STIT AT-TAQWA CIPARAY BANDUNG

Selasa, 09 Agustus 2011

Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam

Dalam disiplin ilmu ushul al-fiqh nama Saifuddin al-Amidi sudah tak asing lagi. Sebab, ia adalah salah satu rujukan penting dalam kajian ilmu ushul al-fiqh di samping al-Juwaini, Abu al-Husain al-Mu’tazili, dan al-Ghazali. Keempat ulama tersebut kemudian didaku sebagai para pakar ushul al-fiqh yang mengikuti thariqah asy-syafi’iyyah atau al-mutakallimin. Maksudnya ialah pandangan mereka mengenai ushul al-fiqh adalah pandangan yang yang tidak didorong oleh fanatisme madzhab, tetapi semata-mata murni untuk mengembangkan ushul al-fiqh yang telah dirintis Imam Syafi’i sebagai bapaknya (al-mu`assis al-awwal) ilmu ushul al-fiqh.

Nama lengkap Saifuddin al-Amidi ialah Ali bin Muhammad bin Salim bin Muhammad al-‘Allamah Saifuddin al-Amidi at-Taghlabi asy-Syafi’i. Saifuddin al-Amidi lahir di Amid tahun 551 H. Awalnya ia adalah pengikut Madzhab Hanbali, tetapi dalam perjalananya ia kemudian berpindah ke Madzhab Syafi’i. Saifuddin al-Amidi pernah bertemu dengan Suhrawadi al-Maqtul ketika mengujungi Halb. Di samping sebagai pakar ushul al-fiqh, ia juga dikenal sebagai pakar ilmu kalam pada zamannya, ahli logika, dan banyak mengusai pelbagai cabang ilmu rasional.

Banyak ulama-ulama besar pernah berguru kepada Saifuddin al-Amidi, seperti ‘Izzuddin Abd. as-Salam dan al-Qadhi Abu ar-Ruh yang terkenal dengan sebutan Ibn Qadhi. Kebesaran nama Saifuddin al-Amidi pada saat itu tak dapat dipungkiri, namun kebesaran itu telah membuat banyak para fuqaha merasa iri. Akibatnya, muncul tuduhan-tuduhan miring yang sengaja diwacanakan untuk memojokkan dan mengerdilkannya.

Saifuddin al-Amidi wafat malam Senin tanggal 2 Shafar 631 H di Damaskus dan dimakamkan para hari hari Senin. Pada hari wafatnya turun hujan deras, seolah-olah langit menangisi kepergiannya. Hal ini digambarkan oleh seorang penyair bernama Najamuddin Abu al-Ma’ali Muhammad bin Sawar bin Isra`il dalam salah satu bait syair ratapan atas kematiannya: “Langit menangisnya (Saifuddin al-Amidi) ketika ia wafat, dengan linangan air mata laksana mutiara yang bertebaran”.

Saifuddin al-Amidi termasuk ulama yang lumayan produktif. Di antara karya-karya ialah kitab Abkar al-Afkar, Mana`ih al-Qara`ih, Rumuz al-Kunuz, Lubab al-Albab, al-Bahir fi al-Hikam az-Zawahir, dan al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam. Kitab al-Ihkams fi Ushul al-Ahkam itulah yang menunjukkan kepakaran Saifuddin al-Amidi dalam disiplin ilmu ushul al-fiqh dan menjadi salah satu buku wajib dalam ilmu tersebut. Bahkan Jamaluddin Abu Amr Utsman bin Abi Bakr al-Maliki atau yang lebih dikenal dengan nama Ibn al-Hajib berkomentar: “Tak ada karya yang menyamai karya Saifuddin al-Amidi (al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam) dalam disiplin ilmu ushul al-fiqh". Ibn Hajib akhirnya pun membuat ringkasan (mukhtashar) kitab tersebut.

Kitab al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam yang ditulis Saifuddin al-Amidi memang sebuah kitab yang fenomenal. Terbukti, kitab tersebut telah menjadi salah satu rujukan primer dalam bidang ilmu ushul al-fiqh. Meskipun jika dibandingkan dengan kitab al-Mustashfa-nya al-Ghazali karya Saifuddin al-Amidi masih kalah populer dan fenomenal. Bahkan hal ini secara tidak langsung diakui oleh Saifuddin al-Amidi sendiri.

Dalam pengakuannya, -sebagimana dituturkan Ibn Qadhi, salah seorang muridnya- Saifuddin al-Amidi mengatakan: “Suatu hari ketika tidur aku bermimpi, seolah-olah ada seseorang berkata kepadaku: ‘Inilah rumah Imam al-Ghazali’. Aku-pun memasukinya dan menemukan peti. Aku buka peti tersebut dan di dalamnya ada jasad Imam al-Ghazali lengkap dengan kafannya. Kemudian aku menyingkap wajah Imam al-Ghazali dan menciumnya. Dan ketika tersadar dari mimpi, aku pun berguman dalam hati: ‘Sebaiknya aku menghafalkan ucapan Imam al-Ghazali. Akhirnya, aku pun mengambil kitab al-Mustashfa dan menghafalnya dalam waktu singkat’”. [Pengantar penerbit].

Kitab al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam yang ditulis Saifuddin al-Amidi terdiri dari dua jilid dan empat volume atau juz. Ada empat pembahasan pokok (qawa’id) yang diutarakan dalam kitab tersebut. Pembahasan pertama: mengenai konsep ushul al-fiqh dan landasan dasarnya. Menurutnya, ushul al-fiqh adalah dalil-dalil (adillah) atau petunjuk fiqh. Sedang landasan dasarnya ialah kalam, bahasa Arab, dan hukum-hukum syar’i. [jilid, I, H. 10 dan 11].

Bagi Saifuddin al-Amidi, prinsip-prinsip kalam tidak bisa dilepaskan dari ushul al-fiqh. Sebab, dalam pandangannya jika ushul al-fiqh adalah dalil-dalil fiqh, maka adanya kalam dalam hal ini dibutuhkan untuk mengetahui dalil dan pembagiannya: yaitu dalil yang berfaidah ‘ilm (pegetahuan yang menyakinkan) dan berfaidah zhan (dugaan kuat). Selanjutnya kata Saifuddin al-Amidi, semua itu tidak mungkin dapat dicapai dengan baik kecuali dengan penalaran (nazhar). Tetapi para ahli ushul menggunakan istilah dalil untuk sesuatu yang bisa menghasilkan ‘ilm, sedang amarah (indikasi) untuk sesuatu yang hanya bisa menghasilkan zhan.

Para ahli ushul membagi dalil menjadi tiga, yaitu ‘aqli, sam’i, dan di ‘aqali-sam’i. Aqli contohnya, tentang kebaruan alam. Logikanya adalah alam itu diciptakan, dan setiap yang diciptakan adalah baru, karenanya alam itu baru. Sam’i, misalnya ketetapan-ketepatan teks-teks al-Qur`an, hadits, ijma’ dan qiyas. ‘Aqli-sam’i, misalnya, minuman keras itu memabukkan, dan setiap yang memabukkan itu haram karena Rasulullah bersabda, “Setiap yang memabukkan adalah haram”. [Jilid, I, H. 14]

Pembahasan kedua: mengenai dalil syar’i, pembagiannya, dan hukum-hukum yang terkait dengannya. Sebelum memasuki pembahasan tentang hal itu, Saifuddin al-Amidi terlebih dulu memberikan pengantar mengenai dalil syar’i. Menurutnya, dalil syar’i terbagi menjadi dua kategori. Pertama, dalil yang shahih dengan sendirinya dan harus diamalkan. Kedua, dalil yang diduga kuat shahih. Kategori pertama ada lima macam, yaitu Qur`an, sunnah, ijma’, qiyas, dan istidlal. Sedang ketegori kedua ada empat macam, yaitu syar’u man qablana, madzhab ash-shahabi, istihsan, dan al-mashlahah al-mursalah. [Jilid, I, H. 112]

Menarik untuk dicermati, bahwa Saifuddin al-Amidi memasukkan istidlal sebagai dalil syar’i. Lantas apa yang dimaksudkkan dengannya? Istidlal ialah dalil yang bukan berupa teks, ijma’, juga bukan qiyas. Istidlal menurut Saifuddin al-Amidi ada beberapa macama, di antaranya adalah pernyataan: “jika ditemukan sebab (sabab) maka ditetapkanlah hukum dan jika ditemukan penghalang (mani’) dan tidak terpenuhinya syarat maka tidak ada hukum”. Pernyataan ini merupakan dalil dipandang dari sisi bahwa dalil adalah sesuatu yang mengharuskan dari ketetapannya penetapan apa yang dikehendakinya baik secara pasti atau jelas. [Jilid, II, H, 282].

Pembahasan ketiga: mengenai ijtihad, mujtahid dengan segala syarat-syaratnya, mufti (pemberi fatwa) dan mustafti (peminta fatwa). Pembahasan keempat atau yang terakhir mengenai tarjih. Demikianlah gambaran secara global isi kitab al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam. Dan kitab ini memang harus dibaca dan dikaji dengan cermat karena di dalamnya kita akan menemukan penjelasan rasional dan memukau tentang ushul al-fiqh dari Saifuddin al-Amidi, salah satu tokoh penting dalam kajian ushul al-fiqh. Rasanya kita tak akan pernah kecewa membaca kitab ini. Salam….   

Tentang Buku
Judul    : al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam
Penulis  : Saifuddin al-Amidi
Penerbit : Bairut-Dar al-Fikr
Cet.     : 1424 H / 2003 M
Tebal    : Dua jilid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar