.
3. Qiraat Yahya bin Mubarak al Yazidi an Nahwi dari Bagdad. Ia mengambil qiraat dari Abu Amr dan Hamzah, dan ia adalah syaikh atau guru ad Dauri dan as Susi. Wafat pada 202 H.
4. Qiraat Abul Faraj Muhammad bin Ahmad asy Syanbusy, wafat 388 H.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar